Bus terakhir tujuan Seoul itu hanya diisi oleh sedikit penumpang, termasuk tiga belas lelaki yang memutuskan untuk kembali setelah menempuh liburan dua hari satu malam. Beberapa dari mereka sudah jatuh ke alam mimpi, sebagian masih menikmati pemandangan luar yang terhias cahaya lampu.
Jeon Wonwoo menguap dan mengeratkan jaket yang menempel pada tubuhnya. Sebenarnya ini jaket Mingyu, Wonwoo lupa membawa jaket—alasannya karena sekarang musim panas, malam hari tidak mungkin sedingin musim-musim lain.
Suara berisik masih terdengar dari bangku-bangku di belakang. Salah satu penyebab Wonwoo tak bisa tenggelam dalam tidurnya. Mungkin Seungkwan yang ribut chips dengan Seokmin. Mungkin Soonyoung yang flirting dengan Jihoon dan dihadiahi tatapan jijik dari sang objek gombalan. Mungkin Seungcheol yang berusaha menahan diri untuk tidak memarahi mereka keras-keras. Mungkin Hansol dan Joshua yang bercakap-cakap dalam bahasa ibu mereka. Mungkin juga Kim Mingyu, yang ribut mengemis sebungkus snack tanpa tahu malu.
Ketika sedang asyik mempertahankan diri dari kantuk, Kim Mingyu datang mengejutkannya. Lelaki itu mendudukkan diri di sebelah Wonwoo, lengkap dengan senyuman manis dan sebungkus snack di tangan.
Oh, berbakat juga ia dalam mengemis.
"Mau, hyung?"
Wonwoo menggeleng lalu membuang muka menghadap jendela.
Mingyu berkedip. Ia memperhatikan bagaimana Wonwoo yang tak bergeming, namun tak lama kemudian mengeluarkan helaan nafas berat entah kenapa.
"Aigoo... hyung, ada apa denganmu?" Mingyu mengulurkan tangan menyentuh pipi Wonwoo.
Sekali lagi Wonwoo menggeleng. Punggungnya bergerak mencari tempat nyaman, lalu menatap Mingyu. Mingyu membalas tatapan itu, menelisik wajah manis Wonwoo yang merengut.
"Ooohh... aku tahu." Mingyu menyingkirkan snack di pangkuannya lalu menggeser duduk lebih dekat dengan hyung-nya. Ditatap kembali Wonwoo yang sedari tadi diam. "Hyung merindukanku."
"Sok tahu." cibir Wonwoo.
"Ayo, bilang saja. Tidak perlu malu."
Wonwoo menggeleng. "Aku tidak sudi mengatakannya."
"Oh, ayolah hyung. Kau keras kepala sekali." Mingyu memutar duduk menghadap Wonwoo. Kedua tangannya terangkat dan mencubit kedua pipi Wonwoo.
"Lihat ini. Wajahmu kusut sekali. Tirus, keriput, berkatung mata—"
"Heh! Aku tidak seburuk itu!" Wonwoo menjitak Mingyu sengit. Lelaki tinggi itu hanya meringis diiringi kekehan.
"Tapi serius," kali ini Mingyu menangkup kedua pipi Wonwoo. Membawa wajah hyung-nya itu mendekat lalu berbisik tepat di telinga. "sini, bersandar padaku."
Wonwoo sedikit bergidik ketika suara berat dan dalam Mingyu mengalun di telinganya. Entah kenapa Wonwoo merasa ia bisa melakukannya kini. Ia bisa bersandar di bahu Mingyu tanpa diminta. Kapan pun ia mau, ia bisa melakukannya.
Karena sekarang bahu itu miliknya. Kim Mingyu itu miliknya.
Maka tanpa pikir panjang, diikuti sedikit senyum kecil kekanakan, Wonwoo menyamankan kepalanya di bahu Mingyu. Sedangkan Mingyu hanya bisa terkekeh, menahan tawa melihat aksi childish Wonwoo yang terlihat begitu manis di matanya.
"Begitu dong, dari tadi." jemari Mingyu mengusap rambut halus Wonwoo yang menggelitik pipinya.
Sedikit memiringkan kepalanya, Mingyu kembali berbisik di telinga Wonwoo. "Saranghae."
Wonwoo hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Matanya yang sudah terlanjur terkena kantuk tertutup sedikit-sedikit membuat Mingyu semakin gemas.
"Jaljayo."
Dikecupnya pelan pipi Wonwoo sebelum lelaki tinggi itu menyamankan diri bersandar pada kursi bus. Membiarkan dirinya sendiri terhanyutkan oleh kantuk, Mingyu memastikan Wonwoo baik-baik saja di sisinya.
Bus tetap melaju konstan membelah gelapnya malam. Perjalanan berkilo-kilo meter terlewati, setiap detiknya mereka akan semakin dekat dengan Seoul.
Apa yang akan menyambut mereka disana? Apa takdir baik akan memihak pada mereka seperti saat-saat kabur mereka di Busan?
Dalam heningnya malam yang semakin dingin, Kwon Soonyoung mengambil kembali snack-nya yang dicuri Mingyu. Ia mendengus. "Dicari-cari juga..."
v
v
v
© himailee
Seventeen – Couples – Meanie
Enjoy!
v
v
v
Seoul – 6AM
Merasa bagian tubuh kirinya sudah panas karena bersinggungan dengan kasur terlalu lama, Jeon Wonwoo memutuskan memutar tubuh. Saat itulah ia menyadari ada yang menghalangi akses posisi tidur enaknya di sebelah kanan. Sebuah aura hangat yang membuat Wonwoo membuka matanya.
Punggung lebar itu menghias tepat di depan. Punggung familiar Kim Mingyu yang tidur membelakanginya dengan nafas teratur dan tenang. Sontak rasa hangat berganti menjalari pipi Wonwoo yang semula beku karena dingin air conditioner dini hari itu.
Oh, ini pasti lelucon. Ia tidur sekasur dengan Kim Mingyu di sebuah single bed. Tapi seingatnya saat tidur kemarin malam ia tidak menemukan Mingyu di ruangan ini.
Wonwoo menarik selimut hingga menutupi dada. Melipat kaki sebisa mungkin agar tidak menendang Mingyu tanpa sengaja, sedang punggungnya sendiri merapat pada tembok dalam posisi duduk yang begitu awkward.
Ia melirik sekitar kamarnya yang sepi. Lampu masih menyala, pasti mereka lupa mematikan karena sudah terlanjur lelah. Junghan bergumul di kasurnya dengan selimut sempurna membungkus tubuh. Sedangkan Seungcheol tampak lebih berantakan, namun sepertinya ia sudah terlalu jauh berjalan dalam alam mimpi sehingga tak bisa diusik. Seungkwan pun tak kalah pulas. Dan Kwon Soonyoung, lelaki itu tidak ada pada tempatnya.
Masa bodoh dengan dimana Soonyoung. Kini Wonwoo berusaha turun dari kasur tanpa sejengkal pun menyentuh Mingyu. Masalahnya kini ia tidak berada dalam posisi yang menguntungkan.
Diapit oleh dinding dingin dan punggung hangat Kim Mingyu mungkin bukan perpaduan bagus di pagi hari, terlebih ketika kau sadar bahwa kau baru saja tidur satu kasur dengan sosok yang baru resmi menjadi kekasihmu kemarin. Garis bawahi, kemarin.
Maka ketika ia berhasil keluar tanpa mengusik siapa pun, Wonwoo mendesah lega dan berjalan gontai menuju dapur. Mengambil segelas minum dan duduk anteng disana, membiarkan hening menyelimutinya dan hawa yang tak bisa dijelaskan berputar menyertai dirinya yang hanyut dalam kesendirian.
"Hyung?"
Baru sedetik ia akan tersedot ke dalam bayangan masa lalunya, Kim Mingyu lagi-lagi datang menghampiri. Ia mengucek mata sambil sedikit mengeluarkan suara-suara keluhan kecil entah apa itu—Wonwoo tak bisa bohong kalau itu terdengar lucu—melangkah sempoyongan menghampiri meja makan. Dan seketika menjatuhkan diri di pangkuan Wonwoo yang masih setia disana. Tidak sadar diri kalau hyung-nya itu lebih kurus darinya.
"Aku shock sekali saat kasur sebelahku kosong. Kupikir hyung sleep walking atau bagaimana." Mingyu yang mengucek matanya bergumam.
"Berlebihan." cetus Wonwoo.
Mingyu hanya tertawa kecil. Sedikit terkejut ketika Wonwoo memeluknya dari belakang, memberi dekapan yang tak erat namun hangat. Mingyu bisa merasakan hyung itu mengistirahatkan kepala di punggungnya.
Mingyu menggenggam jemari Wonwoo, lalu mengayunkan tubuh keduanya pelan-pelan hanya untuk memberi kenyamanan pada Wonwoo.
"Hyung lelah, ya?" bisik Mingyu.
Punggungnya digusak oleh helaian rambut halus. Wonwoo menggeleng, namun gumaman yang keluar dari mulutnya jelas menunjukkan yang sebaliknya.
Mingyu melepaskan genggaman tangannya dan bangkit. Sontak Wonwoo mengangkat kepala kaget. Menyaksikan bagaimana Mingyu berlutut di hadapannya, kembali mengaitkan jemari mereka, dan menatap intens obsidian segelap malam Wonwoo.
Tidak ada seuntai kalimat, tidak ada aksi berarti. Mingyu hanya mengelus cincin di kelingking Wonwoo, lalu tangannya beralih menangkup kedua pipi hyung-nya. Sedangkan Wonwoo terus menatap dengan mata tajam khasnya yang entah mengapa kini berbinar sayu. Mingyu menarik nafas berat. Ia menunduk sebentar sebelum memulai.
"Aku tahu hyung menanggung terlalu banyak masalah. Tidak apa, kalau hyung mau menangis, menangislah. Bahuku selalu ada untukmu, hyung."
Wonwoo hanya diam.
"Janji padaku."
Kemudian Wonwoo mengangguk singkat.
Mingyu mengusap kedua pipi tirus itu sebelum menanamkan sebuah kecupan singkat. Ketika menjauh, ia menemukan Wonwoo yang membatu dengan mata membulat.
"Morning kiss." dan senyum lima jarinya terkembang kemudian.
Wonwoo mendengus. Balas mencium kening Mingyu yang kini sejajar dengan wajahnya. "Bodoh."
"Oh, astaga... aku menyaksikan hal yang tidak seharusnya kusaksikan di pagi hari."
Mingyu dan Wonwoo menoleh bersamaan, menemukan Hansol dan Seungkwan di pintu dapur. Hansol yang mengusap tengkuknya kikuk, dan Seungkwan yang pura-pura mengipasi wajah. Keduanya berusaha menatap objek lain—apapun selain kedua hyung yang sibuk berbagi kesenangan di dapur itu.
Mingyu berdeham lalu bangkit dari posisi berlutut, kini ia duduk anteng di meja makan. Wonwoo buru-buru menenggak habis air putihnya dan beranjak menuju tempat pencuci piring. Seungkwan mengikuti, mengambil satu boks sereal dan menawarkannya pada Wonwoo, dibalas anggukan dan setuju untuk menyiapkan sarapan bersama. Sedangkan Hansol menghampiri Mingyu dengan yogurt di tangan.
"Man, posisimu tadi itu sangat menjijikan." ia menggeleng pelan, raut wajahnya jujur tanpa beban.
Mingyu mengibaskan tangan. "Pujiankah itu? Tidak pernah lihat pangeran yang berlutut untuk putrinya, ya?"
"Komentar." kata Hansol. "Dan tolong jangan lakukan itu lagi. Ini bukan negeri dongeng, Pangeran."
"Terserah." Mingyu mengambil satu teguk ilegal dari yogurt Hansol, seketika ia menyudahi cairan itu mengalir ke tenggorokannya dengan wajah mengkerut. "Asam."
"Seasam dirimu yang belum mandi." seloroh Hansol.
"Memangnya kau sudah?" wajah Mingyu kini semakin mengkerut.
"Yeah, aku mandi pukul sebelas malam karena disuruh Shua hyung. Siapa yang bisa melawan keperfeksionisannya kalau sudah begitu?"
"Kau seharusnya lebih jantan."
"Masalahnya Shua hyung juga jantan." Hansol menyela, sedikit menyisipkan tawa di akhir kalimat. "Dan dia hyungku. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk membantah, right?"
Mingyu hanya mengangguk sekenanya. Kini ia menatap Wonwoo yang sibuk berjijit untuk mengambil susu, diikuti Seungkwan yang tanpa sengaja menjatuhkan sendok dan mengumpat kecil.
"Keputusan bagus untuk bangun lebih awal, kalian semua."
Keempatnya menoleh. Di pintu dapur Junghan menebar senyum kalem. "Pagi."
"Pagi, Hannie hyung."
"Mau sereal?"
"Boleh."
Tak lama, dapur mulai ramai oleh manusia-manusia sempoyongan yang datang dengan iler masih tersisa di sudut bibir. Kwon Soonyoung menjatuhkan kepala di meja, menjadikan lengannya sendiri sebagai bantalan. Lee Seokmin bahkan tak ketinggalan turut membawa guling kesayangannya ke sana—seolah kini dapur jadi pelarian tempat tidur selain kamar.
"Kalian kesini untuk sarapan, bukan untuk tidur. Bangun dan cuci muka!" Junghan berkacak pinggang.
"Hmmm~"
Dua pemalas itu akhirnya bangkit. Digiring oleh Junhui masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan apa yang diperintah Junghan. Lima menit kemudian semua siap. Bertiga belas mengelilingi meja makan, piring-piring mengkilap dengan menu pagi sederhana dibagi, dan deting sendok serta garpu bersahutan setelahnya.
Junghan bertopang dagu, meninggalkan serealnya untuk sesaat dan berkata. "Aku ingin kita membersihkan rumah hari ini."
"Tentu saja. Tinggal lihat siapa yang kebagian piket hari ini, dan semua selesai." balas Seungcheol.
"Tentu saja. Semua selesai jika kita semua yang melakukannya." kata Junghan lagi, kali ini lebih menekan.
"Maaf?"
"Aku ingin kita membereskan seluruh rumah hari ini. Kita berarti semua. Bertiga belas. Tanpa kecuali."
Seluruh meja saling tatap.
Soonyoung meletakkan sendoknya. "Aduh, aku sakit perut!"
Junghan memutar mata. "Tidak ampuh padaku, Soonyoung." Soonyoung kini cemberut di bangkunya. "Kita mulai bekerja pukul sepuluh nanti setelah mencuci—"
"Wow, wow, wow! Tunggu dulu!" Seungcheol spontan menyentuh bahu Junghan yang ada di sebelahnya. Tertua itu menelan kunyahan roti bakarnya sebelum kembali berujar.
Junghan menunggu dengan sabar.
"Biar kuperjelas. Kita baru saja sampai dari Busan hampir tengah malam, dan dalam beberapa jam lagi kau ingin kita kerja bakti membongkar rumah?" seru Seungcheol berapi-api.
Seluruh meja menyadari sedikit liur Seungcheol berhasil menciprati ujung hidung Junghan yang tetap kalem di tempat. Kalem dalam tanda kutip, yang artinya tanda bahaya.
"Ya. Aku ingin begitu. Kenapa?" kata Junghan final, dagu terangkat dan mata tajam membalas Seungcheol.
Dari ujung meja Seungcheol bisa mendengar 'makan, tuh!' penuh rasa puas dari trio BooSeonSook yang terkikik sembunyi-sembunyi. Detik berikutnya Seokmin tersedak roti bakar, kini Seungcheol yang terkekeh—namun berujung dengan bangkitnya Junghan dari meja makan dengan raut gusar. Ngambek lalu pergi.
Seungcheol pun terang-terangan mengumpat di depan seluruh dongsaeng-nya.
-0-0-0-
Bukan kemauan Wonwoo ketika ia berakhir mengikuti Junghan, Seungcheol, Joshua, Mingyu, dan Jun menuju gudang di sudut rumah. Bukan kemauan ia pula bertarung dengan debu-debu disana. Sudah kesekian kalinya ia mengibas wajah agar tidak terkena debu dan hanya disambut dengan tawa dari Mingyu.
"Semangat, hyung!" kata Mingyu ceria.
Wonwoo menyambar kemoceng dengan gusar. Ia melewati Jun yang mulai mengangkat kardus untuk dibuang dan berjalan menuju lemari kuno di pojok.
Wonwoo membersihkan lemari dan daerah pojok gudang yang memampung begitu banyak benda rongsok dalam diam. Sesekali peluh meluncur melewati pelipisnya, dan terkadang ia menerima dua tiga patah kata semangat dari para hyung yang juga bekerja. Atau sebuah cheer berisik dari Mingyu yang tak luput membuatnya jengkel.
"Jeon Wonwoo! Jeon Wonwoo!"
"Berisik, bocah."
Mingyu merengut. "Jahat. Tidak mau disemangatin oleh kekasihnya sendiri."
"Kau sudah ribuan kali menyemangatiku hanya dalam kurun waktu satu jam. Telingaku panas, tahu?" Wonwoo tak kalah sewot. Ia menggerakkan kemocengnya terlalu kencang hingga debu menerpa wajah Mingyu.
"Strike!" Jun menyela dari seberang ruangan. Tangannya teracung dan senyum geli terpampang lebar di wajah tampannya. Senang karena pagi-pagi sudah dapat dua drama percekcokan cinta antara Seungcheol-Junghan dan Mingyu-Wonwoo.
Sadar jadi pusat perhatian, Jun akhirnya terkekeh. "Habis ini siapa yang mau es krim?"
"JUN HYUNG MAU TRAKTIR ES KRIM!" high pitch Seungkwan menyahut dari ruang tengah. Seluruh rumah dibuat geger karenanya.
"Aku tidak bilang begitu! Aku hanya menawarkan es krimnya, kalau bayar mah, bayar sendiri." sang lelaki Cina segera menyela dengan rengutan.
"Yah... bubar, bubar." Joshua tertawa pelan sebelum mengomando dongsaeng-nya untuk kembali bekerja.
Semua kembali sibuk dengan tugas. Dari sudut mata Wonwoo bisa melihat Junghan dan Seungcheol sudah berbaikan. Keduanya bahkan bahu membahu memindahkan TV usang ke taman belakang. Tanpa sadar Wonwoo melepaskan senyum tipis, dan hal itu tak luput dari Mingyu yang sedari tadi curi-curi pandang pada hyung kesayangannya itu.
"Cie yang senyum, cie." Mingyu menjawil pipi Wonwoo.
Wonwoo mendadak gusar kembali.
"Senyumnya sambil liatin aku, dong."
"Ogah."
Mingyu—yang tak kenal kata lelah—bergerak hendak memeluk Wonwoo kalau saja suara Seungcheol tidak mengubrisnya.
"Oke, cukup sampai situ, kalian berdua." Seungcheol menarik Mingyu. "Bantu aku angkat yang lain."
Wonwoo hanya geleng kepala. Kini ia berjongkok untuk memungut beberapa sampah yang berserakan di lantai. Sibuk menyapu, tubuhnya pun kembali menubruk lemari kuno yang sedari tadi menyita perhatian.
Wonwoo memegang gagang lemari yang sudah berkarat. Satu tarikan—tidak terbuka. Wonwoo agak memaksa kali ini, dan berkat usahanya lemari itu pun menjeblak terbuka.
Sebuah kotak musik kecil jatuh di depan kakinya. Wonwoo kembali berjongkok. Tangan meraih kotak merah yang sangat kusam itu, lalu memutar-mutar benda tersebut penasaran.
"Hyungdeul."
Tanpa menoleh pun Wonwoo tahu kini ia jadi pusat perhatian manusia-manusia di gudang.
Dengan suara pelan Wonwoo bertanya. "Apa ini?"
Mingyu yang pertama kali bergerak maju. "Apa itu?"
"Mana kutahu. Aku bertanya duluan, kan?"
Junghan mendekat, disusul dengan Joshua yang menunduk karena ia berdiri paling dekat dengan Wonwoo.
"Oh—astaga!"
Seungcheol yang merasa di tinggal partner angkat barangnya pun datang menghampiri. "Apa sih, itu?"
Namun belum tiga langkah ia mendekat, sosok Hong Jisoo telah menghadangnya dengan tangan terentang.
"Jangan mendekat." suaranya dalam dan parau.
Seungcheol menaikkan alis. "Hah? Aku hanya ingin melihat—"
"Jangan mendekat, Choi Seungcheol! Ini perintah!"
Satu kecaman penuh intimidasi dari sahabat seumurannya itu berhasil membekukan Seungcheol. Seluruh ruangan terdiam, mereka yang bekerja di ruang tengah pun terkejut ketika mendengar teriakan tak biasa.
Mereka memperhatikan bagaimana hyung yang biasanya tenang itu kini bahkan tampak kesusahan mengatur deru nafasnya sendiri.
Joshua menggeleng putus asa. Ia tak bisa menatap ketuanya lebih lama lagi.
"Kumohon. Junghan, bawa dia keluar."
Seungcheol berbagi tatapan dengan Joshua. Mata pemuda Amerika itu bergetar, mereka tahu ada sesuatu yang ditahan dalam hatinya. Junghan mengalah dan berakhir menarik kekasihnya keluar.
Satu lirikan dari ujung mata Seungcheol mengiringi naiknya atmosfer buruk di seluruh rumah pagi itu.
-0-0-0-
"Omong kosong macam apa ini?!"
Mingyu merebut kotak musik di tangan Wonwoo sebelum merangsek maju. Ia berhadapan dengan Joshua setelah sebelumnya sempat di tahan Jun namun gagal.
"Kau tidak tahu apa-apa." lirih Joshua.
"Aku berhak tahu apa-apa, hyung." paksa Mingyu.
Yang lebih tua mengangkat dagu pongah. Demi Tuhan, ini bukan Joshua yang biasanya.
Mingyu menarik nafas berat. "Hyung, katakan padaku."
Joshua tidak bergeming. Mingyu mengguncang bahunya. "Ini soal 'masalah internal', kan?"
"Ini soal masa lalu yang mengekang kita! Dan ya, itu masalah yang sangat-sangat-internal." Joshua berujar dengan penekanan jelas di setiap kalimatnya.
"Kotak musik ini adalah penyebab awal terpecah belahnya kita semua! Tidakkah kau ingat kejadian saat itu?! Tidak ingat? Bagus. Lukamu sudah sembuh dengan baik, kurasa. Aku bersyukur."
"Hyung, tenangkan dirimu." sepatah kata dari Soonyoung membuat Joshua kini bersandar pada dinding.
"Isi dari kotak musik ini adalah penghancur kita. Penghancur Seungcheol."
Seluruh ruangan hening. Joshua menatap mereka satu per satu dengan tatapan nanar.
"Tidak banyak yang tahu. Aku bersyukur tidak banyak yang tahu."
Pandangan matanya jatuh pada Soonyoung yang mematung. Lalu pada sosok di belakang punggungnya yang bersembunyi dalam diam—Lee Jihoon.
Joshua kembali menghela nafas.
"Jauh sebelum kita hidup seperti saat ini. Jauh sebelum kita berkumpul bertiga belas."
Kenangan buruk itu memenuhi ubun-ubun kepalanya. Ia menutup mata lelah.
"Kita dikumpulkan satu per satu. Dan kejadian buruk tak henti-hentinya datang menghampiri kita—termasuk kejadian ini, kejadian paling buruk yang pernah kualami seumur hidup. Hanya ada aku, Seungcheol, Junghan, Soonyoung, dan Jihoon saat itu. Namun hanya Seungcheol yang dipilih untuk merasakan kepedihan."
Jeda yang tercipta terasa begitu mencekik. Dan kini Mingyu mengerti kemana arah kisah ini berlanjut, membuat dirinya mau tak mau menggigit bibir tak nyaman.
Joshua mengambil kotak musik di tangan Mingyu sebelum melemparnya ke tanah. Pecahan benda merah berbahan plastik pun berserakan. Kejutan kembali melanda mereka. Diantara pecahan itu, ada serbuk-serbuk putih yang ikut berserakan.
Kwon Soonyoung menutup matanya dan berbalik memeluk Lee Jihoon yang mengerang tak suka. Beberapa dari mereka menutup mulut tak percaya, termasuk Wonwoo. Mingyu memijat pelipisnya dan mengerang frustasi.
"Bohong..." sebuah patahan kata dari Seungkwan membuat Joshua kembali menatap mereka, kali ini matanya memerah dengan bulir bening menghiasi pupil karamelnya.
"Lihat apa yang ada di depan mata kalian? Benar, itu heroin. Seungcheol dipaksa menghirup heroin, Demi Tuhan, hanya untuk menjadi percobaan si brengsek itu."
Joshua memberi tatapan mematikan untuk Mingyu yang kini bergerak frustasi. Hyung itu meninggalkan ruangan yang terasa semakin kaku—meninggalkan seluruh kenangan buruk yang tersimpan disana tanpa bisa dilupakan.
Sedangkan Jeon Wonwoo berkedip dalam ketidakpahaman yang menyerang dirinya sendiri. Hatinya tak berhenti menjeritkan fakta bahwa ia masih terlalu baru disini, hingga bahkan tak mengerti bagaimana caranya bereaksi atas apa yang terjadi.
-0-0-0-
Mimpi buruk Jihoon adalah ketika ia teringat soal bagaimana ia dibuang oleh orang tuanya sendiri. Ketika ia sedang mencari cara untuk bertemu kembali, yang ditemuinya adalah fakta bahwa mereka telah di bawa pulang ke pangkuan Yang Maha Esa.
Namun mimpi paling buruknya adalah ketika ia melihat orang yang disayanginya—orang yang sudah ia anggap kakak sendiri, seorang pemimpin baik yang begitu dikaguminya—mengerang menahan sakit luar biasa di sekujur tubuh tanpa bisa dicegah, tanpa Jihoon bisa melakukan apapun untuknya.
Bagaimana mata yang selalu tersenyum dan memancarkan kehangatan itu mendadak dilingkupi merah yang mengerikan. Bagaimana sosok itu tak pernah lagi dapat sarapan dengannya, bagaimana sosok itu selalu terjaga sepanjang malam, dihantui oleh mimpi buruk, insomnia yang berkepanjangan.
Dan bagaimana sosok itu selalu berakhir melempar berbagai barang kepadanya dengan raut marah dan kesakitan disaat bersamaan.
Choi Seungcheol tidak salah apapun. Brengsek Tua Bangka itu yang patut dijatuhkan ke neraka.
Jihoon yang saat itu berumur delapan tahun hanya bisa menangis. Ia selalu ditarik mundur oleh Soonyoung ke kamar dan ditenangkan disana.
Ia memperhatikan bagaimana dua hyungnya, Joshua dan Junghan, berusaha keras menghentikan Seungcheol yang dikuasai halusinasi untuk berhenti melempar barang dan mencakari diri sendiri.
Mereka berlima bertahan dalam keadaan itu selama dua bulan, dan setiap harinya Seungcheol selalu dicekoki satu atau dua hisapan heroin. Joshua dan Junghan marah besar, mereka memberontak karena merasa itu tidak adil jika hanya Seungcheol yang menderita.
Mereka bahkan belum mencapai usia sepuluh tahun saat itu.
Hingga akhirnya Seungcheol sadar diri. Sadar bahwa sudah terlalu sering ia melukai dongsaeng-nya. Sudah terlalu sering ia mendengar jerit ketakutan Jihoon dalam tangisnya dan pekik penuh amarah dari teman seumurannya yang menyuruh untuk melepaskan diri dari halusinasi.
Bukan kemauan Seungcheol jika ia jatuh ke dalam alam bawah sadarnya. Bukan kemauan Seungcheol jika ia berakhir dalam narkoba. Itu semua adalah akal-akalan tuan mereka yang biadab bukan main.
Lepas dari narkoba memang bukan perkara yang mudah. Semakin kau berusaha menjauh, justru semakin candulah kau padanya. Seungcheol mati-matian berusaha lepas dan melakukan beberapa terapi otodidak dibantu teman-temannya karena tidak mungkin ia melakukan terapi di rehabilitas.
Saat umurnya dua belas, si Tua Bangka sadar bahwa usahanya sia-sia. Maka ia pun membebaskan Seungcheol begitu saja—seolah kesengsaraan Seungcheol tidak pernah terjadi, seolah ia tak pernah melakukan apapun pada Seungcheol.
Dan saksi dari kejadian pedih itu adalah kotak musik milik Seungcheol sendiri. Kotak musik itu pemberian dari orang tuanya. Seungcheol selalu memutar nada sederhana dari kotak itu sebelum tidur, bahkan ketika insom menyerangnya. Kotak itu menjadi tempat menyimpan heroin yang tersisa—disembunyikan oleh Joshua agar tidak ditemui oleh Seungcheol.
Hingga lima tahun berlalu dan kotak itu kembali ditemukan. Dan pedih itu kembali teringat tanpa diminta.
-0-0-0-
"Kotak musik ibuku."
Junghan menegang di sisi kekasihnya. Ia menendang rumput di depan sebelum menyahut kecil. "Tidak perlu diingat."
"Bahkan jika aku tidak mau mengingatnya pun hal itu pasti kuingat." dengus frustasi Seungcheol mengudara. "Jisoo tadi mengerikan sekali. Aku pasti sudah terlanjur menorehkan luka pada kalian, termasuk Jihoon dan Soonyoung."
"Kubilang jangan diingat, Choi Seungcheol!"
"Lihat? Bahkan sekarang kau membentakku. Aku tahu ini kesalahanku, dosaku. Aku tak pernah bisa lari dari realitas." tawa parau Seungcheol mengiringi kalimat itu.
Junghan tak tega melihatnya. Ia pun menarik Seungcheol dalam sebuah pelukan erat. Ia menahan air mata ketika ingatan itu timbul tenggelam di pikirannya tanpa bisa dicegah.
"Maaf, sungguh." bisik Junghan.
"Tidak, aku yang minta maaf, Han."
Junghan melepas pelukan. Ia menyentuh bahu Seungcheol. Bagaimana pun, Junghan tak pernah melihat bahu itu bergetar dalam tangis kesedihan.
Seungcheol memang sosok yang kuat, namun sekuat apapun Seungcheol, Junghan ingin melihatnya menangis sekali saja. Meluncurkan air mata dan memutahkan seluruh kesedihannya. Kalau Seungcheol memang melakukannya, Junghan akan dengan senang hati memberi sandaran.
Kala keduanya tenggelam dalam hening, Soonyoung dan Jihoon datang menghampiri.
"Mungkin tidak ada salahnya merenung sambil menikmati es jeruk?"
Senyum tipis terulas di bibir Jihoon selagi ia meletakkan nampan berisi kudapan ringan. Ia duduk di sebelah Seungcheol sementara yang lebih tua menelisiknya dari rambut hingga kaki, seolah Jihoon adalah orang yang tak pernah ditemuinya.
Lee Jihoon mengangkat tangan sejajar dengan bahunya.
"Baik, aku tahu ini konyol. Seharusnya aku menyiapkan Ice Americano saja dari pada es jeruk, tapi kumohon jangan tatap aku seperti itu."
"Aku hanya ingin meminta maaf." seloroh Seungcheol.
"Jangan ucapkan maaf kalau ini menyangkut masalah halusinasi-halusinasi sialan itu." kali ini Soonyoung yang menyela.
"Aku patut untuk dihukum."
"Jadi kau berpikir kalau kau pantas mati?!"
Ekspresi jenaka yang selama ini melekat dalam diri Soonyoung mendadak lenyap. Ia menatap ketuanya dengan mata berkilat marah, kontras dengan kesedihan yang tak kunjung surut.
Seungcheol berkedip, namun tak ada sedikit pun tremor dalam suarannya kala ia berkata. "Mungkin?"
Seungcheol merasakan genggaman Junghan mengerat ketika ia mengatakan hal itu.
Soonyoung menggeleng. "Tidak, hyung. Kalau kau memilih untuk mati, maka sudah seharusnya kita mati bersama-sama."
"Oh, itu kedengaran sangat puitis." Jihoon mengangkat gelas esnya dan menyesap cairan tersebut. "Kedengaran sangat jantan, dan itu menarik."
Yang terkekeh pertama kali ketika mendengar perkataannya adalah Junghan. Disambut Soonyoung, pemuda itu meninju bahu yang lebih tua semata-mata hanya untuk menyemangatinya—tak ayal untuk menciptakan senyum tipis di wajah Seungcheol.
Keempatnya menghabiskan waktu sambil berusaha menghalau kenangan itu agar tak terputar di pikiran mereka masing-masing.
-0-0-0-
"Senang melihat mereka?"
Mingyu menoleh dengan tangan bersedekap. "Aku tersanjung mereka tak berakhir menuai caci maki satu sama lain."
"Bagus."
Hong Jisoo hanya menggumam selagi ia melirik ke luar jendela dimana teman-temannya duduk. Bahkan atmosfer disana terasa mencekam tanpa perlu di lihat dua kali, hanya saja mereka berusaha menutupi seolah semua baik-baik saja.
"Keren sekali, hyung. Belasan tahun setelah kejadian itu kau tetap bersikap tenang dan menutupi semua amarahmu, dan semua itu luluh lantah hanya karena potongan kotak musik. Kau bahkan membentak Seungcheol hyung."
"Aku bahkan sudah belajar macam-macam umpatan sejak aku kecil, Kim, kalau kau mau tahu." sarkas Joshua cukup membuat Mingyu menurunkan dekapan tangannya.
"Kalau begitu, maki aku."
Jeda dingin tercipta kala Mingyu menatap pemuda keturunan Amerika itu dengan pandangan mata sungguh-sungguh.
"Aku tidak diajarkan untuk memaki orang yang tak bersalah." tukas Joshua. Nadanya tenang seperti biasa.
"Jadi menurutmu, Hong Jisoo, aku ini tidak bersalah?! Setelah semua yang kulakukan pada kalian selama ini?"
"Tolong, Kim Mingyu, berhenti berteriak dan gunakan otakmu sendiri untuk berpikir. Pikirkan jawabanmu sendiri apa kau bersalah atau tidak." kata Joshua lagi.
"Menurutku, ya."
"Dan menurutku, tidak." jawaban final Joshua mengiringi semakin dalamnya kerutan dalam dahi Mingyu.
"Alasannya?"
Joshua memberi tatapan dari ujung mata sebelum dengusan mengejek itu lolos dari bibirnya.
"Karena dosa tak bisa mengalir dari ikatan darah. Walau dia ayahmu, dia bukan siapa-siapamu hingga kau bisa menanggung dosa darinya."
Joshua menepuk bahu sang dongsaeng dan berlalu ke kamar. Dari sana Mingyu tahu, Joshua sedang mencoba menahan amarahnya sendiri. "Yang bersalah itu ayahmu, dan hanya beliau."
Hyung itu meninggalkan dirinya bersama keheningan. Mingyu memijat pelipis lelah. Ia menjatuhkan diri ke lantai yang dingin. Tidak ada yang mengganggunya saat itu, detik-detik terasa berlalu begitu lambat, kecuali ketika ia menemukan eksistensi Jeon Wonwoo di sudut ruangan. Mingyu tak bisa menghentikan diri untuk tidak melangkah mendekat dan memeluk kekasih kesayangannya itu.
"Maafkan aku..."
Dan Mingyu tahu Wonwoo tidak akan memberi balasan atas kalimatnya barusan.
.
.
.
.
.
To be continued
A/N:
Heyhoheyhoheyho~
Muehehe.
After a long time~ balik lagi edisi lebaran wkwkwk tau kok, saya lama bat hiatusnya. Tau iya, sedih saya TT^TT tau ini bukan chapter terbaik, lama-lama nungguin malah dikasih 3k+ doang /gampar aja boleh/
Gatau mau ngomong apa lagi. sudah terlalu lama tidak bersama sih.
MAU CURHAT AJA DIKIT. LAGI DEMEN BANGET LIAT RAMBUT ITEM MINGYU BALIK DAN WHAAAHHH BOO WITH RED HAIR AND JOSH WITH PINK HAIR kok jadi cantik ya katanya gentleman dAN WONU KAPAN BALIK SAYANK AKU SELALU MENUNGGUMU MUAH.
fin. selesai curhatnya.
Spoil dikit deh, buat chap 12 – isinya kilas balik Mingyu waktu ketemu svt yang lain. Artinya masih pada boncel boncel unyu unyu yhaaa. tapi siap siap ketemu Minwoo lagi oke? *wink* wkwkwk
Siplah. Udah kebales belom kangennya? Hime pergi dulu yak!
Pyong.
.
.
.
At least, review please?
And Minal Aidzin wal Faidzin guys~