Dorm yang dihuni sembilan pemuda kelebihan gula itu suatu pagi mendadak ramai. Derap langkah kaki jadi tiga kali lebih berisik. Disusul ramai-ramai seruan berbagai nada, helai pakaian dilempar kesana kemari, ketukan pada pintu kamar mandi minta giliran mandi, Chanyeol dan Bakehyun yang berebut sabun, Joonmyeon yang susah payah membangunkan Jongin, denting wajan dan sendok-yang pasti, dorm EXO saat ini dalam situasi kacau.
Mereka sedang panik.
"Kyungsoo-hyung masaknya nanti saja! Malah kita mungkin akan makan di luar," pria bersurai pirang berkata sedikit keras sambil mengancingkan kemejanya. Pemuda pendek yang baru menyalakan api kompor menoleh sambil memasang muka sebal.
"Makan di luar, memang siapa yang bayar?"
Untungnya Sehun sudah kebal dengan Hyung satu ini yang kalau bicara layaknya mau menggigit. Ia membiarkan dua kancing teratas tidak dipasang. "Suho-hyung ikut keluar dengan kita, kok. Tidak usah khawatir."
Tidak usah khawatir kepalamu, batin Kyungsoo, meletakkan sendoknya terlalu keras hingga memantul dengan denting nyaring. Jongin yang baru masuk dapur berjengit kaget.
"Kyung-ie ngapain banting-banting sendok?"
"Aku tidak membanting sendok," Kyungsoo mendadak tsundere. "Dan jangan jadi maknae durhaka. Panggil aku hyung."
Jongin sudah jadi ahlinya kabur dari celaan Kyungsoo yang menuntut. Fleksibilitas tubuh disalahgunakan, ia ngibrit lari menuju kamar mandi sebelum didamprat lebih jauh.
"Ada apa, leader-hyung?" Yixing menguap, baru bangun setelah dibangunkan (ditendang) Minseok dengan senyum manisnya yang melegenda. "Kenapa ribut sekali pagi-pagi?"
Joonmyeon mengalihkan perhatian dari ponselnya. "Araa. Belum ada yang memberitahumu?"
"Tidak ada," pemuda berdarah Cina itu merengut. "Tahu-tahu kaki Minseok sudah ada di atas mukaku. Jelas saja aku kaget. Mana bau pula. Padahal hari Minggu begini, biasanya semua bangun selepas tengah hari."
"Bukan aku," Jongdae numpang lewat. "Kalian yang bangun siang. Bukan aku. Ngomong-ngomong, tahu handukku tidak?"
"Astaga," Joonmyeon menepuk dahi. "Kau sudah bangun dari tadi dan sampai sekarang belum mandi?"
"Bukan salahku," Jongdae mengelak lagi. Kalau saja Joonmyeon tidak menjunjung tinggi kesopanan, sudah lama ia tampol makhluk berpipi bakpao yang tidak pernah mau disalahkan satu ini. Sayang sekali, ia dibesarkan dengan tabiat a la pangeran kerajaan. Menampol tidak ada dalam kamus hidupnya. Joonmyeon anti kekerasan. "Habis, Chanyeol dan Baekhyun tidak keluar-keluar dari tadi. Jongin, Sehun, aku, dan yang lainnya terpaksa antri. Dengar," hening sebentar. Samar terdengar gedoran pintu dan teriakan-teriakan bernada maskulin dari arah kamar mandi. "Ayo keluar!", "Hyung, cepat!", "Ya Tuhan kalian sedang apa di dalam sana," sampai, "kalau tidak keluar, kusebar foto syur kalian ke internet!"
Joonmyeon membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Sejak kapan ada yang punya foto syur di dorm ini? Tidak boleh ada tindak asusila di bawah atap selama ia berkuasa!
Hanya saja Joonmyeon tidak tahu kalau foto syur yang dimaksud adalah Chanyeoldan Baekhyun bermain bebek karet dalam bathtub. Kadang dunia itu lucu, di mana kepribadian maskulin kelebihan feromon dan batita lucu yang suka main air berada dalam satu tubuh absurd Chanyeol dan Baekhyun.
"Itu Jongin dan Sehun," Jongdae melanjutkan. "Menggedor pintu. Minseok sudah bilang kalau nanti pintunya rusak, mereka yang akan tanggung jawab. Tapi maknae-maknae kurang ajar itu menjawab kalau mereka punya hyung baik hati yang dompetnya selalu terbuka."
Joonmyeon memijit pelipis. Pelit dikata sombong, dermawan ia dimanfaatkan. Joonmyeon pernah bilang kalau dia tidak suka kekerasan, tapi mungkin sesekali melempar satu-dua maknaenya ke luar jendela tidak apa-apa, kan?
"Jadi kenapa," Joonmyeon menoleh ketika Yixing menyela setelah sedari tadi mengikat nitrogen-jadi kacang. Banyolan orang cerdas semacam Joonmyeon memang kadang perlu dipikir sejenak sambil mengingat materi SMA (atau kalau sudah mentok tidak tahu maksudnya, browsing. Biasanya Park Chanyeol sering begini saat bercanda dengan Joonmyeon). Baik, abaikan saja. "kita semua terburu-buru bersih diri jam delapan begini?"
"Lay," akhirnya jawaban yang dinanti datang. "Kita akan ke rumah sakit. Manajer-hyung. Dia kecelakaan."
.:xxx:.
Casts bukan milik saya
EXO (c) SME
Lubang Hitam (c) Rheyna Rosevelt
.
.
Tidak ada keuntungan finansial dari pembuatan fanfiksi ini
.
.
.
.
(1)
.:xxx:.
Perawat yang bertugas di meja administrasi itu membulat matanya melihat sosok tampan di depannya. Itu Suho, kan? Dan di sampingnya, Do Kyungsoo, bukan?
"Um," Joonmyeon berkata lembut. Dalam hati bersabar. "di mana tadi ruangannya?"
"A-aah. I-iya. Maaf," si perawat pulih dari lamunan. "Eeh... ruang 507. Lantai 5."
"Terima kasih." Senyum sejuta watt Jongin memabukkan. Chanyeol sampai terkikik melihat si perawat tertatih duduk setelah kepergian mereka.
Untunglah rumah sakit sepi. Tidak ada kesulitan yang berarti, mereka mencapai kamar 507 dengan sehat sentausa.
Atau tidak.
"Manager-hyuuung!"
"Oi, minggir! Biar aku masuk duluan!"
"Chan-ie jangan dorong-dorong!"
"Semuanya diam! Ini rumah sakit, Demi Tuhan!"
Kadang Joonmyeon berpikir kalau Jongdae, Chanyeol, Baekhyun, Sehun, Jongin-kalau anak-anak buahnya ini sebenarnya adalah balita yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Balita-balita yang seksi dan punya abs menggoda. Balita-balita berbakat bersuara emas. Balita-balita yang tariannya meledakkan ovarium banyak wanita. Balita-balita yang-cukup, Suho. Pandanganmu tentang balita jadi berubah banyak sekarang.
Untunglah situasi dengan cepat terkendali. Kyungsoo memang ahli dalam hal menertibkan anak buahnya. Kadang Joonmyeon berpikir kalau Kyungsoo punya naluri Satpol PP dalam dirinya.
Nah, lho. Joonmyeon ngelantur lagi.
"Manager-hyung," Joonmyeon menundukkan kepala. "Aku turut sedih atas tragedi ini. Semoga lekas sembuh. Kami semua akan selalu menanti kepulanganmu dari rumah sakit." Ia tersenyum kecil. "EXO tidak akan sama tanpamu."
"Kami semua akan sering-sering menjengukmu, Manager-hyung!" seru Chanyeol riang. Baekhyun menjitak kepala pemuda jangkung yang gembira salah tempat. "Ow, Byunbaek-ie! Sakit!"
"Bisa-bisanya kau tertawa dalam keadaan begini!"
"Tapi aku, kan, menyemangati Manajer-hyung, Byunbaek-ie. Supaya dia cepat sembuh."
"Tidak begitu caranya! Lihat kondisi kalau mau nyengir begitu!"
"Memang kenapa? Tersenyum itu bisa menyehatkan badan, lho. Baek-ie coba deh, kalau tidak percaya. Ayo, tersenyu-"
Kyungsoo menjitak keras kepala keduanya yang langsung diam. Si manajer tersenyum kecil.
"Minggu ini kalian pasti senggang, ya, sampai bisa menjengukku?"
Yixing menatapnya aneh. "Kau kan manajer kami. Bagaimana bisa kau bertanya soal jadwal kami? Bukankah harusnya kebalikannya?"
"Ah, itu," masalahnya sudah dipancing. Si manajer tidak bisa berkelit lagi. "Dokter berkata... kalau aku harus istirahat total agar cedera kaki dan lambungku pulih. Dan itu berarti, aku tidak bisa bekerja dulu. Tanpa perkecualian. Kau tahu kan," ia melirik gerombolan pemuda kelewat tampan di depannya. "Beban pikiran itu lebih membunuh daripada kanker sendiri. Apalagi beban dari mengatur jadwal sembilan ekor superstar Korea berikut kedahsyatan tingkah mereka."
"Ow," Jongdae mengaduh, memegang ulu hati. Ekspresinya seperti tersakiti. Berdiri dekat Chanyeol rupanya berdampak meningkatkan bar kelebayannya. Siapa yang tahu CHanyeol itu radioaktif. "Sakit, Hyung. Lagian kami tidak punya ekor."
"Lalu, siapa yang akan menjadi pengganti Manager-hyung untuk sementara ini?" Akhirnya keluar juga pertanyaan yang sedari dorm sudah berbayang di benaknya. Pria yang terbaring itu terdiam sejenak, sebelum kemudian menghela napas.
Helaan napas itu bersamaan dengan orkestra perut seorang Jongin. Empunya perut menatap rekannya dengan lagak tanpa dosa. "Apa? Aku lapar, belum sarapan. Hyung bilang kita sarapan di luar saja."
Joonmyeon mengangguk. "Kalian benar. Baiklah, begini saja. Kalian makan duluan. Aku akan menyusul, tapi sekarang aku akan bicara dulu dengan manajer-hyung."
"Benar tidak apa-apa?" Yixing bertanya di sela sorak setuju rekan-rekannya. Joonmyeon mengangguk meyakinkan. "Baiklah. Telepon kami kalau kau sudah selesai."
Joonmyeon mengangkat ibu jari. Delapan pemuda itu membungkuk, lalu-sama seperti tadi-berebut keluar mencari karbohidrat.
Tanpa sadar, Joonmyeon menghela napas panjang. Tetapi ia tersenyum. Melelahkan memang menghadapi delapan orang beraneka ragam seperti itu, tetapi ia senang.
"Kau sudah jauh berbeda."
Ucapan manajer-hyung membuatnya menoleh. "Apa?"
"Kau, Joonmyeon," pria itu tersenyum. "Pertama aku mengenalmu, kau itu pemuda pemalu yang bahkan disuruh menari saja malunya seperti disuruh striptease." Muka Joonmyeon memerah. "Tapi kau sudah berubah banyak. Kau jadi lebih percaya diri. Lebih berwibawa. Lebih mempesona. Dan kau juga jadi lebih ceria."
"Aah," ia kehabisan kata-kata. Pada akhirnya, hanya 'terima kasih' yang keluar.
"Begini, Suho," Joonmyeon sudah terbiasa dipanggil dengan nama panggungnya. "Ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu mengenai penggantiku. Tentu saja sementara, hanya tiga bulan sampai kakiku pulih. Hanya saja... aku kurang yakin dengan respon kalian. Karena itu aku ingin bicara empat mata denganmu saja."
"Ada apa?" Setengah alis terangkat, bingung dengan ucapan si Manajer yang berbelit-belit.
"Kita sudah melejit terlalu tinggi. Kita punya karakteristik yang sangat beda dari yang lain. Aku takut tiga bulan ke depan akan sangat berpengaruh jika EXO dilepas ke tangan orang luar. Sekalipun itu dari dalam SME sendiri." Pria itu membuang muka. "Aku butuh seseorang yang sudah sangat mengenal EXO, seseorang yang sudah bersama kita sejak EXO berdiri. Aku butuh seseorang yang satu visi dengan kita, yang tidak akan mengubah arah tujuan dan kebiasaan kita. Aku ingin EXO tetap seperti sediakala hingga aku kembali nanti."
"Aku mengerti," Joonmyeon mengangguk. "Tetapi, sayangnya, orang seperti itu mana mungkin ada. Siapa lagi yang sudah bersama dengan kita sejak EXO berdiri selain Hyung sendiri dan para member?"
"Maka dari itu, Suho-tidak, Joonmyeon," mata pria itu berubah serius. "Aku meminta-"
"Permisi."
Mereka diinterupsi pintu yang dibuka dari luar oleh seorang beraksen Mandarin. Seorang pria jangkung masuk, surainya pirang platinum, disisir miring memberi kesan dewasa. Dandanannya minimal, tetapi garis rahangnya masih kokoh walau hanya disaput bedak dua-tiga kali. Suit krem lembut merengkuh badannya yang tegap, dan buket mawar merah-hijau di tangannya seolah mempertegas kesan gentleman.
"Maaf aku datang sedikit terlambat. Rekaman barusan sedikit... hectic."
Si manajer tersenyum kecil. Si leader menganga kaget.
"Tidak apa-apa, Yifan. Joonmyeon masih di sini, walau yang lainnya sudah duluan untuk sarapan. Duduklah dulu, mari kita bicara soal penawaranku."
Badan Joonmyeon menegang. Matanya seolah lekat pada sosok Wu Yifan yang masuk dan menarik kursi dari sudut ruangan, lalu duduk di sampingnya. Tapi manik hitam itu tidak meliriknya sama sekali. Seolah Joonmyeon tidak ada di sana.
Joonmyeon tidak biasanya segugup ini berada dekat Yifan. Tidak. Ia biasa berada dekat pria itu sama seperti ia dekat dengan members yang lain. Tetapi semua berubah sejak... sejak...
Sejak Yifan meninggalkan grupnya. Sejak Yifan hengkang dari EXO. Sejak terjadi insiden itu, insiden yang untungnya tidak tercium oleh media. Insiden yang membuat Joonmyeon tidak sanggup bertatapan langsung dengan Yifan lewat mata. Insiden antara ia dengan sang mantan leader subgroup Mandarin yang...
"Eh, Manager-hyung," atmosfer ruangan berubah jadi sangat tidak mengenakkan. Daripada mual, Joonmyeon akhirnya bangkit dan membungkuk sopan. "Mungkin kita bisa bicara lain kali. Nanti sore aku akan ke sini lagi saja. Silahkan lanjutkan diskusimu dengan Kri-ah, Yifan-ssi." Malu juga dia hampir menyebut nama panggung mantan rekannya. "Aku permisi dulu agar kalian bisa bicara tanpa ganggu-"
"Tidak, tidak, Suho," manajer mencegah. "Duduklah. Sesungguhnya, ini ada kaitannya denganmu."
"... apa?" Joonmyeon tidak paham. "Denganku?"
"Dengan kalian, lebih tepatnya." Insting Kris mulai keruh. Dan ia jarang salah. "Inilah yang tadi kubicarakan. Setelah mempertimbangkan semuanya, juga mendiskusikannya dengan atasan, akhirnya dicapailah kesepakatan." Tangan si manajer menepuk pundak Yifan.
Jantung Joonmyeon mencelos. Ia sadar satu detik sebelum kenyataan diucapkan.
"Mulai saat ini, Yifan yang akan menggantikanku menjadi manajer EXO."
Joonmyeon bisa merasakan lirikan Yifan. Bisa merasakan tatapan tajam itu terarah padanya. Bisa merasakan oh-halo-Joonmyeon-kita-bertemu-lagi-apa-kau-sudah-siap dari pemuda di sampingnya.
Coret keinginannya untuk melempar maknae-maknae kesayangannya ke luar jendela tadi pagi. Sekarang ia ingin melempar dirinya sendiri ke luar jendela.
.:xxx:.
"Kau pikir siapa manajer baru kita?"
"Hmm?" Baekhyun menggumam. "Entah. Mungkin SME mencarikan manajer baru."
"Tidak. Kupikir tidak." Minseok menggigit ayam. "Tidak mungkin semudah itu. Tapi... ah, entah, aku tidak tahu lagi. Memang siapa lagi kandidat manajer baru kita?"
Perdebatan ramai tanpa titik temu. Sehun mengaduk jusnya. "Hei, Kyungsoo-hyung."
"Hmm?"
"Kita sudah habis tiga porsi kuli, tapi kenapa Suho-hyung belum bergabung dengan kita, ya?" Sehun mulai panik mukanya. "Lalu siapa yang bayar tagihan makan kita?"
Tatapan bulat Kyungsoo seolah menyatakan keinginan si vocal leader untuk menampar dongsaengnya.
.:xxx:.
Dua pria tampan itu berlari-larian di lorong rumah sakit. Untung masih agak pagi, jadi kemungkinan tertangkap basah oleh fans kecil sekali.
Yifan meraih tangan Joonmyeon, menahan pria itu menapakkan kaki keluar rumah sakit.
Si leader menghela napas.
"Lepas."
Sebenarnya Joonmyeon sudah bertekad puasa bicara. Sebenarnya ia sudah berjanji dalam hati untuk tidak bicara pada pria ini lagi.
Yang tidak ia ketahui, rupanya takdir mempertemukan mereka secepat ini.
Setahun sejak Yifan memutuskan untuk keluar dari grupnya. Setahun sejak peristiwa itu terjadi.
"Yifan, kau akan pergi?"
"Tunggu," Yifan menahannya, mencengkeram tangannya. "Tunggu sebentar."
Joonmyeon jengah.
"Aku harus pergi. Bisnis ini busuk, Suho."
"Kau mau meninggalkanku?"
"Lepaskan tanganku."
"Tidak akan."
Sentakan tangan Joonmyeon tak mampu mengalahkan keteguhan pria berdarah blasteran.
"Suho, kau mabuk. Harusnya kuperingatkan Tao untuk tidak membawa bir-"
"Sentuh aku, Kris."
"Yifan!"
"Dengar," Yifan menatapnya dalam. "kita perlu bicara."
"Apa?"
"Sentuh aku. Tandai aku. Apapun. Jadikan aku milikmu."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!"
"Ada." Yifan tidak berkedip. "Banyak."
"Tidak. Kau bahkan tidak dalam kondisi sadar sekarang."
"Aku tidak akan mungkin berani berkata begini kalau aku tengah sadar, bodoh."
Joonmyeon menggigit bibir. Mulai banyak orang menatap mereka heran.
"Maaf," seorang satpam mendekati mereka. "Apa ada masalah?"
"Suho, turun dari pangkuanku."
"Kenapa? Kau takut tegang?"
Joonmyeon membuka mulut, tetapi masih kalah cepat. Yifan menyahut, "Tidak, maaf. Kami sudah mau pergi."
Si satpam mengangguk.
"Ini bisa jadi skandal besar."
"Kalau begitu, jangan biarkan media tahu."
"Ayo."
Joonmyeon terseret. Menuju mobil hitam yang terparkir itu. Mobil Yifan.
"Masuk."
"Akan sangat sulit. Ayolah, turun. Tao bisa setiap saat masuk ke kamarku."
"Kau takut dia melihat kita?"
Joonmyeon tidak bergeming.
"Kubilang masuk."
"Suho, ayolah. Ini salah. Kita sama-sama laki-laki. Dan kita sama-sama leader. Tidak sepantasnya-"
"Aku tidak peduli. Kumohon, Kris."
"Tidak. Aku akan pulang sendiri. Naik bis atau apa."
"Kau gila? Kau mau mati dikeroyok fans di tengah jalan?"
"Daripada aku mati di dalam mobil bersamamu?"
"Mohon apa?"
"Kumohon, sebelum kau keluar dan meninggalkanku. Aku punya permohonan."
Yifan terdiam.
"Hei," bisiknya. "Kau tahu, kan, aku takkan menyakitimu."
Begitu lembut ia mengatakannya.
Tetapi Joonmyeon takkan tertipu lagi.
"Baiklah. Katakan."
"Hentikan, Yifan. Aku sudah berjanji takkan kontak denganmu lagi." Tatapan tajam tidak selaras dengan paras malaikatnya. "Sekalipun sekarang kau manajer grup band kami. Kau pikir aku masih sudi bicara denganmu setelah semua itu?"
Di lahan parkir rumah sakit itulah, Yifan kelepasan. Dirinya sudah menahan geram. Tangan mungil itu ia tarik, tengkuk yang ditutup helai hitam ditahan, rahang tegas berkulit pucat dicengkeram.
Dan bibir mereka bersahutan.
"Cium aku."
.
.
.
[TBC]