Sometimes home is not four walls. Sometimes it is two eyes and a heartbeat.


a/n: italic dialogues are flashback by Sehun

lyrics are translated from All Too Well by Taylor Swift


Lu Han bangun dalam keadaan yang sangat kacau.

Sangat, sangat kacau.

Ia bahkan tak mau repot-repot mematikan alarm yang berbunyi nyaring di kamar hotel yang ia tempati, membiarkannya berdering bisik memecah keheningan kamar. Lu Han menyembunyikan seluruh tubuhnya pada balutan selimut putih hotel, melindunginya dari sinar matahari yang bersinar masuk melalui celah tirai di jendela.

Namun belum juga ia kembali untuk tertidur lelap, getar dari ponsel yang ia letakkan tepat di samping kepalanya membuatnya membuka mata.

Dan kalau ia boleh jujur, ia berharap tebakannya atas siapa yang mengiriminya pesan adalah salah.

Namun, kali ini ia harus mendesah kecewa, karena jelas-jelas layar ponselnya menampakkan sebuah pesan dari orang yang kini belum siap ia temui—

Lu Han, bisakah kita bicara? Jam 9 nanti tolong temui aku di pinggir pantai tempat tadi malam kita berada.

—Henry.


Lu Han beberapa kali melihat pantulan dirinya pada cermin, berharap tak terlihat terlalu berantakan dan diterima. Ia tahu kantung mata yang tercetak jelas di wajahnya, wajahnya yang memucat dan rambutnya yang berantakan—walau sudah ia sisir, yeah—membuatnya terlihat seperti gelandangan. Pantas saja, ia hanya tidur selama dua jam karena memikirkan beberapa hal. Dan beberapa hal itu adalah Henry dan Sehun.

Maka tepat pada pukul sembilan kurang lima belas menit, ia mengecek kembali penampilannya sambil mendesah putus asa, kemudian pergi dari kamarnya.

Paris di pagi hari memang berbeda dengan Seoul ataupun Bei—ah, bahkan ketika menyebutkan dua kota tersebut, pikirannya kembali dipenuhi dengan dramanya dengan Sehun dan Henry. Ia merutuk kesal, menendang pasir putih pantai di bawah alas kakinya. Sebenarnya jika ia boleh jujur, ia tak tahu apa yang akan ia katakan pada Henry ketika ia berhadapan dengannya nanti. Lu Han menggigit bibirnya, memandang lurus ke depan kearah ombak yang bergulung hingga membentur pasir di sekitar bibir pantai. Namun, ia juga tahu kalau ia tak bisa selamanya menghindar baik dari Henry atau Sehun. Ia memiliki jadwal dengan Henry dan ia tak mungkin tak mengikuti Gladi Resik bersamanya, dan ia juga telah berjanji pada Sehun agar berbicara setelah ia selesai tampil, yang mana tak mungkin jika ia menghilang begitu saja darinya.

Dan pada akhirnya ketika ia telah berdiri tiga meter dari Henry, Lu Han kembali menghela napas panjang.

Ia berjalan dengan pelan, memandang punggung Henry dan mengamati sosoknya yang kini sedang duduk di atas pasir. Tangannya terlihat melakukan gerakan seperti sedang bermain dengan kumpulan pasir di bawahnya.

"Hai." Lu Han membuka suara, menjatuhkan dirinya untuk duduk di samping kiri Henry.

Henry menoleh kaget, menyadari kehadiran Lu Han yang tiba-tiba sebelum akhirnya tersenyum dan menjatuhkan pasir yang ia genggam dan menepuk-nepuk tangannya.

"Hai, Lu Han," katanya singkat.

Lu Han tersenyum menatap Henry, kemudian meluruskan pandangannya. Matanya menyipit ketika matahari di depannya bersinar cerah, menghalangi pandangannya pada air laut di depan sana. Ada perasaan kikuk namun menghanyutkan saat ia berada di sana. Di antara pasir putih dan di samping Henry. Pikirannya melayang, tentang bagaimana sosok di sampingnya itu adalah sosok yang pernah ia kenal di masa lalu; seseorang yang pernah bertepuk tangan dan menungguinya sampai ia selesai berlatih; seseorang yang matanya masih bersinar terang bersama sinarnya di atas panggung; seseorang yang—sampai kapanpun, takkan pernah bisa ia anggap lebih dari sekadar masa lalu.

"Lu Han..."

Lu Han tersenyum. Ternyata, kalau ia lebih teliti, ia bisa mendengarkan nada si kecil Henry di masa lalu dalam tiap suku kata yang terlontar dari bibir lelaki di sampingnya. Dan ya—Lu Han tahu, Henry yang saat ini sedang memandanginya adalah Henry di masa lalu yang ia kenal.

"Kenapa kau berhenti bermain piano?"

Kenapa, Lu Han bertanya pada hatinya sendiri. Kenapa aku berhenti?

"Kenapa kau berhenti menjadi bintang di atas nada-nada itu?"

Lu Han memeluk lututnya hingga dagunya menyentuh lutut. Pandangannya tertuju pada kerikil-kerikil kecil di atas pasir, dan dari ujung matanya ia menangkap Henry yang sedang menatapnya. Lu Han tak berani mengangkat kepalanya, namun beberapa detik kemudian ia bersuara—

"Karena aku tahu, Henry, bahwa menjadi bintang bukanlah segalanya."

Henry mengernyit, menatap Lu Han sangsi. "Apa maksudmu?"

Lu Han masih tersenyum, dan matanya bersinar diterpa cahaya langit yang cerah di pagi hari. Tangannya ia julurkan untuk membuat pola melingkar di atas pasir, kemudian pola garis tak menentu dan pola-pola aneh lainnya.

"Pernahkah pada masa lalu kubilang padamu mengapa aku bermain piano?"

Henry menggeleng ketika Lu Han menoleh kearahnya, kemudian ia melanjutkan ceritanya. "Karena Baba-ku adalah pianis. Baba Lu adalah pianis yang hebat, dan aku sangat menyayanginya. Namun entah mengapa, Mama memutuskan untuk berpisah darinya dan menikah dengan lelaki lain. Jika kau pernah melihatku dijemput oleh lelaki tua yang kauanggap Baba-ku, dia bukanlah ayah kandungku. Dia adalah ayah tiriku."

Lu Han menoleh kearah Henry, melihat kerutan dalam di keningnya.

"Setelah mereka berpisah, aku tinggal dengan Mama dan Baba tiriku. Setiap bulan sekali, Baba Lu akan menjemputku untuk tinggal bersama selama akhir pekan. Baba tiriku adalah orang yang baik, namun ia sepertinya hanya melihatku sebagai karbon kopi dari ayahku sendiri, dan mungkin itulah alasan mengapa ia selalu menekanku untuk menjadi yang terbaik. Jika di sekolah aku tak mendapatkan nilai A atau aku tak memenangkan penghargaan dalam piano, ia akan menghukumku dan tak mengizinkanku bertemu dengan Baba Lu. Kemudian aku akan selalu berusaha untuk bersinar di semua bidang. Aku akan selalu memenangkan semua piala dan menjadi juara pertama. Karena pada saat itu, aku sangat mencintai Baba Lu.

Aku selalu berusaha untuk memenangkan semua kejuaraan dan menjadi bintang kelas. Namun pada suatu hari, orangtuaku berkata bahwa kami harus pindah keluar kota karena Baba tiriku dipindahtugaskan. Pada saat itu, aku berhenti bermain piano. Aku kehilangan alasanku memenangkan piala. Aku tak memiliki tujuan untuk memainkan nada."

Lu Han memejamkan mata; sebuah senyum tak lekas hilang dari bibirnya—dan dalam pikirannya ia mencetak sebuah wajah: ayahnya tercinta. Ia tahu itu semua adalah masa lalu—ayahnya kandung kini telah berkeluarga, memiliki dua anak yang menggemaskan. Ibu dan ayah tirinya berada di Beijing, sehat dan masih berkecukupan seperti dulu. Lu Han tak pernah lupa menghubungi ibunya, menanyakan kabar dan bertukar cerita—namun hanya itu saja. Hanya itu saja.

Tak pernah ada keinginan darinya untuk pulang, dan ibunya tak pernah repot-repot membujuknya untuk kembali.

Karena Lu Han tahu, kehidupan orang tuanya sudah lebih dari mapan. Dan ia, perlahan-lahan, akan terlupakan.

Lu Han menoleh untuk memandang Henry yang menatapnya intens, membuat pemuda Lu tersebut merasa tak nyaman.

"Lu Han."

Lu Han melirik Henry, yang kini menurunkan kembali pandangannya pada pasir di bawah kakinya.

"Pernahkah—pernahkah kau berpikir akan jadi apa hidupmu jika kau terus bermain piano? Akan jadi apa pertemuan kita jika kau tetap menjadi pianis?"

Lu Han menghela napas. Ia, jujur saja, juga memikirkan hal seperti itu tadi malam. Bagaimana kehidupannya akan berbeda jika saja ia tak berhenti bermain; bagaimana takdir takkan seperti ini bila saja ia bermain sedikit lebih lama, bertahan lebih lama, berusaha lebih keras...

Namun...

"Pernahkah kau berpikir, setelah mengetahui bahwa aku adalah orang di masa lalumu, akan jadi apa kita jika aku menemukanmu lebih cepat?"

Lu Han mengulum ludahnya sendiri, mengetahui dengan pasti akan apa yang terjadi bilamana hal tersebut adalah kisahnya.

"Bukankah aku akan menemukanmu lebih cepat di pertunjukan musikmu yang kesekian kali, dan kita akan bertemu di sana dan aku akan menghampirimu, memperkenalkan diri sebagai masa lalumu, lalu kau akan mengingatku dengan cepat. Lalu kita akan memulai sebuah kisah dari awal. Dan—aku akan tetap jatuh cinta padamu seperti ini, seperti biasanya. Dan mungkin, kau akan merasakan hal yang sama. Lalu, takdir takkan seperti ini, Lu Han. Takdir akan jadi milik kita berdua, bukan milikmu dengan orang lain. Pernahkah... kau berpikir seperti itu?"

Lu Han tahu ia tak seharusnya menangis, tapi air mata jatuh dari keping gandanya.

Ia tahu—bahwa mungkin takdirnya takkan semenyakitkan ini jika ia bertemu dengan orang lain—Henry, lebih tepatnya—lebih cepat dari pada ia bertemu dengan Sehun.

"Lalu kita akan berjodoh jika aku menemukanmu lebih cepat, Lu Han."

Tepian pantai mendekat kearah mereka dengan gelombang yang menghempas, tepat beberapa meter dari kaki mereka namun keduanya tak peduli. Matahari yang semakin meninggi membuat kulit mereka sakit, namun mereka tak peduli.

"Dan kau akan jadi milikku, bukan milik Sehun."

"Henry..."

"Tapi, Lu Han..." Henry tersenyum, namun ada kegetiran dalam lengkungan bibir yang ia tunjukkan. "Takdir memang tak pernah mengizinkan kita untuk berjodoh."

Lu Han mengangkat kepalanya, memandang Henry dengan tatapan terkejut.

"Jika memang kita ditakdirkan untuk bersama, tak peduli selama apapun aku menemukanmu, berapa tahun lamanya aku perlu untuk menghampirimu, kau akan tetap mencintaiku dan jadi milikku. Tak peduli seaneh apapun cara kita bertemu, jika kau ditakdirkan untukku, kau akan tetap mencintaiku—namun kita tidak saling mencintai. Aku mencintaimu, ya, sampai sekarangpun aku masih mencintaimu. Namun kau tak mencintaiku, aku tahu itu.

Kau mencintai orang lain, dan hal tersebut takkan bisa menipu takdir. Tak peduli secepat apapun aku menemukanmu—jika kita tak bertakdir, aku takkan pernah bisa memilikimu. Sekarang, lima tahun yang lalu, atau bahkan di masa lalu ketika kau belum terlanjur pergi dari hadapanku—jika kau tak ditakdirkan untukku, kita takkan pernah jadi satu."

Lu Han menghapus air matanya, kemudian menatap Henry dengan tegas. "Henry, aku—"

"Aku sudah berusaha, Lu Han. Aku sudah berusaha mencarimu, dan akhirnya disinilah aku menemukanmu. Aku sudah berusaha mendekatimu, memeluk hatimu namun ternyata hal yang kucari telah menjadi milik orang lain. Aku sudah berusaha, Lu Han, namun aku tahu aku takkan bisa mendapatkannya.

Kemudian aku mengetahui cerita antaramu dan Sehun. Aku tahu kau terluka, aku tahu kau mencintainya dan rasa cintamu tercabik oleh pengkhianatan. Namun kau tahu apa yang kupikirkan?"

Henry menatap Lu Han dan melihatnya menggelengkan kepalanya singkat.

"Kau harus memberinya kesempatan."

Lu Han memandang Henry dengan tatapan terkejut, namun belum juga ia menyuarakan kalimatnya, Henry lebih dulu telah kembali berbicara.

"Kau tahu apa yang lebih hebat dari takdir?—Kesempatan kedua. Kesempatan selalu membuka jalan mengubah takdir. Aku, diberi kesempatan untuk mencarimu, untuk mengubah takdir cintaku. Namun lagi-lagi, aku kehilanganmu di kesempatan kedua ini. Jadi aku paham, jika kita memang tak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aku telah kehilanganmu pada takdir pertama saat kau pergi di masa lalu, dan akupun kehilanganmu di tangan orang lain pada kesempatan keduaku.

Kau, Lu Han, mendapatkan cintamu di takdir pertama—Sehun. Mungkin pengkhianatan menghancurkan cintamu, namun berilah ia kesempatan kedua. Karena jika takdir memang berada di pihak kalian, aku yakin kalian akan kembali bertemu di kesempatan kedua."

"Lalu bagaimana dengan kesempatan ketiga? Keempat? Kelima? Keenam? Aku telah putus dengan Sehun, dan itu berarti kau memiliki kesempatan ketiga untuk mendapatkanku, kan? Mengapa kau tak berusaha di kesempatan ketiga, namun malam menasihatiku untuk kembali pada Sehun?"

Henry tersenyum menatap Lu Han, tangannya terangkat untuk menyibak rambut yang menutupi mata indah Lu Han dengan lembut—sangat lembut.

"Karena aku tahu, jika kau hanya dan hanya akan pernah mencintai seseorang—dan orang itu adalah Sehun."

Hati Lu Han sakit melihat gurat kecewa sekaligus putus asa di dalam keping Henry, dan Lu Han tahu bahwa ia adalah penyebabnya.

"Dan bagiku, selama bintang yang kukagumi bersinar—bahkan jika bukan berada di langit di atas kepalaku namun berada di galaksi lain, aku akan tetap ikut mendukungnya bersinar."


Malamnya, Lu Han menghadiri acara gladi resik dengan perasaan yang teramat ringan. Awalnya ia mengira hubungannya dengan Henry akan menjadi kikuk dan Henry akan berusaha untuk mengonfrontasinya—namun pikirannya salah besar. Adapun yang dilakukan Henry, juga membuat Lu Han kaget karena... ia malah menyarankan Lu Han untuk memberi kesempatan kedua pada Sehun.

Memaafkan Sehun adalah hal yang bisa ia pertimbangkan, namun memberinya kesempatan kedua adalah hal lain.

Namun hari ini, ia hanya akan memfokuskan dirinya pada gladi resik acara yang akan dilaksanakan besok malam, karena setidaknya, jika ia tak bisa membalas rasa Henry, ia harus bisa membalasnya dengan hal ini.

Lu Han duduk di belakang tirai yang menutupi panggung, mendengarkan suara yang mengalun lembut dari seorang penyanyi terkenal Korea—yang ia sangatlah bangga bisa sepanggung dengannya dalam acara ini—sambil memejamkan mata. Walaupun hanya sekadar gladi resik, namun Lu Han sangat memuji kegigihan para artis yang menyempatkan waktu untuk menyempurnakan penampilan mereka untuk besok malam.

Baru saja ia hendak beranjak untuk mengambil minuman, sebuah tepukan ia rasakan pada pundaknya. Ia menoleh, tersenyum ketika mendapati sosok Henry yang berdiri di belakangnya.

"Kukira kau sedang berada di panggung untuk bersiap latihan," kata Lu Han sambil mengernyitkan dahinya.

Henry menggeleng, kemudian duduk di samping Lu Han. "Aku adalah pemeran utamanya, jadi—santai sebentar boleh, kan?"

Lu Han tertawa, namun pada akhirnya mengangguk juga.

"Kau sudah selesai berlatih?" tanya Henry, yang dijawab Lu Han dengan satu anggukan kecil.

Ada jeda sementara di antara keduanya, dan Lu Han tak bisa menemukan topik yang cocok untuk mengawali pembicaraan karena jujur saja, ia masih merasa kikuk. Namun, beberapa detik terlewati dan akhirnya Henry mulai buka suara.

"Aku melihat Sehun di area parkir. Kau tak mengizinkannya masuk?"

Lu Han tersenyum lemah, mengingat kembali pesan Sehun yang mengatakan bahwa ia akan mampir sebentar ke arena karena ada hal yang ingin ia bicarakan. Lu Han memang sengaja tak membalas pesan dan tak memiliki keinginan untuk menemuinya karena jujur, ia belum bisa berpikir mengenai hal yang harus ia ambil terkait dengan masalahnya dengan Sehun.

Pemuda Lu tersebut tersenyum, mengamati tirai hitam yang membatasi arena panggung dengan tempat di mana ia duduk dengan Henry.

"Aku belum bisa menemuinya," katanya final.

Henry mengangguk, menghela napas dan mencengkeram pundak Lu Han lembut.

"Aku tak ingin terlalu jauh berkomentar, tapi kuharap kau takkan memilih pilihan yang akan menyakiti baik dia maupun dirimu sendiri."

Lu Han menoleh, menatap Henry yang mengiriminya sebuah senyum tulus sebelum akhirnya beranjak dari sana, berteriak pada semua kru untuk mempersiapkan piano yang akan ia pakai untuk berlatih.


Sehari setelahnya, atau lebih tepatnya hari H konser Henry berlangsung di sebuah hotel di pinggir salah satu pantai di sana—Paris Plages, semua persiapan konser telah usai dan para bintang yang akan mengisi acara telah siap dengan penampilan mereka. Di acara tersebut, beberapa bintang ternama dari Asia akan hadir—yang semuanya adalah rekan dari Henry sendiri. Tujuh bintang acara masing-masing akan melakukan kolaborasi dan menyanyikan total enam lagu, sementara Henry sebagai pemilik acara ini sendiri akan membawakan satu lagu untuk dinyanyikan dan ia akan membawakan dua buah lagu dengan iringan pianonya. Satu lagu akan disimpan di akhir dan akan ia bawakan sebagai penutup, yang mana hanya dia dan Lu Han yang tahu lagu apa itu. Lu Han sendiri diberikan kesempatan untuk membawakan satu lagu berbahasa Inggris milik Taylor Swift yang ia pilih sendiri.

Pukul empat sore, ketika Lu Han telah sampai di arena konser, ia segera berbaur dengan panitia dan pengisi acara lainnya. Rencananya, panitia akan mengatur dan menyebutkan tatanan acara selama satu jam dan para pengisi acara diperbolehkan melakukan check sound dan persiapan secara cepat.

Lu Han langsung bergerak cepat mencari Jung Ilhon, gitaris yang akan mengiringinya menyanyi. Ia melihat Ilhon sedang mempersiapkan gitar listriknya di belakang panggung, dekat dengan ruang ganti pakaian. Pemuda China tersebut langsung berlari kearahnya dan mereka melakukan pengecekan suara, berlatih selama lima atau sepuluh menit, dan ketika suara Henry menggema melalui mikrofon, Lu Han menghentikan latihannya.

"Karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan karena pukul tujuh kita sudah harus bersiap-siap, maka semua pengisi acara diharapkan untuk segera pergi ke ruang ganti dan menemui stylist artis mereka masing-masing, terima kasih."

Dengan titah Henry tersebut, semua artis segera bubar dan pergi untuk berganti pakaian dan menata make up serta rambut mereka. Lu Han pun langsung ikut beranjak dari sana dan pergi ke ruang ganti para artis di dekat hotel. Di sana ia bertemu dengan Nona Park, stylist yang bertugas untuk menata penampilannya.

Khusus untuk acara ini Lu Han dipilihkan untuk memakai tuksedo berwarna hitam kelam, dan ketika ia selesai berganti pakaian, Nona Park langsung menata rambutnya menjadi tatanan rapi yang di sisir ke belakang. Lu Han merengut ketika Nona Park menata rambutnya seperti itu karena jujur, ia lebih suka rambutnya tak di sisir rapi formal seperti itu.

Namun ketika ia selesai menggerutu, pantulan Henry di cermin di depannya yang sedang tertawa sambil menggelengkan kepalanya membuatnya tutup mulut.

Dari sudut matanya Lu Han melihat Henry mendekat ke arahnya, dan sedetik kemudian ia tiba-tiba saja sudah duduk di salah satu kursi di samping kanannya. Matanya terpancang memerhatikan sosok Lu Han yang telah rapi lengkap dengan tatanan rambut yang sebenarnya tak ia sukai itu.

Nona Park, dengan ajaib, menghilang begitu saja—meninggalkan Henry dan Lu Han sendirian.

"Kau terlihat lebih—dewasa."

Lu Han mendengus, mencoba merapikan helai rambutnya yang turun menutupi telinganya. "Tidak cocok, ya?"

"Cocok, kok."

"Tapi aku—tak terlalu suka."

Henry mengernyit mendengar jawaban tersebut, kemudian bertanya, "Kukira kau malah tak suka terlihat lebih muda dari usiamu?"

Lu Han tertawa, kemudian beralih untuk menatap Henry dan berkata, "Itu karena Sehun suka—"

"..."

"—Maaf."

Henry menatap Lu Han dengan tatapan sendu, dan sebuah senyum kecil tercipta di bibirnya. Pelan, ia mengangguk dan berkata, "Untuk apa kau meminta maaf? Masih menyimpan rasa pada seseorang bukanlah suatu hal yang buruk."

Lu Han tersenyum kikuk dan menunduk, menyibukkan dirinya dengan membenarkan tuksedonya yang agak kusut.

Di sampingnya, Henry tiba-tiba bangkit dan menatap Lu Han dalam diam seraya berujar, "Oh Sehun ada di samping panggung. Kau tak mau menyapanya?"

Lu Han mengangkat kepalanya memandang Henry yang menatapnya sambil mengedip dan tertawa kecil, sebelum akhirnya menepuk pundaknya dan berlalu dari hadapannya. Pandangan Lu Han masih mengikuti langkah Henry yang akhirnya mempercepat jalannya dan kemudian—menghilang di antara kerumunan para panitia.

Lu Han mendesah kecil, menoleh untuk mengamati pantulan dirinya pada cermin di depannya dan kemudian memutuskan untuk bangkit dan beranjak pergi.

Di ujung ruangan, Henry menatapi kepergian Lu Han dalam diam. Sebuah senyum terukir di bibirnya, walau ia tak bisa mengusir rasa pahit yang mencekik tenggorokannya dan sakit di dadanya, setidaknya ia mendapatkan jawaban atas penantiannya.

Lu Han tidak akan pernah menjadi miliknya.


Lu Han berjalan menyusuri belakang panggung menuju ke samping panggung, di mana ia bisa melihat beberapa panitia telah selesai menata semua keperluan konser. Ia langsung berlari mencari sosok Sehun, hingga ketika ia mengelilingi venue, akhirnya ia menemukan sosok Sehun yang berdiri di samping pot bunga raksasa yang menjadi penghias arena penonton.

Lu Han menarik napas panjang, mengeluarkannya, dan kemudian berjalan menghampiri sosoknya. Sehun malam itu nampak seperti biasa—memesona dan tampan. Ia datang dengan setelan tuksedo hitam kasual dan tatanan rambut yang membuatnya terlihat elegan sekaligus dewasa. Lu Han tersenyum kecil, mengingat bagaimana dulu Sehun sangat benci terlihat seperti itu karena—"Aku akan terlihat sangat tua!"

Beberapa detik kemudian, Lu Han telah berdiri tepat di samping kanan Sehun, membuat sang pemuda Oh terkejut dan membelalakkan matanya. Lu Han tersenyum tak nyaman, meminta maaf, yang dijawab Sehun dengan tidak apa-apa.

Tuhan, mereka berdua sangatlah kikuk.

Beberapa detik mereka lewati dalam keheningan, dan Lu Han langsung memalingkan wajahnya ketika Sehun menatapnya intens, seolah sedang meneliti wajah dan penampilannya dalam diam. Ia berdehem kecil, membuat Sehun mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sebuah semburat merah tercipta di kedua pipi keduanya, dan Lu Han merutuk dalam hati betapa menyedihkannya mereka berdua.

Lu Han lupa bahwa mereka adalah masa lalu, yang pernah melukis kenangan indah dan akhirnya berpisah dengan alasan klasik.

Namun saat ini ia tak ingin memikirkan hal itu, ia hanya ingin meluruskan semuanya. Karena ia tahu, apa yang Henry katakan memang benar adan—

"Kau—terlihat menakjubkan."

Lu Han menoleh, memandang Sehun yang menatapnya malu-malu.

"Uh—kau...juga."

Sehun tersenyum lebar, kemudian menatap Lu Han dengan tatapan lembut dan sendu. "Kau lebih terlihat dewasa dan bersinar."

Pemuda asal China di depannya tertawa, kemudian berkata, "Aku tidak terlalu suka tatanan rambutnya."

"Hmm. Di masa lalu kau memang tak suka tatanan rambut seperti itu, dan malah suka apple hair. Apple hair Lu Han."

Mata Lu Han bersinar menatap Sehun saat ia mengatakan hal itu. Sebagian kecil di bilik hatinya tersentuh dan menghangat mendengar Sehun berkata demikian, seolah ia tak pernah membuang satupun ingatan tentang mereka berdua.

"Masa lalu, ya?" gumam Lu Han.

Sebuah gurat senyum di wajah Sehun menghilang, kemudian ia menunduk sambil berkata—"Maaf."

Lu Han buru-buru menggeleng dan berkata, "Tidak apa. Aku hanya—agak kaget mendengar kau mengingat hal-hal kecil seperti itu."

"Tidak ada hal yang kecil ketika itu menyangkut tentangmu."

Lu Han ingin tertawa mendengarnya, mengingat bagaimana baru saja kemarin Sehun memutuskannya tanpa mengerti perasaannya, dan mungkin, mungkin saja, hal seperti itulah hal kecil bagi Sehun.

"Uh—tapi... maaf aku tak membawa bunga. Aku tak tahu harus membawa apa. Aku tahu kau suka cokelat, tapi cokelat di sini kebanyakan dark chocolate dan kau pasti membencinya. Aku juga tahu kau benci kalau diberi bunga karena kau pikir itu hanya unt—"

"Sehun..."

"...Y-ya?"

Lu Han tersenyum. "Tak apa."

Sehun mendesah lega, kemudian mengangguk.

"Oh, ya. Aku harus bersiap-siap sekarang," kata Lu Han sambil menilik jam yang melingkar di tangan kirinya. "Kita bisa berbicara setelah aku selesai tampil, apakah kau tak keberatan?"

Sehun buru-buru menggeleng, dan hal tersebut membuat Lu Han tertawa.

"Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang. Temui aku di sini setelah aku selesai tampil, oke?"

Sehun tak bisa menjawab apapun saat itu, dan ia hanya bisa mengangguk.

Ketika Lu Han beranjak dari hadapannya dan berkata sampai jumpa hingga akhirnya berjalan meninggalkannya, Sehun masih mematung di tempatnya tanpa mengatakan sepatah kata pun karena—

Ini kali pertama, sejak beberapa bulan yang nampaknya seperti seabad, Sehun mendengar tawa Lu Han, melihat senyumnya, merasakan eksistensinya, mencium aroma tubuhnya, dan—Sehun merasa kembali hidup.

"Fighting..." Kata tersebut terucap lirih, mengabur bersama angin pantai yang berhembus pelan di sekitarnya. Ia menatap punggung Lu Han yang semakin menjauh—jauh, jauh, jauh.

"Semangat, Lu Han," ulangnya lirih, dengan satu senyum yang terukir di bibir tipisnya.


Tepat pukul tujuh, beberapa penonton dan tamu undangan telah memenuhi arena konser, dan orang-orang telah duduk di kursi yang di sediakan, tepat di depan panggung utama acara. Sehun melihat betapa simpel namun elegan panggung dan tema acara ini. Jantungnya menghangat melihat layar yang menampilkan video para pengisi acara yang akan tampil pada hari itu, dan ketika ia melihat foto Lu Han sedang tersenyum, jantung Sehun melewatkan satu kali detakan.

Ia tak paham mengapa butuh waktu lama baginya untuk sadar.

Ia tak tahu mengapa ia harus kehilangan Lu Han dulu sehingga ia baru sadar jika ia memang menginginkan Lu Han dalam kehidupannya.

Pukul tujuh lebih lima belas, semua penonton telah duduk di kursi masing-masing, dan beberapa saat kemudian, pembawa acara telah berdiri di atas panggung, memulai konser pada hari itu.

Sehun menikmati konser tersebut, menunggu-nunggu kapan tiba saatnya bagi Lu Han untuk tampil karena ia tahu, di samping bakatnya dalam bidang seni lukis yang sangat menakjubkan, Lu Han memiliki suara emas. Ia kerap meminta Lu Han menyanyi untuknya karena sungguh, suaranya begitu lembut dan menentramkan. Ketika ia menyanyi lagu Mandarin, Sehun dengan cepat bisa hanyut ke dalamnya walaupun ia tak mengerti artinya.

Sehun terlalu larut dalam kenangannya bersama Lu Han di masa lalu hingga ia telat menyadari bahwa pembawa acara di depan sana tengah menyebut nama Lu Han sebagai penyanyi berikutnya yang akan menghibur para penonton.

Sehun mendongak, melebarkan matanya ketika sosok pemuda yang ia kenal betul memasuki panggung acara. Di belakangnya, sosok lelaki berkacamata yang membawa gitar mengikuti Lu Han hingga mereka berdua duduk di kursi yang telah di sediakan.

Sehun menegakkan duduknya, menatap Lu Han dengan intens dan ketika petikan gitar terdengar oleh kedua telinganya, hatinya berdesir hangat.

Lu Han memejamkan matanya, menunggu ritme musik sebelum akhirnya ia hanyut dalam nyanyiannya sendiri.

Dan Sehun, terpaku dalam tiap detik nyanyian Lu Han karena—

"Aku berjalan melewati pintu denganmu, udaranya sangat dingin..."

"..."

"Namun sesuatu tentangnya terasa seperti rumah..."


"Aku berjalan melewati pintu denganmu, udaranya sangat dingin... Namun sesuatu tentangnya terasa seperti rumah..."

"Lu Han... kau tak merasa kedinginan?"

"Tidak ketika ada kau."

"Namun lain kali kau harus memakai banyak pakaian."

"Oke."

"Kau itu terlalu pendek. Makan yang banyak. Perhatikan porsi dan pola makanmu. Kau juga semakin jelek dengan kantung matamu itu. Tidurlah yang cukup dan batasi pekerjaan melukismu atau aku akan malu punya kekasih jelek sepertimu."

"Got it, Sehun."

...

"Dan aku tahu cinta itu telah lama hilang, dan aku tahu sihir itu tak lagi ada di sini..."

"Aku juga merindukanmu... Jung Soojung."

"Kau harus memilih salah satu, Sehun. Aku—atau Lu Han."

"Soojung, jangan seperti itu..."

"Lu Han-ah..."

"Aku merindukanmu. Aku merindukanmu, Sehun. Kenapa kau melakukan hal ini padaku?"

"Maaf jika aku hanya bisa menyakitimu—maaf jika cerita kita mungkin hanya sampai di sini."

...

"Karena di sinilah kita, kembali ke sebuah jalan kecil di kota... Kau hampir menerobos lampu merah karena kau terlalu lama memandangku... Angin yang menyibak rambutku, aku ada di sana, aku sangat mengingatnya..."

"Sehun-ah, berhenti memandangiku dan perhatikan jalannya."

"..."

"Sehun-ah, sebentar lagi lampu hijau."

"..."

"...hun."

"..."

"PIIIIM PIIM PIIIIM..."

"Oh, shit!"

"Makanya, berhenti memandangiku terus."

"Um—can't help."

...

"Kau menceritakan padaku tentang masa lalumu, berpikir bahwa masa depanmu adalah aku..."

"Dulu aku memang orang yang berengsek, tapi setidaknya jika kau ada di sini, aku tahu aku akan baik-baik saja."

"Kau berkata seperti kita akan menua bersama saja, Sehun."

"Kau tak mau begitu, ya?"

"Tentu saja mau!"

"Mm—hei, omong-omong, apa yang kauinginkan nanti saat hubungan kita genap setahun?"

"Aku tidak ingin apapun. Aku hanya ingin tahun-tahun berikutnya kita akan terus bersama. Apa kau mau memberikannya untukku?"

...

"Dan kita ada di sini, di tengah malam... Kita berdansa di dapur di bawah sinar kulkas..."

"Mari berdansa."

"Jangan sok romantis."

"Mumpung musiknya kesukaanmu, kan? Instrumennya bagus. Karya siapa? Tcha—tchii..."

"Tchaikovsky."

"Mm, pokoknya itulah. Ayo berdansa."

"Tapi di sini gelap."

"...Sudah tidak gelap, kan?"

"...Sehun, kau akan membuat tagihan listriknya bertambah karena kau membuka kulkas hanya untuk lampunya."

...

"Mungkin kita hilang dalam kesalahpahaman, mungkin aku meminta terlalu banyak... Atau mungkin kisah kita adalah sebuah hal yang menakjubkan hingga kau merusaknya..."

"Dan tahukah kau betapa kau telah menyakiti hatiku? Padahal, kupikir cintamu tak hanya semu."

"Ternyata, kau malah memilih untuk pergi ke Paris, tempat di mana perempuan di masa lalumu berada. Apa aku tak cukup bagimu? Apa aku tak menawarkan masa depan yang menjanjikan?"

"Apa aku tak layak kaupertahankan?"

"Sebelumnya kita baik-baik saja, bukan?"

"Sehun-ah... apa aku terlalu banyak meminta?"

...

"Dan kau menghubungiku lagi hanya untuk mengkhianatiku seperti khianatmu pada janji..."

"Lu Han... Apakah kau akan ke Paris? Jika iya, maukah kau bertemu denganku? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dan ini tentang kita. Aku—aku tak bisa mengatakannya lewat pesan atau telepon, karena aku ingin meluruskan semuanya saat kita bertemu langsung. Jadi, kumohon. Bisakah kita bertemu saat kau ada di sini? Hubungi aku jika kau sempat, oke?"

"Sehun, kukira aku harus pergi sekarang."

"Tapi aku ingin bicara denganmu."

"Sangatlah kejam, kau mengatasnamakannya sebagai sebuah kejujuran..."

"Lu Han-ah... Maaf jika aku hanya bisa menyakitimu—maaf jika cerita kita mungkin hanya sampai di sini."

"Maafkan aku—bila aku harus jujur padamu. Maaf, dan selamat tinggal, Lu Han."

"Dan di sinilah kita akhirnya, ketika aku pernah mencintaimu... Kembali pada saat di mana satu hal yang paling berharga yang pernah kaugenggam..."

"Hmm. Di masa lalu kau memang tak suka tatanan rambut seperti itu, dan malah suka apple

hair. Apple hair Lu Han."

"Masa lalu, ya?"

"Maaf."

"Tidak apa. Aku hanya—agak kaget mendengar kau mengingat hal-hal kecil seperti itu."

"Tidak ada hal yang kecil ketika itu menyangkut tentangmu."

...

Perlahan, Sehun tahu, betapa ia sungguh terlambat.

Betapa ia sungguh telah menyakiti Lu Han.

Betapa ia, tanpa di sadari, gagal menjadi satu-satunya orang yang ingin membahagiakannya.

Tepuk riuh penonton membuncah, memekakkan telinga Sehun yang pancaran matanya hanya tertuju pada Lu Han seorang.

Dan ia tahu, ia pantas mendapatkan semua rasa sakit hati maupun takdir yang sebentar lagi akan menjemputnya.

Diam-diam dalam bisik lirih hatinya, ia menggumamkan kata maaf untuk Lu Han.

Maafkan aku.


Butuh waktu yang agak lama bagi Sehun untuk sadar dari pikirannya sendiri dan mengingat bahwa Lu Han mengatakan padanya untuk menemuinya seusai ia tampil. Namun ketika ia ingat tentang hal itu, ia buru-buru bangkit dari duduknya dan pergi dari arena konser. Ia berlari, berharap ia tidak membuat Lu Han menunggu lama atau lebih parahnya, Lu Han sudah tak ingin bertemu dengannya lagi.

Hatinya mencelos dan terasa begitu lega ketika ia melihat sosok Lu Han telah dan masih berdiri di dekat sebuah pot raksasa tepat di mana mereka bertemu sebelum acara di mulai. Ia tersenyum dan memelankan langkahnya, mengamati bagaimana sosok Lu Han berdiri melawan angin, memeluk lengannya sendiri sambil menendang-nendang pasir di bawah sepatunya. Ia berjalan mendekat ke arah Lu Han, dan ketika ia sampai di depannya, pemuda Lu tersebut mengangkat pandangannya dan tersenyum kecil menatap Sehun.

"Kupikir kau terlalu menikmati acaranya."

Sehun terdiam, tak berani menyahuti perkataan Lu Han karena sekarang, di depan pemuda ini, di dalam otaknya berkelebat sejuta tanya yang ingin ia utarakan. Ada semilyar maaf yang ingin ia suguhkan. Ada segudang perasaan bersalah yang ingin ia dekap erat dan akui.

Namun Sehun memilih untuk diam, tersenyum dan mengangguk sambil berkata, "Kau—memukau seperti biasa."

Lu Han tertawa, dan hati Sehun menghangat.

Ada jeda di antara keduanya, namun dengan senyum, tawa, dan pandangan Lu Han yang mulai hangat, Sehun merasa bahwa inilah yang ia inginkan.

Jeda yang mulai terbiasa, namun hangat eksistensi masing-masing yang masih bisa ia dekap dalam diam.

Beberapa detik mereka lalui dalam keheningan, dan ketika Lu Han mulai memutuskan untuk melangkahkan kaki dari sana karena—"Musiknya terlalu keras," Sehun memutuskan untuk mengangguk dan mengikuti arah langkahnya berlalu.

Ia berjalan tepat di belakang Lu Han yang sepertinya hendak membawanya menyusuri bibir pantai di depan sana. Angin laut, hembus ombak, hitamnya langit, dan suara musik yang terdengar semakin menjauh menjadi teman di antara keheningan mereka berdua. Dan dalam diam Sehun mengamati bagaimana sosok Lu Han di depannya berjalan—

Klasik seolah ia adalah instrumen paduan antara biola dan piano zaman Renaissance. Menakjubkan seolah ia adalah keajaiban dunia. Tak nyata seolah ia adalah mukjizat. Indah seolah ia adalah pelangi.

Dan Sehun mencela dirinya karena ia buta warna di antara monokromatik pelangi Lu Han.

Dan Lu Han menghentikan langkahnya tepat di bibir pantai, sebuah garis yang menjadi perhentian terakhir riak air laut yang menabrak pasir putih di bawah mereka. Ombak yang berkejaran berhenti tepat satu langkah di depan mereka, dan Lu Han, seperti angsa yang tersihir anggun, mematrikan atensinya pada laut tenang yang gelap di depan sana.

"Bicaralah."

"..."

"Aku tahu ada banyak hal yang ingin kaukatakan padaku."

Sehun memejamkan matanya, menghalau semua tangis dan sesak di dada karena ia sadar—ada jutaan hal yang ingin ia ungkapkan namun ia tahu bahwa kesemuanya hanyalah hal yang selama ini menyakiti Lu Han.

Maka ia berdiam.

Diam. Diam. Diam. Menelan kembali ribuan frasa yang telah ia rangkai sejak lama, sewaktu pertama kali ia tahu Lu Han akan ke Paris.

Ia memejamkan matanya, mencoba menghalau perasaan bersalah yang diam-diam membunuhnya dari dalam.

"Sehun-ah..."

Lu Han berbalik, dan lewat tatapan matanya Sehun tahu jika ia ingin sebuah penjelasan.

"Bukankah ada hal yang harus kita selesaikan di sini?"

Satu titik air mata jatuh dari mata kiri Sehun tanpa ia sadari, dan manik Lu Han bergetar ketika melihatnya.

Sehun tidak pernah menangis.

Dan di hadapan sosok Lu Han kali ini ialah pengecualian.

"Sehu—"

"Lu Han."

"..."

"Maafkan aku."

Hanya sunyi senyap, perpaduan antara angin laut, ombak, dan sayup suara musik konser yang menjadi jawaban atas permintaan maaf Sehun.

Lu Han terpaku, diam dan menatap Sehun lurus tepat di kedua maniknya seolah ia ingin menggali ketulusan di dalamnya.

"Aku—aku tahu aku sudah banyak menyakitimu. Aku tahu aku memang tak berhak bersamamu lagi bahkan menerima maaf darimu tapi—" Sehun bergerak mendekat, dan Lu Han masih terdiam mematung. "—aku tak bisa membohongi diriku sendiri bila aku—aku akhirnya sadar jika selama ini hanya kau. Hanya kau."

Lu Han menatapnya seolah ia sedang menatap ketiadaan, dan hati Sehun tercabik melihatnya.

Ia hendak mengatakan sesuatu lagi, kalimat-kalimat tulus dengan nada maaf dan penyesalan, namun belum juga ia membuka bibirnya, Lu Han tiba-tiba berkata:

"Selama kau hilang dari orbit hidupku dan mengira bahwa bersama Soojung adalah keputusan paling benar, aku bertemu dengan seseorang."

"..."

"Dan namanya adalah Henry. Henry Lau."

"..."

"Ia—ia adalah orang yang selama ini mencariku. Klise, memang. Tapi itulah kenyataannya."

"..."

"Ia adalah seseorang di masa laluku. Kami pernah bertemu saat kami masih kecil. Dan rupanya, ia adalah orang yang selalu mencariku selama ini. Ia sering mencariku, selalu berharap suatu hari ia akan menemukanku. Ia adalah orang yang mencariku, Sehun, mencari aku yang ia anggap sebagai bintang utaranya..."

"..."

"Ia pernah kehilangan aku sekali di masa lalu, dan dia pikir dia takkan melepaskanku lagi jika kita bertemu kembali. Namun ia salah. Aku telah terikat dengan orang lain, yaitu dirimu, saat ia menemukanku. Kupikir ia berhak mendapatkan kesempatan kedua. Kupikir aku bisa menerimanya dan meninggalkanmu, mengukir kenangan dengannya dan melupakanmu."

Hati Sehun mencelos, dan ia menunduk, tak berani menatap Lu Han yang kini menatapnya intens.

"Tapi, Sehun... Ketika aku ingin memutuskan untuk bersamanya, mengapa hatiku menyuruhku untuk memberimu kesempatan kedua?"

Sehun mendongak, menatap Lu Han dengan tatapan tak percaya.

"Lu Han..."

Lu Han tersenyum, kemudian memalingkan pandangannya untuk kembali menatap air laut yang kini berubah tenang di antara ombak kecil yang berkejaran.

Tatapannya tajam namun lembut, bagai anak panah yang sampai tepat di ujung tujuannya.

Sebuah senyum merekah di bibirnya, dan angin menghembuskan kata perkata yang keluar dari bibir tipisnya.

"Tapi, Sehun. Kesempatan kedua bukan berarti aku dengan mudahnya menerimamu kembali menjadi bagian dari kehidupanku."

Ia menoleh menatap Sehun yang mengerutkan keningnya. Senyum Lu Han masih terpatri di sana.

"Kau—bisakah kau membuatku jatuh cinta padamu lagi, untuk yang kedua kalinya?"

.


Henry menutup matanya erat-erat, mencoba menghirup semua keheningan yang ada di sekitarnya. Ia tahu ia takkan menemukan sosok Lu Han di sekitar arena konser dan ia tahu bahwa seseorang yang kini bersamanya adalah Sehun, Oh Sehun—sosok yang tempatnya takkan pernah bisa ia gantikan.

Sehun sudah seperti memori paten dalam kehidupan Lu Han, dan ia takkan mampu menggeser eksistensinya satu senti saja dari hati Lu Han.

Maka dalam keheningan yang menyakiti dadanya—keheningan karena ketiadaan Lu Han dan fakta bahwa ia memilih Sehun lagi pada akhirnya, jemarinya bergerak pelan menyentuh tuts putih dan hitam piano favoritnya.

Henry tahu ia tak boleh jatuh cinta pada kenangan—ya, banyak orang menyuruhnya untuk berhenti jatuh cinta pada kenangan. Namun lagi-lagi ketika ia memejamkan mata, yang muncul pertama kali adalah sosok yang harus ia lupakan: Lu Han.

Denting harmoni dan kisah klasik yang menguap dan kembali menggeretnya dalam arus masa lalu itu menyihir semua penonton, membuat mereka semua ikut hanyut dalam cerita tak bertuan yang hampir usai.

One More Time, One More Chance.


tbc


a/n : jujur, saya kehilangan feel untuk cerita ini, jadi maaf bila feel dan alurnya terkesan terlalu cepat /lah/ pokoknya maafkan keterlambatan dan ketidakmampuan saya untuk mengupload cerita ini lebih cepat.

5 more chapters, I think.