Picture of Lust
Choi Seungcheol – Yoon Jeonghan
Barbie J
.
.
Jeonghan hanyalah seseorang yang terjebak di antara masa lalu Seungcheol, Jisoo dan Jihoon. Bisakah Jisoo melepaskan Jeonghan dari tangan Seungcheol? Choi Seungcheol menantangnya.
CH3 "Imprisoned"
Mencari jawaban dalam kesunyian seperti terjebak dalam lingkaran setan, ia bukan tak mengerti filosofi cinta terlebih lagi kemahirannya memang dalam hal yang berkaitan dengan psikologis. Hanya saja...
...kejujuran tersirat tersembunyi, getar hati masih membisu, sepatah kata enggan terucap dalam kata. Ia terbelenggu dalam kebimbangan apakah rasa yang datang hanya dalam waktu dua bulan adalah sungguh murni ketulusan hati atau hanya timbul sebab rekayasa yang akhirnya bermuara pada sebuah khayal belaka. Karenanya, sanubarinya masih mendustai, angannya mengingkari, namun tegas bisikannya telah menyemai benih-benih bunga.
Jeonghan meletakkan penanya sembari menghela napas, percuma, pikirannya tak berjalan sesuai kehendak, kertas catatannya kosong, ia tak menghasilkan apapun untuk tugasnya meskipun ia sudah memilih untuk duduk tersembunyi di pojok perpustakaan. Sudah dua hari sejak malam itu, namun kehadiran Seungcheol bagai angin yang singgah tuk segarkan hati namun hanya untuk sekejap, dia seakan hanya datang untuk musim hujan, karena setelah itu Jeonghan tak pernah bertemu dengannya. Apakah ia menuntut sebuah pernyataan cinta? Jawabannya tidak, Jeonghan bukan seseorang yang hanya akan terlena dengan romantisme, tetapi akal cerdiknya juga menuntut sebuah penjelasan dari segala tindakan yang sudah dilakukan Choi Seungcheol. Namun begitu bagaimana cara menemuinya? Kala gengsi dan harga diri berdiri kokoh menghalangi keinginan untuk bertemu. Yang benar saja, bagaimana mungkin sekarang ia akan mengejar-ngejar Seungcheol, ketika dialah yang memulai terlebih dahulu.
Jeonghan menjatuhkan keningnya di atas meja, lalu membuat suara seakan ia sedang merengek, sampai ia mendengar sebuah suara memanggilnya. Meski enggan ia menoleh namun masih tak mengangkat kepalanya, ia hanya merubah posisi dengan pelipis bertumpu pada meja, Jisoo berjalan mendekatinya, pemuda bermata sayu itu juga tak muncul dalam dua hari, dia juga melewatkan beberapa mata kuliah, Jeonghan tak tahu alasannya dan tak ingin bertanya selagi masalahnya sendiri selalu menimbulkan sakit kepala.
"Ada apa dengan wajahmu?" Jisoo duduk di samping Jeonghan yang masih tak beranjak dari posisinya.
"Ada banyak hal yang terjadi." Jawabnya dengan suara lemas. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?" lanjut Jeonghan bertanya.
"Aku hanya menebak karena kau tidak ada di mana-mana." Jisoo hendak meletakkan tasnya di atas meja sebelum terhenti begitu menyadari warna merah yang hampir pudar di leher Jeonghan.
"Kau terluka?" tanyanya sembari menyentuh halus leher Jeonghan dengan kerutan di kening.
Jeonghan terkesiap dengan mata membulat lebar lalu menegakkan tubuhnya sembari menepis pelan tangan Jisoo dari lehernya.
"Bukan apa-apa." Jawabnya gugup sembari tertunduk. Benaknya segera mencari topik lain sebagai pengalih namun sial sepertinya otaknya sudah berkarat.
Jeonghan mengangkat wajahnya yang langsung bersitatap dengan mata Jisoo yang seolah menguncinya selama pria itu berusaha membaca jawaban yang sesungguhnya. Ketika perlahan rahang wajah lembut itu mengeras, Jeonghan mendapatkan firasat buruk yang membuat perasaannya gelisah.
"Jisoo?" Jeonghan berusaha menyadarkan Jisoo yang terlihat terjebak dalam pikirannya sendiri. "Jisoo..." Panggil Jeonghan sekali lagi saat ia tak mendapat tanggapan.
"Apakah Seungcheol yang melakukannya?" Kegeraman terdengar jelas, mata sayu itu pun berubah tajam menatap Jeonghan ketika ia selesai dengan asimilasi yang menghasilkan jawaban dimana ia yakin apa yang diterkanya adalah kenyataan yang memang terjadi.
Jeonghan kebingungan dengan suasana yang tiba-tiba berubah menegangkan. "Dengar, tidak ada hal buruk terjadi dan aku akan menyelesaikan semuanya sendiri." Jelasnya berusaha keras.
Jisoo tiba-tiba berdiri dengan gerakan kasar. "Kau bilang ini bukan hal buruk?!" Serunya dengan tajam. "Berpikirlah Yoon Jeonghan." Geramnya dengan menekan nama Jeonghan dalam pengucapannya sebelum ia beranjak pergi.
Jeonghan terpaku menatap kepergian Jisoo, ia semakin sulit memproses situasi yang terjadi ke dalam sebuah penjelasan yang jelas, terutama pada perubahan sifat Jisoo. Tiga tahun mengenal Hong Jisoo, Jeonghan tak pernah melihatnya marah, ia tak pernah melihat mata sayu itu berubah setajam sebilah mata pisau, ia tak pernah mendengar geraman lantang dari suaranya, ia tak pernah mendengar tutur kata kasar dari bibirnya. Setelah memikirkan itu, Jeonghan bertanya-tanya benarkah ia mengenal Hong Jisoo?
Jeonghan terkesiap, ia baru tersadar jika melihat sikap Jisoo, pria itu... oh tidak...
Ia berdiri dari duduknya dan berlari keluar dari perpustakaan, menuruni tangga dan melewati koridor. Begitu keluar dari gedung perpustakaan Jeonghan mengedarkan pandangan mencari sosok Jisoo, jika perkiraannya benar...tidak, ia harap ia salah, bukankah Jisoo tidak mengenal Seungcheol? Dari wajah maupun secara pribadi? Tetapi mengapa ia tetap khawatir. Ia harus memastikan. Dengan pikiran yang berkecamuk Jeonghan kembali berlari melewati jalan setapak, beberapa kali hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Tak jauh dari Jeonghan berlari, Mingyu yang tengah duduk bersama teman-temannya di sebuah bangku halaman Universitas terheran melihat Jeonghan seakan berlari dikejar seseorang, kemudian dia memanggil namun pikiran Jeonghan terlalu sibuk membayangkan skenario dramatis yang selalu terbayang dalam benak sehingga pria berambut panjang itu tak mendengarnya.
. . .
Jisoo berjalan memasuki gedung fakultas Teknik, jari-jari tangannya menggulung membentuk sebuah kepalan kuat, matanya menyalak dipenuhi kemarahan. Sebuah pintu dengan tulisan lab komputer terlihat, ia berjalan semakin cepat, sebelum matanya menangkap sosok seseorang bertubuh mungil keluar dari ruangan itu. Sepasang mata mereka bertemu, pemuda di depan pintu tertegun dengan kebingungan yang tiba-tiba melanda bercampur dengan perasaan rindu, namun kemudian dia terkejut menyadari ekspresi marah begitu tampak di wajah pria yang tengah membalas tatapannya.
Jisoo mendekat dan berdiri di depan pemuda mungil itu. "Di mana Seungcheol?"
Dia tak menjawab melainkan menatap dengan wajah bertanya-tanya apa yang terjadi.
"Jihoon, di mana Choi Seungcheol?" Ulang Jisoo sekali lagi pada pemuda bertubuh mungil yang bernama Jihoon. Kenyataan masa lalu mereka, tak mempengaruhi Jisoo untuk meredam sedikit saja emosi yang hampir meledak.
"Ada apa?" Jihoon bertanya dengan intonasi lembut tak terbawa oleh suasana hati Jisoo.
"Apa dia di dalam?" Jisoo menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Dan tanpa menunggu Jihoon menjawabnya ia langsung membuka pintu selagi pemuda bertubuh mungil kemudian juga mengikutinya.
Hanya beberapa orang yang berada di dalam ruangan itu, dan tak sulit untuk menemukan seseorang yang ia cari. Seungcheol terlihat sedang membahas sesuatu dengan serius bersama Wonwoo dan seorang pemuda yang Jisoo juga kenali. Saat Jisoo berjalan mendekat, Seungcheol menoleh, mata keduanya bertemu dan kedua alis Seungcheol tertarik ke atas melihat tatapan tajam Jisoo sembari bergumam wow selagi ia berdiri menyambutnya.
Bukan sapaan bersahabat yang terdengar, tetapi sebuah deklarasi yang menjelma ke dalam bentuk suara debaman dari tubuh Seungcheol yang terjatuh sehingga membuat semua orang di ruangan itu terkejut, tak terkecuali Jihoon yang memperhatikan dari ambang pintu. Darah mengalir lambat dari bibir Seungcheol yang robek, belum sempat ia mengusap darah itu, Jisoo menarik kerah bajunya dengan kasar.
"Kau." Geramnya. "Sudah kuperingatkan jangan mendekati Jeonghan lebih dari ini." Jisoo berkata selagi mengeratkan cengkramannya, nada ancaman jelas terdengar dalam kalimatnya.
Kekehan kecil keluar dari bibir Seungcheol, meski tak melawan tetapi intimidasi Jisoo tak mendominasinya. "Kau baru datang padaku setelah aku menciumnya dua kali? Ah...kau pasti melihat tanda yang kutinggalkan di lehernya. Kau meyedihkan sekali—" Seungcheol mejeda selagi matanya menatap langsung pada pemuda di hadapannya, "—Jisoo-ya."
Pukulan sekali lagi menghantam pipi Seungcheol begitu keras hingga ia jatuh terlentang di atas lantai, ringisan samar terdengar karena sakit yang mendera, darah semakin tampak mengalir dari sudut bibirnya. Jisoo tak terlihat seperti Jisoo, yang memiliki pembawaan selalu tenang, atau memang inilah Jisoo, pemuda dengan tatapan mata gelap dan tajam yang seakan ingin membunuh siapapun yang mendekatinya, jari tangan kembali menarik kerah baju Seungcheol di saat bersamaan Wonwoo dan seorang temannya serta Jihoon mendekat untuk melerai namun langkah mereka terhenti ketika mendengar suara Jisoo.
"Mendekat dan aku akan menghabisi kalian semua." Ancam Jisoo tanpa mengalihkan tatapannya. Kemudian ia pun menoleh pada Jihoon yang terkesiap masih dengan ekspresi tak mengerti, "Biarkan aku menyelesaikan masalah ini hanya antara aku dengannya." Ucapnya sebelum kembali menoleh pada Seungcheol.
Tak ada yang menyadari ketika Jeonghan datang dan berdiri di ambang pintu dengan raut wajah panik diliputi perasaan bingung, nafasnya tersenggal dan keringat membasahi. Apa yang telah terjadi?
Sudut bibir Seungcheol yang terluka perlahan tertarik ke samping membentuk seringai. "Aku juga mengatakan hal itu empat tahun lalu tetapi kau memilih untuk menghindar." Ia mendecih dengan suara merendahkan, "Sedikitpun, aku tidak menyesali apa yang terjadi dan apa yang sudah kulakukan. Kau ingat?"
'Sedikitpun, aku tidak menyesali apa yang tejadi dan apa yang sudah kulakukan.'
Jisoo tertegun, ia tidak lupa bahwa kata-kata itu dirinyalah yang mengucapkannya di masa yang lalu. Jihoon menatap penuh luapan emosi kegetiran pada ke dua pria di hadapannya, Wonwoo hanya menghela napas meski ketegangan ia rasakan, dan Jeonghan, ia tak mengerti apapun yang mereka katakan, ia merasa seakan berada di dunia terpisah dengan semua orang di ruangan itu, apakah ia hanyalah...orang asing? Kemudian pertanyaan yang satu menimpa yang lain, lalu muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang semakin membuatnya bingung.
Seringai Seungcheol semakin melebar bak tokoh antagonis sedang mengintimidasi. "Bukankah aku juga sudah memperingatkanmu untuk berhati-hati jika kau bertemu denganku di masa depan, Hong Jisoo."
"Tidak dengan Jeonghan, Seungcheol-ah." Geram Jisoo sembari menarik kerah Seungcheol sehingga wajah mereka hanya berjarak dalam centi.
"Aku juga bilang tidak dengan Jihoon, Jisoo-yah. Kau lupa?" Ia memiringkan kepalanya melirik Jihoon yang berdiri di belakang Jisoo dengan tatapan pilu ketika luka itu kembali tergores kala semua kenangan kembali berputar dalam angan, sebelum kemudian ia menatap Jisoo, kini mata Seungcheol yang berubah menjadi tatapan tajam yang mengancam. "Kita lihat, apa kau bisa melepaskan Jeonghan dari tanganku—"
Tak sampai dua detik menyelesaikan kalimatnya, Seungcheol kembali terkapar ke lantai untuk ketiga kalinya. Semua orang terkesiap, bahkan orang-orang yang tak berhubungan dengan mereka memilih untuk keluar menghindari masalah, Wonwoo hendak beranjak setelah ia merasa sudah cukup menonton namun seorang teman yang berdiri di belakangnya menahan bahunya dan menggelengkan kepala, kemudian Wonwoo terdiam. Di sisi lain Jihoon berseru agar mereka berhenti tetapi sia-sia tak ada diantara keduanya yang mendengarkan. Dan Jeonghan masih mematung, ia menyadari, bahwa sesungguhnya ia telah terjebak di antara mereka.
Seungcheol tertawa seakan ia sedang menikmati kekacauan itu sembari mengusap darah di sudut bibir dengan punggung tanganya selagi ia berdiri—tetapi matanya membara tajam, dan kelam... "Jika ini maumu, baiklah."
Dalam sekejap mata pukulan itu melayang mengenai pipi Jisoo hingga tubuhnya terhentak ke samping dan mengenai meja komputer sebelum terjatuh ke lantai tepat di kaki Jihoon. Pemuda bertubuh mungil itu hendak membantunya namun tak sempat karena Jisoo segera berdiri lalu beranjak mendekati Seungcheol, dan detik itulah, Seungcheol, Wonwoo dan Jihoon terkesiap menyadari keberadaan Jeonghan tepat ketika pemuda berambut panjang itu berlari ke arah Jisoo dan tanpa mengucapkan sepatah kata menahan lengannya, namun karena terlalu dalam dikuasi amarah, Jisoo yang memunggungi Jeonghan tak menyadarinya dan secara refleks menghempaskan tubuh Jeonghan dengan seluruh tenaga sehingga menyebabkan tubuhnya terpental ke samping dengan kepala menghantam sudut tajam meja. Terdengar sebuah rintihan sakit yang menarik perhatian semua mata yang membelalak menatap Jeonghan terkapar di lantai, Seungcheol dan Wonwoo berlari menghampiri Jeonghan ketika di saat bersamaan Jisoo menoleh ke belakang, ia terkesiap dengan rasa bersalah bercampur dengan luka hati, dalam kesadarannya yang kembali ia bertanya dirinya kah yang telah melakukanya? Tak jauh berbeda dengan raut wajah Jihoon yang terlihat kebingungan, siapa pemuda berambut panjang itu?
Pandangan mata terlihat kabur, bau anyir tercium menyengat hidung. Samar ia mendengar suara ramai tetapi sayup. Perlahan mata indah itu tertutup tak bisa menahan rasa sakit di kepala. Dan semuanya menjadi gelap.
. .
Tirai di jendela melambai di terpa angin pagi, pantulan sinar matahari memberi kehangatan di dalam kamar. Sepasang anak manusia bak burung merpati yang sedang jatuh cinta bergumul di bawah selimut saling menautkan tangan dan kaki yang saling bertumpu bagai tali simpul yang tak kan pernah terlepas. Tubuh telanjang menegaskan bahwa mereka adalah satu, bisikan cinta menggambarkan bahwa mereka adalah belahan jiwa. Jihoon terkekeh geli ketika Seungcheol menggelitik perut rampingnya, lalu ia membalas dengan menggigit bahu Seungcheol, kemudian keduanya tergelak menertawakan tingkah mereka sendiri.
Seungcheol menarik tubuh mungil Jihoon ke dalam rengkuhan dan memeluknya erat. "Aku tidak akan pernah bisa hidup tanpamu." Bisiknya sembari mencium kening Jihoon.
Mereka adalah tetangga, tumbuh besar bersama, beranjak remaja dan menjadi cinta pertama untuk satu sama lain. Mungkin kalimat itu terlalu dini diucapkan oleh seorang remaja berumur 18tahun, tetapi ketulusan sungguh-sungguh terlukis di dalamnya. Bagi Seungcheol, Jihoon adalah dunianya, Jihoon adalah hidupnya, Jihoon adalah kebahagiaannya. Jihoon adalah segalanya. Tetapi ia juga ingin mendengar arti dirinya bagi pemuda mungil itu...
"Katakan kau mencintaiku." Pinta Seungcheol kemudian sembari menunduk menatap Jihoon dalam pelukannya.
Jihoon beranjak lalu mengecup bibir Seungcheol, "Kau tahu kalau aku mencintaimu." Ia tertawa renyah, "Tapi kau harus cepat pergi sebelum Ibu datang kemari untuk membangunkan aku."
Seungcheol menghela napas lemah. "Sampai kapan aku harus lewat jendela untuk datang ke kamarmu." Tersirat kekecewaan dalam intonasi Seungcheol.
"Jangan berkata seolah kau tidak bisa lewat pintu depan. Kau hanya senang menyelinap lewat jendela saat tengah malam." Gerutu Jihoon sembari mencubit hidung Seungcheol lalu ia beranjak dan turun dari tempat tidurnya. "Cepatlah, kita akan dalam masalah jika Ibu menemukan kita telanjang." Lanjutnya selagi memakai baju dengan terburu.
Seungcheol tertawa sembari beranjak dari posisinya, kemudian satu persatu memakai helai pakaian yang tergeletak di lantai. "Jika mereka tidak mau memberikanmu padaku, aku bersumpah akan menculikmu." Ucapnya.
"Ya ya ya, kau bisa menculikku, sekarang cepat pergilah." Jihoon mendorong tubuh Seungcheol ke arah jendela.
Dan Seungcheol berjalan dengan patuh, mencium bibir Jihoon sebelum melompati jendela, lantas melambaikan tangan setelah berada di luar. Tak butuh waktu lama, hanya dalam beberapa langkah ia sudah di rumahnya sendiri.
. . .
Seungcheol benci sekolah, tetapi ia suka datang ke sekolah karena di sana ada Jihoon. Ia benci jam belajar, dan tentu saja ia menyukai jam istirahat karena seperti biasa Jihoon akan datang ke kelasnya membawakan bekal untuknya.
"Kau tidak ikut latihan?" Seorang pemuda yang duduk di depannya bertanya dengan aksen Inggris saat berbicara.
"Apa?" Kening Seungcheol bertaut tak mengerti.
Kini pemuda itulah yang mengerutkan kening. "Bukankah latihan basket?"
"Ah," Seungcheol teringat, kemudian ia tersenyum seakan ia ingin merajuk. "Jisoo-yah...bisakah kau mengatakan pada kapten kalau aku sakit? Hari ini saja, heum?"
"Ada apa dengan hari ini?" Jisoo bertanya, matanya menyelidik.
"Jihoon akan kemari dan kami akan merayakan ulang tahunnya." Keceriaan tampak pada senyum Seuncheol.
"Apa semalam tidak cukup merayakannya?" Jisoo bertanya dengan wajah datar.
"Semalam memang sangat hebat, tapi aku lupa mengucapkan selamat ulang tahun." Hanya setelah menjawab pertanyaan Jisoo, Seungcheol tertegun setelah menyadari bahwa ia sudah termakan pertanyaan yang memancing. Ia tak pernah menceritakan hubungannya dengan Jihoon sudah berurusan pada hal-hal ranjang, dan secara tak langsung Jisoo sudah membuatnya mengakui sejauh apa hubungannya dengan kekasih mungilnya. "Hong Jisoo, brengsek kau!"
Jisoo tergelak, dan Seungcheol melemparinya dengan pensil yang kemudian ditepis dengan tepat oleh Jisoo. Pemuda yang baru pindah dari Amerika itu sudah menjadi sahabat Seungcheol selama 6 bulan, karena memiliki kesamaan hobi bermain basket keduanya menjadi cepat akrab seolah mereka saling mengenal selama bertahun-tahun.
"Baiklah, kali ini saja." Ucap Jisoo akhirnya. "Katakan pada Jihoon selamat ulang tahun." Ia beranjak dari kursi setelah melihat Seungcheol membuat tanda Ok dengan jarinya sembari mengucap terimakasih, kemudian Jisoo melangkah pergi meninggalkan kelas.
Tak lama seseorang berjalan memasuki kelas yang sama sembari membawa sebuah kotak makanan, Seungcheol yang menyadari kedatangan pemuda itu seketika membuat wajahnya ditekuk kecewa.
"Jangan menatapku seperti itu." Tegur pemuda yang berdiri di samping meja Seungcheol sembari meletakkan kotak makanan yang dibawanya.
"Ada apa dengan Jihoon, Won-ah?" Seungcheol mengambil kotak makanan itu sembari menatap kecewa.
Wonwoo cemberut. "Aku juga tidak suka menjadi pengantar makanan, tapi Jihoon bilang dia ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan jadi aku membantunya hanya karena aku adalah sepupunya."
Seungcheol menghela nafas, jika ingin mendramatisir ia akan berkata bahwa dunianya menjadi gelap tanpa Jihoon pada Wonwoo. "Baiklah, lalu di mana Jihoon."
"Aku tidak tahu. Hyung hubungi saja ponselnya. Aku pergi," Wonwoo berkata perkalimat sebelum pergi, membuat Seungcheol tertawa karena dia berpikir sifat Wonwoo itu lucu.
Hari ini adalah ulang tahun Jihoon yang ke 18tahun, dan tinggal beberapa bulan lagi Seungcheol akan lulus dari bangku sekolah, waktu kebersamaan mereka akan berkurang karena itu Seungcheol tak ingin melewatkan hari-hari penting bersama Jihoon terlebih jika itu adalah hari ulang tahunnya. Namun ia adalah seorang kekasih yang penuh pengertian—setidaknya Seungcheol mendoktrin dirinya sendiri seperti itu, sehingga ia akan memahami apapun yang dilakukan Jihoon.
Resah dilewati dengan hati yang berat, sore hari menjelang dan jam sekolah sudah usai, hanya tinggal beberapa murid yang masih di sekolah. Setelah selesai mengurus pendaftaran masuk Universitas di kantor guru, Seungcheol berjalan di koridor, tak lain tujuannya adalah kelas Jihoon. Ponsel pemuda mungil itu tak bisa dihubungi berapa kalipun Seungcheol mencoba, dan ia tak tahu apakah Jihoon masih berada di kelasnya atau sudah pulang, tetapi ia ingin memastikan karena tak ingin menjadi seseorang yang meninggalkan kekasihnya di belakang. Jikapun sudah pulang, tak masalah, Seungcheol hanya perlu menemui Jihoon di rumahnya, tetapi ia akan merasa bersalah jika ia pulang seorang diri tetapi Jihoon sedang menunggunya selagi mereka selalu pulang bersama.
Kelas Jihoon sudah terlihat, lorong sepi membuat Seungcheol ragu jika di sana masih ada seseorang, oh seseorang masih di sana, mata Seungcheol menyipit melihat Wonwoo berjalan terburu-buru sebelum kemudian terkesiap saat melihat Seungcheol. Wonwoo tampak gugup dan kebingungan, ia menoleh ke belakang lalu kembali menatap Seungcheol, membuat pemuda berlesung pipit bertanya-tanya apa yang terjadi.
"Kau kenapa?" Seungcheol bertanya.
"Hi—hyung mau ke mana?" Wonwoo justru bertanya, dengan wajah khawatir.
Kening Seungcheol bertaut. "Ada apa denganmu? Sikapmu aneh sekali."
"Kau mencari Jihoon?" sudut mata Wonwoo melirik ke samping, tepatnya ke arah kelas yang akan di tuju Seungcheol. "Di—dia sudah pulang." Lanjut Wonwoo terbata.
Seungcheol tidak bodoh, ia tahu siapa Wonwoo, dia adalah pemuda yang tenang dan santai, orang-orang mengatakan bahwa dia berhati dingin dan tak acuh pada sekitarnya, tetapi Wonwoo adalah seseorang yang sangat peduli pada teman-teman maupun terhadap orang-orang terdekatnya. Dia juga adalah seseorang yang pandai mengendalikan emosi dan raut wajahnya, tetapi kali ini, Seungcheol dengan jelas bisa membaca kebohongan dalam nada suara dan ekspresi Wonwoo. Karenanya tanpa mengucap sepatah kata Seungcheol berjalan cepat ke arah kelas Jihoon, dan begitu berdiri di ambang pintu, mata Seungcheol melotot.
Adegan di depan matanya seakan menamparnya dengan begitu keras. Jihoon terlentang di atas meja dengan Jisoo menindih tubuhnya selagi mencium bibir pemuda mungil itu dengan rakus. Erangan yang keluar dari bibir Jihoon terdengar memekkakan gendang telinga hingga Seungcheol berharap ia akan menjadi tuli saat itu juga.
"Hong Jisoo!" Seungcheol berseru dengan lantang, suaranya menggema di dalam seluruh ruangan, membuat kekasih dan sahabatnya yang sedang bergumul terkesiap.
Jisoo melepaskan Jihoon dan pemuda bertubuh mungil itu dengan tergesa membenarkan kancing seragamnya yang setengah terbuka sembari turun dari atas meja. Raut wajah Jisoo terlihat santai, berbeda dengan Jihoon yang menatap takut pada Seungcheol yang dilingkupi emosi. Jihoon mundur satu langkah secara refleks saat melihat Seungcheol mendekat, perasaan ngeri menyeruak begitu menyaksikan Seungcheol menghambur dan memukul wajah Jisoo yang detik kemudian disusul sebuah tinju di perutnya. Jisoo terkapar di lantai namun Seungcheol tak melepaskannya, pukulan demi pukulan menjadi pelampiasan amarah yang terasa membakar dirinya, matanya memancarkan kegelapan yang seakan mampu menggelapkan seluruh dunia, pikirannya tak lagi menyatu dengan tubuhnya, dan tak terasa tetesan bening mengalir dari pelupuk matanya ketika melihat Jihoon melindungi tubuh Jisoo sehingga membuat kepalan tangannya membeku di udara.
"Aku membencimu!" Ucap Jihoon sembari terisak. "Aku membencimu." Ulangnya lagi. "Aku membencimu." Dan Jihoon terus mengulanginya.
Hati Seungcheol seakan terbelah, perasaannya hancur, ia mundur dengan air mata yang mengalir tanpa suara. Tidak taukah Jihoon bahwa ia sangat mencintainya?
Lidahnya kelu, tenggorokannya kering. Seungcheol berbalik dan bersitatap dengan Wonwoo yang berdiri di ambang pintu dengan pancaran mata penuh rasa bersalah karena sesaat lalu ia sudah berusaha menyembunyikan apa yang dilakukan sepupunya bersama sahabat Seungcheol sendiri. Tetapi itu tak penting lagi, Seungcheol berjalan keluar kelas melewati Wonwoo, tubuhnya lunglai dan lemas, ia terlihat begitu rapuh, rasanya tak ada lagi yang tersisa.
.
Ikatan mereka terputus, mimpi indah hancur. Jihoon menemuinya setelah ia tak datang ke sekolah selama satu minggu. Tetapi pemuda mungil itu datang bukan untuk merajut kembali benang kusut yang menghubungkan mereka, melainkan meminta pengertian Seungcheol atas apa yang terjadi. Tiga bulan mereka bersama di belakang Seungcheol, dan Jihoon berkata bahwa dia mencintai Jisoo. Jihoon adalah seseorang yang sulit akrab dengan orang lain dan orang terdekatnya hanyalah Wonwoo dan Seungcheol, namun setelah mengenal pemuda selain mereka berdua, Jihoon baru menyadari bahwa rasa untuk Seungcheol bukanlah cinta, tetapi kebutuhan karena keterbiasaan. Persahabatan, satu-satunya alasan mengapa ia bertahan bersama Seungcheol, ia takut menyakiti hati pria yang mencintainya karena itu ia terus bungkam selama tiga bulan. Itulah yang dijelaskan Jihoon.
. . .
Kelopak bunga sakura diterbangkan angin menghiasi langit kala musim gugur datang, murid tahun ke tiga bersorak bahagia di hari kelulusan yang telah tiba. Seungcheol berdiri di dalam kelasnya sembari menatap dalam diam ke luar jendela, angannya berusaha keras mengenyahkan semua kenangan di sekolah itu, tetapi tentu saja itu tidak mudah. Ia menghela napas lelah sembari berbalik, hanya untuk menemukan Jihoon berdiri di ambang pintu. Mata Seungcheol menggambarkan keterkejutan, namun hatinya sakit, sakit karena ia rindu, pada sosok mungil yang sudah lama tak ia jumpai. Cinta yang besar tak akan hilang dalam hitungan bulan, bahkan tidak dalam hitungan belasan tahun, Seungcheol yakin itu.
Kening Seungcheol berkerut, baru menyadari mata Jihoon yang sembab. Apa yang membuatnya menangis? Setelahnya Seungcheol membeku ketika Jihoon menghambur dan memeluknya sembari terisak.
"Jisoo meninggalkan aku." Isak Jihoon, "Dia bilang kita tidak bisa bersama lagi. Dia bilang dia tidak mencintaiku lagi." Tangannya mencengkram punggung Seungcheol, tubuhnya gemetar.
Seungcheol mematung karena ia membutuhkan waktu untuk memproses apa yang dikatakan Jihoon. Kenapa Jisoo harus meninggalkannya? Ia memang tak pernah lagi bertegur sapa dengan Jisoo meskipun mereka masih satu kelas dan dalam satu kegiatan klub basket, tetapi Seungcheol tak sekalipun melihat Jisoo begitu dekat dengan orang lain selain Jihoon sendiri.
"Ada apa?" Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Seungcheol. Tangannya tertahan untuk menyentuh dan mengelus pungung Jihoon meskipun hatinya menjerit untuk memeluk tubuh mungil itu.
"Dia bilang yang dia rasakan padaku bukanlah cinta tetapi hanya ketertarikan sesaat. Dia memberitahuku bahwa kita tidak bisa bersama lagi. Apa yang harus aku lakukan Cheol-ah? Aku mencintainya, aku mencintainya."
Menyedihkan. Hatinya tak ada hentinya terluka. Ia harus mendengarkan kalimat itu dari orang yang ia cintai. Tetapi Seungcheol berusaha mengendalikan diri, mungkin ia tak harus mengakhiri hubungan mereka dengan saling membisu, mungkin...mungkin menjadi sahabatnya akan sedikit mengobati rasa sakitnya, karena kenyataannya berbulan-bulan tak bertemu Jihoon membuat hidupnya hampa.
"Aku akan bicara pada Jisoo." Bagus, apa ia akan berlagak seperti pahlawan? Seungcheol menyeringai mengasihani dirinya sendiri.
Jihoon mengangkat wajahnya dengan ekspresi penuh harap. "Benarkah?"
Seungcheol mengangguk. "Tunggulah di sini, aku akan bicara padanya." Ia meraih pipi Jihoon dan menghapus air matanya.
.
Seungcheol tahu mungkin ini akan sangat canggung, tetapi ia sudah terlanjur berjanji. Ia memasuki ruang latihan basket dan melihat Jisoo sedang bermain dengan murid tahun ke tiga lainnya. Seungcheol mendekat lalu memanggil Jisoo, dan dia tertegun karena terkejut melihat seseorang yang memanggilnya.
Keduanya saling berhadapan di dalam sebuah ruangan kosong. Ketegangan terasa begitu jelas meskipun keduanya terlihat bingung untuk memulai.
"Jihoon menangis." Seungcheol akhirnya keluar dengan opsi kalimat yang kemudian ia sesali. Sepertinya ia telah salah memulainya.
"Kukembalikan dia padamu." Ucap Jisoo, ekspresi dan suaranya datar.
"Hong Jisoo." Intonasi Seungcheol penuh tekanan dan kemarahannya mulai mengintimidasi. Kenapa Jihoon mencintai seseorang yang memperlakukannya seperti barang? Dasar bodoh!
Tetapi Seungcheol segera tersadar jika ia lepas kendali maka ia hanya akan memperkeruh keadaan. Ia membuang napas kasar menenangkan emosinya meskipun itu tak banyak membantu. "Ayo selesaikan masalah ini hanya antara kita berdua. Jika kau mendendam atas sesuatu padaku sampai melakukan ini pada Jihoon maka kau boleh melampiaskan kemarahanmu padaku. Tapi jangan pada Jihoon."
Terlihat Jisoo juga menghela napas untuk menenangkan emosinya sebelum menatap Seungcheol tajam. "Aku tidak memiliki dendam apapun padamu. Aku hanya hidup seperti yang kuinginkan, berusaha mendapatkan apa yang kuinginkan dan membuang apa yang tidak lagi kubutuhkan. Tetapi tak sedikitpun aku menyesali apa yang terjadi dan apa yang sudah kulakukan."
Tangan Seungcheol mengepal dan rahangnya mengeras. "Jangan lakukan itu pada Jihoon." Nada suaranya mengancam.
Jisoo tersenyum kecut. "Bukankah seharusnya kau senang? Aku mengembalikan dia pada—"
Jisoo tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Seungcheol tak bisa lagi menahan kepalan tangannya lebih lama. Jisoo tersungkur ke lantai, ringisan terdengar selagi pemuda itu memegangi pipinya yang detik kemudian terasa nyeri.
"Berhati-hatilah jika kau bertemu denganku di masa depan, Hong Jisoo." Geram Seungcheol. Itu adalah sebuah sumpah yang akan diingat seumur hidup oleh Seungcheol dan ia berharap Jisoo juga akan mengingatnya seumur hidup.
. . .
Takdir sungguh lucu, masa depan seolah hanya berjarak dalam jengkal, secara tak sengaja Jisoo terdaftar di Universitas yang sama dengan Seungcheol. Kemudian satu tahun terlewati, Jihoon dan Wonwoo juga berada di Universitas yang sama. Takdir seakan berkata 'aku telah merancang dengan elok...'
Dan empat tahun berlalu dalam bisu...
Untuk sekian lama, Seungcheol tak sengaja menyaksikan sesuatu yang membuatnya begitu antusias, dari kejauhan ia melihat Jisoo berbincang dengan Hoshi, seorang teman dari anak atasan Ayahnya, tetapi yang menarik perhatian Seungcheol adalah kotak persegi panjang dengan bungkus warna merah yang diberikan Jisoo pada Hoshi. Setelah beberapa menit berbincang, Jisoo terlihat pergi meninggalkan Hoshi, lantas Seungcheol menghampiri pemuda bermata sipit itu.
Seungcheol merangkul bahu Hoshi dari belakang sehingga tampak keterkejutan pada raut wajahnya. "Apa itu?" Seungcheol menunjuk dengan isyarat mata pada bungkusan yang dipegang Hoshi.
"Seseorang meminta bantuanku." Hoshi menjawab tanpa mengetahui bahwa Seungcheol sudah melihat seseorang yang dia maksud. "Lagi pula... apa yang kau lakukan di sini, hyung?" Hoshi melangkah melepaskan diri dari rangkulan Seungcheol.
"Apa yang kau katakan, bukankah ini tempat umum." Sanggahnya. "Lagi pula..." ia meniru nada suara Hoshi, "Kepada siapa Jisoo memintamu untuk memberikan benda ini?" Seungcheol mengambil dengan cepat cokelat di tangan Hoshi, sebelum kemudian mengerutkan kening menyadari isi benda itu, "Cokelat?" Ia menebak, kemudian suara decihan rendah terdengar dari bibirnya.
Hoshi terhenyak kemudian ia panik. "Hyung, kembalikan, atau kalau tidak aku akan menghajarmu." Ancamnya namun tak ada keseriusan dalam nada suaranya.
"Kalau kau menghajarku aku akan memberikan ini pada Jihoon dan berkata bahwa ini cokelat darimu." Sergah Seungcheol sembari menggerak-gerakkan cokelat itu di udara.
Saat suatu ketika Seungcheol diminta Ayahnya mengantarkan sebuah dokumen ke rumah keluarga Hoshi, ia pergi bersama Jihoon. Hoshi bertemu dengan Jihoon untuk pertama kali, dan Seungcheol bisa membaca arti tatapan Hoshi yang terpesona melihat Jihoon. Meskipun perasaannya tak pernah pudar, tetapi Seungcheol tahu bahwa ia dan Jihoon tak akan bisa merajut kembali masa lalu mereka yang tercerai, karena itu jika itu adalah Hoshi yang mengulurkan tangan pada Jihoon, maka Seungcheol pun akan lega.
"Jangan berkata seolah kau merelakannya untuk orang lain." Sindir Hoshi. Ya, ia tahu segalanya, ia tahu masa lalu diantara orang-orang yang secara aneh terhubung dengannya ketika ia adalah seseorang yang hadir di masa depan mereka. Bagaimana ia bisa mengenal orang-orang yang ternyata saling terhubung di masa lalu dan terpecah di masa depan ketika dirinya hadir. Situasi yang sangat rumit untuknya.
"Lupakan tentang itu. Aku serius bertanya ini mengenai apa." Seungcheol mengangkat bungkus bersisi cokelat di tangannya.
Hoshi menghela nafas frustrasi. "Aku akan memberitahumu asal kau berjanji tak akan mengacaukan apapun."
Seungcheol menganggukkan kepala satu kali, Hoshi menatapnya ragu, dan Seungcheol mengangguk dua kali, tiga kali...
"Baiklah, berhenti." Pintanya dan Seungcheol berhenti menganggukkan kepala. "Jisoo hyung menyukai seseorang." Mata Seungcheol melebar hampir membentuk lingkaran. "Dan dia memintaku untuk diam-diam meletakkan ini di lokernya—" suara Hoshi menggantung selagi matanya menatap jauh ke belakang Seungcheol dengan ekspresi terkejut. "Kebetulan dia sudah datang jadi aku harus segera pergi, kembalikan cokelat itu, hyung." Lanjutnya dengan tergesa-gesa.
Tetapi Seungcheol tak mengulurkan tangannya, melainkan mengikuti arah pandang Hoshi, tanpa ia sadari matanya terpukau dan bibirnya terbuka, "Wow...!" Gumam Seungcheol mengagumi sosok seseorang yang baru saja keluar dari mobilnya namun kemudian berdiri kebingungan mencari sesuatu dari dalam tasnya.
Pemuda itu berambut panjang, tekstur wajahnya... Apakah tepat jika ia berkata bahwa pemuda berambut panjang itu lebih cantik dari semua wanita yang pernah Seungcheol temui? Dia bahkan lebih elegan dari wanita elegan lainnya yang ia lihat di televisi. Wajahnya berseri-seri bak malaikat. Rambutnya berkilau seakan lebih lembut dari belaian angin. Bibirnya tipis tetapi merekah berwarna merah. Tubuhnya ramping dan ideal. Ia yakin bukan hanya Jisoo yang tertarik pada pemuda berambut panjang itu, tetapi karena dia adalah seseorang yang Jisoo inginkan...
"Hoshi-ah, katakan pada Jisoo bahwa aku yang memberikan cokelat ini padanya." Seungcheol menunjuk pemuda berambut panjang sebelum kemudian berlari mengejarnya karena dia tengah berlari seakan sedang dikejar waktu. Namun kemudian Seungcheol menghentikan langkahnya sebelum berbalik menatap Hoshi. "Siapa namanya?"
Kali ini Hoshi membalas dengan tatapan mata serius. "Kau sudah berjanji tidak akan megacaukan apapun." Ia mengingatkan.
"Namanya, siapa namanya?" Seungcheol tak mempedulikan ucapan Hoshi.
Hoshi terdiam sesaat, dan Seungcheol terus meneriakinya hingga akhirnya dia menjawa, "Yoon Jeonghan."
"Yoon Jeonghan? Baiklah, terimakasih." Seungcheol kembali berbalik dan berlari mengejar Jeonghan.
"Jika kau berbuat keterlaluan padanya aku tidak akan tinggal diam dan aku akan menghajarmu sampai mati kau dengar Choi Seungcheol?!" Kini Hoshi lah yang berseru dengan keras yang dibalas lambaian tangan Seungcheol tanpa menoleh.
"Jika sesuatu terjadi ini akan menjadi salahku." Gumam Hoshi menyesali.
Setelah mengikuti Jeonghan, Seungcheol memasuki ruang seminar psikologi, ia berharap Jisoo akan melihat dirinya bersama seseorang yang dia sukai, namun saat mengedarkan pandangan, Seungcheol tak melihat sosok Jisoo di dalam ruangan itu. Dan dari sana lah semua bermula...
Di hari berikutnya Seungcheol mencari tahu segalanya tentang Jeonghan, dan bertanya kepada Hoshi mengapa Jisoo ingin memberikan cokelat padanya ketika orang yang disukainya itu justru membenci cokelat. Dan jawaban yang ia dapatkan membuatnya tergelak,
"Karena jika Jisoo memberikan benda yang dia sukai maka itu tidak akan terkenang selama hidupnya, tetapi jika ia memberikan sesuatu yang tidak ia sukai lalu menyatakan perasaannya, dia akan mengingat itu selamanya karena kesan yang tak umum. Dengan kata lain Jisoo percaya bahwa kenangan yang tak menyenangkan akan terkenang lebih lama dari pada kenangan manis."
Seungcheol kemudian mendecih. "Roman picisan." Sindirnya. "Tetapi dia benar, kenangan yang tak menyenangkan akan selalu terkenang. Kita lihat apa yang akan kau lakukan, Hong Jisoo."
Lalu pada hari selanjutnya Seungcheol diam-diam meletakkan cokelat di loker Jeonghan, dan di hari berikutnya lagi ia melakukan hal sama. Terkadang ia merengek meminta bantuan Hoshi untuk meletakkan cokelat itu di dalam tas Jeonghan, dan Hoshi bersedia membantunya dengan syarat Seungcheol tak akan menyakiti Jeonghan.
Lalu bagaimana dengan Jisoo? Ia tak menyalahkan Hoshi, dan memohon padanya untuk sementara mengikuti saja apa yang diinginkan Seungcheol. Jisoo menjadi pasif dan hanya memperhatikan, tetapi ia mencapai ambang batas toleransinya ketika menyadari Seungcheol telah mencium Jeonghan. Lalu dengan meminta nomor ponsel Seungcheol pada Hoshi, Jisoo mengirimnya pesan...
"Sekali lagi kau menyentuh ujung rambutnya, saat itulah aku akan membunuhmu."
Seungcheol tak menanggapi pesan ancaman Jisoo, namun justru ia menjawabnya dengan tanda merah yang sengaja ia sematkan di leher Jeonghan...
...Dan takdir pun kembali tertawa ketika ke dua sahabat di masa lalu itu, sekali lagi terjebak di dalam situasi yang sama.
.
To be continued...
100116 | 0305
.
Hai hai hai.../lambai-lambai cantik/
Update cepat bukan?
Itu karena tiga hari ini saya memiliki waktu luang. Tetapi saya tidak bisa berjanji akan fast update untuk next chapternya, tapi juga gak janji bakal lama, lama kok pake janji, kekeke :3
Saya sangat saaaaangat berterimakasih pada teman-teman yang meluangkan waktu untuk membaca dan meninggalkan review di ff ini. Thank you very much...#Sincerely #With love #Bow
Tapi...untuk kali ini saya tidak bisa menjawab pertanyaan/review temen-temen satu persatu karena saya di kejar waktu. Saya akan menjawab kemaren yang pm saya nanya real name saya, lalu nanya kenapa penname saya Barbie J , alasannya bukan karena saya yang mirip Barbie tetapi karena nama bias2 saya pada berinisial J dan mereka seperti Barbie semua. Jadi Barbie J bukan merepresentasikan pribadi saya tetapi merepresentasikan bias-bias dan otp-otp saya ^^
Yups...cukup di sini ocehan saya,
See you~
Barbie J
.
BIG THANKS TO :
[ JonginDO ] [ gg0098 ] [ riakodok81 ] [ SM17E ] [ ellfana1ui ] [ lee1315 ] [ Dyovie ] [ aiihee bee ] [ The little spagetthy ] [ RahmahhVermilion ] [ tarateri ] [ Skymoebius ] [ tiannunna ] [ jeonghanieeeeee ] [ chandino ] [ A Y P ] [ JCS ] [ HanieHolic ] [ Marie eve ] [ SweetHoon ] [ S. Citra ]