"Sometimes home isn't four walls. Sometimes it is two eyes and a heartbeat."


from del josandra

with a story entitled 'home'

written because someone give me a prompt (pretend like we're not scared of whats coming next or scared of having nothin left) of Adele's new song's lyric All I Ask (recommended for listening that song while reading this one)


Oh Sehun selalu mengira bahwa Korea adalah rumahnya, dan tak sekalipun terlintas dalam benaknya untuk pergi dari sana. Sehun kira, Korea adalah satu-satunya tempat yang akan menjadi saksi perjalanan hidupnya; bagaimana ibunya melahirkannya, bagaimana Korea melihatnya tumbuh dan berkembang, bagaimana Korea menjadi satu-satunya tempat di mana batu nisannya terletak. Lain halnya dengan salah satu teman akrabnya, Park Chanyeol, yang ingin segera pindah dari Korea dan memulai hidup baru di Jepang. Kim Jongin, sahabat Sehun, mengatakan bahwa ia ingin pindah ke New York nanti ketika mereka lulus kuliah. Lain dengan Do Kyungsoo, ia selalu mengatakan bahwa ia ingin pergi ke Swiss—mencari pengalaman baru. Berbeda dari mereka, adalah Byun Baekhyun, yang dari masa SMP telah mendeklarasikan bahwa suatu saat, ia akan pindah ke Novaskotia, sebuah provinsi indah di tengah Kanada.

"Bagaimana denganmu, Hun?"

Pertanyaan Kyungsoo membuat semua mata tertuju pada satu-satunya pemuda yang belum berbicara.

Sehun menghela napas, bingung akan pertanyaan temannya. Dari dulu, Sehun tak pernah berpikir akan meninggalkan Korea. Ia akan mengenyam pendidikan di Korea, masuk universitas di Seoul, lulus hingga akhirnya dapat pekerjaan di sana. Bahkan ia hanya akan berkeluarga di Korea dan mati di sana.

Dari dulu, Sehun tak pernah muluk-muluk.

"Aku—tak tahu."

Suara helaan napas terdengar dari semua temannya. Baekhyun, di ujung meja makan kafetaria yang mereka duduki sekarang, melenguh tak percaya.

Chanyeol, yang duduk tepat di samping kanan Sehun, mencoba membuka mulutnya dan sontak mendapat teguran keras dari Jongin dan yang lain, karena—well, Chanyeol memang tak pernah punya table manner.

"Seriously, Sehun. Setidaknya kau pernah berpikiran untuk keluar dari Korea... kan?"

Sehun tak pernah berpikir ingin ke Jepang, tempat di mana anime-anime kesukaan Chanyeol membludak dan lahir. Pun ia tak ingin ke Amerika dengan penduduk dan kultur yang sangat bertolak belakang dengannya. Swiss, yang digadang-gadang sebagai negara paling nyaman di dunia pun tak menarik minatnya. Begitupula dengan sebuah tempat yang baru saja ia dengar—Novaskotia?

Sehun memang punya sebuah tempat impian, namun itu belasan tahun yang lalu, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas satu. Sama seperti anak kecil lainnya yang punya mimpi untuk jadi pilot, dokter, atau guru, punya tempat yang mereka kunjungi seperti pantai indah, pulau terpencil, atau bahkan angkasa, Sehun kecil juga punya sebuah tempat yang ingin ia kunjungi.

Namun itu segera ia kubur dalam-dalam mengingat mimpinya takkan pernah datang.

Sebuah dongeng yang selalu diceritakan ibunya, tentang seorang anak yang mempunyai dua sayap, terbang melintasi samudra dan dunia. Seorang anak yang suka dengan ketinggian, namun takut pada keramaian. Seorang anak, yang selama perjalanannya mencari ketenangan selalu gagal, namun akhirnya sebuah tempat persinggahan menjawab inginnya.

"Menara Eiffel, Paris, Perancis," begitu kata ibunya.

Sebuah menara tinggi menjulang angkasa, di mana ia temui ketenangan dan rasa aman. Sebuah tempat indah di mana ujung menaranya bisa menyentuh satu bintang kecil di angkasa.

Sebuah tempat di mana kesunyian dan keindahan bersinkronisasi dengan alunan biola dan denting piano mesra. Sebuah tempat di mana kelip lampu malam menghiasi seluruh badan menara, menyebarkan cahaya kelap-kelip yang mengagumkan.

Paris, Perancis, kata ibunya, begitu mengagumkan dan menyenangkan.

"Entahlah... Mungkin—Paris?"

Mungkin.


Sehun dulunya tak pernah mengira jika ia akan bertemu dengan cinta sejatinya saat berada di bangku kuliah. Konon katanya, orang yang menjadi kekasihmu di bangku kuliah adalah cinta sejatimu. Sehun hanya mendengus mendengar hal konyol tersebut, mengingat dirinya berpikir ia takkan berpacaran lagi dalam waktu dekat.

Mengingat kegagalan kisah romansanya di masa lalu dengan Jung Soojung saat ia berada di bangku SMP, ia ragu jika ia mau membina hubungan yang baru.

Bahkan saat ia berada di tingkat sophomore—tahun keduanya di bangku kuliah, saat Chanyeol dengan bangganya memproklamirkan hubungannya dengan Baekhyun. Atau lima bulan kemudian, saat Jongin dengan trik murahannya (Sehun masih ingat dengan jelas bagaimana Jongin menyatakan cintanya di depan publik) yang pada akhirnya membuat sebuah warna merah tercipta jelas di pipi Kyungsoo.

Dan ketika Jongin bertanya apakah ia tak ingin punya kekasih, Sehun hanya menganggapnya angin lalu.

Namun Sehun masih ingat bagaimana satu hari di musim dingin itu mengubah seluruh hidupnya. Masih tercetak jelas di ingatannya bagaimana waktu itu adalah waktu di mana salju turun dengan sangat deras, menyelimuti seluruh titik di Seoul, membuat tumpukannya makin tebal dan menghalangi jalan.

Sehun selalu setuju dengan Kyungsoo yang membenci salju. Kyungsoo pikir salju hanya akan membebaninya karena tiap kali Jongin keluar dari rumah, ia akan selalu lupa membawa syal atau memakai pakaian dobel, yang mana akan berimbas pada Jongin yang jatuh sakit dan ujung-ujungnya hanya Kyungsoo yang mau merawatnya. (Sehun percaya bahwa Kyungsoo tidak benar-benar marah pada Jongin, hanya saja ia yang terlalu khawatir pada pemuda yang lebih muda itu.)

Hari itu hari senin, tanggal pertama di bulan Desember, dan Sehun sedang menunggu teman-temannya di kafetaria kampus. Sehun berdecak kagum bagaimana ia masih bisa berteman dengan mereka semua terlepas dari jurusan berbeda yang dipilih masing-masing.

Sehun, seorang sophomore yang mengambil major Sastra dan sub-major Dance. Jongin, sophomore seperti Sehun yang mengambil major Dance dan sub-major Sastra. Baekhyun yang berada di tingkat tiga memilih seni lukis sebagai majornya dan Seni musik sebagai sub-major sementara Chanyeol dan Kyungsoo yang mengambil musik sebagai major dan Sastra sebagai sub-major.

Sehun adalah salah satu orang yang paling cepat datang ke kafetaria, sebelum akhirnya lima menit kemudian Chanyeol dan Kyungsoo datang sambil bermuka masam, berkata bahwa tugas mereka sedang menumpuk dan profesor mereka takkan mau memberi kompensasi akan deadline. Beberapa menit kemudian, Jongin datang dengan menggebrak pintu masuk. Lain halnya dengan Chanyeol dan Kyungsoo, sebuah senyum riang terlukis di bibir Jongin, berkata bahwa ia lulus tes Dance dengan kesulitan tingkat tinggi, mengalahkan puluhan siswa di kelasnya. ("Selamat, Jongin! Datang ke rumahku pukul lima sore besok, akan kubuatkan kau makanan kesukaanmu!" kata Kyungsoo riang sambil memeluk Jongin erat, lupa sejenak bahwa tugasnya masih menggunung.)

Baekhyun adalah orang yang terakhir datang, masuk ke dalam kafetaria dengan setumpuk pamflet.

"Pameran lukisan akhir tahun," katanya sambil memberikan satu pamflet pada masing-masing temannya.

Sehun melirik pamfletnya sekilas, baru sadar jika ia sama sekali belum pernah pergi ke acara yang diadakan oleh jurusan Baekhyun tersebut.

Sehun sempat menangkap dengar Kyungsoo di seberangnya yang berkata dengan riang, berjanji bahwa ia akan datang untuk melihat hasil karya Baekhyun dan sesuatu seperti Deer in the Dawn.

Kening Sehun mengerut ketika mendengar nama yang sama sekali tak ia ketahui tersebut. "Deer in the Dawn?" tanyanya bingung.

Empat pasang mata tertuju kearahnya. Baekhyun, yang baru saja duduk di samping Chanyeol, mendengus mencela.

"Serius, Sehun... Kau tak mengerti siapa itu Deer in the Dawn?"

Sehun yang tak tahu menahu, menggelengkan kepalanya pada Jongin yang memberinya pandangan heran.

Di ujung meja, Baekhyun mendengus. "Pantas saja kau tak tahu. Kau kan sama sekali belum pernah datang ke pameran lukisan."

Memutar matanya jengah, Sehun menghadap ke Kyungsoo yang duduk tepat berseberangan dengannya, memilih bertanya padanya karena ia yakin Jongin dan Baekhyun takkan menjawab pertanyaannya.

Dengan senang hati, Kyungsoo menjawab bagaikan fan nomor satu.

"Deer in the Dawn adalah sebuah proyek lukisan dari pelukis yang selalu memajang karyanya di pameran yang diadakan oleh jurusan Baekhyun. Setiap kali kau melihat lukisan Deer in the Dawn, kau akan terkesiap oleh lukisannya, terlepas dari warna yang ia pilih adalah warna yang aneh."

"Aneh?"

Kyungsoo mengangguk. "Deer in the Dawn selalu menggunakan apa yang Baekhyun bilang 'percampuran warna yang tak biasa'. Jika kau melihat lukisan yang membuatmu terpukau dengan warna dan konsepnya, kau akan mengenalinya sebagai lukisan Deer in the Dawn karena semua lukisannya tak pernah diberi nama ataupun tanda tangan. Bahkan, siapa pelukis dibaliknya saja sampai saat ini belum diketahui," terang Kyungsoo, mengakhiri penjelasannya dengan nada agak sedih.

Baekhyun yang selama penjelasan Kyungsoo barusan diam saja, kini langsung meloncat dari tempat duduknya, mengagetkan semua orang di sana, kemudian menepuk-nepuk bahu Kyungsoo antusias.

"Tebak kejutan apa yang akan terjadi di pameran kali ini! Deer in the Dawn akan melukis di atas panggung!"

Pekikan terkejut terdengar dari Jongin, Kyungsoo, dan Chanyeol ketika Baekhyun mengakhiri kalimatnya dengan berjingkrak-jingkrak di tempatnya berdiri.

"Baekhyun! Aku akan memastikan bahwa aku akan pergi kesana!"

"Aku juga!"

"Aku ikut Kyungsoo dan Chanyeol!"

Baekhyun tersenyum pada kekasih dan teman baiknya sebelum akhirnya ia mendaratkan pandangannya kearah Sehun.

Dengan pandangan yang sulit diartikan, Baekhyun menatap Sehun.

Apapun artinya, Sehun yakin itu bukan pertanda baik.


Jika ada sifat Baekhyun yang sangat dibenci Sehun, itu adalah pemaksa. Baekhyun selalu punya seribu cara untuk mengancamnya untuk menuruti kata-katanya, entah dengan jalan kekerasan atau pemerasan.

"Datang atau fotomu waktu kau mabuk selagi memakai kostum kucing aku sebarluaskan," katanya garang sambil mengangkat ponselnya, menunjukkan bahwa ia tak main-main.

Dan mau tak mau, Sehun hari itu menuruti keinginan Baekhyun; untuk datang keacara pameran jurusannya. Sehun mungkin tak keberatan jika hari itu bukan hari Sabtu, di mana biasanya akan ia habiskan untuk bermalas-malasan tanpa keluar kamar.

Menggerutu kesal, Sehun berjalan keluar dari rumahnya yang nyaman dan hangat.

Selain enggan karena hari itu adalah hari Sabtu, alasan kenapa Sehun malas keluar rumah adalah karena salju sedang turun lebat-lebatnya akhir-akhir ini. Bahkan kemarin Chanyeol, orang yang tahan hanya mengenakan satu macam pakaian saat musim dingin, harus berangkat ke kampus dengan jaket super tebal dan syal super panjang.

Sehun masih menggerutu tatkala ia berjalan, dengan sepanjang jalan yang hampir tertutup salju lebat yang menggunung, membuat sepatunya basah. Dalam hati ia merutuk kebodohannya yang tak membawa sepatu dobel.

Mengingat bahwa ia harus berjalan satu kilometer untuk dapat sampai ke halte bis terdekat, Sehun mempercepat jalannya. Ia takut kalau-kalau ia terlambat dan Baekhyun sudah siap dengan ancamannya.

Perlu waktu lima belas menit baginya untuk sampai di halte bis, dan benar saja, tempat itu sangat sepi. Lagian, siapa yang repot-repot keluar rumah di hari Sabtu di saat salju sedang menggunung seperti ini?

Mungkin hanya Oh Sehun.

Dan orang-orang yang rela pergi ke pameran.

Perlahan, ia melirik arloi yang melingkar di tangan kirinya, mengetahui bahwa butuh sepuluh menit lagi bagi bis yang akan mengantarnya ke depan kampusnya untuk sampai di halte tersebut. Merasa bosan, iapun memasang earphone yang menggantung di lehernya, memutar lagu favoritnya.

Sehun sangat suka akan alunan piano atau biola, nada-nada yang indah mengalun mesra, menemani saat-saat dingin dengan racikan melodi hangat nan manja.

Sehun menyukai bagaimana Edith Piaf mengalun ke kedua telinganya, mencetak bagaimana romansa Paris di ujung bumi sana, bagaimana ia sangat menyukai alunan kesedihan tentang cinta namun begitu apik di kemas, meluluhkan hatinya, membuatnya semakin terjun ke dalam tiap sonetnya.

Baru ketika ia memutuskan untuk membuka matanya, ia tersadar akan kehadiran seseorang di samping kanannya.

Sehun terkejut dan terkesiap kala ia melihat seorang pemuda sedang memperhatikannya, berdiri tepat dua meter dari tempatnya berdiri.

Melihat Sehun dan keterkejutannya, pemuda tersebut ikut terkesiap, sebelum buru-buru membungkuk dan meminta maaf... atau menyapa?

Sehun sempat termenung beberapa detik sambil mengamati sosoknya. Sosoknya sangat asing, namun Sehun merasa familiar.

Sehun merasa ia pernah melihat bagaimana warna cokelat madu cocok untuk rambutnya, putih cocok untuk kulitnya, merah muda cocok untuk lengkung indah bibirnya, lengkung sempurna yang tercetak untuk dagu dan hidungnya, dan—bagaimana warna cokelat untuk matanya seakan mampu melawan dinginnya musim salju.

Sehun memperhatikan sosok di sampingnya dengan seksama. Tingginya yang satu kepala lebih pendek dari Sehun, tubuh kecil yang membuatnya terlihat lebih lucu dengan mantol musim dingin, pipi merah yang mengingatkannya pada sebuah gambar di buku dongeng yang kerap dibacakan ibunya berjudul Snow White—begitu merah dan lembut.

Pemuda ini terasa begitu asing namun di saat yang sama, terasa begitu familiar.

Belum sempat Sehun menyapa pemuda yang sekarang menunduk kaku di tempatnya berdiri tersebut, deru mesin bis telah terdengar oleh kedua telinganya. Dari barat, Sehun bisa melihat bagaimana bis berwarna putih krem itu melaju hingga beberapa detik kemudian, telah sampai tepat di depannya.

Sehun yang tak ingin mendengar murka Baekhyun buru-buru masuk ke dalam bis dan ia menggeram kesal ketika semua tempat duduk sudah penuh sesak, yang membuatnya harus berdiri dan berpegangan pada tiang di tengah-tengah.

Ketika laju bis perlahan meninggalkan halte, Sehun baru teringat akan sosok pemuda yang beberapa detik lalu ia temui. Ketika Sehun menoleh ke belakang, lewat jendela bis yang mulai kusam, ia dapat melihat bagaimana pemuda tersebut masih berada di tempatnya berdiri, dengan syal merah yang menutupi sebagian kepalanya dan topi beani yang ia eratkan kebawah sehingga hanya sedikit rambutnya yang kelihatan, sementara kedua tangannya ia benamkan di saku jaket tebalnya. Sehun bisa melihat bagaimana pandangan pemuda itu masih mengikuti bis yang ia naiki, dan itu ialah pertama kali Sehun merasa menyesal belum sempat menyapanya.


"Setengah jam."

Sehun memejamkan matanya, berharap bahwa itu tidaklah begitu buruk.

"Kau terlambat setengah jam, Oh Sehun."

Sehun mengangkat jari telunjuknya, memilih Mocca dan Macchiato dan mengisyaratkan pada seorang barista di kafetaria kampusnya untuk membuatkannya masing-masing satu cup.

Perlahan, ia membalikkan badannya, menghadap seorang Byun Baekhyun yang sedang menyilangkan tangannya di depan dada dengan muka masam.

"Dengar, Baek. Aku hanya telat setengah—"

"Telat setengah jam!" ulang Baekhyun, kali ini dengan nada yang lebih tinggi. "Kau melewatkan acara pemberian bintang yang mana sangat penting untukku! Kau sudah berjanji untuk mendukungku sebagai pelukis bulan ini dengan cara memberikan bintang!"

Sehun memutar matanya imajiner. "Baek, jika kau memang sangat berbakat, kehilangan satu bintang pun tak masalah, kan?"

Muka Baekhyun yang telah semerah tomat menahan amarah membuat Sehun langsung terdiam total. Ia tak ingin ancaman Baekhyun jadi kenyataan. Makanya, ia mencoba mencari akal agar Baekhyun mau memaaf—

"Oke, Baek, aku minta maaf," jelas Sehun seraya membawa kedua tangannya yang disatukan di depan dadanya. "Aku benar-benar menyesal dan aku berjanji akan melakukan apapun. Aku bahkan bersedia membelikanmu album SNSD yang terbaru lengkap dengan tanda tangan Tiffany dan yang lainnya, jika perlu, untukmu!"

Merasa agak terpancing dengan tawaran menggiurkan pemuda di depannya, Baekhyun melirik kearah Sehun.

"Benarkah?"

Sehun, yang merasa agak lega karena pancingnya tersambut, mengangguk cepat-cepat.

Baekhyun menghela napas kasar. "Sehun, jika kau tak mene—"

"Aku pasti akan menepati janjiku!" katanya keras-keras, membuat Baekhyun terperanjat kaget.

Baekhyun mengangguk menyetujui usul Sehun dan beberapa detik setelahnya, kopi pesanan Sehun telah siap.

Setelah membayar dengan uangnya, Sehun membawa dua cup kopi yang ia pesan. Ia menyerahkan kopi di tangan kanannya untuk Baekhyun sebagai ucapan permintaan maafnya.

Baekhyun melirik kopi yang disodorkan kearahnya sebelum mendengus mencela. "Menjadi sahabatku selama lebih dari sepuluh tahun harusnya menjadikanmu tahu jika aku tak pernah minum Macchiato, Sehun."

Sehun nyengir bersalah, kemudian berjalan beriringan bersama Baekhyun untuk pergi dari sana. "Sori, kupikir takkan ada yang menolak Macchiato."

Memutar matanya malas, Baekhyun menggeret lengan Sehun dan mempercepat jalannya, membuat Sehun memekik kesal dan menyuruh Baekhyun agar tak terlalu kasar padanya.

Tepat di pintu kafetaria, seseorang yang begitu asing namun familiar kembali terlihat di ujung mata Sehun, membuatnya terpekik kaget. Entah kebetulan atau apa, namun ketika ia melihat si pemuda berambut cokelat, pemuda tersebut langsung menatapnya tepat di kedua iris Sehun.

Sehun ingin menyapanya, sekadar untuk berkata hai atau sapaan lain, namun semua suara terasa mati di tenggorokannya. Lebih-lebih dengan tangan Baekhyun yang mencengkeram lengannya erat, membuatnya mengaduh kesakitan.

Saat ia dan Baekhyun keluar kafetaria, ia baru sadar jika ia telah melewatkan satu lagi kesempatan untuk menyapa si pemuda tadi.

Ketika Sehun menoleh kebelakang, yang dapat ia tangkap ialah siluetnya yang baru saja membuka pintu masuk kafetaria, sebelum sosoknya benar-benar hilang.

"Pelan-pelan bisa tidak, sih?!" gerutu Sehun yang hanya ditanggapi dengan lirikan berbahaya oleh Baekhyun.

Aula tempat di mana diadakannya pameran lukisan telah penuh sesak dengan para pengunjung. Ketika pertama kali Sehun masuk lewat pintu mahoni utama, ia bisa melihat beberapa orang dari jurusannya ikut datang, dan sekilas ia bisa melihat rambut blonde Jongin dan rambut hitam Chanyeol yang sedang berdiri di depan lukisan Baekhyun. (Sehun tahu lukisan Baekhyun karena Baekhyun pernah menunjukkan foto lukisannya.)

Sehun berani bertaruh bahwa ia yakin Chanyeol sedang bertengkar tentang mengapa lukisan Baekhyun adalah sepasang kekasih (yang ini perempuan dan laki-laki) sedang duduk di sebuah kedai kopi, berpegangan tangan. Sehun yakin ia masih tak percaya Baekhyun menolak menggambar mereka berdua, yang mana pastinya hanya akan dijadikan gurauan oleh Jongin sekarang ini.

Larut dalam pandangannya pada Chanyeol dan Jongin, Sehun tak menyadari bahwa Kyungsoo sedang berlari kearahnya, sebelum akhirnya sampai tepat di depannya dan menggeret lengannya.

"Ayo berkeliling," katanya.

Melihat bahwa ia tak tahu apapun dan tak yakin ingin berkeliling seorang diri, Sehun mengangguk, mengisyaratkan pada Baekhyun bahwa ia akan pergi dengan Kyungsoo.

Lukisan pertama yang mereka lihat adalah sebuah tangan yang sangat cantik nan lentik, dengan warna putih pucat dan keriput sana-sini, terlihat begitu lemah, sedang menggenggam sebuah bunga berwarna biru. Ini adalah kali pertama Sehun melihat bunga kecuali mawar dan lily. Ketika Sehun bertanya bunga macam apa itu pada Kyungsoo, dengan mata berbinar si pemuda bermata besar itu menjawab pertanyaannya.

"Namanya bunga forget-me-not. Sebuah bunga yang hanya hidup di daratan tertentu. Bentuknya kecil-kecil dan menggerombol, sangat indah. Lagian tema kali ini adalah tentang kenangan. Judul acaranya saja the old scratch memories. Jadi, apa-apa saja yang terlukis di sini harus memiliki kesan bahwa itu adalah memori akan sesuatu."

Sehun mengangguk paham, menyiapkan pertanyaan dalam hati untuk Baekhyun apakah lukisan sepasang kekasih miliknya adalah kenangan masa lalunya dengan seseorang.

"Kupikir bunga ini adalah kenangan baginya," kata Sehun, memberikan pendapatnya ketika ia kembali mengamati lukisan di depannya. "Mungkin cerita klise semacam kekasih yang pergi hanya dengan meninggalkan bunga. Bagaimana menurutmu?"

Kyungsoo tersenyum kecil, masih mengamati bagaimana tangan tersebut terbentuk secara apik. "Mungkin saja. Atau mungkin karena ini adalah bunga forget-me-not sendiri, yang menggambarkan tentang masa lalu dan juga kenangan."

Lukisan kedua nampak begitu aneh; seorang lelaki yang jatuh dari kuda berwarna cokelat tua.

Kesan aneh yang Sehun dapat membuatnya bertanya—"Apakah ini milik Deer in the Dawn?"

Kyungsoo mengggelengkan kepalanya mantap. "Lukisan aneh milik Deer in the Dawn bukan lukisan semacam ini. Ketika kau pertama kali melihat lukisan miliknya, hal pertama yang kaurasakan adalah kekaguman karena warna dan obyeknya. Sementara lukisan ini—lukisan ini memang aneh karena obyeknya yang aneh."

Mereka berhenti selama sepuluh menit untuk meneliti lukisan di depan mereka, berlagak seperti peneliti. Baru ketika Kyungsoo menunjuk bagian kanan atas, Sehun baru mengerti jika di dalam lukisan itu tidak hanya ada kuda dan seorang lelaki, melainkan juga ada seorang perempuan yang digambar kecil di belakang sana, tepat di pojok kanan atas, terlihat sedang menyeka wajahnya.

"Mungkin menangis," kata Kyungsoo.

Sehun mengangguk paham. Baru ketika ia beranjak lebih dekat untuk mengamati si perempuan dalam lukisan, dering telepon Kyungsoo membuatnya tersentak.

"Aku harus mengangkat ini. Dari dosen," kata Kyungsoo sambil mengangkat ponselnya seraya pergi menjauh, keluar dari aula.

Sehun mengamati keadaan sekitarnya, bagaimana aula sebesar itu telah penuh sesak, dengan beberapa pewarta berita yang sedang memotret, blitz yang menyilaukan mata.

Tepat ketika ia kembali menoleh kearah pintu utama, ia melihat sesosok pemuda yang sudah tiga kali ini ia lihat. Sehun merasakan ada keinginan untuk menyapa, namun ia mengurungkan niatnya karena berjalan menghampirinya tiba-tiba dan menyapanya dengan hai menurutnya sangatlah mencurigakan dan menakutkan.

Lalu beberapa detik kemudian, setelah ia bergelut dengan pikirannya, ia memutuskan untuk berpaling dari sosoknya yang tengah berjalan. Sehun memutuskan untuk beralih ke salah satu lukisan di pojok ruangan.

Kesan pertama saat Sehun melihat lukisan anak kecil dalam lukisan tersebut adalah ngeri. Sehun sempat mengernyit takut ketika ia mengamati dengan jarak yang dekat lukisan tersebut. Tidak ada yang istimewa dari lukisan di depannya itu, hanya seorang anak lelaki dengan muka pucat pasi dan kotor, rambut cokelat berantakan dan bibir bagian bawah yang sedang ia gigit.

Namun yang membuat Sehun terkejut adalah matanya.

Entah apa yang membuatnya terkejut, namun Sehun merasa ada yang berbeda dari tatapan anak di dalam lukisan tersebut yang membuatnya nampak begitu hidup.

Sehun merasakan bahwa di dalam dua bola mata anak tersebut tersimpan berbagai rasa yang berkecamuk, yang bisa terlihat dengan jelas lewat tatapannya. Sehun pikir itu adalah ketakutan, namun ketika ia lihat lagi, itu berubah menjadi kesedihan. Lalu kekhawatiran, kesepian, amarah, dendam.

Semua rasa yang tak mengenakkan jadi satu—itulah mengapa Sehun merasa merinding. Terlalu banyak rasa negatif di pancaran bola mata cokelat itu.

"Anak laki-laki, ya?"

Sehun terperanjat dari tempatnya berdiri tatkala ia mendengar sebuah suara di samping kanannya. Dan ketika Sehun menoleh, matanya membola dua kali lipat karena seseorang yang berdiri di sebelahnya adalah seseorang yang sejam yang lalu juga berdiri di sampingnya, di tengah guyuran salju.

Beberapa detik berlalu dan Sehun masih mematung seperti idiot dengan dua cup kopi yang masih di tangan, mengamati bagaimana rupa pemuda di sampingnya.

Pemuda berambut cokelat itu (Sehun memanggilnya begitu dalam hati karena ia belum tahu namanya) menoleh kearah Sehun, dan ketika iris hitam milik Sehun dan cokelat bening milik pemuda tersebut bersirobok dalam diam, Sehun mencoba untuk bersikap normal.

Berdehem pelan, Sehun mencoba untuk membuka pembicaraan.

"Kau kuliah di sini?"

Sehun ingin merutuki dirinya sendiri yang mengajukan pertanyaan konyol semacam itu, terlalu privasi—pikir Sehun.

Namun tak di nyana, pemuda di sampingnya mengangguk riang. Sebuah senyum tercipta di bibirnya, membuat Sehun harus berdehem lagi menetralkan suaranya.

"Konsentrasi Musik. Kau?"

"Literature."

Pemuda di sampingnya mengangguk sambil melemparkan sebuah senyum, dan Sehun hendak mengajaknya berjabat tangan kala ia sadar bahwa kedua kopinya masih ia genggam erat.

Tak ingin membiarkannya sia-sia, Sehun mencoba menyodorkan kopi di tangan kanannya kearah pemuda di sampingnya.

Pemuda berambut cokelat tersebut tersentak kala sebuah kopi berada di depan wajahnya, dan sedetik kemudian ia beralih memandang Sehun yang sedang tersenyum canggung ke arahnya.

Tersenyum kecil, pemuda itu mengambil kopi dari tangan Sehun, mengabaikan fakta bahwa menerima sesuatu dari orang asing adalah tindakan bodoh.

Satu sesapan kopi dan kemudian Sehun menghela napas lega.

"Macchiato?" tanya pemuda tersebut.

Sehun menggaruk tengkuknya malu. "Yah, kukira semua orang suka Macchiato."

Pemuda tersebut tersenyum, lalu menyesap kopinya lagi. "Apa kau selalu memesan dua kopi yang berbeda untukmu sendiri?"

"Ah—tidak. Sebenarnya itu untuk seseorang sebagai permintaan maafku karena terlambat datang."

"Kekasih?"

Sehun terkesiap. "M-maaf?"

"Kekasihmu? Lelaki yang menggeret lenganmu di kafetaria?"

Ketika pemuda tersebut menyebutkan kata kafetaria, Sehun baru tahu bahwa orang yang dimaksud adalah Baekhyun.

"Aah, tidak, tidak. Dia bukan kekasihku. Dia adalah teman akrabku yang kebetulan lukisannya juga di pajang di sini. Dia mengharapkanku datang agar aku bisa mem-voting lukisannya, namun aku terlambat," katanya sambil tertawa serak.

Ada jeda beberapa detik di antara mereka, dan keduanya membiarkan keramaian di sekitarnya dan bunyi splash kamera pencari berita berdengung di telinga mereka.

"Lukisan yang aneh," kata pemuda itu, sambil matanya mengikuti kontur garis yang terlukis di sana.

Manik Sehun mengamati lukisan di depannya, meniliknya dengan seksama sebelum akhirnya berani menyuarakan pendapatnya. "Aneh, namun menakjubkan," katanya.

Pemuda di sampingnya terlihat mengerutkan keningnya, dengan mata yang masih terpancang pada lukisan di depan matanya. Ada sirat aneh dalam matanya, namun Sehun tak tahu apa itu.

"Benarkah?" tanyanya mencari pembenaran.

Sehun mengangguk. Entah mengapa, ia merasa bahwa ia sangat menyukai lukisan itu, terlepas dari pandangan si anak yang sangat tajam dan mengerikan.

"Lihat matanya," kata Sehun, menunjuk dengan dagunya. "Ada beberapa perasaan yang coba ia ungkapkan lewat matanya. Kekesalan, sakit hati, rasa takut, cemas, kesedihan—semuanya bercampur jadi satu."

Pemuda di samping Sehun tiba-tiba menoleh kearah Sehun dengan pandangan yang tak bisa diartikan. "Menurutmu begitu?"

"Yeah," jawab Sehun dengan nada yang agak serak. "Entah apa lagi yang coba ia utarakan, aku tak mengerti. Yang pasti, ia merasa sendirian dan ketakutan."

Ketika Sehun membalikkan pandangannya, ia tak menyangka bahwa sosok pemuda di sampingnya tersebut sedang menatapnya. Dan ketika lagi-lagi mata mereka bertemu, Sehun merasa bahwa ada sesuatu dari tatapan pemuda itu, yang membuatnya terus ingin melihatnya, seperti ia terserap ke dalam lingkar matanya, terus terjerembab dalam keping cokelatnya. Sehun merasa ada hawa menenangkan dan hangat dari pancaran matanya, sama seperti alunan melodi Edith Piaf tentang Paris, hangat, namun kelam.

Baru ketika Sehun ingin menanyakan sesuatu, suara seorang lelaki dari mikrofon di atas panggung menginterupsi niatnya.

"—Hari ini akan menjadi pameran yang menakjubkan karena akhirnya, pelukis yang sangat bertalenta, yang sekarang, salah satu karyanya yang kopiannya sedang di pajang di sini, sedang terbang ke Amerika, mengikuti pameran lukisan di sana. Kita sambut dengan tepukan meriah, pelukis di balik mahakaryanya yang menakjubkan... Deer in the Dawn!"

Pekikan riang dari Kyungsoo yang berdiri tepat dibelakangnya (hanya Tuhan yang tahu sejak kapan ia berdiri di sana) membuat Sehun terperanjat kaget. Cengkeraman tangan Kyungsoo di lengannya membuatnya terpekik, dan ketika kaki pendek Kyungsoo memaksanya untuk berjalan cepat-cepat, ia tak bisa menolak dan hanya berdesis kesakitan. Cengkeraman orang semacam Kyungsoo dan Baekhyun jangan pernah dianggap remeh.

Kyungsoo mendorongnya mendekat ke panggung, dan bagaimana caranya Sehun tak tahu, akhirnya mereka bisa bergabung dengan Baekhyun, Chanyeol dan Jongin.

Rasa antusias dari Baekhyun dan Kyungsoo membuat Sehun memutar mata, dan saat itu juga, ia baru sadar bahwa ia baru saja meninggalkan pemuda berambut cokelat madu itu dibelakang.

Ketika Sehun menoleh ke belakang dan mengedarkan matanya tepat di mana mereka berdiri tadi, hatinya mencelos tatkala sosok itu sudah tak ada di sana. Ia kembali menyusuri matanya keseluruh ruangan, berharap menemukan sosok pemuda berambut cokelat madu.

Baru ketika Sehun mengamati satu persatu kerumunan di sana, ia mendengar pekik kaget datang dari sekelilingnya.

Ia mendengar dengan jelas, bagaimana Baekhyun dan Kyungsoo memekik paling keras, dengan tangan di depan mulut mereka.

Ia menoleh untuk melihat kedua temannya yang sedang menatap keatas panggung dengan pandangan tak percaya.

Sehun mengikuti arah pandang mereka, dan betapa terkejutnya ia, ketika matanya menangkap sosok yang ia cari, tengah duduk menghadap kanvas putih, dengan palet di atas pangkuannya dan sebuah kuas kecil di tangan kirinya.

Mata Sehun membola sempurna, terkejut dengan sosok pemuda yang sudah tiga kali berpapasan dengannya di hari itu.

Sehun bisa mendengar dengan jelas bagaimana Kyungsoo menggumamkan sebuah nama.

"Lu Han..."

Lu Han.

Lu Han.

Lu Han.

Namanya begitu asing, namun Sehun merasa lidahnya tak terasa kaku ketika mengucapkannya.

Lu Han.

Pandangan Sehun tetap terpenjara pada sosok pemuda di atas panggung. Bagaimana ia menggerakkan tangan kanannya, memberi goresan pada kanvas putih dengan warna-warni, bagaimana pipinya masih terlihat begitu merah, dan matanya yang terpasung tajam pada kerjaan di depannya—sedikit berair, namun masih mempesona. Bagaimana ia serasa tak terganggu dengan jepretan kamera yang menyebarkan blitz di tiap gerakannya, seakan dunia itu hanya miliknya dan kanvas serta kuas dan palet miliknya.

Sehun merasa ia sedang terpenjara oleh sosok tersebut, bagaimana matanya yang tajam mengingatkannya pada sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya.

Mungkin itu adalah salah satu dari lukisan-lukisan yang ia lihat tadi.

Mungkin...

Sehun tak sadar jika ia tersenyum kecil seraya menggumamkan sebuah nama dalam hati. Dan ia baru sadar jika waktu telah terlewat selama lima belas menit, tanpa ia sadari, tanpa ia melakukan apapun kecuali memandangi sosok di depan sana.

Ketika pembawa acara memberikan tepuk tangan, yang kemudian disambut oleh gema tepuk tangan di seluruh penjuru aula, saat itu juga si pelukis di atas panggung menoleh kearah penonton.

Entah bagaimana, namun lagi-lagi, manik mata keduanya bersirobok dalam diam. Sehun tak tahu makna sirat dari matanya, namun itu cukup untuk membuat degup jantungnya bergetar pelan.

Sebuah lukisan yang dihasilkan oleh Lu Han terpajang di depan penonton, dan ketika Lu Han memutuskan kontak mata dengannya, barulah Sehun melihat lukisan hasil karyanya.

Mata Sehun terbelalak ketika obyek di dalam lukisan tersebut terasa sangat familiar.

Seorang lelaki dengan mantel musim dinginnya, dengan syal yang menutupi leher dan earphone yang menggantung di telinga, sedang berdiri di tengah guyuran rintik salju putih di tengah halte bis. Kedua tangannya tersembunyi di saku mantol. Matanya tertutup dengan rambut hitam kelam dan garis wajah tegas yang membingkai parasnya.

Apa yang membuat Sehun merasa lebih familiar dengan obyek lukisan tersebut adalah sebuah cup Macchiato yang tergeletak di samping kiri kakinya yang jenjang.

Dan untuk kesekian kalinya hari itu, sepasang iris berwarna cokelat bening bertemu pandang dengan manik hitam legamnya.

Lu Han—Sehun merapalkan namanya dalam hati.


tbc


fact : lukisan anak kecil yang dilihat Sehun adalah milik Lu Han. Lu Han mengambil musik sebagai jurusan utamanya, seperti Kyungsoo dan Chanyeol. Sementara second majornya adalah Seni Lukis.

it will be three shots so I wish that I could finish it before the end of Dec. Please contact me if I forget to post the next chap! I suppose the next chap to be uploaded on Sunday or Monday so pls remind me via pm or review thats ok

angst or happy ending thats up to me im sorry! Don't blame me just because I always write the angsty ones! Or maybe I'll make it happy ending bcs I love my hunhan.