Summary : Jadi seorang kepala manager di perusahaan besar yang bahkan telah memiliki banyak cabang tentu saja tak mudah bagi seorang wanita muda bersurai merah muda itu. Tapi, apa dia bisa menghadapi sikap aneh seorang lelaki yang mengancam bahkan mengatur hidupnya? Padahal mereka saling kenal saja tidak.
.
.
.
.
.
Happy reading~
.
Pagi.
Siapa yang tak sibuk jika di pagi hari. Kecuali bagi para pemalas, mungkin mereka masih bersemedi di bawah selimut tebalnya itu. Bagi mereka yang telah memiliki pekerjaan, pagi hari adalah waktu baginya untuk bergegas masuk kantor. Sebelum bosnya marah dan bisa saja memotong gaji mereka. Oh no! siapa yang mau? Semua orang pasti tak mau itu.
Termasuk wanita berbadan semampai yang berjalan dengan anggunnya.
Kemeja putih tertutup jas hitam miliknya memperlihatkan tiap lekuk tubuh wanita yang telah menarik perhatian orang di sekitarnya. Kakinya nan indah di balut sepatu hak tingginya,berjalan dengan kokoh dan tak goyah melewati pandangan mata di sekitarnya.
"Pagi, Sakura-san"
Wanita itu tetap berjalan menuju ruang miliknya di ikuti sang penyapa dengan tangan penuh berkas-berkas penting. Surai merah muda yang di sanggul dengan rapi di atas kepalanya kini di biarkan tergerai dengan indah. Bagi lawan bicaranya itu hal lumrah, karena memang itulah kebiasaan kepala manager tersebut. Setiap hari.
"Pagi, Ten-ten" sahut wanita itu menempati dirinya di kursi berlapis bahan kulit berwarna coklat. Tangannya tak hentinya membolak-balik berkas yang tersodor di depannya. "Bagaimana harga saham? Dan wisata yang kita kelola? Apa ada peningkatan pengunjung?"
Wanita bersanggul ala wanita cina itu langsung membolak-balik lembaran buku catatannya, dan mulai meneliti informasi yang dapat menjawab pertanyaan Sakura. matanya terhenti di baris bertanda merah dalam catatannya tersebut.
"Saham kita naik 5% dari minggu lalu, dan ada penurunan pengunjung di wisata pegunungan Otsu. Ta-tapi, di wisata yang lain ada peningkatan, Sakura-san"
Meskipun sudah berusaha meyakinkan, tak semudah itu bagi Sakura untuk tenang dengan kata 'penurunan' dari kalimat penjelasan bawahannya tersebut. 0,01% penurunan saja, dapat mengakibatkan kerutan di bagian jidatnya yang cukup lebar. Karena memang itulah tugasnya untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi dalam perkembangan usaha perusahaan.
"Kalau begitu, tolong hubungi manager Sasori-san. Bukankah dia yang mengurus pengelolaan wisata pegunungan Otsu?"
Mata Ten-ten ikut berpindah saat Sakura berjalan keluar ruangan setelah melihat layar handphonenya. Ketika wanita bersanggul telinga panda itu ingin mengikuti langkah atasannya, Sakura terdiam di depan pintu lalu berbalik melirik Ten-ten.
"Oh ya, aku ada urusan di luar. Jika ada apa-apa, tolong tinggalkan pesan di ruanganku. Aku akan segera kembali"
"A-a, Tapi Sa-" Dan dengan mudahnya wanita musim semi itu menghilang dari pandangan mata Ten-ten yang tak dapat berkata-kata lagi setelah kepergian atasannya tersebut. Ia hanya dapat menghela nafas beratnya.
"Kenapa Ten-ten? Dia pergi lagi?"
Mata Ten-ten bertemu dengan sepasang manik aqua yang indah. Kepala Ten-ten langsung mengangguk saat pemilik manik itu menghampirinya.
"Padahalkan hari ini hari penting, Ino" tukas Ten-ten kembali menatap jauh berharap atasannya tersebut berubah pikiran dan menetap di kantor untuk sementara waktu.
"Sudahlah, lagian dia kan kepala manager. Mungkin baginya ini tak terlalu penting"
"Kau benar, sebaiknya aku segera menghubungi manager Sasori-san"
Grab!
Ten-ten tersentak kaget saat sadar dirinya telah digenggam cukup oleh tangan wanita bersurai kuning menyala tersebut. Pandangan mata wanita itu pun cukup menakutkan baginya.
"Kau mau apa menghubungi My Lovely Boyfriends, Ten-ten?"
Tiba-tiba mata Ten-ten terbuka lebar disertai kikikannya sembari melepaskan genggaman tangan Ino dari lengannya.
"Aku disuruh kepala manager, wisata yang dikelola kekasihmu itu mengalami penurusan pengunjung, nyonya Sasori. Mengerti?"
Ino hanya dapat menyengir kuda saat menyadari dirinya yang telah salah paham menanggapi ucapan teman kerjanya tersebut. Ten-ten malah merungut mendapt sikap kekanak-kanakan putri keluarga Yamanaka tersebut.
"Dasar maniak pacar!"
Setelah lama terdiam bersama, akhirnya mereka pun kembali melanjutkan aktifitas mereka seperti biasanya. Ya, seperti bergulat di depan layar computer dengan di temani setumpuk kertas yang harus mereka selesaikan dalam jangka waktu yang cukup relatif singkat. Itulah beban yang ditanggung oleh karyawan biasa seperti mereka.
.
.
.
SRUUT!
Suara sedotan minuman yang berada dalam genggaman Sakura menarik perhatian para pelanggan di kafe tersebut. Bahkan ini bukanlah kali pertamanya suara itu berkumandang, melainkan sudah tiga kali melakukan hal itu pada waktu yang tak bersamaan. Pandangannya kosong menatap jauh, seakan ada hal yang sangat difikirkannya sedari tadi.
Mungkin masalah penurunan pengunjung yang dijelaskan Ten-ten tadi.
"Selamat pagi, Sakura-san. Maaf membuatmu menunggu lama"
Suara itu mengalihkan perhatian Sakura lamunannya yang entah tentang apa. Wanita itu langsung beranjak dari kursi yang disediakan, lalu tersenyum ramah kepada dua orang berjas yang baru saja menyapanya.
"Tak masalah, Itachi-san dan Kakashi-san. Silahkan duduk, mari kita mulai saja meetingnya" sahut Sakura dengan ramah dan sopan.
Lelaki berambut raven itu terlebih dahulu mengambil tempat sebelum lelaki berambut silver. Dengan sigap Sakura langsung membuka laptopnya yang sengaja ia buat mode sleep, agar mudah baginya langsung menghidupkannya kembali.
Sakura termasuk wanita pertama yang menjadi seorang kepala manager di perusahaan Konoha. Ditambah lagi, wanita berusia 27 tahun itu juga satu-satunya pegawai yang lama menjabat sebagai kepala menager. Dan selama masa jabatannya, banyak perubahan dan keuntungan yang diraih perusahaan. Bahkan perusahaan yang bergerak dibidang bisnis wisata itu, juga dapat mendapat menaikkan gaji seluruh pegawainya hingga 5%. Cukup luar biasa, kan?
Maka sebab itu, Sakura selalu bekerja jauh lebih keras dibanding pegawai lainnya, yang mungkin mengira dirinya selalu keluyuran di jam kantor.
"Oleh sebab itu, jika anda menanam modal dan bekerja sama dengan perusahaan kami, anda akan mendapatkan untung yang lebih di banding perusahaan lain" ucap Sakura setelah menjelaskan tiap detail kelebihan dari perusahaan tempat ia bekerja.
"Hm, menarik. Menurutmu bagaimana Itachi-san?" Tanya lelaki bertopeng kepada lelaki di sampingnya.
Sebelum menjawab, lelaki bermata onyx itu berpangku tangan menatap emerald yang indah di depannya. "Tapi, kudengar ada penurunan pengunjung di wisata yang kalian kelola"
Mata Sakura sedikit melebar saat mendengar ungkapan clientnya tersebut, lalu disambut ulasan senyuman dari bibir mungilnya. "Itachi-san dan Kakashi-san tak perlu khawatir, kami sudah mengatasi hal tersebut. Jadi, apakah anda berminat bekerja sama dengan perusahaan kami?"
Dan mereka mengangguk yakin melihat dan mendengar pembelaan Sakura tadi. Selain cantik, wanita itu juga cukup pintar menghadapi client-clientnya yang bisa dibilang cukup 'bandel' untuk menyetujui kerjasama dengan perusahaannya. Oleh sebab itu, tak mudah bagi karyawan lain menyingkirkannya karena iri dengan kinerja dan prestasi yang diraih Sakura. Sayangkan? Karyawan seperti Sakura dilepas begitu saja ke tangan perusahaan lain.
"Akhirnya selesai juga" keluh Sakura melirik jam tangannya. "Sebaiknya aku balik ke kantor"
Dan.
.
BRUK!
.
"Auw!"
Suara ringisan itu terdengar ganda jika diteliti dengan cukup detail. Dan memang kenyataannya itu ganda, karena pemilik suaranya berbeda orang dan jenisnya malahan.
"Ah, bajuku!" seru Sakura menatap kemeja putihnya sudah berlumuran cairan coklat.
"Nee, maaf nona. Eh, kakak? Atau- ah pokoknya maaf atas kecerobohan saya" kata pemuda yang menabrak Sakura sembari membungkuk.
Dengan wajah yang telah memerah, rasa marahnya seakan tak terlahan lagi. "Kau! Ah, sudahlah"
Namun, entah mengapa Sakura tak jadi ingin memaki pemuda di hadapannya tersebut. Sakura lebih memlih bergegas keluar dari kafe tersebut untuk membersihkan kemejanya.
"Mau minta ganti rugi pun, anak itu tak akan mungkin bisa ganti dengan duit jajannya, kan?" ucap Sakura dengan lirih sambil meninggalkan pemuda tersebut dengan tanda Tanya di wajahnya.
.
.
.
"Sakura-san, anda ganti kemeja?"
Mendengar pertanyaan itu, membuat wanita itu menghela nafas. Lalu menatap bawahan sekaligus asistennya tersebut. "Mau bagaimana lagi? Anak SMA itu tak mungkin mengganti kemeja yang telah ia tumpahi dengan es krim coklat miliknya kan, Ten-ten?"
"Ah, pantas saja. Oh ya, mengenai wisata yang dikelola manager Sasori-san. Tadi saya hubungi, beliau mengatakan sudah ada peningkatan kembali seperti wisata lainnya"
Mulutnya menjelaskan, tangannya tetap sigap membolak-balik berkas penting yang harus dibaca serta di tanda tangani Sakura. Meskipun sibuk dengan tumpukan berkas yang berada di hadapannya, Sakura masih menyempatkan diri untuk mengangguk yang berarti ia cukup puas dengan hasil kerja bawahannya tersebut. Kinerja mereka memang cukup lihai dibidangnya, karena mereka mengerti dan paham posisi mereka. Oleh sebab itu, mereka tak pernah sedikit pun membiarkan kekurangan terjadi dalam pekerjaan mereka.
"Bagus, kalau begitu besok kita turun ke lapangan besok ya, Ten-ten? Mungkin tiga hari sudah cukup, kau juga banyak pekerjaan di kantor bukan?"
Ten-ten terlihat menghentikan aktifitasnya sejenak, memikirkan tawaran atasannya. Mungkin itu ide yang cukup menarik, sekaligus refreshing pikiran setelah bergulat dengan pekerjaan yang melelahkan di kantor tersebut.
"Baiklah, Sakura-san. Saya akan mengatur jadwal agar anda tak memiliki pertemuan penting untuk pekerjaan esok"
"Terimakasih. Kalau begitu, kembalilah ke mejamu. Biar aku yang menyelesaikan sendiri"
"Baik, Sakura-san. Permisi"
Sekarang tinggallah Sakura dan tumpukan berkas yang berjejer rapi di atas mejanya. Bahkan sampai-sampai lantai pun ikut serta menjadi alas berkas penting tersebut. Perusahaan besar ini tak memiliki sekretaris, yang ada hanya direktur utama, wakil direktur dan kepala manager. Selainnya hanya bawahan. Oleh sebab itu, tumpukan pekerjaan jauh lebih banyak di ruangan Sakura dibandingkan di meja wakil direktur.
"Ini benar-benar melelahkan!" gerutu Sakura sembari menatap jam dindingan yang masih menunjukkan jam kerja kantor, bukanlah jam istirahat ataupun jam pulang kantor yang diharapkannya sekarang.
.
.
.
.
Disclaimer : MK-Sensei, tentu saja
Genre : Drama, Romance
Pairing : Always NaruSaku
Rate T
Warning: mengandung cerita yang membosankan, penuh tanda tanya, terlalu banyak kesalahan, (karena author lagi malas ngoreksi yang salah sih, memang) pokoknya bad story!
.
.
Don't Like? Don't Read
.
.
Who Are You?
.
.
.
.
Pakaian? Sudah di koper dengan perlengkapan mandi. Sepatu? Sudah beserta aksesoris. Bahan untuk turun lapangan? Juga sudah. Apalagi?
Hal-hal itu yang sedang difikirkan wanita itu. Memeriksa seluruh kebutuhannya untuk pekerjaannya hari ini. Bisa dibilang pekerjaannya kali ini pelarian dari kerjaannya yang menumpuk di kantor. Siapa yang tak lelah dengan pekerjaan yang memakan waktu lama duduk di depan meja selama berjam-berjam? Bahkan seorang kepala negara pun pasti akan mengakui hal tersebut. Tapi, mau bagaimana? Jika ingin memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus bekerja dengan giat. Kalau tidak, harus siap menghadapi kehidupan penuh dengan kekurangan kebutuhan.
Tring!
"Halo?" sambut Sakura langsung menyentuh layar smartphone bercasing warna senada dengan manik miliknya.
"Sakura-san? Mobilnya sudah siap, jadi bisakah kita berangkat lebih awal agar tak memakan banyak waktu?" Tanya si penelpon dengan hati-hati.
Ya, si penelpon adalah sang asisten yang ia ajak untuk turun ke lapangan, Ten-ten. Setelah mendengar saran bawahannya tersebut, wanita itu hanya berkata "Baiklah" sebelum memutuskan panggilan itu secara sepihak. Dengan sigap dan sedikit tergesa-gesa Sakura memboyong barang-barangnya masuk ke mobil pribadinya.
"Kiba-sama, aku akan pergi selama 3 hari. Jadi, tolong jaga rumah bersama Sizune-san" pesan Sakura sebelum masuk ke dalam mobil miliknya di bagian kursi belakang.
Sedangkah lelaki berjas hitam mengenakan topi itu hanya menggangguk, serta memasukkan seluruh barang-barang majikannya. Setelah memasukkan barang-barang ke bagasi, Kiba menencap gas mobil berwarna gelap itu melaju meninggalkan pekarangan rumah bertingkat dua tersebut. Selagi di perjalanan ke kantor tempat ia bekerja, sesekali matanya menarawang jauh menatap gedung-gedung pencakar langit yang menempati tepi jalan. Padahal dulu, di sana hanyalah pohon rindang yang di penuhi para pejalan kaki.
Memang perubahan kota sentral bisnis di Konoha ini sungguh sangatlah cepat. Seingat wanita muda itu, baru saja kemarin rasanya dirinya menikmati udara perkampungan kota tempat kelahirannya. Sekarang, jangankan udara segar satu batang pohon pun sudah cukup jarang di jumpai. Bahkan bisa di hitung jari jika ada wilayah yang dihijaukan dengan alasan bisnis pula.
Bisnis. Bisnis. Dan bisnis. Hanya bisnislah yang memenuhi kota ini sekarang.
.
CRRIIIIT!
.
Sakura tersentak kaget saat tiba-tiba Kiba, Supir pribadinya menginjak pedal rem secara mendadak dan membuat kepalanya terbentur cukup keras di kepala kursi di depannya.
"Kiba-san, ada apa ini? Kenapa mendadak menginjak rem?" Seru Sakura menaikkan alisnya sebelah. Matanya sedikit memerah karena kelilip rambutnya yang tergerai akibat ikat rambutnya yang lepas.
Tangan Kiba menunjuk sesosok benda yang menyembul di kab mobil itu. Bola mata Sakura sedikit menyipit memperhatikan dengan teliti benda apa itu.
"Astaga! Tunggu di mobil, aku akan urus dia"
.
BRAK!
.
Wanita berjaket panjang itu berlari keluar mobil dan menghampiri benda yang menarik perhatiannya serta membuat wajahnya tampak pucat. Dengan ragu-ragu, Sakura melangkahkan kakinya sampai di depan mobil yang ia beli beberapa tahun lalu setelah berusaha mengumpul uang hasil gajinya tersebut.
"Kau!" "Yo!"
Jidat Sakura mengerut, benda yang di sangkanya itu lah berseru riang menyapanya. Yap, yang ada di depan mobilnya bukanlah benda. Melainkan seorang anak lelaki berambut jabrik ala kepala nenas yang menyembul bagaikan mahkota. Lelaki itu berdiri dan berusaha berjalan menghampiri Sakura yang masih terperanga oleh lelaki pirang tersebut.
"A-"
"Kau lagi, astaga! Apa yang kau lakukan hah? Anak kecil? Lihat badanmu jadi terluka, kan?" potong Sakura memutarkan seluruh tubuh lelaki berbadan jangkung tersebut hingga ia dapat melihat bagian tubuh lelaki itu yang lecet akibat keserempet mobil miliknya itu.
"Anak kecil?"
kini lelaki itu malah yang mengerjitkan matanya, dan memikirkan maksud wanita di depannya.
"Nee, ini bukan masalah kok. Nanti diobati juga sembuh" tukas lelaki itu dengan enteng tanpa berfikir lukanya itu akan terinfeksi dan membuat dirinya menghadapi penyakit yang serius.
Sakura mengacuhkan omongan lelaki itu, ia memilih merogoh tas sandang sampingnya yang mungil itu untuk mengambil sesuatu hal.
"Ini, untuk biaya berobat. Setelah ini, cepat ke rumah sakit ya, dik?!" seru Sakura sembari berjalan cepat memasuki mobilnya di posisi ia keluar tadi.
Sedangkan lelaki itu hanya tercengo menatap kepergian wanita itu beserta mobil berkab hitam tersebut. Bahkan uang di genggamannya masih ia tatap tak percaya.
"Apa-apaan ini?"
.
.
.
.
.
"Selamat datang, Sakura-san!" sambut selurug pegawai di sebuah perkantoran yang menjadi tempat tujuannya kali ini.
"Hn, bagaimana? Apa ada peningkatan? Sasori-san?"
Langkah Sakura tak berhenti bersamaan lelaki berambut merah darah berjalan mengikutinya sembari menjelaskan hal-hal yang bersangkutan dengan pertanyaan wanita musim semi tersebut. Seperti dalam penjelasan Sasori, wisatawan kembali berdatangan ke tempat wilayah yang mereka kelola. Meskipun tak semenjak bulan-bulan kemarin. Sakura dapat melihat kenyataannya dari layar lebar yang terpajang di ruang kerja pegawai Sasori. Tampak banyak pengunjung, tapi tak terlalu ramai.
"Apa tak inovasi yang dapat kalian kembangkan di sini? Sepertinya pengunjung kita perlu hal-hal yang baru untuk menarik minat mereka datang ka wisata kita"
Kata-kata Sakura tadi, tampaknya membuat para karyawan di sekitarnya menghentikan kegiatannya. Bahkan ada salah satu mereka tersedak hingga batuk tak henti-henti. Tapi, wanita itu tampak tak terganggu dengan hal itu. Ia hanya lebih terganggu melihat trofik naik-turunnya jumlah pengunjang tiap harinya di sebelah layar lebar yang terpajang di hadapannya. Padahal ia berharap minimal 20% peningkatan pengunjung dari bulan lalu, tapi kenyataannya hanya 1% dari hari yang lalu. Itu sama saja tak ada peningkatan, baginya.
"Tadi kami juga sudah berdiskusi dengan direktur utama, dan kami sekarang sedang menyusun rencana untuk inovasi yang akan kami kembangkan nanti di sini" terus Sasori yang tak lupa membuat garis sudut di pipinya, dan di tanggapi dengan 'oh' tanpa suara dari wanita musim semi tersebut, lalu memandangi kembali layar lebar yang masih setia di depannya.
"Eh? Direktur utama? Sekarang dia kemana? Kenapa aku tak di beritahu dia ada di sini?"
Sakura bertanya layaknya seorang detektif yang sedang menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan, sedangkan Sasori yang tak bersalah hanya bisa salah tingkah menghadapi atasannya tersebut.
"Beliau juga secara tiba-tiba datang, kami pun terkejut pada awalnya. Tapi, setelah berdiskusi ia langsung pergi begitu saja"
Mendengar jawaban Sasori, wanita berusia 27 tahun itu hanya dapat mengangguk lalu berjalan keluar dari ruangan yang luas namun terlihat sumpek dengan tumpukan berkas-berkas yang sangat melelahkan. Sakura merasa sangat penasaran dengan atasannya, kenapa? Karena tak pernah sekali pun ia pernah berjumpa bahkan bertatap mata dengan direktur utama tersebut. Gossip yang ia dengar dari awal bekerja, hanyalah wakil direktur yang pernah bahkan berbincang-bincang dangan pemegang saham terbesar di perusahaan tempatnya bekerja.
Jika boleh bertanya, Sakura akan langsung bertanya pada wakil direktur. Kenapa direktur utama sekali pun tak pernah muncul menampakkan batang hidungnya? Tapi, karena alasan pribadi, Sakura enggan menanyakan hal itu, apalagi, wakil direktur itu terkesan dingin dan acuh dengan pegawainya. Dan Sakura tak suka lelaki macam itu. Oh iya, direktur dan wakilnya adalah laki-laki, hanya itulah yang Sakura tau tentang mereka. Selebihnya? Entahlah.
"Nee, kita bertemu lagi nona pinky?"
Sakura berbalik badan menatap pemilik suara tersebut, bukannya ia tertarik dengan suaranya. Melainkan merasa tersinggung dengan julukan 'pinky' itu. Seakan mengolok-olok mahkota indahnya.
"Kau lagi? Sedang apa kau di sini?" pertanyaan Sakura seperti sedang berusaha menyudutkan lelaki berambut pirang tersebut. "Oh, atau jangan-jangan kau anak magang yang kerja di sini ya?"
Lelaki yang belum di ketahui namanya itu hanya menyengir kuda tanpa berniat untuk menjawab 'ya' atau pun 'bukan' dan itulah yang membuat rasa penasaran wanita muda itu seakan sedang digantung di awang-awang belum pasti. Namun terlihat sangat jelas.
"Pantas, sudah sana kerja. Masih banyak kerjaan yang harus kau selesaikan" titah Sakura menunjuk pintu masuk gedung besar yang baru saja ia masuki tadi.
"Loh, memang anda siapa? Apa anda pegawai di sini juga?" lelaki itu malah balik bertanya, dan mengacuhkan perintah wanita yang sedang bad mood.
Namun, di dalam perasaan yang masih labil dan tak menentu. Sakura berusaha mengambil nafas panjang agar perasaannya sedikit stabil.
"Aku kepala manager di perusahaan ini, tapi aku di bagian perusahaan pusat. Kali ini, aku hanya turun untuk memantau kantor cabang di daerah ini" jelas Sakura dengan penuh wibawa seorang atasan.
Dan lelaki berkulit tan itu pun mengangguk-angguk saja.
"Boleh aku ma-gang di perusahaanmu? Boleh ya?" pinta lelaki itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajahnya.
"Apa?! Tidak boleh! Kau kira bekerja itu main-main? Sudahlah, selesaikan saja kerjaanmu di sini"
Belum sempat Sakura berjalan meninggalkan lelaki yang menyebalkan baginya itu, lelaki itu lebih dulu menarik tangannya hingga tersentak lalu berbalik melihat ke arah lelaki itu.
"Kalau anda tak mau, saya akan menuntut karena anda telah menabrak orang namun tak menolongnya. Bagaimana?"
Dan Sakura paling tidak bisa di ancam dengan masalah seperti ini. Wajahnya yang cantik kini telah tampak pucat karena panic menghadapi lelaki tengil di depannya ini. Apa dia harus mengabulkan permintaan lelaki ini?
"Baik, baik! Baiklah! Kau boleh kerja di kantorku, tapi hanya sebagai OB, ok? Di kantorku tak belum buka penerimaan karyawan baru"
"Terimakasih, pinky. Oh ya, satu lagi"
"Apa?"
Hening sejenak. Lelaki itu terdiam memikirkan suatu hal. Serius. Saking seriusnya, iris oceannya tanpa ia sadari telah menusuk jantung Sakura hingga membuat wanita itu lupa bagaimana caranya bernafas.
"Kau harus mau kencan denganku, tanpa protes!"
Kini Sakuralah yang di tinggalkan begitu saja oleh lelaki yang bahkan Sakura tak tau namanya. Nomornya. Atau alamat rumahnya. Mimpi apa Sakura semalam hingga di ancam seorang lelaki yang jauh lebih muda darinya? Astaga! Sakura memutuskan kembali ke penginapan dan berusaha meyakinkan dirinya ini hanyalah mimpi. Dan kenyataannya, sampai kepulangan ke kota Konoha tak membuatnya tenang, melupaka ancaman bocah tengil tersebut.
.
.
.
"Sakura-san, anda bilang ada OB baru bukan?"
Sepertinya Sakura sangat yakin lelaki itu akan serius dengan kata-katanya, hingga mengumumkan pada asistennya tersebut ada seorang pegawai bagian office boy akan bekerja di perusahaan pusat ini. Namun, sudah sehari dari kepulangannya. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan keseriusan lelaki misterius tersebut. Apa Sakura jadi bodoh semenjak jumlah pekerjaannya di kantor bertambah? Tak mungkin bukan?
"Mungkin, dia sedang mengurus kepindahannya dari perusahaannya yang kemarin"
"Hm? Begitu ya? Kalau begitu, saya permisi saja. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan" ucap Ten-ten undur diri sebelum menghilang dari balik pintu yang tampak buram dari luar.
Tok! Tok!
"Ya, silahkan masuk"
Meskipun bibirnya menyahuti ketukan pintu tersebut, namun matanya masih bergerak liar menyusuri tiap lembar berkas yang berada di mejanya. Inilah pekerjaan yang mungkin membuat kinerja otaknya sedikit terganggu. Sangat terganggu lebih tepatnya. Mungkin saja begitu.
"Saya bawakan capucino buat anda, Sakura-san"
Sakura terdiam sebentar dari pekerjaannya, kepalanya terangkat. Menatap pegawai yang membawakannya secangkir minuman hangat. Perasaannya, dari tadi pagi ia sama sekali tak memesan apapun kepada pegewainya. Jadi, ini salah siapa sekarang?
"Maaf, aku tak meme-" matanya terbelalak saat siapa yang membawa minuman hangat tersebut. "A-ka-kau rupanya, aku tak memesan apapun!"
Bentakan Sakura tak membuat lelaki gantar dan berbalik keluar ruangan. Melainkan berjalan mendekati meja kerja Sakura yang penuh dengan tumbukan berkas penting. Tangannya sengaja meletakkan secangkir cappuccino yang hangat itu di atas berkas yang sedang di hadapan Sakura. Wanita itu paling tak suka pekerjaan di ganggu dengan hal-hal seperti ini, ingin rasanya ia melempar cangkir itu. Namun, jika itu yang ia lakukan, maka semua kertas putih itu akan tercampur dengan warna coklat pekat minuman hangat tersebut.
"Anda harus meminumnya dan nanti saat jam siang, anda harus menemani aku jalan-jalan"
Mendengar perintah dari bawahannya tersebut, Sakura seakan dilecehkan. Dia kan atasan, kenapa malah disuruh sama bawahannya. Itukan memalukan! "A-"
"Eits! Tak ada protes, oh ya! Namamu bagus ya, Sa-ku-ra-chan" ucap lelaki itu sebelum pergi meninggalkan Sakura tanpa salam.
Sedangkan Sakura masih termangu menatap kepergian lelaki yang masih belum ia tau namanya. Padahalkan ia sudah kerja di perusahaannya kan? Astaga! Ada apa denganmu Sakura?!
"-chan? Yang benar saja! Berani sekali, bocah tengil itu!" gerutu Sakura menggertak gigi bawahnya.
.
.
.
"Sa-ku-ra-chan!"
Sakura pun menepuk jidatnya, saat kepala berkumis kucing di pipinya muncul dari pintu. Rasanya ia enggan sekali beranjak dari kursi jika lelaki yang akan menyeretnya keluar dari ruangan kerjanya tersebut.
"Apa?!" sahut Sakura dengan ketus agar lelaki itu gentar dan mengurungkan niatnya.
"Ayo, kita berangkat!" ucap lelaki itu mengaitkan tangannya agar Sakura mengandeng lengannya yang lumayan berbentuk.
Namun, Sakura malah berdiri dan langsung berjalan keluar ruangannya sendiri. Memalukan jika ia menggandeng tangan bawahan sekaligus orang yang muda darinya. Bisa diolok dengan wanita tua mencari brondong dia nantinya, bukan?
"Hey! Sakura-chan, harusnya kau menggandeng tanganku tadi. Kenapa kau malah pergi lebih dulu?"
Lelaki berambut kuning menyala itu mencoba menyamakan lengkah Sakura yang sengaja di percepatnya. Sakura merasa gerah di kantor, karena baru saja melintasi jajaran meja pegawainya. Ia sudah mulai menjadi buah bibir oleh kaumnya sendiri. Sakura sadar, tindakannya yang selalu membuat jadwal meeting sendiri dengan clinetnya tanpa konfirmasi asistennya, membuatnya di cap sebagai atasan yang suka keluar saat jam kantor dan datang kembali saat selesai jam istirahat. Padahal itu ia lakukan agar perusahaan ini semakin maju, namun inilah yang ia dapat.
"Eh, eh, lihat kepala manager! Dia pergi dengannya! Tak sangka ya?"
"Iya, iya, seperti yang tebakan Ino kemarin saja"
Itulah yang ia dengar secara samar-samar dari bisik-bisik pegawainya. Dan lelaki yang masih setia mengekorinya itu, menyadari ketidak nyamanan Sakura dengan perbincangan para pegawai itu. Lelaki itu menatap tiap wajah para penggosip itu, tatapan sinis. Berharap mereka takut dan berhenti menggosipkan wanita yang sedang ia ikuti tersebut. Namun, yang terjadi malahan para wanita itu berteriak riang dan melambai-lambai kepadanya. Sepertinya mereka tertarik dengan ketampanannya.
"Berisik! Tidak bisakah kalian kembali bekerja!" seru Sakura kini melempar death glarednya pada para pegawainya tersebut.
Dan Huala, mereka pun bubar dari kerumunan mereka tadi. Kembali ke meja masing-masing, kembali bergulat dengan tumpukan berkas itu. Memang jika atasan yang langsung menegur, bawahannya langsung nurut ya?
Lelaki yang merasa sikapnya tadi gagal, malah tersenyum lebar kembali mengikuti langkah Sakura yang semakin di percepat keluar dari gedung besar tersebut. "Wah, Sakura-chan tegas ya! Sepertinya aku harus belajar darimu saja"
"Terserahmu saja, ayo cepat! Aku banyak kerjaan" sahut Sakura menyeret lelaki itu masuk ke dalam mobilnya.
"E, e, e, bentar, Sakura-chan!"
"Apa lagi sekarang?!"
"Kita jalan kaki"
.
Hening sejenak. Untuk beberapa saat saja.
.
"Jalan kaki?! Yang benar saja!"
"No protes, ok?" sahut lelaki itu tersenyum dengan aura jahatnya.
.
.
.
"Masih lama lagi, pirang?" Tanya Sakura sembari membungkuk meganggi betisnya yang sudah sangat terasa keram. Bahkan tumitnya sudah lecet-lecet karena sepatu hal tingginya tersebut.
Lelaki itu berbalik badan menatap Sakura tanpa merasa bersalah mengajak seorang wanita jalan kaki hingga keram seperti itu. Lelaki pirang itu berjalan menghampiri Sakura namun matanya masih mengedar ke sekitarnya. Mencari tempat beristirahat sepertinya.
"Nee, sebaiknya kita istirahat di situ saja" ajak lelaki itu menarik tangan Sakura mendekati kursi panjang di dekat mereka.
Setelah menempatkan dirinya di kursi kayu tersebut, Sakura mengurut bagian atas tumitnya yang sudah sangat pegal, bahkan sulit untuk bergerak lagi. Seumur hidupnya, baru kali inilah ia jalan kaki dengan menggunakan hak tinggi. Jika berjalan kaki pun ia hanya menggunakan flat shoes, jadi gak sepegal ini juga.
"Sakit ya?" Tanya lelaki itu mencoba menyentuh kaki Sakura, namun langsung ditepis oleh Sakura dengan tangannya lalu melempar tatapan sinis kepada lelaki tersebut. "Aku kan hanya ingin membantu, lagian buat apa sih pakai sepatu menyusahkan itu? Sakit kan sekarang"
"Ini salahmu, pirang-baka! Mengajakku jalan kaki, sudah tau aku pakai hak tinggi begini!" gerutu wanita pinky itu dengan membabi buta memukuli kepala si pirang itu.
"Eh? Iya, iya maaf. Pakai sepatuku saja, lepaskan hak tinggimu. Nanti lecetnya semakin parah" lelaki itu tertunduk melepaskan sepatu snakersnya lalu memasangkannya di kaki Sakura yang ramping. Sakura tak melawan saat kakinya di pasangkan sepatu dengan ukuran kaki seorang lelaki. Meskipun sedikit lapang, minimal sekarang kakinya tak terlalu risih lagi.
"Nah, ayo naik! Kuantar kau pulang, Sakura-chan"
Lelaki itu membalikkan tubuhnya, hingga punggungnya yang lebar yang tampak oleh Sakura sekarang. "A-apa?"
"Kakimu itu terluka, jangan paksakan berjalan. Nanti jadi lebih parah, makanya naiklah ke punggungku"
Namun, Sakura tak semudah itu kan menerima tawaran seorang lelaki yang tak ia kenal. Ia lebih memilih jalan kaki ketimbang di gendong oleh orang lain, meskipun kakinya sangat kesakitan. Dan pada akhirnya Sakura congkok kesakitan karena berusaha jalan sendiri, dasar keras kepala. Melihat tindakan Sakura itu, lelaki pirang itu pun geleng-geleng kepala lalu langsung menaikan tubuh Sakura di atas punggungnya.
"Hey-"
"Diamlah! Kakimu itu terluka, jangan memaksakan diri. Dasar keras kepala!"
Mendengar ocehan lelaki itu Sakura pun terbungkam hingga sampai ke kantor miliknya. Malu. Rasa malulah yang ia dapat sepanjang perjalanan menuju kantornya. Di gendong oleh seorang lelaki. Ia memang tak pernah di perlakukan hal seperti itu. Karena sedari kecil, ia menuntut dirinya menjadi sempurna. Tak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Makanya sampai sekarang pun, ia masih megang prinsip lamanya untuk sendiri saja.
"Sudah sampai, jangan lupa obati kakimu ya, Sakura-chan. Aku pulang dulu"
Tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulut Sakura. Mulutnya seakan di gembok dan kuncinya di buang begitu saja. Seharusnya ia bertrimakasih kan?
"Ah, sial! Aku lupa menanyakan namanya lagi"
.
.
.
.
.
Hoho, sepertinya kemajuan cerita Yuu sama sekali gak ada ya? Tetap 0 (nol) besar! Masih jelek-jelek aja, masih membosankan, masih membingunkan *pundung* memalukan! #OhNo! Yap, ini sih masih bersambung sepertinya. Soalnya belum ada permasalahan yang gimana gitu #Lebay!
Okeh terakhir?
Review please?
.
.
.
.
Tring!
"Nomor baru? Siapa ya?"
Tak ingin membuat penelpon lama menunggu, Sakura pun langsung mengangkat panggilan ke nomor handphonenya itu.
"Halo? Ini siapa?" Tanya Sakura langsung mengajukan pertanyaan tanpa membiarkan penelpon menjelaskan maksudnya.
"Ini aku, si pirang yang tadi"
Entah mengapa perasaan Sakura langsung terasa ingin memutuskan panggilan yang bukan dialah yang mengawalinya. Tapi, ia urungkan niatnya, menunggu lelaki itu menjelaskan maksudnya menelfon.
"Apa lagi?!"
"He? Ketusnya, oh ya besok setelah kakimu sembuh, kita makan siang" ajak lelaki itu seperti tak akan di tolak oleh Sakura.
"Baik, baiklah! Sudah kan?" ucap Sakura mengancang-ancangkan tangannya untuk menekan symbol memutuskan panggilan.
"Ya, hany-"
Namun, Sakura langsung menutup panggilan tersebut sebelum lelaki itu menyelesaikan omongannya. Mungkin tangan Sakura terlalu gatal untuk langsung menutup panggilan itu. Setelah merasa tak ada keperluan di luar kantor, Sakura pun memutuskan untuk masuk ke dalam kantor. Namun, saat ia ingin memasuki gedung kantornya, ia pun baru tersadar.
"Astaga! Sepatunya!" seru Sakura menghentakkan kakinya ternyata masih sakit sehingga lagi-lagi ia meringis kesakitan. Sembrono. "Eh, tunggu! Dari mana dia dapat nomorku?"
.
TBC