Previous Chapter
Sehun memandangi sekitarnya, senyum tak pernah luput dari wajah tampan miliknya. Setelah berjam-jam berdiri menyalami para tamu, Sehun dan luhan berkeliling di area ballroom menghampiri sahabatnya, juga mengahampiri beberapa relasi bisnis serta teman-teman semasa sekolahnya. Saat sedang berbincang-bincang dengan Kai dan Chanyeol, tiba-tiba Yunho menghampirinya.
Sehun mengernyit heran, menatap Yunho yang datang dengan nafas terengah-engah.
"Ada apa hyung?" Tanya sehun heran.
"Sehun. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu. Ini mengenai Yang Xi Min." Sehun menautkan alisnya. Yunho mencoba mengambil nafas dan kembali membuka suara. "Yang Xi Min—wanita itu, ia tidak ada."
"Apa maksudmu, Jung Yunho-ssi? Bisakah kau menjelaskannya lebih jelas."
"Aku baru mendapatkan kabar dari beberapa penjaga di kepolisian. Bahwa Yang Xi Min tidak ada, wanita itu, dia pergi melarikan diri."
Sehun terkesiap, rahangnya mengeras. "Bagaimana mungkin."
"Aku tidak tahu. Aku belum mendapatkan laporan secara mendetail, tapi yang pasti perketat penjagaan, jangan sampai wanita itu datang kemari untuk mengacau dan kembali berbuat ulah."
"Aku mengerti." Ucap Sehun. Ia kemudian mengedarkan pandangannya melihat keadaan sekitar dan menelisik diantara ramainya keadaan ballroom. "Tapi tunggu dulu." Sela Sehun. Ia kembali melemparkan tatapannya pada acara pesta pernikahannya.
"Dan, dimana Luhan?"
Blitz
.
.
.
Genre;
Romance, Drama, Hurt/Comfort
Warn;
Messing EYD, typo(s), OOC, GS!, Cerita Gaje de el el…
Rated:
M!
Cast:
Lu han
Oh Sehun
Pair;
Hunhan and other
…
..
Ssstt… hati-hati, typo(s) detected. Jangan kaget!
Ps. Kalo susah bayangin Yang Xi Min, bayangin aja Xi Min itu kaya Bellatrix di pilem Harry Potter, yah hampir sebelas duabelaslah, tubuh kurusnya rambut awut-awutannya dan kegilaannya :D
Oke, selamat membaca~~
.
.
Chapter 16: Our New Chapter
Luhan tak henti-henti menebar senyum manisnya, ia begitu bersyukur pada akhirnya hari ini akan tiba. Luhan bahkan masih tidak percaya bahwa kini ia mendapatkan seorang pria yang begitu menyayanginya, Luhan bahkan tak pernah membayangkan jika hari ini akhirnya akan ada. Bahagianya tidak dapat ditukar dengan apapun, bahagianya tidak dapat diukur dengan ungkapan kata semata—bahagia Luhan hanya bisa ditebus dengan curahan kasihnya, rasa setianya juga bukti cinta miliknya.
Luhan mengedarkan tatapannya. Sehun sedang menyapa beberapa sahabatnya dan sedikit berbincang dengan mereka. Luhan kembali tersenyum, ia lalu kembali mengedarkan pandangannya dan mencoba mencari-cari keberadaan Baekhyun dan Kyungsoo. Luhan sedikit meringis, kepalanya terasa pening, dan perutnya bergolak halus. Menggeram pelan, dengan penuh kehati-hatian Luhan melangkah. Berjalan hati-hati mencoba mencari tempat yang sedikit sepi.
Luhan menyandarkan tubuhnya, sedikit mengatur nafasnya, mencoba menghilangkan pening yang tiba-tiba mendera. Menegakkan tubuhnya, kembali mengambil nafas dalam—menghirupnya dan membuangnya, setelah semuanya dirasa kembali lebih baik Luhan mulai mengambil langkah mencoba mengahmpiri Sehun, tapi saat akan pergi beranjak seseorang menahan tangannya. Belum sempat Luhan menoleh, seseorang itu menyentak tangannya, menariknya menuju belakang tirai dan tanpa aba-aba menghempaskan tubuhnya pada sisi tembok dengan keras.
Luhan terdiam, sakit menghampiri kepalanya, ia mengerang pelan saat cairan kental itu turun menuruni wajahnya dan mengalir deras dari lubang hidungnya. Wajahnya dengan keras menghantam tembok,dan belum sempat Luhan mengambil nafas tiba-tiba seseorang membekap mulutnya, menodongkan satu pisau tajam tepat di pinggang miliknya.
"Hallo, Luhannie sayang~"
Luhan menegang, matanya terbelalak lebar mendengar suara dingin kaku dan mendayu sumbang itu. Melirik melewati bahu miliknya, dan Luhan harus menahan nafas saat melihat senyuman lebar dengan tatapan mata kosong dari bibinya.
"Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu, hem?" Xi Min memainkan pisaunya di depan wajah Luhan, terkikik kecil sembari memainkan darah yang mengalir di pelipisnya. "Ah~~ sepertinya kau baik-baik saja. Terlampau baik, bukankah begitu?"
Luhan mencoba mengatur nafasnya. Ia memejamkan matanya mencoba tenang dan mencari celah yang ada, dan saat ia akan mengambil tindakan—menyikut dada bibinya menedang kakinya serta berlari dan meminta pertolongan, bibinya kembali menyela.
"—jangan coba-coba kabur dariku." Desisnya dingin dengan mata berkilat datar. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan hem~~" Kemudian Xi Min terkikik dengan suara tawa yang melengking tajam, dan dalam satu hitungan waktu tawa itu terhenti dengan wajah datar dingin dan gelap. "Mencoba untuk kabur, rasa sakitlah yang berbicara. Dan jika berteriak, maka pisaulah yang akan membungkamnya"
Luhan balas memandang Xi Min tajam. Ia tidak mendengarkan gertakan Xi Min, Luhan malah melirik mencari tempo yang tepat dan saat selesai menghitung aba-aba, Luhan menyikut wajah Xi Min dengan keras sedikit merunduk dan menendang kaki Xi Min kuat-kuat. Dan berhasil! Luhan sedikit tersenyum senang, dan sekarang yang harus Luhan lakukan adalah berlari keluar dari lingkupan tirai ini. Namun sayang, belum sempat Luhan bergerak melangkah Xi Min segera menarik tangannya, mencengkram tengkuknya dan membenturkan wajahnya pada tembok.
Luhan merintih, tubuhnya merosot lemas. Pandangannya memburam dan pening itu berubah menjadi rasa sakit yang menjadi-jadi.
"Sialan!" Desis Xi Min, dia memandang Luhan sengit. Menunduk mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Luhan, tangan kurus Xi Min bergerak mencengkeram wajah Luhan.
"Apa Mau Bibi?!" Ucap Luhan tajam. Tidak. Dia tidak akan kalah lagi. Tidak untuk kali ini, tidak untuk hari bahagianya ataupun seterusnya.
Xi Min berdecih. "Mauku?" tanya Xi Min dengan alis tertaut dan menegejek. "Kau memang naif, Luhan. Mauku hanya satu. Kehancuranmu."
"Apa salahku?" Tanya Luhan sembari mencoba menyembunyikan getar ketakutakutannya. "Aku tidak pernah sekalipun mengambil keuntungan atasmu. Selama ini aku selalu menuruti apa yang Bibi inginkan, apa yang Bibi mau selalu aku berikan. Aku selalu mencoba berbaik hati pada Bibi, aku selalu mencoba untuk meraih dan menemani Bibi, tapi kenapa Bibi seperti ini kepadaku?!" Luhan mendongak menatap Xi Min nyalang.
Xi Min terbahak. Ia melirik kearah Luhan, lalu kembali mencondongkan tubuhnya pada Luhan.
"Dengar Luhan." Xi Min berbisik tepat di telinga Luhan. "Aku membencimu! Kau selalu mendapatkan apa yang kau ingin dapatkan, Kau merebut segalanya dariku, , seluruh keluarga, Si Tua Bangka bahkan Ayah dan ibuku turut kau renggut. Seharusnya aku yang bertanya, apa yang sebenarnya kau inginkan!" Xi Min menampar pipi Luhan keras. Ia lalu mencengkeram dagu Luhan. "Kelakuan naifmu saja sudah menarik segala yang aku punya, dan Guan Li ayah sialanmu kembali merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Xi Min berteriak murka dengan wajah memerah padam.
Xi Min lalu bangkit berdiri. Dia menyentak Luhan untuk mengikutinya.
"Lepaskan Aku!" Luhan mencoba meronta, suaranya teredam hinggar suasana acara pesta miliknya. "LEPASKAN AKU!"
"DIAM SIALAN!" murka Xi Min, wanita itu menghentak kepala Luhan dan dengan segera menyeretnya. Di balik tirai ini ada satu pintu menuju belakang hotel yang terhubung langsung dengan taman dan melewati beberapa blok hingga sampai pada salah satu kawasan distrik yang sedang mengalami relokasi.
Xi Min membuka pintu itu dengan kasar dan mendorong Luhan, melempar wanita yang kini telah resmi menyandang marga Oh dengan keras. Luhan mengerang kencang, tubuhnya beberapa kali berguling menuruni beberapa anak tangga sebelum terjatuh dengan hentakan yang menyakitkan. Luhan mengerang, ia sudah tidak sanggup lagi, ini menyakitkan, sangat.
Xi Min menghampirinya, dia menyentak tangan Luhan dan menyeret tubuh Luhan. Luhan berjalan tertatih-tatih, dengan nafas tersenggal. Ia melihat Xi Min yang menyeretnya begitu kasar. Luhan tersentak saat Xi Min kembali menghempasnya pada satu ruangan yang nampak kosong dan tidak terpakai.
Ruangan itu begitu redup, dengan pencahayaan yang hanya berasal dari lubang ventilasi udara dan debu beserta barang-barang tidak terpakai yang memenuhi ruangan. Samar-samar Luhan bisa mendengar suara gemuruh pesta perayaan dengan lagu klasik nan romantic dan riuh rendah para pengunjung tamu.
Menyedihkan, pikirnya miris.
.
.
.
.
"Dan, dimana Luhan?"
"Dimana Luhan?!" Tanya Sehun mulai frustasi. Ia menjambak rambutnya dan mengerang keras. "Sialan!" umpatnya. Sehun berbalik menatap Chanyeol dan Kai. "Kai, sebaiknya kau tanyakan pada istrimu dimana dia terakhir melihat Luhan, dan kau juga Chanyeol, tanyakan pada Baekhyun kapan mereka menemui Luhan."
Yunho menatap Sehun. Ia mengedarkan tatapannya pada seluruh penjuru ruangan. Mencoba untuk bersikap tenang.
"Aku akan menyuruh beberapa rekanku untuk mencari Luhan di sekitar sini. Dan kau ikut aku. Aku juga akan berbicara pada ayahmu juga ayah Luhan untuk mengalihkan perhatian para pengunjung dan mengakhiri pesta secara halus. Sementara itu kita focus mencari Luhan."
Sehun mengangguk paham, dengan dada bergemuruh ia mengikuti Yunho.
"Bagaimana bisa kau kembali kehilangan istrimu, Oh Sehun?"
Sehun memalingkan wajahnya, ia membuang nafas. "Aku dan dia—kami, sedang menghampiri rekan dan sahabat kami. Dan jangan berbicara seolah-oleh kau menyalahkanku!"
"Tahan emosi Oh Sehun! Kau tidak akan bisa mendapatkan jalan keluar bila kau masih dalam belenggu emosi, dan aku tidak menyalahkan mu!"
"Kau tidak paham sama sekali dengan apa yang aku rasakan, jadi bagaimana bisa kau menyuruhku tenang sementara istri yang baru saja kau nikahi berada entah di mana dengan satu sosok yang berkeliaran yang menginginkan nyawanya. Jadi bagaimana mungkin aku bisa tenang?!"
"Tapi setidaknya jernihkan pikiranmu terlebih dulu Oh Sehun! Kau tidak bisa bertindak gegabah, kau pikir dengan emosi kau bisa menemukan istrimu? Pikirkan baik-baik!"
Sehun mengepalkan tangannya, giginya bergemeletuk keras. Menarik nafas dan membuangnya, mencoba meredam emosinya. "Baiklah, jadi apa rencana yang kau punya?"
"Sekarang kau ikuti aku, kita akan pergi kebagian informasi untuk memantau CCTV, sementara kita mencari informasi, temanku akan memulai pencarian di sekitar hotel dan Hall tempat pestamu diadakan. Apa kau paham?"
Sehun melirik dan kembali membuang nafas. "Aku mengerti."
"Bagus, kita sebaiknya cepat bergegas, istrimu jelas dalam bahaya."
.
.
.
.
Yang Xi Min memainkan pisau di sekitar leher dan wajahnya, sedikit tertawa-tawa girang sebelum akhirnya menyipit tajam. Kulit beradu logam dan merah mulai merembas menghias sisi putih gaun miliknya.
"Kau tahu? Kau memang indah dengan gaun putih suci itu." Xi Min menarik pisaunya , sedikit tersendat saat logam itu tersangkut salah satu jaringan di bahu Luhan. Mengangakat pisaunya, dan memperhatikan merah pekat yang anggun melumuri, meluberi dan dengan dramatis menetes tepat di depan wajahnya. Tersenyum bodoh, mengejek dengan dengus dan kembali melempar senyum bengisnya—menatap rendah sosok yang hanya terduduk pasrah dengan mata menyorot hampa.
"Tapi bagiku." Lanjut Xi Min.
"Merah lebih memikat!" mengangkat pisaunya dan kembali menggoreskan tepat diantara tulang selangka, bergerak turun dan tertawa-tawa senang melihat darah itu turun segar dan merembas mewarnai gaunnya.
"Seharusnya." Bisik Xi Min di telinga Luhan. "Kau mengucap janji di depan altar, di hadapan Tuhan dengan cara yang sedikit lebih seksi. Mengumbar bahagia dengan senyum menggoda dan membalut diri dengan Luka, dan merah yang membara. Ah~~ bukankah ini indah?" Tanya Xi Min sambil mengelus halus rembasan darah dengan tangan selapis tulang miliknya.
"kau seharusnya berterimakasih padaku, karena membuat pestamu lebih berarti—dan yang terpenting, aku sudah membuatmu terlihat lebih seksi. Bagaimana, malam pertama dengan dawai nirwana, terdengar menggiurkan bukan?"
Luhan menggeleng kencang. Bibinya sudah gila! Apakah dia akan benar-benar membunuhnya? Oh ya Tuhan, bahkan ini adalah hari sacral bahagianya.
Luhan menggeleng. Tidak. Dia tidak akan pergi! setelah semua yang terjadi, apakah dia harus menyerah, dan mati konyol di tangan bibinya? Tidak, terimakasih.
Tapi bagaimana? Dia sedang terperangkap dengan psikopat gila di tengah keramaian pesta pernikahannya. Ia tidak mungkin melarikan diri! Jangankan pergi bangkit menendang kaki bibinya dan berlari kabur menghindari pelahap mautnya, tapi untuk sekedar mengeluarkan suarapun ia tidak bisa! Tenaganya terkuras habis, kepalanya berdenyut nyeri dan tubuhnya lemas dengan luka menganga di sekujur tubuhnya.
Luhan menepis tangan yang akan meraih wajahnya, menatap sengit, dan walaupun sia-sia—dia mencoba menjauhkan diri dengan menyeret tubuhnya.
"Kenapa, takut eh?" Xi Min bertanya lembut memiringkan wajahnya dan tersenyum kaku. "Aku hanya ingin mengantarkan kebahagian untukmu, apa itu salah?"
Luhan kembali menepis tangan itu, mundur perlahan dengan tubuh gemetar menahan takut sementara wajah mendongakangkuh menatap sengit pada sosok Xi Min.
Xi Min menggeram kesal, dengan keras ia meraih tangan Luhan yang nampak lebih bengkok—akibat kawannya, tentu. Dan kembali membengkokannya dalam satu hentakan keras yang menghasilkan teriakan keras dari Luhan.
Xi Min meraih dagu Luhan dan mencengkeramnya kuat, tersenyum mengejek melihat air yang mengalir di sudut mata Luhan, menatapnya tajamn dan kembali berdesisi dengan suara yang terdengar serak dan berat.
"Jangan melawanku! Atau aku akan mengantarkan kematianmu lebih cepat, Paham!"
Luhan dengan enggan mengangguk, mencoba membuat bibinya merasa senang, mengulur waktu dan berharap Sehun akan dengan cepat menemukannya—setidaknya itulah yang dipikirkannya.
Luhan meringis, tubuhnya terasa sakit—mati rasa lebih tepatnya, ia bahkan tidak mampu membedakan luka mana yang berdenyut nyeri, karena semuanya sama—menyakitkan. Tapi kali ini berbeda, sakit yang dia rasakan begitu sangat, bergolak, melilit dan seperti terbelah.
Menggeram pelan, ia membungkuk dengan punggung melengkung mencoba meredam rasa sakitnya. Tidak! Kenapa ini begitu menyakitkan, dia sungguh tidak bisa menahannya. Berteriak keras dan memeluk tubuhnya, Luhan hanya mampu memandang Xi Min yang berdiri menjulang di depannya. Wanita itu mencengkeram kedua sisi wajahnya, menyantak tubuhnya membiarkan Luhan terduduk dan mendongak menatapnya keatas.
"Kau tahu, lebih dari itu, yang ku ingankan hanya satu. yaitu—"
"KEMATIANMU!"
Sret
Jleb
Crash
Luhan memebelalakan matanya tak percaya, ia mencoba bernafas meraup udara yang terasa berat mencekiknya. Semua itu terjadi begitu cepat, bahkan ia belum sempat mengambil nafas tapi pisau itu terayun dan—darah! Ya, darah! Mengapa, tanya Luhan ia menatap bibinya dengan tatapan penuh tanya. Mengapa menjadi seperti ini?
Tanpa sadar Luhan menangis, ia masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan bibinya.
"Kau senang bukan?" Tanya Xi Min sinis.
"Bukankah ini yang kau inginkan?"
Tidak! Tidak! Luhan menggeleng kencang. Bukan! Bukan ini yang Luhan inginkan.
"Tidak! Bukan.. bukan ini! Apa yang bibi lakukan hah?!" Luhan berteriak marah dengan wajah memerah padam.
Xi min hanya mendengus pelan, tersenyum mengejek dan memejamkan matanya.
"TIDAK!" Jerit Luhan.
Luhan menyeret tubuhnya dan menghampiri Xi Min, memeluk bibinya yang kini ambruk terjatuh dan hanya berbaring dengan tatapan kosong. "TIDAK! Mengapa bibi lakukan ini hah?!" Luhan menangis terisak keras. Ia menatap luka besar yang menganga tepat di dada bibinya bahkan pisau yang sedari tadi digenggam bibinya masih tertancap di sebelah sana.
"TIDAK! BIBI JANGAN PEJAMKAN MATAMU!"
"Aniya!" Luhan menggeleng kencang dan menangis sambil terus memeluk tubuh Xi Min.
"Aniya!" Memeluk erat tubuh bibinya tanpa memperdulikan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Tidak! Bibi!"
"Mengapa bibi seperti ini! Aniya! Aniya—"
Luhan terdiam saat merasakan sebuah elusan halus di pipinya. Ia menatap bibinya yang kini melemparkan senyum lembut padanya—senyum lembut hangat yang diingatnya, yang hanya ia temui saat ia kecil dulu. Luhan berhenti menangis, ia memperhatikan bibinya yang dengan bersusah payan mencoba mengangkat kedua tangannya. Xi Min menangkup kedua pipinya dan menatap Luhan teduh.
"Kau cantik.." Bisik Xi Min, tersenyum samar dan mencoba menghapus air mata Luhan. "Berbahagialah." Lirihnya dengan mata yang semakin menyayu redup.
"Selamat tinggal. Ruru nakalku.."
Luhan mematung. Ia menatap dengan kosong sosok bibinya yang kini memejamkan matanya. Kedua tangan kurus itu kini terkulai lemas di samping tubuhnya, sementara kepalanya jatuh lunglai di pelukan Luhan. Tidak! Tidak akan! Apa maksudnya ini! Mengapa jadi seperti ini! Luhan menatap horror pada keadaan di depannya. Perlahan tubuhnya mundur secara hati-hati. Tubuhnya gemetar hebat dan wajahnya memucat pasi.
Luhan kembali memggeleng. Kenapa, kenapa selalu seperti ini?! Kenapa harus menjadi seperti ini. Luhan menutup mulutnya. Tubuhnya bergetar hebat dan matanya membelalak tidak percaya. Mengapa selalu seperti ini?! Luhan menjambak rambutnya frustasi, ia menggeram kesal dan menangis keras.
Memeluk lututnya Luhan lalu kembali menangis. "Kenapa harus seperti ini?!" tanya Luhan kesal. "Kenapa harus seperti ini, hah?! KENAPA?!" Pertama-tama Luna, dan sekarang bibinya, mengapa, mereka mati karena dirinya! Mereka mati karena dirinya!
Luhan tiba-tiba terdiam. Mulutnya membuka dan menutup mencoba meraup udara, ia membungkuk mencengkram perutnya kuat-kuat. Ini begitu menyakitkan, perutnya seperti dililit rantai berduri dan ditusuk-tusuk berkali lalu dibelah dengan isi yang diacak-acak kejam. Luhan bahkan tidak mampu mengeluarkan suaranya, yang bisa ia lakukan hanya bersandar lemas dengan dada yang mengembang dan mengempis mencoba memompa udara dan semuanya sia-sia.
Ia menatap Xi Min dan tanpa bisa dicegah ia kembali menangis, ia lalu menatap dirinya—dan tanpa bisa dicegah Luhan kembali jatuh turun, hanya bisa membatu dengan ribuan kata yang tersangkut di tenggorokannya. Luhan hanya bisa terdiam dengan sebagian nyawa yang sudah direnggut paksa dari tubuhnya saat ia melihat—
—melihat rembesan darah yang mengalir deras melewati kakinya, membasahi gaunnya, dan yang paling penting berasal dari kewanitaannya.
.
.
.
.
Pintu terbuka keras, menampilkan beberapa orang yang bergerak cepat memasukinya.
"Luhan!"
Sehun berteriak keras memasuki ruangan dengan dada bergemuruh hebat, ia mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Matanya memincing tajam mencoba menelisik diantara redupnya pencahayaan.
Berjalan penuh kewaspadaan, dan matanya terbelalak lebar melihat Luhan yang terduduk dengan keadaan yang menyedihkan.
"Luhan! Astaga!" Ia segera menghampiri Luhan, mendekapnya erat-erat. Sedikit tersentak kaget melihat sosok Yang Xi Min yang sedang terbujur kaku dengan pisau yang masih menancap pada dadanya—tapi Sehun tidak ambil pikir, ia kemudian menatap Luhan dan kembali memeluk sosok itu erat.
"Luhan!" Sehun berteriak mencoba memanggil Luhan yang sekarang nampak kehilangan sebagian nyawanya. "Kumohon, bertahanlah, aku akan membawamu pergi, bertahanlah arraseo!" Sehun mengecup bibir pucat Luhan. Membuka jas miliknya dan dengan segera memasangkannya pada tubuh Luhan, dan kemudian menatap Luhan, memperhatikan wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya. Luhan tampak mencoba bernafas meski begitu sulit, binar matanya redup dan menyorot hampa.
Mengangkat tubuh Luhan dan membawanya pergi, setengah berlari dan menghampiri rekan-rekannya yang lain.
Namun ada satu hal mengganjal yang Sehun rasakan. Ia merasa tangannya basah oleh cairan hangat yang terus mengalir diantara dua kaki Luhan. Ia kemudian melihat Luhan, wanita itu nampak begitu lemas hanya terdiam sambil sesekali meringis pelan memegangi perutnya.
Sehun tiba-tiba memucat mendapati sesuatu yang menghantam kesadarannya. Tidak, dia bukanlah lelaki bodoh yang tidak mengetahui apa arti semua ini. Ia menegang, tidak! Darah itu keluar semakin banyak. Dan ia melihat Luhan, wanita itu tampak semakin melemah, nafasnya semakin memburu sementara wajahnya memutih pucat.
Sehun segera berlari menghampiri Yunho dan teman-temannya. "Hyung! Aku menemukan Luhan, dan dia dalam keadaan bahaya Hyung! Aku harus segera membawanya pergi."
"Aku mengerti." Angguk Yunho. Menatap pada Sehun dan kedua sahabat Sehun, Yunho mengangguk mengerti. "Kau pergilah terlebih dulu bersama mereka. Biar mereka yang membawa mobil dan kau fokus dengan Luhan, aku akan mengurus beberapa hal terlebih dahulu, aku menyusul."
Sehun mengangguk dan segera berlari kalut diikuti kedua sahabatnya. Memasuki mobil dan membiarkan Kai yang menyetir.
"Bagaimana?" Tanya Chanyeol, pria itu melirik kecil melewati bahunya, melihat Sehun yang berada di bangku belakang.
Sehun tidak menjawab, ia hanya menggeleng pelan, dia semakin erat memeluk Luhan sambil sesekali membersihkan wajah Luhan mengecupi wajahnya dan berbisik halus di telinga Luhan, mencoba menenangkan istrinya mencoba mengirimkan sinyal bahwa semua akan baik-baik saja meskipun ia sendiri agak sedikit sangsi.
"Sehun, bagaimana Luhan, bagaimana keadaannya?" Tanya Chanyeol sekali lagi.
"Aku tidak tahu Yeol, apakah ini buruk atau buruk sekali! Dan bisakah kalian mempercepat laju mobilnya! Keadaan Luhan jelas tidak bisa menunggu lagi."
"Aku sudah menjalankannya dengan kecepatan maksimal Oh Sehun," Sahut Kai dari bangku kemudinya. "Bersabarlah sebentar, kita akan sampai beberapa saat lagi." Kai kembali mendorong tuas kemudinya saat lampu jalanan berubah menjadi hijau. Sementara Sehun, semakin mengeratkan pelukannya pada Luhan, membenarkan tatanan rambut Luhan dan mengusapnya lembut. Berbisik pelan sambil terus berusaha membuat Luhan tetap terjaga.
"Bertahanlah, aku mohon, bertahanlah sayang. Bertahanlah, kau adalah wanita terhebat yang pernah aku temui setelah ibuku, jadi aku mohon bertahanlah..."
.
.
.
.
.
Sehun menunggu sambil menatap dengan cemas pintu tempat dimana Luhan ditangani. Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok, pikirannya kalut, keadaan Luhan jelas tidak baik-baik saja, terlebih lagi dengan kenyataan baru yang membuat dia merasa semakin bersalah juga merasa tidak berguna lalai dan membuatnya menjadi semakin takut juga tidak percaya.
Bayinya.
Ya, bagaimana dengan keadaan bayinya, Sehun sungguh dibuat terkejut. Ia hanya merasa menjadi mahluk paling bodoh saat ini. Kemana saja dia, kenapa setelah hampir kehilangan baru dia menyadarinya. Lagipula sejak kapan Luhan mengandung anaknya, memang belakangan ini Luhan sering bersikap aneh manja banyak maunya, tapi Sehun pikir mungkin itu karena dia baru saja pulih dari kejadian buruk yang menimpanya, sempat Sehun berpikir apakah Luhan hamil—tapi sungguh pikiran itu hanya melintas sejenak dalam kepalanya—karena sejak ia melakukan suatu hubungan dengan Luhan, besoknya Luhan langsung mendapatkan perlakuan yang begitu kejam. Jadi, bagaimana mungkin dia dapat melakukan fertilisasi dengan sempurna jika sejak awal dibuahi keadaannya tidak baik-baik saja.
Keajaiban.
Ya, ini adalah keajaiban. Tapi ia kembali menggeram frustasi saat tahu nyawa anak berserta istrinya dalam keadaan antara hidup dan mati. Mengusap kepalanya kasar dan mengerang keras.
Sehun menoleh, saat seseorang menepuk bahunya, dan dia mendapati Yunho yang berjalan dengan pembawaan yang begitu tenang.
"Bagaimana keadaan Luhan?" Tanya Yunho sembari menatap adik sepupunya.
"Dia sedang ditangani di dalam. Aku tidak tahu, tapi yang pasti ini bukan keadaan baik-baik saja."
"Berdoalah." Tanggap Yunho lagi. "Aku percaya Luhan adalah wanita kuat, berdoalah semoga dia baik-baik saja."
Sehun hanya menunduk, melonggarkan dasinya dan membuka dua kancing atas kemejanya. Mengangguk kecil dan kembali menyandarkan tubuhnya pada dinding.
"Aku juga ingin menyampaikan informasi." Sehun menoleh menatap Yunho. "Ini mengenai Yang Xi Min." Tahu bahwa Sehun sama sekali tidak tertarik, dan tidak ingin mendengar tentang hal ini, maka Yunho kembali mengangkat suara. "Aku tahu kau tidak ingin mendengarnya, tapi bagaimanapun juga dia adalah bibi dari istrimu yang berarti menjadi bibimu juga."
"Ada apa hyung? Ada apa dengan dia?"
"Sebenarnya dia datang ke pesta pernikahanmu dengan sengaja ingin mengucapkan selamat tinggal. Tidak lama ini Xi Min dimasukan dalam ruang perawatan tempatnya ditahan. Dia ternyata mengidap kanker hati, dan mungkin usianya tidak lama lagi." Jeda sejenak, Yunho memperhatikan Sehun yang hanya diam menunduk.
"Xi Min, dia melarikan diri saat petugas akan memindahkan ruangan padanya, ia melarikan diri dan ya, datang kepestamu, sengaja ingin menemui Luhan dan mengucapkan selamat tinggal, meskipun dengan cara yang salah. Bahkan, dia jugalah yang membunuh dirinya sendiri, menusukkan pisaunya tepat di bagian dadanya."
"Aku tidak tahu apakah ini penting untukmu, tapi yang pasti hal ini sangat penting bagi istrimu, dia terguncang, dan akan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian bibinya."
"Lalu setelah ini kau akan melakukan apa?" Tanya Sehun pada Yunho. "Aku akan mengikuti apa yang ingin kau lakukan. Aku tidak ingin mengambil langkah apapun terlebih dahulu, keadaan istriku saja masih belum jelas, maka untuk sementara waktu aku akan diam saja."
"Terserah kau, Sehun. Aku tidak akan memaksamu." Jawab Yunho. "Mungkin setelah ini, aku akan mengantarkan jasad Yang Xi Min pada keluarganya di China, dan aku akan memastikan Han Sora tidak kembali berbuat ulah dan tetap mendekam di dalam penjara."
Sehun mengangguk. "Aku paham hyung. Lakukan yang terbaik, aku percaya padamu."
Yunho melemparkan senyumnya pada Sehun. "Aku percaya kalian pasti bisa menghadapi ini." Kembali menepuk bahu Sehun. "Dan aku juga ingin menyampaikan permintaan maaf dari ayah dan ibumu serta kedua mertuamu, mereka untuk saat ini tidak bisa hadir menemanimu di sini karena ada beberapa masalah yang harus mereka selesaikan di pesta."
Sehun mengangguk. "Tidak apa, aku mengerti."
Pintu terbuka ruangan Luhan terbuka, Sehun mengalihkan tatapannya. Ia kemudian menegakkan tubuhnya dan dengan segera menghampiri dokter yang baru saja keluar.
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?"
Sang dokter hanya terdiam, menatap Sehun tepat di kedua matanya dan menunduk pelan.
"Maaf.."
Dan bahu Sehun kembali merosot, ia mendengarkan apa yang dokter jelaskan padanya. Sehun hanya mampu terdiam lemas dan kepalanya terasa berat, mencoba melangkah menghampiri ruangan Luhan sebelum akhirnya semuanya menggelap.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dua tahun, setelahnya.
Sehun berdiri di depan sebuah pusara dengan satu buket bunga segar di tangannya. Tersenyum tipis. Memejamkan matanya saat ketenangan melingkupi tubuh lelahnya. Menghirup nafas dalam-dalam menyesapi angin yang mendesau halus.
Dua tahun.
Sehun tersenyum saat mengingat kejadian waktu itu. Setelah hari pernikahannya.
Tidak terasa, dua tahun telah berlalu sudah, berlalu meninggalkan begitu banyak kenangan yang tersimpan.
Pikirannya kini melayang pada bayang-bayang kejadian di hari pernikahannya.
Setelah kejadian itu Sehun jatuh sakit hingga dua bulan lamanya. Keadaan perusahaan dan agensinya kacau saat beberapa awak media mencium ada sesuatu yang janggal di pesta resepsi pernikahan Sehun dan Luhan, mereka akhirnya mencari-cari tahu apa yang terjadi, menggunjing dan melebih-lebihkan cerita tentang kejadian yang menimpa kehidupannya. Terus menerus meneror keluarganya dan mencari-cari informasi dengan segala cara.
Sehun akhirnya mampu bangkit, setelah ia pulih dari sakitnya, dan keadaan kembali tenang, Sehun kembali menyerahkan tanggung jawab agensi pada ibunya. Dan dia ikut membantu ayahnya untuk mengembangkan perusahaan, membuat beberapa kegiatan produksi baru dan mencoba melebarkan sayapnya—mencoba memperluas cakupan pasar di beberapa negara di Asia dan Eropa.
Dan mengenai Luhan, Sehun kembali tersenyum, pikirannya kembali melayang-layang pada kejadian lalu.
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?"
Sang dokter hanya terdiam, menatap Sehun tepat di kedua matanya dan menunduk pelan.
"Maaf.."
Sehun hanya mampu terdiam. Dia kemudian kembali mendengarkan apa yang dokter sampaikan padanya. "Istri anda mengalami pendarahan yang hebat, kami bahkan hampir kehilangan nyawa mereka, tapi istri anda adalah sosok yang kuat, dia dan bayinya mampu bertahan. Tapi meskipun seperti itu, istri anda saat ini masih dalam keadaan kritis dan kandungannya begitu rentan dan lemah, aku tidak tahu, setelah ini apakah bayi anda bisa dipertahankan atau tidak. Tapi semua kembali tergantung pada keadaan istri anda. Jika dia mampu bertahan dengan kondisinya, kami mungkin bisa mempertahankannya, tapi jika tidak, aku ragu, bahkan mungkin keselamatan mereka berdua terancam, dan dengan berat hati kami harus mengambilnya."
Sehun hanya mendengus pelan, setelah mendengar hal itu dia akan menghampiri Luhan dan malah berakhir jatuh pingsan. Tersenyum pelan, dan Sehun kembali mengingat-ngingat apa yang terjadi setelahnya.
Setelah kejadian itu kedaan Luhan tidak bisa dibilang baik-baik saja. Emosinya kembali terguncang, bukanlah perkara mudah bagi Sehun dan keluarganya untuk menarik Luhan agar kembali seperti semula, bahkan beberapa kali juga Luhan hampir kehilangan bayinya.
Keadaan saat itu sangatlah buruk. Apalagi ditambah pers yang begitu gencar menyebarluaskan berita, melebih-lebihkannya juga mengusik kehidupan mereka. Jelas, hal ini berimbas begitu besar pada kesehatan Luhan.
Bahkan di bulan ke empat Luhan mengandung, keluarga mereka sepakat untuk mengambil bayi dalam perut Luhan, dan Sehun juga dengan berat hati menyetujuinya. Tidak, bukan keinginan Sehun jika buah hatinya direnggut secara paksa seperti itu, tapi bagaimana lagi, keadaan Luhan begitu buruk, dengan kedaan seperti ini justru kehamilan Luhan akan mengancam nyawa Luhan dan bayi dalam kandungannya. Bahhkan mereka hampir kehilangan Luhan dua kali saat itu, mereka mencoba mempertahankan kandungan Luhan, namun apa boleh buat, keadaan Luhan masihlah terguncang, dia kembali tertutup, tidak ingin melakukan apapun, tidak untuk tidur tidak juga untuk makan, dia hanya terdiam dengan tatapan kosong dan terkadang tiba-tiba kehilangan kesadaran dan mengalami collapse.
Dan pada saat hari dimana mereka akan mengambil bayi Luhan, Luhan barulah membuka suara. Ia menangis dan berteriak-teriak tidak ingin bayinya diambil. Terus menangis dan tidak ingin didekati siapapun bahkan Sehun sekalipun. Hingga akhirnya Sehun mengambil langkah mendekati Luhan dan mendekapnya erat-erat. Memeluk wanita itu hangat dan sembari mengusap-ngusap punggungnya menenangkan.
Sehun lalu berkata. "Luhan, aku tahu ini berat untukmu, aku tahu ini sulit, tapi bisakah kau bertahan, bisakah kau lebih peduli pada tubuhmu? Ingatlah Luhan, sekarang kau tidak hidup sendiri, ada mahluk lain yang kini hidup dalam perutmu, menemanimu dan mencoba bertahan denganmu. Jika kau memang ingin bayimu—bayi kita, baik-baik saja, hiduplah dengan baik, apa kau tidak merasakannya? Bayi kita begitu hebat, dia mampu bertahan bahkan dengan apa yang terjadi selama ini, dan apakah kau ingin menyia-nyiakan usaha bayi kita untuk bertahan?"
Luhan sedikit terdiam, ia lalu menatap Sehun. "Dengar Luhan," Sehun mengusap wajah pucat Luhan, mengantarkan tangan Luhan menuju perutnya. "Apa kau bisa merasakannya?" Tanya Sehun. Dan Luhan tersentak, saat merasakan gemuruh halus yang bergolak samar dalam perutnya, ia lalu menatap Sehun. Menutup mulutnya dan kembali menangis memeluk Sehun.
"Jika kau tidak ingin bayi ini diambil, maka jangan buat hidupmu seperti ini, jika kami mempertahankannya sekalipun itu tidak akan mengubah apapun, kau malah menyiksa Uri Aegya dengan kondisi seperti ini, mungkin dia akan bertahan, tapi takan lama. Bagaimana pun juga, Uri Baby, butuh Umma untuk tetap menjaga dan melindunginya." Sehun mengusap bulir air mata di pipi Luhan. "Jadi, apa kau mau berubah hem? Dengar, aku di sini bersamamu, hanya untukmu dan selalu menjagamu, jangan takut kembali oke? Dan hiduplah dengan baik, ingat, Uri Baby juga membutuhkan Uri Umma."
Dan setelah itu, Luhan mau kembali pulih, dia tetap berusaha meminum obatnya dan memakan makanannya, menjalani pemeriksaan dan memperbaiki hidupnya. Sedikit banyaknya, kehadiran bayi Luhan membawa pengaruh begitu pesat dalam hidup Luhan.
Dan akhirnya hari persalinan itu tiba, Luhan melaksanakan operasi, karena ia tidak mungkin melaksanakan persalinan secara normal, keadaannya masihlah belum pulih seutuhnya. Dan saat Luhan sadar dia mendapati, satu sosok jagoan kecil yang hebat dan sehat. Tampan seperti Sehun, dengan mata kulit hidung bahkan dagu dan bibir yang begitu serupa, benar-benar kopian yang begitu sempurna. Luhan bahagia, tentu. Ia bahkan menangis penuh haru sembari memeluk Sehun erat. Memperhatikan jagoan pelengkap hidupnya yang tampak begitu pulas berbaring di dalam kotak inkubator.
Sehun hanya tersenyum kecil dan balas memeluk Luhan yang kini terduduk di kursi roda. "Berbahagialah... setelah semua yang terjadi, kau pantas mendapatkannya. Kau adalah kebahagian ku, aku menyayangimu." Luhan tidak menjawab saat itu, hanya menangis dan terus menangis memeluk Sehun erat-erat sampai dia jatuh terlelap.
"Pa! Papapapp! Gyu gyu Pap Pa!" Sehun tersentak, ia kembali tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati puteranya yang menatap tajam padanya sambil berteriak-teriak heboh.
"Haowen-ah?" Sehun mengerutkan alisnya kemudian tertawa keras. "Aigoo.. Papa pikir kau akan menunggu bersama Mamamu di sana, nak. Kenapa malah berada di sini heum?" Sehun mengangkat Haowen tinggi-tinggi, meninggalkan Haowen yang memekik heboh.
"Pap Pa! Gyu gyu! Haaarrwwwtt Papaapaappp!"
Sehun malah tertawa kencang mendengarkan celotehan aneh dari anaknya. Ia bergerak menggigit pipi Haowen, meninggalkan Haowen yang berteriak keras dan mulai menangis kencang.
"Oh Sehun! Astaga, kau ini mengapa jahil sekali!" Luhan muncul dari belakang dan menatap Sehun tajam.
Sehun hanya menyengir, ia lalu menatap Luhan dan kembali tersenyum. Merengkuh bahu itu dan memeluknya. "Uri Umma mengapa keluar, heum? Bukankah Umma sedang tidak enak badan?"
Luhan hanya tersenyum, memejamkan matanya dan semakin membenamkan kepalanya pada ceruk leher Sehun.
"Aku juga ingin menemui Jie-jie... apa itu salah?"
Sehun tersenyum, dia mengusap pipi Luhan lembut. "Tidak, hanya saja aku tidak mau Umma sakit lagi, bukankah begitu Haowen-yaa?"
Haowen yang merasa dipanggil hanya mengerjapkan matanya tidak mengerti, memiringkan kepalanya dan menatap Sehun penuh.
"Pa! Papapap! Gyu gyuuuu!"
Sehun terkekeh gemas, ia segera bergerak memenuhi wajah putranya dengan kecupan kecupan ganas, yang meninggalkan jeritan tidak terima darinya.
"Oh Sehun!" Jerit Luhan lagi, suaminya ini benar-benar! "Kau ini senang sekali menjahili anakmu, kau lihat dia kembali menangis! Kemarikan Haowen padaku!"
Luhan segera memangku Haowen dan memeluknya dengan penuh kasih, mengusap rambut putranya dan mengecup wajah tampan itu dengan lembut. "Haowen-ya. Putra Mama, kesayangan Mama, jangan menangis lagi arraseo?" Luhan mengecup hidung kecil Haowen dan kemudian turun menuju bibir kecilnya. Haowen hanya memekik heboh dan tertawa-tawa bahagia mendapatkan ciuman dari Luhan. Balita berumur empat belas bulan itu dengan segera menerjang Luhan memeluk leher Luhan erat.
"Ma mama! Gyu gyuu ma ma! Gayahahaha mamamammmm!" Luhan tertawa-tawa mendengarkan anaknya berteriak heboh padanya. Ia lalu kembali memeluk Haowen dan mengusap rambutnya.
Sehun hanya tersenyum kecil. Ia menatap teduh pada Haowen dan Luhan. Dan kembali melihat kedepan pusara itu.
"Noona, terimakasih." Ucap Sehun dengan senyum tipisnya. "Terimakasih atas segalanya, kau telah membantuku menemukan kebahagianku."
Luhan melirik pada Sehun. Bergerak menurunkan Haowen dan ikut berjongkok. Menatap Sehun dan melemparkan senyum manisnya pada Sehun.
"Jie-jie.." Tersenyum lembut dan mengulurkan tangannya mengusap nisan itu. "Terimakasih. Terimakasih sudah mau menitipkan mimpimu padaku. Terimakasih, telah mempertemukanku dengan takdirku. Tanpa mimpimu, mungkin aku sudah lama tiada ditelan kebodohanku, mungkin aku masih meringkuk, merangkak di balik ketakutanku tanpa mau kembali bangkit. Berkat mimpiku, aku mau berdiri tegak dan bertahan untuk menggapainya—ya meskipun aku sadar aku melakukannya dengan cara yang salah." Luhan tertawa pelan dan kembali bangkit.
"Dan untuk Haowen-ah," Luhan mengecup pipi Haowen gemas, disusul oleh Sehun yang mengecup sebelah pipi Haowen lainnya, lalu memeluk putranya hangat. "Terimakasih, sudah hadir di hidup Mama dan Papa. Terimakasih sudah mau bertahan, terimakasih sudah mau menguatkan Mama. Mama menyayangi putra tampan Mama."
"Dan untuk Oh Sehun." Luhan menangkup pipi Sehun, pria itu tampak begitu gagah dan tampan dengan si kecil Oh dalam gendongannya. "Terimakasih sudah mau hadir di hidupku. Sudah mau mencintai orang seperti aku, sabar atas diriku dan mau memperjuangkanku, memberikan kebahagian untukku." Luhan bergerak mendekat pada Sehun dan mengecup pipi Sehun. "Aku mencintaimu, lebih dari sangat."
Sehun tersenyum merengkuh bahu Luhan, dan mendekapnya.
"Dan untuk kalian berdua," Sehun menatap Luhan dan Haowen, mengecup pipi gempal Haowen dan bibir manis istrinya. "Terimakasih sudah hadir dan melengkapi ketidaksempurnaanku. Sudah mau dan sanggup memberikan ruang di sudut hatiku, memberikan kebahagian yang nyata dan tidak terukur."
Sehun menatap Luhan dan tersenyum penuh syukur. "Kita akan tetap bersama, saling berpegangan, menatap senja, mengukir kenangan, meraih mimpi dan mencapai kebahagiaan. Setelah semua yang terjadi, kita akan tetap bersama, membuat mimpi-mimpi baru dan menciptaka keajaiban. Menyambut takdir yang datang menjelang dan saling berjanji akan terus bersama-sama. Sampai senja datang, sampai tua menjelang dan sampai maut memisahkan."
"Inilah akhir kita. Dengan kisah kita. Tidak akan ada akhir kebahagiaan bagi kita, karena hidup adalah bahagia terindah, dan hidup adalah pengorbanan paling mengagumkan. Kita belajar dari pahitnya hidup, dan kita hidup dalam perih manisnya takdir yang terus bergolak berirama menuntun hidup kita. Dan kita—"
Sehun dan Luhan saling memandang satu sama lain, sebelum akhirnya saling melemparkan senyum.
"—akan terus berjuang bersama-sama." Saling menatap dan Sehun melangkah mendekat, menghampiri Luhan dan menyatukan wajahnya.
"Dan Oh Sehun."
"Nde?" Luhan bergerak menjauh dan menepis tangannya. Sehun menatap Luhan heran.
"Aku lapar~~" Rajuk Luhan. "Aku belum selesai menghabiskan sarapanku, tapi kau menyeretku!"
Sehun hanya menghela nafas, ia memijit pelipisnya, semoga Luhan tidak minta sesuatu yang aneh-aneh untuk bayaran kekesalannya.
"Baiklah.. Baiklah.. jadi Mama lapar, eoh?" Tanya Sehun lembut yang disambut anggukan semangat dari Luhan.
"Arraseo! Arraseo, jadi Uri Mama ingin makan apa, hem?"
Luhan tersenyum cerah dan menatap Sehun dengan binar anehnya.
"Aku ingin makan bubur!"
"Baiklah—"
"Tapi dengan potongan stoberi, cherry, ayam, keju, cabai yang pedas dan ah! Aku mau bubur itu beraroma bergamot juga hangat, tidak ada bau ayamnya tapi harus diperbanyak dengan telur dan daging! Bolehka... bolehkann?" Luhan menatap Sehun dengan senyum manis dan mata membulat lebar.
Sehun dengan berat hati menganggukan kepalanya. Ia sedikit sangsi, tapi, apa boleh buat, dia tidak mau menerima amukan dari wanita yang kini telah resmi menyandang marganya.
"Tentu Baby Lu, kau bisa mendapatkannya."
"Dan Haowen-ah!" Sehun mengangkat Haowen tinggi-tinggi yang menghasilkan pekikan heboh dari si bayi. "Sepertinya kau akan mendapatkan adik baru, selamat ya Haowen Hyung!"
Dan setelahnya hanya ada suara derai tawa dan pekikan bahagia yang menghangatkan suasana sepi tempat ini.
Cerita mereka memang belum berakhir,cobaan hidup mereka akan selalu datang menghiasi. Tapi kebahagiaan, akan terus terselip diantara sela-sela genggaman mereka, diantara hangatnya cinta mereka.
.
.
.
.
.
.
.
E
N
D
.
.
.
.
.
.
.
Hula hai haiiiiii~~~
Saya apdet kembalii, hiksss akhirnya... rencananya sih mau apdet berjamaah sama para sesepuh mesum di tanggal 31, tapi apa daya, saya ada keperluan mendadak jadinya apdetnya hari ini. Tapi meskipun begitu, saya apdet gak sendirian kok, saya barengan sama author keren dan juga author favorit saya Summerlight92 hihihi... katanya sih kak ima mau apdet anuann hihihi...
dann akhirnyaaa setelah sekian lama saya nulis ini end jugaaaa… huwweee saya terharu hikseuuu.. gak nyangka orang gesrek kaya saya bisa bikin beginiann.. dan yang terpenting bisa sampe ennnddd… ini adalah ff komplit pertama saya :') /apaansii dasar lebayy/
saya mau ucapin terimakasih yang sebanyak-banyaknya, buat yang sudah mau membaca ff gaje saya, yang udah support saya yang udah ngasih kritik dan saran buat saya. Jujur saja, saya belajar banyak dari ini saya belajar banyak dari reader-nim semuanya :')
semoga kedepannya saya bisa nulis lebih baik lagi, semoga kedepannya saya bisa belajar lebih banyak lagi.
Oh iya, mungkin ini agak sedikit telat buat berkenalan.. tapi mendingan telat daripada enggak sama sekali kan? tak kenal maka tak enaena eeaaaa xD, okeyy.. panggil saja saya Dee (Dark Eagle's Eye) /biar keliatan kewren .-./ atau kalo mau, panggil saja saya Nitty nitnit nitnet nitnat nitno—atopun sejenisnya. Saya masih muda kok /keliatankan betapa labilnya saya/ yaa sekitar beberapa tahunlah di bawah Sehun.
Okey mungkin itu yang saya sampaikann.. maap kalo cuap-cuap saya kepanjangan dan kegedeann /sing pentingmah muat buat luhan is okehh masih d tolerir/
Over all, bagaimana dengan cerita saya?