Kuroko no Basuke and all identifiable characters are owned by Fujimaki Tadatoshi.

The author does not earn profit from the story, also no copyright infringement.

.


.

PANCARONA

Merangkai seuntai kalimat yang masih tergantung di antara mereka.

Pancarona. 4/4 MIDOAKANTOLOGI 2015 #4 - AUTUMN

.


START

MOZAIK 04 : PANCARONA

/pan·ca·ro·na/ v beragam warna


Semenjak penutup musim panas yang sangat tidak menyenangkan itu, segalanya di antara mereka seakan-akan tanpa suara. Tak ada percakapan. Tak ada kata tanya basa-basi, atau suara apapun yang keluar dari mulut kapten mereka. Aomine berteriak minta tolong karena kakinya kesemutan dan minta Akashi menanganinya, Kise mengekor Akashi di kelas dan bilang kalau ia ingin pinjam pensil, Murasakibara bertanya pada Akashi apakah ia kepanasan dan ingin Murasakibara seakan menjadi penghalang sinar matahari saat upacara, dan hal-hal bodoh lainnya.

Bola menggelinding, dan berhenti tepat sejengkal dari kaki Akashi.

"Akashi, bolanya."

Krik.

Sementara Midorima, tak kalah bodohnya, ia menggelindingkan bola ke dekat kaki Akashi dan meminta Akashi mengambilnya.

Midorima sudah memasang nada suaranya senetral mungkin seolah mereka hanyalah orang asing yang salah satu di antara mereka minta diambilkan bola yang jaraknya hanya dua puluh sentimeter di tempat berdirinya orang yang satunya lagi. Tapi tak ada jawaban. Percuma saja, seperti orang bodoh. Yah, Midorima tak akan kagok begini kalau ini bukan yang keseratusribu kalinya.

Akashi justru berjalan menjauh, tak acuh, ke bibir lapangan dan masih menekuni majalah basket di tangannya. Midorima menghela napas, berjalan mengambil bola yang sengaja ia gulirkan lagi. Ia memungutnya, kemudian menatap yang lain, menunggu komentar.

Kise, Kuroko, dan Murasakibara memberi kode bahwa sebaiknya Midorima kembali menggelindingkan bola ke tempat Akashi berdiri sekarang. Yang benar saja. Mencoba lagi bukan langsung terjang begitu saja tahu. Midorima juga sudah mengerti bahwa hasilnya nihil. Akashi benar-benar tidak merespon siapapun di antara mereka.

Aomine terhuyung-huyung muncul dan terjerembap di seberang Akashi. "Tolong! Eh, Akashi! Tolong! Kakiku, ARGH, kakiku kesemutan! Tolong—"

Krik.

"Kamu itu sebodoh apa, sih, Aomine-kun."

...

Tak ada suara selanjutnya. Aomine berdiri, ekspresinya sama kagoknya dengan Midorima tadi. Tatapannya menghunus ke arah Midorima dan Midorima tahu artinya. Sama saja seperti yang lain; oi-lakukan-sesuatu-sana. Ia kan, juga sudah berusaha semaksimal mungkin.

.

Akashi.

Aku butuh waktu untuk membaca semua majalah ini, dan aku tidak mau bicara pada siapapun selama itu. Sampai ada waktu di mana aku siap.

'Siap'.. untuk?

.

Tak ada jawaban lagi setelah itu.

.

Oke, belum maksimal, sih.

Midorima menatap bola basket di tangannya. Ada satu tindakan gila yang selalu melintas di kepalanya setiap kali ia hanya menggelindingkan bola basket ke dekat kaki Akashi dan selalu gagal. Tapi, bisa-bisa, kalau ia melakukan tindakan gila ini, ia akan dibunuh. Oh, tidak langsung dibunuh. Diseret, dianiaya, ditinggal semalaman, kemudian dibakar hidup-hidup.

Tapi, masa bodohlah dengan apa yang akan terjadi padanya!

Midorima mengambil ancang-ancang untuk melempar bola basket itu.

"Mido—"

BUAAK!

Dalam sekali lempar—tentu saja—bola basket itu melesat cepat menuju Akashi.

Kalau saja Akashi tidak curi-curi pandang dan naluri membuatnya refleks menangkap bola, ia bisa-bisa terpelanting. Karena menahan saja sudah membuatnya terseret mundur beberapa meter.

Akashi menatap tempatnya ia berdiri beberapa detik yang lalu, kemudian tempatnya ia berdiri sekarang, kemudian pada majalah basket yang refleks ia jatuhkan, ke bola basket di tangannya, selanjutnya ia barulah menengadahkan kepala. Satu hal yang terbesit di kepalanya saat itu; oh, ternyata ia bakat juga menjadi kiper sepakbola. Lalu, hal yang terbesit di kepalanya beberapa detik kemudian; sekarang siapa yang akan lebih dulu bicara?

Untuk sementara, sunyi senyap.

Midorima terpaku di tempatnya. Ia bisa saja kemudian berbicara, namun ia sendiri masih tidak percaya dengan apa yang ia lakukan. Sampai kemudian Aomine yang sudah ada di sampingnya, menyikut cepat.

Midorima mengerjapkan matanya cepat seolah mencoba untuk terbangun. Sampai mana tadi? Benar juga. Ia menghantam muka Akashi dengan bola basket. Untung ditangkap. Dan sekarang, saatnya untuk berbicara.

"Sudah siap?" tanyanya, canggung juga.

Tidak dibalas.

Akhirnya, Akashi tidak tahan juga untuk terus terlibat dalam permainan bisu-membisu ini. Ia memejamkan matanya sebentar, kemudian dengan satu gerakan, ia menyilangkan kakinya dan duduk bersila. Ia masih terdiam, mencoba merasakan embusian angin musim gugur yang menerpanya. Cuaca yang hangat ini, suasana yang bernuansa oranye ini bagaikan ciri khas tersendiri.

Akashi menatap Midorima dan menganggukan kepalanya. Masih tidak mau berbicara juga ternyata. Midorima terkesiap, ia menelan ludah susah payah, kemudian menatap mereka yang tidak mengerti apa yang terjadi di antara mereka berdua. Dengan isyarat mata dan tangan, Midorima menyuruh mereka untuk mematuhi apa yang Akashi perintahkan kepadanya: duduk.

Apa yang terjadi setelah itu, adalah hal yang lain lagi.

Mereka sudah duduk bersila, melingkar, enam orang. Kemudian diam, selama lima belas detik, yang bagi Midorima rasanya seperti neraka.

"Siap untuk?" tak tahan, Midorima angkat bicara—karena Aomine menyikutnya (lagi). Apakah hanya dirinya yang merasa bahwa tubuhnya geregetan apabila keadaannya hening mengenaskan begini?

"Mendengarkan cerita, Shintaro," Akashi menjawab sambil mengangkat bahu. "Aku sudah membaca semua majalahnya. Tim basket SMP Teiko menang mudah. Bertanding, menang, dan sudah."

Tidak ada tanggapan.

"Aku tahu aku amnesia," sambung Akashi, mengatakan itu dengan nada seperti menambahkan aku-tidak-bodoh-oke-?. "Tapi, aku tidak tahu apa yang membuatku amnesia. Kalau aku mencocokkan tanggal aku masuk rumah sakit dan tanggal-tanggal di majalah ini, aku amnesia di hari ketika tim basket SMP Teiko menang pertandingan antar SMP dengan skor 111-11—ngomong-ngomong, itu skor yang seperti dibuat-buat."

Semuanya melirik Kuroko. Yang dilirik pura-pura tidak peka, padahal mukanya memerah. Karena tidak membuahkan reaksi, mereka beralih menatap Kise. Yang ditatap ingin protes tidak terima namun tak keluar suara.

"Lalu, nggak ada majalah yang mengatakan aku amnesia." Kalimat yang diucapkan Akashi membuat semuanya sukses berpaling menatap Akashi lagi. "Kalian merahasiakannya." Kemudian, semua mata yang awalnya memandang Akashi menunduk tak tentu arah, bersalah. "Kalau begitu, aku amnesia di saat di mana tidak ada mata publik. Pada saat apa?"

Jadi ini yang dimaksud Akashi bahwa dia sudah siap. Akashi sudah siap untuk mendengar semuanya. Tidak akan ada kejadian merasa pusing, kepala berdenyut, mata berkunang-kunang, kaki gemetaran, kemudian ambruk dan pingsan.

Akashi sudah siap untuk mendengar.

Pasalnya, tidak ada yang siap untuk bercerita di antara mereka.


MOZAIK 04 : PANCARONA

/pan·ca·ro·na/ v beragam warna


Penghujung musim gugur, tahun lalu.

Beberapa menit setelah final pertandingan basket antar SMP berakhir, tim Teiko mengasingkan diri di ruang loker. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kiseki no Sedai berdiri, sementara pemain bayangan mereka, duduk di kursi satu-satunya yang ada di ruangan itu. Ekspresinya tidak terima karena Kiseki no Sedai telah melakukan hal yang tidak bisa dimaafkan terhadap teman seperjuangannya.

"Kenapa kalian melakukan itu."

Kalimat itu bahkan tidak dibubuhi tanda tanya di bagian akhir.

"Kami hanya ingin mengendalikan pertandingan." Akashi menjawab dengan tenang dan dingin. Yang lainnya memasang ekspresi sama saja. Aomine bersandar pada salah satu lemari loker, Kise melipat lengan, Murasakibara memakan camilannya, Midorima diam tak berkutik. "Kita bisa menjadi lebih fokus karena mempunyai tujuan mencapai poin 111. Daripada hanya mencetak angka tanpa tujuan."

Gigi Kuroko bergemeletuk keras, kedua tangan di atas pahanya mengepal. Ia merasa tersakiti di sini. Semuanya tidak ada yang benar-benar mencintai basket. "Tapi, kemenangan kita ini, menurutku lebih menyakitkan daripada apapun."

"Kita tidak bisa melakukan apa-apa selain menanggungnya, kan?" Aomine menukas dingin.

Cukup sudah. Kuroko ingin berhenti bermain basket. Kalau begitu, ia akan keluar dari tim basket ini.

"Kalau begitu—"

"Kalau begitu apa?" suara Akashi membelah nada gemetaran yang keluar dari mulut Kuroko. Tatapannya mengeras, sama sekali tidak mengenal kosakata simpati atau kasihan, bagaikan ikan mati saja. Kehilangan motivasi, kehilangan arah. Tapi tetap saja keras kepala.

Kuroko memberikan jeda. Tidak. Ia tidak boleh takut.

"Aku akan berhenti—"

Pintu ruangan loker tiba-tiba terbuka. "Maaf mengganggu!" satu suara baru menginterupsi kalimat yang seharusnya diucapkan Kuroko sampai selesai.

"Ada apa?" Akashi menoleh, berganti haluan seolah tanpa beban.

"Kami reporter dari majalah yang sudah membuat janji seminggu yang lalu akan melakukan wawancara setengah jam setelah pertandingan. Apakah tidak apa-apa jika wawancaranya dimulai sekarang?"

"Tidak apa-apa," sang kapten menyambar tas yang digeletakkan begitu saja di lantai, kemudian berjalan keluar. Diikuti oleh yang lainnya, hingga menyisakan sang pemain bayangan dan Midorima, yang baru saja selesai membalut jari-jarinya dengan perban.

"Kamu nggak ikut, Kuroko?" tanya point forward itu, basa-basi.

Yang ditanya hanya menggelengkan kepala. "Aku akan ke Meiko."

Meiko—yah, tak salah lagi. SMP yang menjadi lawan final mereka. Sebegitu bersalahnyakah Kuroko terhadap apa yang dilakukan tim basketnya terhadap tim basket teman seperjuangannya? Midorima memang tidak mengerti hal yang seperti itu, sih. Yang ia lakukan selanjutnya hanyalah mengangkat bahu seolah berkata terserah-kau-saja-sih, kemudian melenggang keluar seperti yang lainnya.

Midorima pikir, wawancaranya akan dilakukan di luar ruangan loker. Tapi ternyata, mereka masih saja terus berjalan. Midorima mengikuti saja gerombolan yang tampak kecil bagi matanya karena sudah jauh itu, tanpa ada hasrat sedikitpun untuk mempercepat laju langkahnya. Toh, sebelum wawancara juga mereka terpaksa harus menunggunya.

"Shintaro."

"Eh—ya?" Midorima mengangkat kepala, dan tersadar bahwa sekarang jarak antara dirinya dan rekan tim basketnya sangatlah dekat. Sepertinya mereka berhenti karena menunggunya—baguslah. "Kita wawancara di sini?" ia berusaha membuat percakapan supaya dirinya masuk dalam lingkaran mereka.

"Panas-ssu," celoteh Kise. "Masih ramai. Pada memandang kita dengan tatapan tidak enak pula."

Rasanya Midorima ingin menguap, tapi nanti ia seperti Murasakibara. "Di pinggir jalan saja?" tanya Midorima, menatap Akashi, baru ingat bahwa tadi ia mendongakkan kepala karena Akashi memanggilnya. Apa Akashi ingin bicara padanya? Semenjak Akashi kumat dengan mata heterokrom dan sifat kapten diktator itu, mereka sudah jarang sekali bercakap-cakap.

Tak disangka, Akashi menganggukan kepala. Ia menatap reporter yang ada di hadapannya. "Ya, di pinggir jalan saja. Belakang stadion."

Pilihan yang mengundang bencana.

.

Tiap pertanyaan-pertanyaan yang ada dijawab Akashi dengan lancar. Kelewat lancar malah. Sangat terlihat bahwa jawaban yang keluar dari mulutnya hanyalah jawaban-jawaban yang biasa terdengar, selain karena pertanyaan yang diajukan juga pertanyaan yang itu-itu saja. Tips menang, misalnya. Mereka, kan, bukan tipe yang butuh tips menang untuk menang, gitu lho.

"Setelah ini tidak ada pertandingan lagi, dan akan fokus persiapan ujian masuk SMA," reporter itu memakai kalimat pembuka sebelum bertanya. "Apakah kalian masih tetap akan melakukan latihan rutin?"

"Masih," sambar Akashi cepat. Pertanyaan mudah.

"Lalu, untuk mengejar tujuan yang sama pula? Tapi, bukannya musim sebentar lagi berganti? Apakah kalian akan menuju SMA yang berbeda?"

"Itu belum kami tentukan," adalah jawaban yang sebenarnya berbohong, namun karena diucapkan kelewat natural, seakan-akan semuanya terkesan jujur dan apa adanya. Mereka tahu diri bahwa mereka akan melanjutkan SMA yang berbeda-beda, meskipun belum tahu SMA mana karena belum ada yang menghubungi mereka. Begitu mendengar kabar bahwa mereka juara antar SMP, pasti akan ada undangan SMA-SMA membanjiri mereka.

Bocah pelangi itu berpandangan, lelah. Ayolah, kapan ini berakhir? Sepertinya reporter yang mewawancarai kapten mereka itu sudah kehabisan bahan pertanyaan. Yah, salah Akashi juga yang menjawab saja tanpa ada kalimat yang bisa dibahas, sih—oh, tapi Akashi kan selalu benar.

"Tapi," tiba-tiba Akashi angkat bicara, membuat mereka ikut menengadahkan kepala, kaget. Belum pernah terjadi dalam wawancara manapun di mana Akashi justru ingin menambahkan sesuatu. "Sampai musim bergantipun—" ada jeda. Oh. Jeda agak panjang. Karena Akashi sedang berpikir bagaimana ia akan mengatakannya.

Lulus SMP Teiko ini, mereka akan berada di jalur yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama. Mereka akan bersaing. Mereka akan membuktikan, bahwa salah satu di antara mereka akan menjadi yang terbaik. Apa kalimat yang tepat untuk mendeskripsikannya?

Sementara Kise, Aomine, Murasakibara, dan Midorima berpandangan. Apa yang kira-kira mau dikatakan oleh Akashi?

"—kita tidak akan saling melupakan."

Tiba-tiba, Midorima merasa jantungnya berdentum ngawur. Oke, mungkin ia payah dalam hal mendeskripsikan getaran apa yang melandanya, yang tubuhnya bagaikan tersengat setrika itu. Ia tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Akashi. 'Tidak akan saling melupakan', artinya mereka menyadari posisi mereka masing-masing, mengingat di mana posisi yang lain, dengan terus mematri tujuan mereka di dalam diri.

"Oh," reporternya saja mukanya sampai memerah. "Sungguh penutup yang manis. Terimakasih atas waktunya."

Mereka berjabat tangan, kemudian reporter itu memutuskan untuk memberesi barang-barangnya dan pergi memasuki stadion lagi melalui pintu belakang. Kemudian, seperti biasa, di antara mereka semua ada keheningan, namun keheningan yang tidak biasanya. Semua sibuk meresapi kalimat 'manis' yang diucapkan Akashi.

Sebenarnya, kalimat itu tidak semanis kedengarannya. Itu adalah kalimat tantangan. Selepas SMP ini, apakah ada di antara mereka yang berani-beraninya lari, atau tidak.

Kise yang menyadari kehadiran Kuroko tidak ada di tengah-tengah mereka. Oke, sebenarnya yang lainnya sadar lebih dulu, tetapi tidak ada yang mau repot-repot bertanya. Terutama, karena apabila mereka bertanya maka mereka sama saja 'kalah' karena memecah keheningan lebih dulu. Benar-benar, deh, apa saja bagaikan pertandingan bagi mereka.

"Kurokocchi?" Kise menoleh ke belakang—namun tak ada siapapun.

"Ke Meiko, nanodayo," jawab Midorima sekenanya.

"Meiko—oh."

Murasakibara menguap. "Kelihatannya, gerbang stadion saja sudah sepi," katanya malas-malasan. "Wawancaranya lama amat tadi."

Tuh, kan. Sekejap, pikiran Midorima bebas dari kalimat Akashi karena ia merasa berkepentingan dalam menjawab pertanyaan Kise. Tapi, karena Murasakibara mengungkitnya lagi, ia jadi kepikiran, kan. Yah, sepertinya tidak penting juga, sih. Intinya, mereka akan terus bersaing setelah pembubaran tim, kan?

TIIINNN! TIIINN! TIN-TIN-TIN-TIIINN!

Semuanya menoleh ke belakang, ke arah sumber suara, di mana klakson sebuah mobil yang deru mesinnya semakin keras terdengar menyalak-nyalak sembarangan. Mobil itu melaju tak terkendali, dengan kecepatan tinggi, lampu depannya yang terang benderang menyorot lurus-lurus ke arah Akashi.

"A-AWAS!" suara pengemudi mobil berteriak tertahan.

TIIINNN!

Akashi sendiri tak bisa melihat apa-apa selain kilaunya lampu depan mobil yang datangnya bagai kilat itu. Cepat. Ia sampai tak sempat berbuat apa-apa.

TINN! TIIINNN!

"AKASHII!"

BRAAK!

Suara benturan itu terdengar keras, memecahkan gendang telinga saja rasanya, dan Midorima merasakan tubuhnya panas-dingin, namun, tak ada yang menyadari kejadian itu selain mereka. Waktu berhenti baginya, tapi tidak dengan dunia di sekelilingnya. Bumi tetap saja berputar pada porosnya, jarum detik bergerak, seolah tidak ada yang terjadi.

.

Ponsel Kuroko berbunyi begitu Kuroko baru saja keluar dari gedung SMP Meiko, setelah bercakap-cakap dengan salah satu rekan tim teman seperjuangannya itu. Kuroko merogoh sakunya, mengeluarkan telepon genggam, menatap layar, dan mengerutkan kening. Tumben. Ini pertama kalinya Midorima menelepon.

Panggilan itu ia angkat. "Midorima-kun?"

"Tetsu! Ini aku! Cepat ke rumah sakit! Akashi—"

...

.

Rem mobil itu tadi blong.

Sang pengemudi mobil tidak mengalami luka yang serius. Ia meminta maaf berkali-kali, memberikan uang yang banyak sekali jumlahnya, meminta agar kejadian ini dirahasiakan, menyerahkan kartu namanya, kemudian mengatakan bahwa ia ada kepentingan yang sangat mendadak dan berjanji akan kembali secepat mungkin. Pengemudi mobil itu sudah pergi.

Mereka berlima, di ruang tunggu. Dengan kemungkinan yang sudah pasti disampaikan kepada mereka.

Akashi amnesia.

Sekarang sedang diperiksa apakah ada penyakit lain yang belum diketahui. Tapi apapun itu, sudah cukup untuk membuat mereka kehilangan semua tenaga yang mereka punya, seolah roh mereka ikut sekarat sekarang.

"Akashi amnesia." Midorima menggumam, namun bagi keadaan yang sunyi itu, menggumam apapun juga terdengar. Semuanya tenggelam dalam kebisuan.

Lupa apa yang terjadi di antara mereka selama bulan-bulan terakhir ini. Bukannya lupa juga, sih, hanya saja mereka masa bodoh dengan itu semua. Masa bodoh dengan pertandingan. Masa bodoh dengan harus menang. Kapten mereka tertabrak mobil di depan mereka dan tak jelas bagaimana keadaannya sekarang!

"Aku yang bodoh. Aku yang minta wawancaranya di pinggir jalan, nanodayo."

Tidak ada balasan lagi.

Kuroko kemudian mengambil haluan baru. "Apa Akashi-kun lupa pada basketnya?" tanyanya. Masa bodoh dengan Akashi yang mengajukan usul bahwa skor pertandingan final dibuat 111-11.

Pertanyaan itu ditujukan kepada Midorima. Midorima yang paling tahu soal pengetahuan kerumahsakitan dibandingkan mereka semua, sehingga setidaknya Midorima bisa menjawab berdasarkan logika kerumahsakitan pula. Midorima terdiam. "Kejadian itu beberapa menit setelah wawancara tentang basket," jawabnya. "Orang yang amnesia, tingkat amnesia paling tinggi diukur dari saat kejadian yang menyebabkan ia amnesia itu."

Mereka, selain Kuroko yang tidak ikut wawancara tentu saja, mengingat apa saja yang terjadi selama wawancara. Sialan. Wawancara itu membuat Akashi mengingat mengenai pertandingan tim basket SMP Teiko, latihan rutin tim basket, dirinya yang menjadi kapten, kemenangan mereka, semuanya. Akashi melupakan itu semua.. sungguh sangat tidak lucu.

Sangat tidak lucu.

Midorima bergumam tanpa sadar. "Akashi tidak boleh lupa yang satu itu. Ia sendiri yang mengatakannya."

Kuroko menatap Aomine, minta penjelasan.

.

Sampai musim bergantipun, kita tidak akan saling melupakan.

.

"Itu yang ia ucapkan terakhir kali, Midochin."

"Kalau begitu, kita akan membuatnya ingat," sambar Kuroko cepat, matanya serasa memanas setelah mengetahui bahwa itu kalimat terakhir Akashi sebelum ia terhantam mobil berkecepatan tinggi.

"Ini akhir musim gugur, kita bertaruh pada satu musim dingin itu sebelum kemudian kita akhirnya lulus-ssu?" Kise mencoba menarik maksud kalimat Kuroko. Ia mengerutkan kening tidak yakin. Semuanya bergelut dengan pikiran masing-masing.

Midorima tersadar, lebih cepat daripada yang lainnya. Ia mendongak. "Kecuali apabila—"

"—kita masuk SMA yang sama."

Kompak, mereka mengatakannya bersama-sama.

Kemudian, mereka bertatapan satu sama lain. Mereka mencapai titik sepakat. Lupakan masa lalu.

Tujuan merekapun seketika berubah.


MOZAIK 04 : PANCARONA

/pan·ca·ro·na/ v beragam warna


Oh, wow.

Oke, itu tanggapan yang aneh kalau ia ucapkan setelah mendengar cerita ini. Tapi, ia harus mengatakan apa? Kekurangan akal, akhirnya Akashi memutuskan untuk berdehem saja. Sudah.

Yang benar saja.

"Aku dulu bermain basket."

Midorima, yang merasa bahwa suaranya akan habis karena ia tak henti-hentinya terus bercerita, menganggukan kepala. "Benar, nanodayo."

"Kapten kalian."

"Benar," untuk pernyataan yang ini, semua menjawab berbarengan.

Akashi menghela napas. "Konyol," katanya tiba-tiba, membuat yang lain menengadahkan kepala terkejut, di antara ribuan kata yang ada, Akashi memilih yang itu. Tetapi kemudian Akashi membalas pandangan mereka semua. "Kalian sampai berbuat sejauh ini," sambungnya lagi, itu kalimat yang menyentuh, tetapi tetap saja terdengar ketus.

Kemudian suasana hening lagi.

"Yah, bukan cerita yang bisa dikarang, sih," Akashi menyambung. Kemudian ia menatap mereka satu per satu. "Jadi, sampai musim bergantipun, kita takkan saling melupakan, ya?"

Itu yang harusnya mereka katakan pada Akashi, tahu. Yang bilang jangan saling melupakan siapa, tapi yang kemudian lupa siapa. Tapi, seperti biasa, tidak ada yang mengatakannya.

Midorima menanggapi ragu-ragu. "Benar."

Kita takkan saling melupakan.

"Bukan cerita yang bisa dikarang, kok," mendadak, Akashi tersenyum lepas. Semuanya terperanjat, melihat ekspresi yang tak pernah mereka lihat barang sekalipun, bagai terkena serangan tanah longsor saja. "Aku percaya. Ayo, kita semua membuat janji itu bersama-sama."

Ini nggak bercanda, kan? Semua ingin mengatakan itu, namun terdiam. Yah, mana ada sih Akashi bercanda. Oke. Bagaimanapun juga, kalimat yang tadi itu perintah.

Semua berdiri, tangan saling berangkulan membentuk lingkaran.

...

Demi apa, ini canggung banget. Tetapi, mereka semua saling berpandangan, dan kemudian menyadari. Bukankah ini tujuan baru mereka? Meniti langkah dari awal, mencoba membuat kapten mereka mengingat segala memori yang sudah mereka torehkan bersama-sama? Inilah hasilnya.

Senyum terulas di bibir mereka masing-masing. Benar, inilah hasilnya.

"Kuulangi lagi," Akashi berbicara. "Sampai musim bergantipun, kita takkan saling melupakan."

Sampai musim bergantipun, kita takkan saling melupakan.

Sampai musim bergantipun, kita takkan saling melupakan.

Sampai musim bergantipun, kita takkan saling melupakan.

Rasanya, kalimat itu sudah ikut mengalir dalam setiap tetes darah mereka.

"Selalu."

Suara baru. Semua melirik Midorima yang mengucapkan kata itu. Midorima sendiri tidak berani menatap siapapun juga, sampai akhirnya, karena tidak ada suara selanjutnya, ia berpikir apakah ia sudah menginjak ranjau atau bagaimana. Dari balik lensa kacamatanya, Midorima menatap Akashi.

Akashi sendiri menatapnya.

Kemudian Akashi tersenyum.

Kata yang klise, tapi boleh juga. Kalau begitu, ia yang berperan untuk menutup tirai cerita.

"Selamanya."


MOZAIK 04 : PANCARONA

/pan·ca·ro·na/ vberagam warna

END


A/N:

Terungkap, deh, masa lalunya itu modified canon, ehe XD Fyuh, akhirnya selesai juga! Capek, udah pagi nih. Ceritanya mau begadang, tapi ujung-ujungnya ganti hari juga, deh. Selamat hari Senin pagi. Senin terakhir libur trus minggu depannya masuk sekolah semester dua, deh. /pundungdipojokan

.

Bales review, ya!

shichigatsudesu

MAAF YA ENGGAK *author macam apa ini*
Iyaa akhirnya ketahuan, deh, sayang perjuangan mereka nyembunyiin pun sia-sia XD
Ahahahaha nggak tau kenapa aku ketawa sama reviewmu yang ini, nih di sini kukasih bonus kalau Kise juga jadi korban tatapan dari mereka lagi XD
Sudah tuh chap terakhir, selamat membacaa!

Rein Hiirota

HALOOOO LAGIIII! /nggak santai
Sebenernyaaa udah terjawab sihh, iyaa dia akan terus amnesia ;_; pengen buat Akashi inget tapi sini searching gugel nggak nemu apa yang bikin amnesia orang sembuh;_; masa pake ala-ala sinetron gitu, kalo amnesianya ketabrak mobil harus ketabrak mobil lagi biar inget? :""")))
IYA INI UDAH END XD TETAP JADI TIM HORE YA XD /tendang

.

Seri Pancarona tamat di chapter ini. Terimakasih sudah membaca!

Kaoru Ishinomori, 28:12:2015.01:28

/kemudian tidur/