Disaat yang lain menikmati cuaca November dengan menghabiskan waktu bersama yang terkasih dan saling berbagi kehangatan, aku di sini, berdiri di depan gedung yang menjulang tinggi, terus berdoa, mengharapkan kesembuhan kekasih yang masih terbaring lemah di dalam sana.
"I Hope Tomorrow Will Never Come".
Pairing : AkaKuro
Rating : T
Genre : Hurt/comfort, romance, angst
.
Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi
.
.
Kuroko's POV
"Akashi-kun, tadi pelatih memberikan kami pelatihan yang melelahkan lagi. Aku hampir saja pingsan. Kalau Akashi-kun pasti kuat kan?" tanyaku.
Ya, tubuh yang ringkih dan mudah terkena virus ringan ini memang selalu merasa cukup tersiksa dengan jadwal latihan tim basket yang cukup padat. Meski begitu, aku tak pernah ingin menyerah, karena aku yakin, suatu saat nanti aku akan bisa berada di samping Akashi-kun, men-supportnya dan sama-sama menjadi yang terbaik.
Lelaki yang sejak setengah jam tadi kuajak berbicara masih saja diam. Sebenarnya aku merasa cukup sedih karena aku ingin bisa berbicara dengannya seperti dulu lagi, saling melempar tawa dan senyum, berbagi kebahagiaan yang membuat orang lain iri. Ah, masa-masa indah...
"Aku tidak sabar ingin kembali bermain basket bersama Akashi-kun." jemariku terulur dan menangkap jari-jari panjang yang indah milik orang yang paling kucintai di dunia ini. Aku menggenggamnya, mencoba menyalurkan kehangatan lewat genggamanku.
Semua pembicaraanku hanya dibalas dengan keheningan, dan juga suara monoton dari mesin yang berada di samping ranjang, memperdengarkan bunyi detak jantung yang menandakan bahwa Akashi-kun masih di sini bersamaku.
Satu hari lagi terlewat tanpa ada kabar bahagia.
"Akashi-kun, cepatlah sadar. Aku merindukanmu.." ujarku lirih seraya menundukkan kepala, dan berdoa dalam hati semoga besok aku bisa berbicara dengannya, atau paling tidak menatap sepasang manik rubi yang selalu menjadi favoritku.
Kondisinya sekarang bisa dibilang cukup kritis, meskipun tidak separah waktu itu. Suara dering telepon yang tak henti memanggilku, sirine ambulan, suara orang-orang, malam itu jadi malam terburuk untukku.
Flashback
"Ah, aku bosan." Aku menutup novel yang sudah berulang kali kubaca. Belum sempat ke toko buku, jadi belum ada stok novel baru.
"Akashi-kun kapan datang ya.." batinku. Janjinya, malam ini Akashi-kun akan datang untuk menginap sambil mengajariku pelajaran yang sulit kumengerti. Namun tiba-tiba saja handphone di sampingku berbunyi. Entah kenapa terdengar seperti terburu-buru dan entah kenapa jantungku berdegup sangat kencang saat itu. Apakah ini, firasat?
Aku langsung menyambar handphone yang terus menjerit itu dan langsung menjawab panggilan. Oh, Akashi-kun..
"Halo-"
"Kuroko-san? Pemilik handphone ini mengalami kecelakaan dan sekarang akan menuju ke rumah sakit. Apa Kuroko-san bisa datang kesini secepatnya?" suara dari sebrang telepon terdengar sangat terburu-buru dan juga terdengar beberapa suara orang yang panik di belakang.
Apa? Kecelakaan? Pemilik handphone? Akashi-kun?
Aku terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. Tidak, tidak mungkin kan?
"Kuroko-san? Halo?"
Tidak. Ini semua bohong. Akashi-kun tidak mungkin...
Seketika itu aku beranjak, tak terpikir samasekali untuk membawa jaket atau berganti baju. Aku bergegas mengambil dompet, berlari menuruni tangga, mengabaikan teriakan orangtuaku yang terkejut melihatku begitu panik, lalu berlari keluar dan segera menuju rumah sakit.
Yang kuingat selanjutnya, lampu merah di atas pintu ruang operasi menyala dan seorang suster memintaku untuk tetap menunggu di luar dan berdoa.
Apa-apaan ini? Ini.. bohong, kan?
"Kuroko/Kuro-chin/Tetsu-kun/Tetsu/Kurokocchi!" suara teriakan dari teman-teman saat itu pun tak aku acuhkan. Otakku masih fokus dengan pikiranku sendiri. Kejadian mendadak ini benar-benar membuatku shock.
Dua jam kemudian, lampu merah yang sedaritadi menyala pun akhirnya mati. Semuanya sudah mulai tenang, semuanya berdoa dalam hati, tapi aku masih merasa tidak tenang samasekali, meskipun raut wajah ini terlihat biasa saja. Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka, memperlihatkan sebuah ranjang yang didorong oleh beberapa perawat dan lalu seorang lelaki yang sangat familiar untukku, terbaring tak sadarkan diri diatasnya dengan masker oksigen dan selang infus, juga selang lainnya yang aku sendiri tak mengerti untuk apa. Seketika aku berdiri mematung, kedua mataku membulat dan mulai berair, mengetahui bahwa hal ini benar-benar nyata. "Akashi-kun..."
"Pasien mengalami kecelakaan dan terkena cedera yang cukup parah. Sebelah tangan dan kakinya patah, tulang rusuknya retak dan benturan keras di kepalanya menyebabkan pendarahan. Sudah saya tangani, sekarang semuanya berdoa yang terbaik untuk pasien, agar bisa kembali sadar. Namun saya juga meminta agar saat pasien sadar, tidak ada yang mengagetkan dan tetaplah tenang."
Itu yang aku dengar dari dokter yang menangani Akashi-kun. Aku hanya bisa terdiam, dan meskipun teman-temanku memberikan semangat untukku, rasanya tetap saja sakit. Lalu sesuatu terlintas di pikiranku.
"Kenapa bukan aku..."
Sudah sebulan berlalu dari hari itu, dan aku masih setia di samping ranjangnya setiap hari sepulang sekolah, menemani hingga larut. Jika Akashi-kun sadar, aku yakin ia pasti akan melarangku tetap menjaganya hingga malam. Selama itu aku selalu menghabiskan waktu dengan bercerita, membaca buku sambil menggenggam tangannya, terkadang tertidur di samping ranjangnya karena lelah setelah berlatih.
Jam menunjukkan pukul 11 malam, itu berarti aku harus segera pulang. Saat seperti ini selalu menjadi saat yang paling tidak kusukai, karena harus berpisah dengan Akashi-kun.
Aku berharap bisa selalu ada di sampingnya setiap saat, hingga kedua matanya kembali terbuka...
"Akashi-kun.. aku harus pulang," ujarku seraya mengusap tangannya dengan ibu jariku lembut. Hal yang paling memberatkan bagiku adalah meninggalkannya seperti ini.
"Besok pagi, aku akan datang lagi. Besok kan hari minggu, aku akan menemani Akashi-kun seharian di sini." lanjutku dengan sedikit senyum. Aku melepaskan genggaman tanganku yang terasa sangat berat, memberikan kecupan selamat malam di dahinya dan kemudian meninggalkan ruang rawat.
"Tetsuya, jangan lupa bekal makannya ya." Ibu menyodorkan sebuah kotak makan padaku. Setiap minggu aku memang selalu datang ke rumah sakit sejak pagi, karena itu Ibu selalu menyiapkan bekal makan siang untukku.
"Iya Bu, aku berangkat." setelahnya, aku akan berada di rumah sakit lagi hingga malam.
Perjalanan menuju rumah sakit, sudah menjadi rutinitas tambahanku. Meskipun banyak orang bilang aku tidak perlu memaksakan diri, namun tetap saja aku tidak ingin meninggalkan Akashi-kun sendirian di sana, kesepian.
Oh ya, Akashi-kun dan aku sudah berpacaran selama hampir satu tahun. Saat itu Akashi-kun mengutarakan perasaannya padaku, saat malam di hari ulang tahunku. Setelah itu semuanya terasa sangat menyenangkan. Aku selalu berharap kebahagian akan selalu berada di sekeliling kami. Namun kenyataan berbicara lain, Akashi-kun harus terbaring selama ini di rumah sakit, tidak sadarkan diri sejak malam itu.
Firasat buruk selalu mendatangi, namun aku selalu yakin, Akashi-kun tidak akan pernah meninggalkanku.
"Akashi-kun, selamat pagi." aku menyapanya tepat setelah memasuki ruang rawatnya. Seluruh perawat di sini sudah biasa melihatku, dan tentu saja aku juga sudah mendapat izin untuk berada di sini untuk waktu yang lama.
Aku berjalan mendekatinya, lalu menaikkan selimutnya agar Akashi-kun tidak kedinginan. Dengan senyum yang terlihat dipaksakan karena terlalu lama menahan perih, aku menatap wajahnya. Akashi-kun semakin kurus ya...
Semakin lama, mataku terasa semakin perih. Hingga akhirnya aku menumpahkan tangisanku di sana. Sambil menggenggam erat tangannya, kutumpahkan seluruh rasa rindu yang aku rasakan selama ini untuknya. Untuk seorang kekasih, untuk yang paling dicintai.
"Akashi-kun.." panggilku. Rasanya perih, dan aku hanya bisa menangis saat itu. Dan saat itu pula aku merasakan sedikit gerakan dari jari-jarinya. Aku tersentak.
Seketika aku berusaha menghentikan tangisku, hanya untuk memastikan bahwa yang tadi itu bukanlah khayalan atau halusinasiku saja. Setelah beberapa saat menunggu, benar saja. Jarinya kembali bergerak, dan aku bisa dengan jelas melihat kedua kelopak matanya terbuka perlahan.
"Ah—" tak tahan dengan rasa bahagia, aku langsung menekan tombol di samping ranjang agar suster segera datang, dan aku memanggilnya dengan lembut.
"Akashi-kun... Syukurlah..." rasanya aku ingin berteriak, memeluknya, namun aku ingat apa yang dikatakan dokter, agar tidak membuat Akashi-kun terkejut.
Manik rubi yang kurindukan, terlihat... kosong.
A/N:
Yo, Minasan~ Yuu memutuskan(?) untuk memberikan readers sekalian kesempatan untuk menentukan ingin happy ending / sad ending di chapter selanjutnya~
Kalau ada ide untuk scene tambahan juga boleh! x3
Sebutkan di review ya~ :3