Tampan. Bermata besar. Hidung mancung. Bibir tebal berwarna merah muda. Gigi rapi. Senyum menawan hati. Rambut hitam yang selalu membuat para perempuan memekik tertahan. Tinggi semampai. Kemampuan interpersonal yang baik, ditambah pula bakat bermusik yang membuat gadis-gadis sekolahan menjeritkan namanya setiap kali Heavy Noise tampil. Lengkap.

Park Chanyeol itu paket komplit.

Tapi yang namanya manusia, tidak ada yang sempurna. Begitu juga Chanyeol. Karena itu Baekhyun memutuskan untuk…

.

.

.

Kazuma House Production

Proudly present…

.

.

.

Petite

® 2015

.

.

.

"Aku mau kita putus."

Sepasa bola mata besar itu melotot. Ucapan pacar mungilnya membuat coklat penas yang sedang ia tenggak salah masuk jalur ke tenggorokan. Ia terbatuk. Dan seakan sudah bulat dengan pendiriannya, Baekhyun enggan mengulurkan tissue sama sekali.

"Astaga, Baek. Kau mengagetkanku!" Chanyeol menyeka cairan coklat lengket di sekeliling mulutnya.

"Aku mau putus!" desak Baekhyun lagi.

Kedua alis gadis imut itu nyaris-nyaris menyatu. Bibirnya manyun. Sementara Chanyeol merasa Baekhyun sedang merajuk seperti biasa. Jadi dia tidak menanggapi serius.

Tangan Chanyeol meraih buku menu yang terselip di belakang kotak tissue. Matanya menyelidik bagian dessert, mencari menu kesukaan Baekhyun. "Kau mau waffle?"

"Chanyeol! Aku serius!" bentak Baekhyun membuat seisi cafe seketika hening. Kepala-kepala pengunjung dari seluruh penjuru menolah pada dua pasangan muda di kursi dekat jendela itu. Chanyeol pun turut terdiam di tempat.

Baehyun mendengus. "Sudahlah!" Ia meraih tasnya dan keluar, meninggalkkan Chanyeol, menyisakan hentak kaki, mengembalikan kehidupan yang sempat terpusat padanya.

Sedetik kemudian otak bodoh Chanyeol sadar. Baekhyun tidak main-main. Ia meletakkan selembar uang tanpa melihat lagi nominalnya dan berlari mengejar tubuh kecil kekasihnya yang mudah sekali tenggelam dalam lautan pejalan kaki.

"ByunBaek! Ya! ByunBaek!" seru Chanyeol. Kepalanya melongo ke sana kemari, persis teropong di puncak Namsan Tower.

Sungguh, Chanyeol tidak tahu apa masalahnya. Padahal minggu alu dia dan Baehyun masih menonton konser jazz bersama. Memang sih hubungan mereka tidak lepas dari adu muut beberapa kali. Tapi yang menjadi permasalah mereka tidak lebih dari perihal sepele. Paling parah dan bikin Baekhyun sebal soal kesibukannya dengan Heavy Noise yang kadang lupa waktu.

Selebihnya, Baekhyun adalah pacar paling suportif yang pernah Chanyeol punya.

Ini konyol!

Eh. Eh. Eh!

Jangan-jangan karena kesibukannya itu, Baekhyun malah sudah berpaling darinya?

"Baekhyun!" panggil Chanyeol melihat gadis yang belum ia akui sebagai mantan kekasih masuk ke sebuah Pajero Sport putih tanpa menoleh padanya. Mau berlari pun pasti tidak akan terkejar karena mobil itu langsung melesat pergi seperti buronan polisi.

Nampaknya dugaan Chanyeol yang terakhir benar.

"Argh!"

.

.

.

.

.

"Jarum mana?"

"Hei! Tolong bantu aku! Di sini taplak mejanya lepas!"

"Kiriman bunga dari Golden Florist!"

Sabtu sore yang cerah tidak membuat para karyawan Viva Polo bisa bersantai sambil menikmati teh di dapur. Sejak tadi siang kompor tidak kunjung mati. Desing metal saling bergesekan memenuhi udara. Teriakan sana-sini ikut mewarnainya. Mereka lalu-lalang dari lantai satu ke lantai dua restoran italia tersebut. Menyusun kursi dan membantu tim dekor mendandani seisi lantai teratas dengan balon-balon helium warna putih dan biru muda. Bukan itu saja, para pengantar bunga turut bolak-balik mengirim mawar-mawar putih dan idup sebagai bagian dari dekorasi.

Wajar saja, nanti malam akan ada perayaan ulang tahun ke-20. Usia terpenting para remaja Korea.

Yoora sibuk mondar-mandir, mengecek segala persiapan yang mereka lakukan. Mulai dari kesiapan tempat, makanan, minuman, dan papan pemberitahuan yang ternyata belum dipasang sama sekali. Kakinya berhenti melangkah saat ekor matanya mendapati sosok jangkung adiknya mengelap piring di pojok dapur tak ubahnya mayat hidup bertatapan kosong.

"Hei!" Ia menepuk pundak Chanyeol dan laki-laki itu nyaris menjatuhkan piring. "Tumben belakangan kau lebih sering di sini. Tidak ada panggilan job dengan Heavy Noise?" tanya Yoora.

Hari Sabtu seolah sudah dibooking oleh Heavy Noise dan menjadi jadwal paten Chanyeol. Kalau tidak latihan, mereka akan tampil di pensi-pensi sekolahan, ataupun dia akan pergi kencan dengan Baekhyun. Mustahil rasanya menemukan Chanyeol di retoran keluarga mereka kalau bukan karena ocehan panjang ibunya.

Chanyeol menggeleng lemas. "Aku berhenti dari Heavy Noise."

"Aku apa?" tanya Yoora tidak percaya.

"Aku tidak nge-band lagi."

"Kenapa?"

Heavy Noise itu hidup Chanyeol. Band yang dirintis Chanyeol bersama teman-temannya dari nol sejak kelas 10, dari band yang hanya dikenal di lingkungan sekolahnya, sampai sekarang sering diundang tampil ke sekolah lain dan cukup untuk menambah uang jajan. Bahkan demi Heavy Noise, Chanyeol rela tidak mendapat uang jajan selama sebulan penuh—diboikot ibu.

Lagi-lagi Chanyeol hanya memberikan gelengan. Dia memasukan piring ke lemari dan beralih pada gelas-gelas basah. Ini jelas bukan Chanyeol.

"Serahkan tugas ini ke Mingyu. Kau bantu tuning di atas saja," perintah kakak Chanyeol itu. Setidaknya Chanyeol akan lebih produktif di sana.

Chanyeol tidak membantah. Ia segera melesat ke lantai dua, membereskan satu set alat musik yang masih berantakkan. Dibantu Namjoon, DJ yang disewa pemilik acara, mereka menempatkan keyboard, gitar, dan sound system. Chanyeo mentuning gitar dan bass, semetara Namjoon menguji coba suara perangkat disk jockey yang ia bawa.

"Hahaha…"

Tawa renyah yang akrab di telinga Chanyeol terselip di antara bunyi petikan gitar. Otomatis kepalanya menengadah, melihat Baekhyun menaiki anak tangga dalam balutan mini A-line dress warna putih. Rambut coklatnya yang bergelombang diikat di tengkuk dengan pita berwarna senada.

Chanyeol pikir ia sedang bermimpi karena terlalu merindukan Baekhyun—anyway, gadis itu benar-benar memutus segala kontak dengan Chanyeol, baik ponsel maupun sosial media. Dia jadi seratus kali lebih sulit untuk ditemui seminggu belakangan.

Tapi tidak. Gadis itu nyata. Ia memeluk sebuah kotak besar sambil tertawa-tawa dengan seorang lelaki berjas putih di belakangan membawa kotak yang sama.

"Ya! Noona! Berhenti menertawakanku!"

"Hahahaaa… itu lucu, sih, Sehun!"

Sehun? Jadi itu lelaki yang merebut pacarnya?

Mata Chanyeol menajam seakan ingin menelan Sehun bult-bulat. Ia mulai menilai lelaki tinggi berambut hitam yang dibelah dua di tengah. Cih! Tidak ada bagus-bagusnya. Apa pula kelebihan lelaki ini dibanding dirinya? Gigi gingsul. Cadel pula. Bah! Chanyeol lebih baik.

.

.

.

.

.

"Eer… Noona. Kau kenal lelaki di sana?" bsik Sehun sembari menunjuk orang yang ia maksud lewat matanya.

"Siapa?" Baekhyun menoleh. Matanya terbelalak, sama sekali tidak menyangkan Chanyeol aka nada di sana. Dia pikir Chanyeol akan menghabiskan Sabtu ini di studio band-nya seperti biasa. Mana pernah Chanyeol memunculkan batang hidungnya di sini.

"Abaikan saja," ucap Baekhyun dingin lalu kembali fokus membereskan souvenir di meja tamu, membuat Sehun sedikit bertanya-tanya dalam benaknya. Tapi ia menurut saja dan tidak berkata apa-apa lagi.

"Eh, kau suah bilang ke Yoora Eonnie belum? Cincinnya?" tanya Baekhyun.

Sehun menepuk dahi. "Oh ya! Cincinya! Sebentar ya, aku turun dulu."

Lelaki yang 2 tahun lebih muda darinya itu meinggalkan dia dalam keheningan yang aneh bersama Chanyeol. Entah sejak kapan musik berhenti. Namjoon sama sekali tidak terlihat dimanapun. Baekhyun berusaha fokus pada kotak-kotak plastik berisi gelas kristal di meja, meski diam-diam ia berdoa agar bayangan lelaki yang kini mendekatinya bukanlah Chanyeol.

Please, jangan.

"Baek Hyun."

Baekhyun menahan napas tanpa sadar saat suara berat yang seminggu ini absen dari gendang telinganya, menyebut namanya dengan pelafalan yang begitu tepat di tiap suku katanya. Baekhyun tahu, ia tidak bisa lagi kuncing-kucingan. Ia hanya punya satu pilihan. Menghadapi Chanyeol

"Hai, Chanyeol," sapa Baekhyun dengan senyum terbaiknya. "Tidak sibuk?"

"Seperti yang kau lihat." Chanyeol menggedik. "Sekarang aku bekerja di sini."

Baehyun mengamati penampilan Chanyeol yang lebih kusut dari hari-hari kemarin. Wajahnya memucat dengan rambut-rambut tipis mulai tumbuh di philtrum dan dagu. Jelas bukan Chanyeol yang tidak pernah bolos mencukur. Rambutnya pun naik-naik tidak beraturan, membuat tangan Baekhyun gatal ingin merapikannya.

Tapi tidak. Ia tidak bisa seenaknya. Chanyeol bukan lagi pacarnya.

"Bagaimana dengan Heavy Noise?"

"Aku meninggalkannya."

"Apa?" Reaksi Baekhyun tidak berbeda dari Yoora. Chanyeol mengulum senyum tipis. "Kenapa?"

Chanyeol dan musik adalah soulmate. Duet paling menawan yang pernah Baekhyun lihat. Chanyeol begitu hidup di tengah pita-pita nada yang mengudara di sekitarnya. Tidak seperti sekarang. Hidup tapi mati. Bernapas tapi tidak beroksigen. Berdetak tapi tidak mengalir.

"Gwaenchanhayo?"

Baekhyun berusaha keras menampik mata Chanyeol yang berbicara padanya. Menuduh Baekhyun sebagai sumber kematian jiwanya. Tanpa sadar Baekhyun menggeleng, menepis isi pikirannya.

Ibaratnya, Chanyeol itu sumber energi dan Baekhyun hanyalah salah satu kawat tembaga yang mengalirkan listrik. Bukan siapa-siapa. Tanpa dirinya, energi itu akan tetap ada.

"Baek, aku masih tidak mengerti kenpaa kau minta putus."

"Aku—"

"Bukan karena laki-laki tadi, kan?" desak Chanyeol.

"Baek Noona!" Oh tepat sekali Sehun muncul di saat-saat seperti ini Sehun mendekat tanpa mengerti apa yang terjadi. "Sebentar lagi kuenya datang. Ini kwitansinya. Aku jemput Luhan dulu." Ia menyerahkan secarik kertas pada Baekhyun, lalu pergi tanpa menggubris keberadaan Chanyeol.

Atensi Baekyun kembai pada lelaki tinggi yang membuatnya selalu mendongak saat bersamanya meski sudah pakai heels setinggi 12 cm. "Chanyeol, tolong jangan rusak acara ini," pesannya sebelum turut meninggalkan Chanyeol.

Chanyeol tercenung. Baekhyun menggambarkan gadis batas yang begitu jelas antara dirinya, tanpa Chanyeol tahu sumber masalahnya. Tekad itu timbul dalam hatinya. Ia kan menghapus garis pensil tersebut, berapa kalipun Baekhyun menggambarnya.

Selama belum ada cincin di jari manisnya, Chanyeol masih punya kesempatan, kan?

.

.

.

.

.

Baekhyun tidak tahu harus iri atau bagiamana melihat Sehun memperlakukan Luhan layaknya putri negeri impian. Sepupunya itu berulang tahun ke-20, tidak punya niat apapun untuk merayakannya, tapi malah mendapat surprise party paling manis juga mahal dari pacarnya, Sehun. Sebuah acara untuk kalangan teman-teman terdekat yang dibalut dalam makan malam formal. Semua ini murni isi kepala lelaki 19 tahun itu—dan disokong dana dari kedua orang tua Luhan yang super sibuk. Tapi entah bagaimana Baekhyun yakin Sehun turut merogoh kocek pribadinya.

Entah nasib apa yang membawa Baekhyun sehingga Sehun menjatuhkan pilihannya pada restoran ini di antara banyaknya restoran Italia lain di seluruh pelosok Seoul.

"Sejak tadi dia melihat ke arahmu terus, lho!" bisik Luhan di tengah lamunan Baekhyun. Luhan meunjuk pria di balik keyboard yang sejak awal mengalunkan melodi-melodi lembut, menemani makan malam mereka.

Baekhyun memandang Chanyeol, tepat saat mantan kekasihnya itu sedang memandang dia—atau bisa dibilang lelaki itu tertangkap basah sedang mengamatinya.

"Isn't he hot?" Luhan terkikik.

"Semoga Sehun tidak mendengarnya," balas Baekhyun tak acuh. Ia lebih memilih menekuni panna cotta di piringnya.

Seperti biasa, Chanyeol tetap mejadi pusat perhatian. Bukan sekali atau dua kali teman-teman Luhan mendekatinya, meminta foto bareng dan dilayani Chanyeol dengan begitu baik. Tapi Baekhyun tahu, itu bukan senyum terbaiknya. Itu senyum lelah dan tanpa harapan. Hanya topeng belaka.

Hari semakin larut dan pesta semakin gila. Makan malam itu berubah menjadi acara klub malam. Lampu digelapkan, menyisakan gelang-gelang fosfor di pergelangan tangan masing-masing menyala. Speaker berdentum, mengikuti nada-nada yang diciptakan sang DJ. Laki-laki dan perempuan jadi satu di tengah ruangan, menggoyangkan badan layaknya tak ada hari esok.

"Tidak ikutan?" tanya Chanyeol saat merapikan piring di meja.

Baekhyun mendongak pada lelaki berkaos hitm Viva Polo tersebut, kemudian mengeleng.

"Kenapa?" Chanyeol ingat Baekhyun senang sekali menari meskipun tidak menguasai teknik apapun. Dia ratunya kalau soal klub. Bahkan Chanyeol hanya bisa menonton dari bar kalau sudah melihat Baekhyun turun ke lantai dansa.

"Kakiku sakit."

Chanyeol melirik ke bawah, melihat heels tinggi berwarna khaki yang selalu membuatnya meringis ngilu. Ia tidak tahu bagaimana Baekhyun bisa bertahan berdri di atas sepatu-sepatu mengerikan itu. Ia khawatir Baekhyun akan keseleo saat menggunakannya.

"Lepas saja."

Mata Baekhyun langsung memicing ajam. "Ya! Nanti aku tenggelam di antara yang lain!"

"Daripada sakit." Ia menggedikkan bahu

"Dasar tidak peka!" gerutu Baekhyun. "Sudah kuputusin pun tetap saja tidak peka!"

Telinga lebar Chanyeol berhasil menangkap kata yang terdengar ganjil di kalimat Baekhyun. Putus? "Apa hubungannya?"

"Tentu saja ada! Aku benci tinggi badanmu! Aku jadi terlihat semakin pendek saat bersamamu. Gadis-gadis itu selalu menganggapku sebagai adikmu sekalipun aku sudah pakai high heels. Dan kau!" Baekhyun menunjuk dada Chanyeol. "Lelaki berhati batu, tetap saja memberikan fanservice pada mereka!"

Setelah menumpakan semua uneg-uneg yang Chanyeol tidak pernah tahu, napas Baekhyun berubah memburu. Dadanya naik turun tak beraturan.

Matanya Chanyeol mengerjap beberapa kali.

Baekhyun pun sadar pada apa yang barusan ia ucapkan. Rona merah muda menghiasi pipi tembamnya. Ia segera mengambil clutchnya lalu dengan terburu-buru meninggalkkan pesta.

"Baekhyun!" seru Chanyeol di tengah musik keras yang berkumandang.

Dia tidak menyangka hal ini akan terulang lagi. Kali ini ia tidak akan kehilangan Baekhyun. Tidak. Tidak lagi.

Kaki panjangnya melintasi restoran. Nyaris menabrak Mingyu yang sedang mengantar seloyang pizza panas. Tidak sekali ia mengumpat. Dia benar-benar menjadi pusat perhatian di lantai satu. Kakinya terus bergerak keluar ke trotoar. Kepalanya menoleh kiri dan kanan, mencari sosok berbaju serba putih.

"Aduh!"

Seruan itu seakan menjadi sinyal bagi Chanyeol akan keberadaan gadisnnya. Ia mendekati gadis yang tersungkur di tengah jalanan berbatu blok sambil memegangi kakinya. Ringisan menahan sakit mengalun dari bibir merah mudanya.

"Kenapa harus lari, sih? Seperti penjahat saja," dumal Chanyeol.

"Eh! Eh! Kau mau apa?" serunya saat lelaki itu menyelipkan lengan di bawah lipatan lutut dan pinggangnya. Dalam satu hentak, tubuh kecil Baekhyun sudah berada dalam gendongan Chanyeol. Baekhyun segera melingarkan lengannya ke leher Chanyeol. Gadis 21 tahun itu menyembunyikan wajahnya di dada Chanyeol, menghindar dari tatapan orang-orang yang saat itu melintas.

Chanyeol membawanya kembali ke Viva Polo. Ia didudukkan di sebuah kursi terdekat. Chanyeol meninggalkannya selama semenit untuk mengambil sebaskom air, sebuah handuk bersih, dan kotak P3K dari dapur.

Baekhyun meremas pundak Chanyeol sambil menahan nyeri ketika Chanyeol membersihkan luka kemerahan di lututnya. Perasaannya sedikit membaik saat hembusan napas dingin Chanyeol tiupkan ke lukanya yang sudah selesai ditotoli larutan iodine.

Dengan lembut, Chanyeol melepas sepatu berhak tinggi itu dari kedua kaki Baekhyun, membuat Baekhyun merasa dirinya adalah Cinderella. Chanyeol turut memplester bagian tumitnya yang lecet karena sepatu baru tersebut.

"Kakimu bengkak. Mungkin terkilir," ujar Chanyeol. Tangannya tidak berhenti memberikan pijatan ringan di sana.

"Yeol, sudahlah. Aku tidak apa-apa," cicit Baekhyun.

Tindakkan Chanyeol kembali menuai perhatian pengunjung restoran. Mereka menunjuk Chanyeol sambil berbisik-bisik. Bukan itu saja, para pelayan ditambah Yoora juga melihat. Bahkan ada yang terang-terangan mengambil video mereka. Baekhyun kan jadi malu.

Meski sudah tidak lagi memijat kaki Baekhyun, Chanyeol belum beranjak dari posisi jongkoknya di depan Baekhyun. Lelaki itu sibuk memandangi wajah Baekhyun. Menggambar tiap lekuknya dalam ingatan. Rasanya sudah lama sekali tidak melihat wajah kekanakan itu dalam jarak sedekat ini. Apalagi kini pipi Baekhyun kembali memerah.

"Ya! Berhenti memandangiku!" Baekhyun membuang wajahnya ke samping.

Chanyeol malah tertawa. "Kau memilih putus karena tinggi badan?"

"Itu salah satunya."

"Salah duanya?"

Bibir Baekhyun kembali manyun. Ia memainkan kedua jarinya di depan dada. Saling meremas jempol. "Kau terlalu dekat dengan fans-mu. Au tidah maslaah kalua hanya foto. Tapi waktu itu kau sampai dicium, Chanyeollie! Dan kau sama sekali tidak menolak!"

Otak Chanyeol berusaha memanggil ingatan yang Baehyun maksud.

Oh, yang itu…

Waktu itu Chanyeol baru selesai tampil di pensi sebuah sekolah. Baekhyun ikut menemaninya. Seperti biasa, ada saja gadis-gadis yang minta foto dengannya. Tapi kali itu tiba-tiba ada gadis yang mengecup pipinya. Ia tersentak, tidak tahu harus berbuat apa sekali nyengir bodoh demi sopan santun. Segera saja ia membungkuk lalu meninggalkan avenue karena ia tidak tidak melihat Bakehyun dimanapun. Dia pikir Baekhyun sudah jalan duluan.

Ternyata…

"Yang lebih menyebalkan ya itu. Mereka sering menganggapku sebagai adikmu—malah kadang tidak dianggap—karena aku pendek," cerita Baekhyun. Ia menunduk, lebih memilih memperhatikan ujung dressnya yang kotor setelah jatuh tadi daripada wajah Chanyeol.

"Aku suka tinggi badanmu. Kecil, jadi mudah dipeluk dan dicium," kata Chanyeol ditengah hening mereka.

"Aku suka mata puppy-mu yang sellau menyipit saat tersenyum."

"Aku juga suka kedua pipimu yang selalu memerah saat malu, ataupun membola saat makan strawberry."

"Dan sepuluh jari ini," Chanyeol meraih jemari lentik Baekhyun mengamatinya, memanggil semua ingatan yang ia suka darinya. "Aku suka saat kamu merapikan rambutku, ataupun menyeka keringatku tanpa jijik."

Mata Baekhyun kahirnya memandang netra bening Chanyeol yang seakan baru mendapat hidupnya kembali.

"Aku suka apapun yang ada padamu. Karena aku suka kamu, Byun Baek Hyun. Apapun penampilan kamu."

Baekhyun tidak tahu harus berkata apa lagi selain tersenyum mendengar pernyataan Chanyeol.

"Jadi, kita nggak jadi putus, kan?"

.

.

.

.

.

Aku nggak peduli, orang bilang apa tentang kita.

Mau kamu dibilang seperti anak kecil,

atau aku disebut setinggi jerapa.

Aku nggak peduli.

Yang aku tahu, aku suka kamu, dan kamu suka aku.

Titik.

.

.

DONE

.

.

2.539 words

Asilnya cerita ini handmade alias tulis tangan dan menghabiskan 10 halaman kertas. Dari jam 11 sampai jam 3.30. Demi si abang berjidat yang ulang tahun ke 23, aku rela bang. Aku rela~

HAPPY BIRTHDAY, BANG YEOLLIE! Semoga tetep jadi Happy Virus-nya EXO dan EXO-L. Tetep banyak ketawa nggak jelas. Tetep jadi Bang Yeol yang EXO-L kenal, sekalipun nanti banyak dapet tawaran acting bareng cewek-cewek kece badai. Keep healthy. Keep alive. Keep breating!

Dan… saya mau minta maaf untuk cumberbatch's, MissMoretz, demiapa, MaiXingYeol1027, Arifahohse, Xiao yueliang, Juna Oh, chenma, LisnaOhLu120, deerhanhunniie, nichi, Frozen Peony, akaindhe, hunexohan, oshhun12, qwertyxing, ysoplanit, dan semua yang mungkin membaca ataupun menunggu kelanjutan "KITA" dalam keadaan yang sangat hening. Saya nggak bisa lanjutin ff "KITA".

Saya seneng kalo kalian ninggalin pesan dan kesan. So… don't forget to write something—anything you want—in the box below.

Sign,

Uchiha Kazuma Big Tomat.

P.s. : Saya merasa belakangan tulisan saya jadi kaku ._.

Finished at :

26 November 2015

3.34 P.M.

Published at :

27 November 2015

0 A.M.

Petite © Kazuma House Production ® 2015