Sudah ada beberapa pasangan yang mengantri di Kantor Catatan Sipil pagi itu. Semua pasangan di sana terlihat saling mengagumi dan mencintai satu sama lain. Semuanya, kecuali Yifan dan Junmian. Sebaliknya, kedua pria itu seperti dua musuh yang saling tak peduli. Dan tanpa sadar saja, Yifan dan Junmian menjadi pusat perhatian di sana.

Seorang gadis berwajah bundar yang duduk di samping Junmian, tersenyum sembari memperhatikan keduanya. Senyuman gadis itu juga membuat Junmian mau tidak mau membalasnya dengan senyum hambar. Hingga akhirnya gadis itu memberanikan diri bertanya, "Kau juga datang untuk menikah?"

Junmian hanya mengangguk.

Gadis itu kemudian memandang Yifan agak lama, " Oh lihat, betapa tampannya calon suamimu!"

"Hey hey." Pria di samping gadis berwajah bundar menimpali. "Berhenti menengok pria lain, lah! Lihat calon suamimu sendiri ini, tak kalah tampan bukan?"

"Iyakah?" Gadis berwajah bundar itu malah menggoda calon suaminya.

Junmian hanya memandang iri pasangan di samping kanannya itu. Tapi bibirnya malah mengulas senyum, karena ia juga senang melihat betapa bahagianya pasangan itu. Ah, ia jadi ingat, ia juga sering bertingkah seperti itu dengan Yifan, dulu. Yah, dulu sekali.

Mengingat masa lalu membuat Junmian menolehkan pandangannya menuju pria bermuka tegas itu. Yifan, bahkan seperti tidak peduli dengannya walau mereka sudah akan menikah.

"Hey, dulu kalian berkenalan dimana?" Gadis berwajah bundar itu bertanya lagi dengan nada penuh penasaran.

Eh? Bagaimana mereka dulu bisa mengenal, ya?

"Ah, itu sudah lama sekali." Junmian tak dapat menyembunyikan antusiasmenya. "Saat itu, aku baru saja masuk kuliah. Dan karena aku tertarik dengan dunia fotografi, aku selalu membawa kameraku kemana saja aku pergi. Hingga suatu hari, aku melihatnya duduk di bawah pohon dengan wajah stoicnya. Lalu tanpa sadar saja aku memotretnya. Sayangnya, saat itu Yifan justru marah besar….."

"Aku keluar sebentar." Yifan tiba-tiba berdiri dengan muka memerah yang tidak disadari oleh Junmian. Sosok tinggi itu berjalan dengan sedikit tergesa, keluar dari ruang tunggu.

"Calon suamimu sungguh keren, kau tau itu?"

"Tentu saja!"

Beberapa saat kemudian, saat nama Yifan dan Junmian dipanggil, Yifan belum juga menampakkan batang hidungnya, membuat Junmian berjalan keluar dengan muka khawatir dan langkah sedikit tergesa. Bagaimana jika Yifan meninggalkannya? Bagaimana jika Yifan hanya menganggapnya sebagai lelucon belaka?

Junmian hanya bisa bernafas lega setelah melihat Yifan tengah menghisap rokoknya di dekat pintu.

"Kau mau mundur dari pernikahan ini?" tanpa melihat Junmian saja, Yifan dapat menebak bahwa pria dengan tinggi 172 centi itu sedang berjalan menuju arahnya.

Mundur, adalah kata yang tak pernah terlintas dari benak Junmian.

Junmian menggeleng, walau ia tahu Yifan tak dapat melihat gerak-geriknya, "Yifan, ayo masuk."

"Junmian, ini adalah pilihanmu." nada bicara Yifan menjadi sangat serius. "Mulai sekarang, walau kita bertengkar dengan sangat hebat. Walau kita saling menyakiti satu sama lain. Aku tak akan melepaskanmu lagi."

Angin di akhir musim gugur berhembus dengan sangat kencang, namun anehnya Junmian tak sedikitpun merasa menggigil. Hatinya tiba-tiba saja menghangat karena ucapan Yifan.

"Yifan, mereka sudah memanggil kita."

Yifan akhirnya berbalik setelah mematikan rokoknya, dan melangkah dengan sangat hati-hati di belakang Junmian. Raut mukanya sama sekali tidak berubah, tetap menjadi Yifan yang tenang dan dingin. Hingga mereka tiba di depan meja resepsionis.

"Perceraian?" ujar wanita di balik meja itu setelah melihat raut wajah Yifan.

Junmian menggeleng dengan sumringah. "Kami akan menikah!"

.

.

.

Yifan dan Junmian sudah melewati tahap foto bersama, mengucapkan janji menjadi pasangan, dan tiba-tiba saja mereka sudah berada di akhir persyaratan, yaitu penandatanganan buku pernikahan. Dan hanya dengan beberapa bubuh tanda tangannya, juga beberapa tinta stempel, mereka dapat hidup menjadi pasangan resmi, tanpa menghiraukan masa lalu mereka yang terbilang tidak bagus itu.

Lebih dari satu jam yang lalu, Junmian tidak dapat mempercayai bahwa ia dan Yifan akan menjadi pasangan resmi yang diikat oleh status bernama pernikahan. Semuanya bagaikan serial drama yang sulit dipercaya oleh Junmian.

"Cepat tanda tangani itu." mendadak saja seruan Yifan terdengar. "Kau tak punya kesempatan untuk lari sekarang."

Kemudian Junmian tersadar, angannya menguap begitu saja saat ia akan membubuhkan tanda tangan di akta pernikahannya. Dengan cepat ia menuliskan tanda tangannya, dan memberikan akta pernikahan itu kepada petugas dari Catatan Sipil yang memandanginya penuh curiga.

"Tuan, apa kau benar-benar bersedia menikah dengan Tuan Wu?"

Muka Yifan memucat.

"Tentu saja!" jawab Junmian dengan senyuman bodoh itu. "Aku hanya berpikir, apa warna gorden yang cocok untuk mengisi rumah baruku, nanti."

Tak berapa lama berselang, dokumen pernikahan mereka-pun berhasil dicetak.

Lain dengan Yifan yang langsung menyimpan buku pernikahannya di tas kerja, Junmian justru mendekapnya, seolah itu adalah berlian yang berharga milyaran yuan.

"Pindahkan semua barangmu ke apartementku." Langkah Yifan tiba-tiba terhenti, sembari ia menjulurkan kartu pembuka apartementnya. "Kau juga bisa mengganti gordennya dengan warna yang kau sukai." lanjutnya dengan sarkas.

Sayangnya, Junmian sama sekali tidak menangkap sarkasme tersebut. Sebaliknya, ia dengan senang hati mengambil kartu kunci apartement itu dari tangan suaminya. Meski semua ini nampak di luar nalar, tapi Junmian tetap bahagia.

Yifan juga mengeluarkan kartu berwarna hitam legam dari balik dompetnya. "Gunakan kartu ini untuk membeli seluruh perabotan yang kau perlukan. Passwordnya akan kukirim di nomor ponselmu."

"Yifan, kau tak perlu memberiku kartu juga. Aku masih memiliki uang sendiri." Junmian menggeleng.

Yifan menatap mata Junmian dengan tajam, "Aku tak ingin bertengkar di hari pertama pernikahan kita."

Junmian akhirnya menyadari kesalahannya, dan segera mengambil kartu hitam itu dari tangan Yifan.

"Lalu kau?" tanya Junmian yang heran karena Yifan terus melangkah tanpa menghiraukannya.

"Aku?" Yifan berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. "Aku akan terbang ke Guangzhou satu jam lagi. Aku memiliki tugas selama tujuh hari di sana."

Junmian benar-benar berharap, telinganya salah menangkap dengar sekarang.

.

.

.

Junmian sepertinya adalah mempelai pria paling mandiri sepanjang abad ini.

Bagaimana tidak, di malam pertama pernikahannya, ia memindahkan barang-barangnya yang tidak seberapa banyak itu sendiri. Dan kini, ia hanya terduduk di sofa hitam di ruang tamu apartement barunya—milik Yifan—dengan barang-barang yang dibiarkan begitu saja.

Barang-barang yang seharusnya ditaruh di dapur dan di ruang kerja, sudah ia rapikan. Tapi ia membutuhkan ruang kedap cahaya untuk barang-barang fotografinya, juga lemari untuk baju-bajunya.

Haruskah Junmian menelpon Yifan dan bertanya dimana ia harus meletakkan baju-bajunya itu?

Junmian hanya bisa memandang ponsel pintarnya dengan tatapan kosong.

Dering suara bel bersuara, dan membuat Junmian terlonjak kaget. Ia hampir saja mengira ponselnya yang berbunyi, namun ia cepat menyadari, bahwa itu hanyalah suara bel yang dipasang di depan pintu apartementnya.

Junmian membatu ketika tahu siapa yang berkunjung ke apartementnya. Seorang wanita dengan tinggi 170 centi, dengan sepatu hak tinggi yang entah berapa tingginya. Yang pasti, Junmian merasa seperti kurcaci sekarang ini.

"Apakah Yifan ada?" tanya wanita itu. "Ah tidak tidak, apakah Tuan Wu ada?" ralatnya cepat-cepat.

"Yifan sedang ada pekerjaan di luar kota." jawab Junmian masih dengan muka penuh tanya. "Kau mau masuk?" tawarnya berbasa-basi.

"Terima kasih." Wanita itu kemudian masuk dan memperkenalkan diri. "Namaku Wen, dan aku merupakan klien dari Tuan Wu. Aku tinggal di satu lantai ke bawah dari sini."

Junmian terus memandang wanita bernama Wen itu dengan heran.

"Ah…. Aku kemari membawa wonton yang kubuat sendiri hari ini. Kebetulan saja aku membuatnya terlalu banyak." Wanita itu menyerahkan sekotak wonton yang dibungkus apik dengan kotak makan kedap udara. "Ah, kalau boleh tahu, kau siapanya Tuan Wu?"

Junmian yang pasrah menerima sekotak wonton itu mengerutkan dahi, "Aku? Aku adalah suami Yifan. Kami baru saja mendaftarkan pernikahan kami di Kantor Catatan Sipil."

Tadinya, Wen tersenyum dengan penuh percaya diri. Namun senyuman itu runtuh setelah Junmian menjawab dengan nada polos.

"Oh, kalau begitu aku pamit."

Setelah Wen pergi, Junmian segera meletakkan kotak wonton itu di meja makan, dan mengambil ponsel pintarnya untuk menghubungi sang suami.

Telepon itu diangkat oleh Yifan setelah nada sambungnya terputar tiga kali.

"Halo?" Yifan menjawab dengan suaranya yang berat dan dalam.

"Halo." Junmian menimpali dengan detakan jantungnya yang terpacu cepat akibat nada bicara Yifan yang tidak seperti biasanya. "Ini aku."

"Ada apa?"

"Hmm… Nona Wen dari lantai bawah membawakan sekotak wonton untukmu." Setelah selesai berbicara, Junmian baru menyadari bahwa itu bukanlah pembukaan yang bagus untuk berbincang dengan sang suami.

Dan yah, kesunyian yang dibuat Yifan membuktikan bahwa pria itu sedikit marah. "Lalu apa yang kau pikirkan? Kalaupun aku dan dia pernah bekerja sama, aku tak pernah sekalipun mendekatinya lebih dari sekedar klien."

Junmian cepat-cepat merubah arah pembicaraannya.

"Yifan, apa gudang yang tak terpakai itu bisa kugunakan sebagai ruang kedap cahaya untuk peralatanku?"

"Ya. Apa adalagi yang ingin kau sampaikan?"

"Hmm, yah! Dimana aku harus menaruh baju-bajuku, Yifan?"

Yifan menertawai Junmian dengan nada sarkastik, "Tuan Wu, suamimu ini masih normal dan sehat jiwa raga, dan tentu saja ia tak ingin hidup terpisah dengan suaminya sendiri."

Pertanyaan bodoh lagi yang keluar dari mulut Junmian. "Lalu kapan kau akan pulang?"

"Bukankah aku sudah bilang aku akan pergi selama tujuh hari?"

"Oh….. Baiklah. Aku menunggumu." jawab Junmian tanpa pikir panjang. Kalau diingat-ingat lagi, hari ini memang mulut Junmian tidak dapat direm sedikitpun.

Yifan kembali terdiam, dan tergantikan oleh nada sibuk dari sana. Junmian mengerucutkan bibirnya, bagaimana bisa Yifan menutup teleponnya secara sepihak?!

.

.

.

Yifan menyimpan kembali ponsel pintar sebelum membuka ruang privat yang sudah disewa oleh rekan kerjanya, dan melangkah dengan tenang. Tuan Liang, salah satu petinggi perusahaan yang ia tangani kasusnya segera berdiri dan menyiapkan segelas sampanye untuknya.

"Tuan Wu, kemana saja kau? Kemarilah dan bersulang denganku! Negosiasi hari ini benar-benar berjalan dengan fantastis!"

Yifan menjawabnya dengan senyuman sopan, dan segera menenggak segelas sampanye itu hingga tandas.

Setelah berbincang-bincang dan sedikit makan malam, Tuan Liang kembali berkata, "Tuan Wu, bagaimana kalau kita pindah tempat setelah makan malam ini selesai?"

Para pekerja pria yang ada di sana kemudian tertawa karena mengerti maksud dari Tuan Liang.

Yifan tentu juga bisa membaca situasi, dengan melihat gelagat mesum dari rekan-rekan kerjanya tersebut. Ia-pun menjawab, "Tuan Liang, silahkan bersenang-senang sendiri bersama yang lain. Aku akan kembali ke hotel saja."

"Tuan Wu, bagaimana bisa begitu? Kau seperti tidak memberiku muka malam ini." Tuan Liang memasang raut muka kecewa.

Yifan kembali menjawab dengan senyum terpaksa, "Suamiku di Shanghai benar-benar protektif kepadaku. Lihat, satu jam yang lalu ia menelpon hanya untuk memastikanku sudah mengisi perutku dengan sedikit nasi. Kalau ia kembali menelponku, kemudian ia tahu aku belum tiba di hotel, ia bisa menghabisiku sepulangku di Shanghai nanti."

"Baiklah bila itu yang Tuan Wu mau. Aku bisa menyuruh Xiao Yang untuk mengantarmu kembali ke hotel."

Si sopir Xiao Yang berdiri dan bersiap untuk mendampingi Yifan, namun pria tinggi itu buru-buru menolak dengan sopan, "Tidak perlu, tidak perlu. Hotel yang aku tinggali sangatlah dekat dari sini. Akan lebih menyenangkan bila aku berjalan kaki sembari menikmati pemandangan malam di sekitar sini."

Yifan tahu betul betapa susahnya untuk lepas dari pertemuan-pertemuan tidak penting yang biasanya dilakukan oleh klien-kliennya itu. Dan karena itu pula, ia sengaja mengambil jalan memutar, agar tidak diketahui oleh Tuan Liang dan antek-anteknya.

Guangzhou adalah kota yang sangat menarik, dan sayang untuk dilewatkan. Yifan begitu tenang menyusuri jalanan yang masih ramai itu. Sengaja ia memelankan langkahnya, terkadang tersenyum melihat pasangan kakek-nenek yang berjalan dengan bergandengan tangan, atau sekumpulan keluarga kecil yang membawa anak kecil mereka.

Tiba-tiba, sebuah cahaya putih berkelip dan memaksa Yifan untuk berhenti sejenak. Seseorang tengah mengambil foto temannya, dan rupanya cahaya dari kamera orang tersebut terpendar dan mengenai mata Yifan.

Yifan tanpa sadar mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Junmian.

Saat itu netranya juga menangkan pendaran cahaya kamera milik pria ceroboh itu.

Dan Yifan bukanlah pria bodoh yang tidak menyadari bahwa Junmian tengah memotretnya secara diam-diam. Siapapun akan marah, bukan, bila ia diabadikan secara sembunyi-sembunyi?

Karenanya, saat itu, Yifan hanya menunjukkan muka masamnya tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Junmian.

"Hei, aku hanya berniat memotret pemandangan kampusku, tapi bagaimana bisa kau tiba-tiba muncul?" alasan bodoh itulah yang dipakai Junmian.

Mendengarnya, Yifan bingung harus tetap marah atau menertawai kebodohan Junmian. Akhirnya, Yifan memilih untuk pergi tanpa berbicara.

"Hey, kau mau kemana?" teriak Junmian yang membuntutinya.

"Bukankah kau mau memotret pemandangan?" Yifan berbalik dan menatap Junmian. "Aku sudah mengembalikan pemandangan yang akan kau jadikan foto itu, lalu sekarang masalahnya dimana?"

Muka Junmian memerah, "Baiklah baiklah, aku mengaku, aku memang sengaja memotretmu."

Lidah Yifan berdecak, tapi ia benar-benar tak peduli dengan Junmian, saat itu. Yifan berbalik dan terus berjalan. Berjalan…dan berjalan….. Tentu saja dengan Junmian yang terus mengekorinya!

"Kenapa kau terus mengikutiku?"

"Kau belum memberitahuku namamu dan di fakultas apa kau belajar." jawab Junmian dengan polos.

"Memangnya untuk apa aku harus memberitahumu?"

"Untuk foto yang sudah kupotret tadi, tentu saja! Memangnya kau tak ingin tahu hasilnya?"

"Tidak."

"Oh…" Junmian mengangguk. "Kalau begitu akan memaksamu untuk tahu hasilnya."

Yifan benar-benar tak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Kenapa? Kau khawatir aku tak dapat menemukanmu?" Junmian bertanya dengan muka sok tahunya. "Tenang saja, walaupun ada ribuan orang di universitas ini, tapi aku yakin, pasti ada jalan untuk bertemu denganmu lagi. Aku bisa menanyai orang-orang dari setiap fakultas yang ada di sini."

Yifan tak habis pikir dengan kelakuan Junmian, giginya bergemeletuk menahan amarah, "Wu Yifan, tahun kedua dari Fakultas Hukum." Setelah ia menjawab, langkahnya melebar meninggalkan Junmian yang tertawa puas.

Benar saja, dua hari setelahnya, Junmian sudah bertengger di depan gerbang fakultasnya dengan membawa foto itu.

"Lihatlah, baru kali ini aku bangga dengan hasil fotoku! Cahaya yang masuk di sela-sela dahan ini begitu menawan!" Junmian berusaha menjelaskannya dengan jarak yang sangat dekat.

Ketika Yifan menegakkan kepalanya, ia dapat melihat jelas wajah Junmian yang bermandikan cahaya. Dan tak dinyana, cahaya itu merasuk masuk, menerangi hatinya yang selama ini tak sedikitpun cerah. Bahkan Yifan tak memiliki waktu untuk menolaknya.

Junmian, adalah satu-satunya cahaya yang dimiliki Yifan. Tapi cahyanya tak hanya untuk Yifan.

Karena pria itu… Pria yang mengisi ruang hati Junmian selama tujuh tahun lalu.

Yifan menutup matanya dengan nafas tersendat.

Wu Yifan, tolong akui saja rasa cemburumu itu!

.

.

.

Junmian berjalan pulang setelah menyelesaikan rapat mingguannya dengan kepala redaksi Treasure. Dan bukan Junmian namanya, bila ia bisa melakukan semuanya dengan benar. Dengan bodoh, ia menaiki nomor bus yang berbeda, dan karena itu pula ia akhirnya memutuskan untuk sedikit berbelanja di supermarket tempatnya bertemu Yifan dan Yixing tempo hari.

Junmian tak tahu apa sekarang Yifan sukai, karena ia hanya bisa melihat beer, air mineral, dan berkotak-kotak mie instan di dapur mewah mereka.

Setelah memasukkan beberapa macam buah-buahan, sayur-mayur, daging dan bumbu, Junmian segera pulang dengan menggunakan taksi—jujur saja, ia takut tersasar lagi. Hari sudah benar-benar gelap, dan Junmian sadar, Yifan sedang tidak berada di Shanghai sekarang. Kalau ia tersasar lagi, siapa yang akan menjemputnya pulang?

Setibanya di apartement, Junmian segera merapikan bahan makanan yang ia beli itu. Mengisi kulkas Yifan, dan mengeluarkan beberapa minuman alkohol yang rupanya sudah mulai kadaluarsa.

Ia juga merapikan baju-bajunya yang tersisa, masuk ke dalam lemari yang ia bagi dengan sang suami. Berbeda dengannya yang menyukai warna-warna pastel, pakaian Yifan justru didominasi dengan warna gelap—sebagian besar adalah jas mahal yang menjadi seragam kantornya.

Junmian menekukkan bibirnya ke atas sembari mengelus salah satu jas Armani Yifan.

Tapi hatinya juga sakit.

Yifan….

Yifan….

Yifan akan kembali esok hari, sesuai janjinya di minggu lalu.

Didera rasa rindu, Junmian yang selama lima malam lalu tidur di kamar tamu, tiba-tiba saja tak ingin beranjak dari sana. Kaki kecilnya melangkah dengan tanpa ragu, menuju peraduan yang biasa dipakai oleh sang suami.

Dengan tanpa berganti piyama, Junmian memejamkan matanya yang mulai berat. Dan dengan hitungan detik saja, angan Junmian segera terbang, menuju mimpi.

TBC

Sebenernya mau update chap ini setelah Hamuhamu ngereview ~

Tapi kayaknya reader-readerku yg lain ga rela kalo aku telat update lagi xD

Enjoy yah kalian ~