Kuroko no Basuke and all identifiable characters are owned by Fujimaki Tadatoshi.

The author does not earn profit from the story, also no copyright infringement.

.


.

PANCARONA

Merangkai seuntai kalimat yang masih tergantung di antara mereka.

Klandestin. ¼ MIDOAKANTOLOGI 2015 #1 - WINTER

.


START

MOZAIK 01: KLANDESTIN

/klan·des·tin/adv secara rahasia; secara diam-diam


Jangan pergi.

Seseorang bertubuh tinggi besar bersandar pada ambang pintu, matanya langsung menemukan sosok yang dicarinya. "Midochin, ayo, basket. Semua sudah menunggu," katanya, kemudian mulai melanjutkan makan cemilan di tangannya lagi. Sekilas, ia sempat melirik sekilas pada seorang lagi di ruangan itu, yang duduk di kursi khusus Ketua OSIS yang sedang membereskan dokumen-dokumen.

Midorima mengangkat kepala. "Duluanlah," tanggapnya pendek. Ia juga tahu kalau rapat sudah selesai sepuluh menit yang lalu dan seharusnya kini saatnya ia berkumpul di lapangan untuk bermain basket, tidak perlu dijemput segala. Kalau begini, kan, ia harus membalas kebaikan Murasakibara suatu hari nanti.

Si surai ungu itu mengangkat bahu saja. Ia menatap kembali ke orang dengan pembawaan tenang itu, sempat penasaran mengapa orang itu tidak mau meluangkan detik waktu yang dimilikinya untuk sekadar menoleh ke arah pintu. Biarlah.

Ia akan pergi.

Murasakibara menguap, berbalik badan dan meninggalkan ruangan itu.

Ia sudah pergi.

Kalau sudah lupa, mau bagaimana lagi.

Midorima menyelesaikan tugasnya, merekap ulang semua program kerja OSIS karena sebentar lagi mereka memang akan upacara serah jabatan. Peralihan dari pengurus OSIS yang sekarang sudah kelas tiga, ke pengurus OSIS baru yang berada satu tingkat di bawah mereka.

Midorima baru saja berdiri ketika terdengar suara teriakan.

"Oi, Midorima! Cepatlah, biar kita bisa mulai pemanasan! Tetsu sudah membeku, nih! Kamu nggak mau kalau aku harus menjemputmu ke sana, kan!? Aku malas naik tangga!"

Itu suara Aomine dari lantai satu. Midorima menghela napas, tidak berniat untuk menjawab. Malas naik tangga apanya.

Bilang saja Aomine tidak mau kalau ia harus melihat orang yang sama seperti yang tadi dilirik terus oleh Murasakibara.

Bukannya ia mau, sih. Midorima menatap Akashi sebentar. Si ketua OSIS yang sebentar lagi jabatannya akan purna itu masih setia membereskan dokumennya, tetap tidak beranjak dari meja panjang yang megah dan pantas diagungkan itu. Hanya orang-orang terpilih saja yang bisa memakainya. Midorimapun, hanya akan melewatinya saja.

Akashi tetap membereskan dokumennya, bahkan dokumen yang tadi sudah ia bereskan.

Jangan pergi.

Midorima memalingkan muka. Teringat Aomine, Murasakibara, Kise, dan Kuroko, yang memaksanya untuk mulai sedikit-sedikit memancing Akashi dengan mengajaknya bicara banyak hal. Tapi, kalau mau mengajak bicara, ia harus mulai darimana? Ia mengambil langkah, berjalan di hadapan Akashi begitu saja.

Ia akan pergi.

Kalau pembicaraan mereka selama ini dilupakan olehnya, mau mengajak bicara dari awal juga percuma.

"JANGAN PERGI!"

Terdengar derit bunyi kursi memekikkan telinga. Disusul suara gebrakan meja dengan keras.

Tepat saat Midorima sampai di ambang pintu.

Midorima berbalik secepat cahaya, jelas tahu siapa pelaku yang berteriak tanpa sadar, dan menghasilkan dua suara susulan yang melengking tersebut.

"...Akashi?"

Gerakan Akashi dipaksa berhenti.

Ah.

Ia melakukannya. Membiarkan alam bawah sadar menguasai dirinya.

Akashi menarik kembali kursinya, kemudian duduk.

Midorima tidak tenang lagi kini. Dipandangnya Akashi dengan hati-hati. "Akashi?" panggilnya sekali lagi, merendahkan nada suaranya.

"Aku bercanda."

Ia akan pergi.

"Apa?"

Yang benar saja. Akashi bercanda? Sungguh, lelucon yang sangat tidak lucu. Dan, siapapun tidak akan ada yang berani menyimpulkan bahwa itu tadi lelucon-versi-Akashi.

"Kau boleh pergi."


MOZAIK 01: KLANDESTIN

/klan·des·tin/adv secara rahasia; secara diam-diam


Ia akan pergi.

Midorima menuruni tangga, tetapi belum sampai anak tangga terakhir, dirinya sudah disambut oleh teman-teman basketnya yang tidak bisa mengatur napas mereka.

"Ada apa di atas?" Kuroko langsung ambil alih, ia bertanya.

"Yang lebih penting—kenapa kalian tidak jadi latihan?" sengaja, Midorima mengalihkan pembicaraan, meskipun ia tahu itu hanya akan bertahan sebentar. Tetapi, kini semuanya sudah memakai seragam Teiko, lengkap dengan syal dan beberapa dari mereka mengenakan sarung tangan. Tidak ada tanda-tanda latihan basket sebentar lagi dimulai.

Aomine menuding Kise. "Dia terpeleset saat mencoba pemanasan duluan!" tukasnya.

Kise membantah. "Dua jam lagi aku ada pemotretan, kalau tidak segera dimulai bisa-bisa aku nanti dipaksa untuk tidak bermain sampai selesai-ssu," katanya beralasan. "Tapi, salju membuat lapangannya jadi licin. Aku terjatuh, dan kita batal latihan basket hari ini."

Memang, ada perban di dahinya—pasti sampai tergores. Untung tertutup poni.

"Ada apa di atas?" Kuroko kembali bertanya lagi.

Tuh, kan. Pengalihan pembicaraan tidak bertahan lama.

Aomine menganggukan kepala. "Kita dengar suara Akashi tadi."

Midorima tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. "Tidak tahu, nanodayo," katanya menjawab dengan nada asal—tetapi ia memang tidak tahu apa yang harus ia ceritakan. "Tiba-tiba saja, ketika aku mau keluar, Akashi berteriak sambil menggebrak meja."

Murasakibara berhenti makan. "Itu tiba-tiba?"

Aomine mengeluh. "Kirain ada apa. Aku sudah panik banget, minta minum," ia mengambil minum dari tas Kise, kemudian meneguknya tanpa permisi.

"Yah, tapi Akashi bilang ia cuma bercanda."

"BERCAND-UHK! UHUK UHUK!" Aomine langsung menyemburkan air di mulutnya hingga memenuhi wajah Kise, namun si pelaku yang kesedakan itu malah masih memikirkan dirinya sendiri, memukul dadanya keras-keras. "Bercanda—maksudmu, Akashi bercanda?! Hell, BIG NO! Kayak dia kenal kata 'bercanda' aja!"

"Aku apa?"

"..."

Uh-oh.

Wajah Aomine pucat-pasi seolah baru saja direndam dengan air es semalaman.

Dan, bukan ia saja yang memasang ekspresi seperti itu.

Sosok yang selama ini mereka hindari, ada di hadapan mereka.

"B-buka-bukan—bu-bukan apa-ap—"

" 'Bukan apa-apa', ya? Memang tidak penting untukku juga, apa yang kalian bicarakan tentangku," Akashi menoleh ke arah Midorima, tanpa peduli dengan reaksi yang lain soal kalimatnya barusan. "Aku selaku Ketua OSIS, mau mengusulkan sesuatu, supaya kamu segera membuat laporan usulannya agar ditandatangani olehku dan olehmu."

Midorima masih terperanjat dengan kata-kata yang dipakai Akashi untuk memotong kalimat gelagapan Aomine. Apa tadi? Tidak penting, katanya?

Akashi memandang mereka, seolah memandang seseorang yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Banyak orang yang membenci sifat diktator Akashi, atau mengecapnya sebagai orang sombong karena pendiam dan hidup di kawasan yang elit, sehingga hampir seisi sekolah pasti tiap hari membicarakannya. Bagi Akashi, mereka hanyalah satu dari kawanan-kawanan itu.

Tidak penting, katanya.

"Apa?" Midorima mencoba bertingkah sewajarnya saja.

Mereka berempat berjalan mengendap hingga ke belakang Akashi, dan mencoba mengirimkan berbagai macam kode ekspresi dan sandi tangan, yang terlihat jelas oleh Midorima dan jelas tindakan mereka itu diketahui oleh Akashi. Intinya, mereka menyuruh Midorima memancing Akashi—tetapi tetap saja, mereka tidak menjelaskan bagaimana cara memulai percakapannya. Dan, itu yang paling susah.

Sudah berkali-kali ia katakan, ia harus mulai darimana? Kalau pembicaraan mereka selama ini dilupakan olehnya, mau mengajak bicara dari awal juga percuma, kan?

"Hapus klub basket."

"APA!?"

"Dan ganti jadi klub shogi."

"APAAAA?!"

"Buat laporannya, tandatangani, kemudian besok kuserahkan padaku untuk kutandatangani pula, dan serahkan pada Kepala Sekolah."

Midorima terlalu terkejut sehingga tidak bisa melakukan apa-apa. Yang sejak tadi berteriak adalah dua insan di belakang Akashi, Kise serta Aomine. Kuroko mematung seperti dirinya, dan Murasakibara tersedak makanannya sendiri, berusaha menenangkan dirinya yang masih terbatuk-batuk di sana.

"Sudah, ya."

"APA?! Hei, Akashi, kamu nggak bisa seenaknya begitu!" yang bisa berani seperti itu, jelaslah Aomine. Ia menyeruak, memberontak, menghadang Akashi dengan tatapan mata aku-bisa-membakar-sekolah-ini-apabila-kamu-benar-benar-menghapus-klub-basket. "Kamu tahu, kan, Teiko itu yang bagus hanya klub basketnya saja! Ada seratus orang lebih yang minat!"

Akashi memandang Aomine datar. "Oh," ia menanggapi pendek. "Aomine Daiki si power forward, ya?" kemudian ia menatap ke arah Midorima. "Kamu juga bocah basket sama seperti dia. Kalau begitu, kamu rekan basketnya, kan? Dia kuserahkan padamu."

Midorima kehabisan kata-kata, ketika Akashi melewatinya begitu saja.

Tetapi, sepertinya kekuatan Aomine menular padanya. Midorima berbalik dan berteriak sebisa suaranya. "Akashi!"

Akashi berbalik badan, dan mendapat tudingan lurus-lurus dari Midorima yang berada seratus delapan puluh derajat, tepat di hadapannya. Disambung dengan teriakan yang diterima telinganya.

"Kamu JUGA bocah basket, nanodayo!" Midorima meninggikan volumenya.

"Ini cara pemancingan ingatan yang buruk," Kise mulai berkomentar pelan, tapi Kuroko langsung mendesis. Bagaimanapun, lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.

Akashi menatap Midorima. Asing. "Jangan konyol, Midorima."

"Kamu amnesia," Midorima memberanikan diri mengambil langkah maju. "Makanya, kamu lupa."

Akashi terdiam lama. "Aku memang amnesia," katanya tiba-tiba.

"Tapi, aku bukannya bodoh. Jadi," Akashi mengunci tatapan Midorima dengan heterochrome-nya, maju dua langkah sekaligus yang membuat Midorima terpaksa mundur. "Sadari tempatmu. Aku bicara padamu, selaku Ketua OSIS di sini. Meskipun seratus bocah basket menentangku karena hanya aku yang bisa bermain shogi, tetap aku yang punya kuasa."

Jangan pergi.

Akashi berbalik lagi, mulai berjalan. Hilang ditelan tikungan.

Aomine berdecak. "Kita coba lagi suatu hari nanti," katanya, menyerah. Kemudian, ia melirik ke arah Midorima yang mematung di sebelahnya. "Hei. Kamu nggak mungkin mau membuat laporannya, kan, Midorima?"

Ia akan pergi.

Midorima menggeritkan giginya.

"Midorima!"

Midorima berlari secepat yang ia bisa, berbelok di tikungan yang tadi diambil Akashi. Masih. Akashi masih berjalan, beberapa meter di depannya. Akashi belum pergi.

"Akashi!"

Langkah kaki Akashi terhenti.

Kise yang lebih dulu sampai menyusul Midorima. "Midorimacchi—"

"SAMPAI MUSIM BERGANTIPUN, KITA—?!"

Semua gerakan terhenti. Mereka berlima, para pendengar kalimat yang sengaja digantungkan oleh Midorima, kesemuanya mematung bagaikan tersengat setrika.

.

Sampai musim bergantipun, kita—?

.

Jangan pergi.

Akashi?

Jangan pergi.

Siapa? Tidak. Aku tidak pergi, nanodayo; aku di sini.

Ia akan pergi.

Akashi-kun! / Akachin! / Akashi! / Akashicchi!

Ia akan pergi.

Akashi! Kita semua di sini!

Ia sudah pergi.

.

Bola mata Akashi membesar seketika. Ia berusaha sekuat tenaga, mengontrol tubuhnya agar tidak berbalik. Agar kakinya tidak gemetar. Agar jantungnya tidak berdegup keras. Di cuaca yang seperti ini, di mana salju turun perlahan, angin dingin berhembus semilir, mukanya serasa panas sekali.

Midorima sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Tetapi, diberanikan dirinya mengulangi kalimat itu lagi.

"Sampai musim bergantipun, kita—?"

Itu kalimat yang diucapkan Akashi pada mereka semua.

.

Ia sudah pergi.

!—siapa?

Diriku.

.

Bisa. Ia bisa menormalkan suhu tubuhnya.

Akashi melanjutkan langkahnya.

Karena kalau ia memaksakan diri mengenang kepingan demi kepingan yang tersisa, yang masih melekat di ingatannya dengan samar, itu tidak baik bagi dirinya dan martabatnya. Ia akan pusing, matanya berkunang-kunang, dunianya berputar-putar.

.

Sampai musim bergantipun, kita—

.

Kalimat itu dipaksa untuk terus masih tergantung.


MOZAIK 01: KLANDESTIN

/klan·des·tin/adv secara rahasia; secara diam-diam


Ia sudah pergi.

"Midochin tidak menyukainya," Murasakibara berkomentar. Bukannya Murasakibara bisa membaca ekspresi seseorang atau apa, hanya saja ekspresi Midorima terlalu mudah dibaca.

"T-tidak juga, nanodayo," bantah Midorima, kemudian menembakkan bola di tangannya.

Tidak masuk.

"Wah," Kise menatap ring basket, melipat lengannya. "Memangnya, memakai sweater, jaket, topi, dan pakaian penghangat yang membuat tubuh kita kelihatan gendut itu mengganggu permainan basket Midorimacchi-ssu?"

Aomine mengambil bola basket itu, kemudian men-dribble-nya. "Tidak buruk, kok," ia melompat, memasukkan bola dengan cara menge-dunk. "Setidaknya, aku masih bisa melakukannya," katanya dengan nada ringan saja.

"Bukan masalah pakaian atau apanya. Tapi sarung tangannya, nanodayo!" Midorima mulai berdecak. "Aku pulang saja—" Midorima berbalik, hendak mengambil tasnya yang ada di pinggir lapangan basket sekolah.

"Ah, Akashi-kun," perkataan Kuroko membuat semua gerakan terhenti. Selalu saja begitu.

Akashi berjalan ke tengah, kemudian membaca data yang ada di papan yang dibawanya. "Ng," ia berpikir sebentar, membaca ulang data itu, kemudian membacakannya. "Aomine Daiki, Kuroko Tetsuya, Murasakibara Atsushi, Kise Ryouta, Midorima Shintarou.. pas lima orang. Benar, kan? Starting member tim basket Teiko?"

"..."

Kamu juga, Akashi.

Tetapi, tidak ada satupun yang mengatakan itu.

Midorima ambil alih. "Akashi—"

"Aku di sini selaku Ketua OSIS," Akashi memotong cepat, dan Midorima tahu maksudnya. Bahwa Akashi tidak ingin mengungkit kejadian berhari-hari lalu, hari di mana musim dingin baru tampak sepintas-sepintas saja. Akashi datang sebagai Ketua OSIS, membawa suasana formal.

Tidak ada yang berbicara.

Akashi membaca datanya lagi. "Aku membaca laporan basket, dan tampaknya terhitung tahun ini, Teiko berhasil membawa kemenangan tiga kali berturut-turut yang mengharumkan nama sekolah."

"..."

...pertandingan di mana kau ada di dalamnya, Akashi.

Tetapi, tidak ada satupun yang mengatakan itu.

Akashi mulai mengangkat kepala dari papan yang dibacanya. "Aku butuh satu orang dari kalian untuk menjadi anggota klub shogi," kata Akashi, kemudian menatap mereka satu per satu. "Ini mutlak. Ini absolut, tidak dapat terbantahkan. Karena peraturan shogi, minimal dua orang. Apabila ada, maka tim basket tidak akan dibubarkan."

Suara itu.

Mereka merindukan suara Akashi.

Mereka merindukan suara kapten mereka.

Ia sudah pergi.

"Aku saja."

Terlebih, dirinya.

Semua berpandangan menatap sang point guard yang mengangkat sebelah tangannya. Aomine saja sampai ternganga. Midorima main shogi? Midorima masuk klub shogi? Yah, lebih baik daripada dirinya, sih.

"Tapi, kami dari basket mengajukan syarat, nanodayo," sambung Midorima, kemudian ia cepat-cepat menambahkan kalimat yang sangat tidak ia sukai. "Aku berkata selaku kapten tim basket."

Mata Akashi mengerjap dua kali. "Katakan."

Semua tahu apa yang dikatakan Midorima selanjutnya. Tidak benar-benar tahu, tetapi mereka tahu intinya.

.

Ia sudah pergi.

!—siapa?

Diriku.

.

Kemudian, kedua bola mata itu membuka. Menampakkan manik heterochrome.

.

"Kita bersama, melanjutkan ke jenjang SMA," Midorima menyambung. "Sebagai satu tim."

...Seperti dulu. Seperti seharusnya.

Tetapi, lagi-lagi, tidak ada satupun yang mengatakan itu.

Akashi menatap Midorima penuh selidik.

"Boleh," katanya dengan asal saja. "Tapi walaupun kamu kapten dan punya kuasa, bukan tindakan yang bijak untuk seenaknya merekrut orang jelas tak punya pengalaman di bidang basket."

"PUNYA!"

Oke. Kalau kali ini, semuanya tidak tahan untuk terus menahan diri.

Akashi menatap mereka. "Jangan berisik."

Tangan Aomine sudah gemetar saking kuatnya terkepal, betapa ia ingin meninju bekas kapten di hadapannya ini.

Midorima menguatkan dirinya. "Aku percaya, nanodayo," katanya, tak bisa mengontrol dirinya untuk tidak membuat nada itu terdengar sengit.

Akashi mengangkat bahu. "Bukannya tidak bisa basket, kok," Akashi menulis sesuatu di kertas beralas papan yang dibawanya, kemudian menatap mereka berlima satu per satu. Kemudian, pandangan terakhirnya kembali ke sepasang mata yang bersembunyi di balik lensa.

"Untuk formalitas saja. Salam kenal, kalau begitu."

.

Kedua bola mata itu membuka.

Membuat mereka semua terperanjat.

Bola mata itu membesar, terkejut, melihat lima sosok di hadapannya dengan tatapan asing.

"Di mana aku?"

.

Ada perkenalan di pengujung musim dingin, yang membuat mereka justru membuka lembaran lama.

Lembaran klandestin.

Lembaran-lembaran, yang secara diam-diam merupakan suatu kenangan lampau, yang rahasia, yang menjadi kepingan-kepingan mozaik.

Merangkai seuntai kalimat yang masih tergantung di antara mereka.

.

"Di mana aku?"

Tidak ada jawaban.

Balasan dari si surai hijau berkacamata itu justru kalimat tanya yang nyaris serupa.

"Di mana Akashi?"

.

Ia sudah pergi.


MOZAIK 01: KLANDESTIN

/klan·des·tin/adv secara rahasia; secara diam-diam

END


A/N:

Udah lama nggak buat multichapter di KNB XD Terakhir buat dua tahun lalu XD /dor

Karena masih part satu, jadi masih kasar(?) dan nggak jelas(?), bahkan pairing utamanya aja masih samar-samar banget TvT walaupun nggak tau deh part selanjutnya bakal memperjelas atau enggak... /kabur

Dimohon saran dan kritiknya! I know you're in there..

Kaoru Ishinomori