Naruto selamanya milik bapak Masashi Kishimoto.

.

Desah panjang mengalun dari mulut Sakura. Ponsel pintarnya yang sedari tadi digenggam telah ia letakkan asal di sampingnya. Menyandarkan punggungnya ke sofa, Sakura kemudian menghelakan napasnya lagi.

Sudah tiga hari Sakura terbebas dari tugas. Itu berarti tiga hari pula Sakura tidak bertemu dengan Sasuke. Dan tidak ada yang lebih membahagiakan dari itu, seharusnya. Tetapi entah mengapa semua justru terasa tidak seperti seharusnya?

Semula Sakura memang merasa semua berjalan dengan benar. Kehidupan inilah yang seharusnya Sakura jalani di Konoha. Malam menjadi tempatnya untuk melepas lelah setelah bekerja. Sakura menikmatinya dengan menjalani rutinitas yang ingin dilakukannya. Berendam air hangat sampai mungkin membuatnya terlelap, atau menonton acara-acara TV selepas mandi, kemudian berbincang santai dengan keluarga dan teman-temannya melalui ponsel, dan segala hal-hal normal yang selalu didambakan setiap pekerja. Bukannya dengan tugas tambahan, memasak untuk orang menyebalkan, yang membuatnya kerepotan.

Kalau diingat lagi, dulu pun Sakura pernah mengalami hari bebas tugas ketika ibunya dan Gaara memutuskan untuk singgah di Konoha beberapa hari. Namun saat itu Sakura tidak benar-benar menghabiskan malam sendirian sehingga semuanya masih terasa mudah dilewatkan. Sekarang Sakura merasa keheningan menjadi sesuatu yang menyiksa sampai membuat Sakura berpikir kalau ruangannya berubah menjadi begitu luas, begitu kosong. Sepi tak mampu terusir meski Sakura sudah meninggikan suara TV.

Padahal Sakura sudah melakukan semua rutinitas itu, bahkan baru beberapa menit lalu Sakura selesai berbincang dengan ibunya. Namun setelah melakukan semuanya, sepi tetap saja terus membuntuti, membuat hal-hal normal yang selama ini Sakura damba menjadi terasa salah. Semua tak lagi menyenangkan untuk dilakukan. Ada yang terasa kurang, dan juga terasa hilang. Muncul perasaan aneh tiap kali Sakura tak bisa menemukan siapa pun, hanya ada keheningan, seolah-olah tempat ini tak berpenghuni.

Sakura lalu meraih bantalan sofa, memeluknya erat. Dagunya menyandar pasrah di atas kain merah lembut yang menyelimuti bantal. Sakura kemudian memiringkan kepala. Tanpa sengaja matanya mengarah ke meja makan kayu cokelat yang polos tanpa berhias sesuatu pun di atasnya. Begitu pula kursi yang menempel rapat seakan tidak membolehkan untuk diduduki.

Sunyi terus merongrong, dibantu dekapan sepi, kekosongan itu semakin merajai. Perlahan Sakura merasa telinganya melantunkan denting peralatan makan yang beradu pelan. Bersahut-sahut mencipta gaduh bersama dengan riuh cerita dan tawa. Dan mereka di sana. Ia dan Sasuke. Duduk saling menghadap. Mata saling menatap. Lalu potret lain pun mulai bermunculan. Berbondong-bondong mendesak hingga Sakura tak bisa lagi menahan bendungan kenangan. Benaknya lantas memutar malam-malam yang mereka habiskan sampai akhirnya kecupan itu datang.

Sakura lantas mengigit bibirnya tanpa sadar. Tetapi anehnya, jika dulu Sakura mengingatnya dengan perasaan tak senang hingga melecutkan kemarahan. Kini rasa itu bak menguap tak membekas. Kecupan itu … mungkin memang tak seutuhnya buruk.

Sakura lantas memukul kepalanya sekuat tenaga sampai-sampai ia mengaduh—tak menyangka kalau pukulannya ternyata sesakit itu. Tetapi mana bisa Sakura mengendalikan kekuatannya. Tahu-tahu saja tangannya bergerak demi menghalau pikiran tololnya tentang kecupan mereka. Sakura lalu meremas rambutnya dengan kuat, kemudian menggelengkan kepala. Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu?

Ia pasti sudah gila!

Kekesalan Sakura tak berhenti sampai di situ. Ketika ia membuka mata, mulutnya langsung meloloskan umpatan. Jam yang menggantung di dindinglah penyebabnya. Sakura rasa jarum panjang berwarna hitam itu bergerak terlalu lambat seakan sengaja menyiksa Sakura dengan mempertahankan malam lebih lama. Namun sedetik kemudian Sakura mengumpat lagi, merasa bodoh karena menyalahkan semua hal.

Sakura menghela napas panjang. Kali ini memilih menyandarkan punggungnya ke sofa, tatapnya mengarah ke langit-langit apartemennya. Tak lupa Sakura membawa bantalan sofa ke dalam dekapan. Pada akhirnya inilah yang Sakura takutkan. Kesendirian menjadi sesuatu yang asing. Sakura menyadari kalau dirinya telah terbiasa dengan kehadiran Sasuke. Itu jelas sudah sesuatu hal yang buruk bagi Sakura. Dan Sasuke yang tidak mengabarinya membuat perasaan Sakura kian memburuk. Apakah mungkin hanya Sakura saja yang tergoda mengingat kenangan mereka di tiap malamnya sendiri? Apakah hanya ia yang tak terbiasa?

Tunggu dulu!

Kenapa pula Sakura harus memikirkan semua ini?

"Gila!" Sakura mengumpat keras. "Apa yang barusan kupikirkan?" Sakura menggelengkan kepalanya begitu cepat seakan hal itu bisa mengusir pemikiran tadi dari kepalanya. Ia lalu mendecak tak percaya, kemudian bangkit sambil melempar bantalan sofa merah itu ke lantai. "Peduli setan dengan Sasuke. Mati saja sana sekalian. Dasar sialan!"

Diinjaknya bantal itu berulang kali sebelum akhirnya Sakura memilih menghabiskan sisa malam terlarut oleh mimpi.

….

Sakura pikir setelah melewati malam yang kini terasa panjang dan melelahkan, siang akan membebaskannya dari segala macam kenangan, menenggelamkannya dengan berbagai kegiatan. Tetapi nyatanya, selain karena harus satu gedung bersama Sai yang selalu saja membuatnya pusing, Sakura sekarang juga tidak dapat mengabaikan ponsel pintarnya.

Benda itu menjadi yang paling banyak Sakura lihat, bahkan ketika laporan-laporan di meja kerjanya meminta perhatian. Nyaris dalam beberapa menit Sakura mengecek ponselnya yang berada dalam mode tanpa suara.

Tentu saja Sakura tidak sedang berharap berbincang panjang lebar dengan Sasuke. Yang Sakura inginkan hanyalah informasi tentang kepulangannya. Itu saja. Dan seharusnya Sasuke tahu kalau kabar itu dapat membantu Sakura agar tidak kerepotan menyiapkan makan malam. Dan lagi, bukannya Sasuke sendiri yang berkata kalau mereka harus saling mengabari, atau jangan-jangan dia pikir bisa seenaknya datang dengan tiba-tiba lalu menyuruh Sakura memasak begitu saja.

Dasar sialan!

Sakura mendecak pelan. Seharusnya ia sudah tidak lagi merasa heran dengan sikap Sasuke yang menyebalkan, yang selalu saja seenaknya.

Sampai di titik Sakura tidak mampu menahan kekesalannya, tangannya seketika meraih ponsel dan mengetik pesan dengan wajah masam. Sakura bahkan tidak sadar melakukannya di sela-sela rapat.

Kegiatan itu memang tidak menimbulkan suara. Namun Sakura melewatkan sepasang mata yang sejak tadi terus memperhatikannya. Saking terpaku menunggu balasan dari Sasuke, Sakura juga melewatkan kerutan di dahi Sai. Wanita berambut merah muda itu tidak lagi terfokus dengan keadaan sekitar karena telalu sibuk bolak-balik memeriksa ponselnya.

Sayangnya balasan Sasuke datang beberapa menit sebelum jam kerja Sakura berakhir, saat ia baru saja berdiri dari kursinya, lalu terkejut melihat nama Sasuke muncul di layar ponselnya.

Tanpa pikir panjang Sakura langsung menerima panggilan itu.

"Sakura." Suara Sasuke lebih dulu sampai ke telinganya sebelum sempat Sakura menyapa—atau mengumpat seperti niatnya semula. Namun karena mendengar suara itu, Sakura lantas terlupa dengan semua kekesalannya. Mulutnya yang sudah terbuka lebar kembali merapat.

"Kau sudah selesai, kan? Cepatlah keluar."

"Apa maksu—hei!" Sakura menatap kesal layar ponselnya yang menggelap. Sasuke baru saja memutuskan panggilannya. "Dasar sialan!" teriaknya lagi.

Sakura hampir memukul meja kerjanya sebelum akhirnya lebih memilih untuk meraih tasnya dengan segera, teringat Sasuke yang memintanya keluar.

Apakah itu artinya Sasuke sudah kembali?

Sepatunya menghentak dengan keras. Sakura melangkah begitu terburu, meski begitu ia tetap berusaha membalas setiap senyuman yang dilemparkan padanya. Saat di dalam lift, Sakura tak berhenti bolak-balik menatap antara ponselnya yang masih diam dan layar kotak kecil bertuliskan angka. Satu kakinya kini mengetuk-ngetuk lantai, seakan merasa kalau lift bergerak begitu lambat sehingga menghabiskan waktu yang sangat lama untuk sampai ke lantai tujuannya. Dan anehnya, Sakura tak mengerti mengapa ia menjadi tak sabaran begini.

Sakura mengecek ponsel. Sasuke baru saja mengirimkan pesan, menyuruhnya untuk meninggalkan saja mobilnya, juga memberitahu Sakura lokasi keberadaannya. Lagi-lagi seenaknya saja, gerutu Sakura dalam hati.

Dari tempatnya sekarang berdiri Sakura melihat mobil hitam terparkir di depan pintu utama. Sudah pasti itu milik Sasuke. Dipercepat langkah kakinya, melewati pintu putar otomatis untuk bisa sampai ke luar. Namun tanpa diduga Sai berjalan dari arah sebaliknya. Di dalam pintu bundar itu mereka bertukar tatap, dan di detik itu juga konsentrasi Sakura terpecah.

Buru-buru ia memalingkan wajah, bersikap seakan tak peduli, meski di dalam hati Sakura berharap Sai akan melakukan yang sama. Lagi pula bukankah Sai memang menghindarinya? Jadi sudah seharusnya pria itu terus melangkah pergi tanpa pernah menoleh ke belakang. Sayangnya begitu Sakura membalik badan, berharap melihat punggung Sai yang menjauh, ia justru menemukan pria itu tengah berdiri tegap dengan mata hitamnya yang mengarah pada Sakura.

Mereka tenggelam dalam tatapan. Menghabiskan detik dengan hanya berdiam, sampai kemudian Sakura memutuskan untuk mengakhirinya. Ia berbalik, dan untuk sesaat saja Sakura mencoba memejamkan mata. Namun ternyata itu tidaklah cukup untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Sakura merasa didekap oleh rasa bersalah seperti tengah tertangkap basah. Namun bagian terburuknya adalah karena Sai menangkap basah dirinya dengan Sasuke.

Dengan perasaan campur aduk Sakura menghampiri mobil Sasuke. Ia meneguk ludah sebelum membuka pintunya. Bahkan gemetar di tangan tidak mampu Sakura tahan sehingga mengalami sedikit kesulitan saat memasang sabuk pengaman. Selang kemudian terdengar raungan mesin mobil. Ada sedikit guyuran lega saat akhirnya Sasuke melajukan kendaraannya tanpa bertanya dan berkata apa-apa.

Sakura menghela napas, diikuti punggung yang perlahan menyandar. Matanya sekilias melirik ke samping, ke spion di balik kaca yang memperlihatkan gedung Uchiha Corp yang perlahan tertinggal jauh di belakang. Namun sayangnya kejadian tadi masih saja terngiang-ngiang.

Sai … apa yang lelaki itu pikirkan? Bukankah Sai membencinya? Bukankah Sai menghindarinya? Lantas mengapa dia tidak melakukannya? Dan kenapa pula pria itu menatapnya dengan sorot penuh luka?

Tiba-tiba ketakutan mencengkeram Sakura bagai cakar tajam yang mencekiknya. Lelaki itu bisa saja salah paham. Andai saja kesalahpahaman itu bisa membuat Sai semakin membencinya, maka Sakura akan dengan senang hati menerimanya. Tetapi bagaimana bila kebencian Sai ikut merambat ke Sasuke? Sedangkan Sakura sudah berjanji untuk tidak menyeret Sasuke ke dalam permasalahan masa lalunya. Pria di sampingnya tidak boleh terluka karena masalahnya.

Merasa sesak dengan serangan pertanyaan yang bertubi-tubi, Sakura menghelakan napasnya lagi, dan lagi, hingga tiba-tiba sebuah suara menariknya kembali.

"Apa yang sedang kaupikirkan?"

Helaan napas meluncur lagi, kali ini lebih panjang dan berat. Bodoh. Tidak seharusnya Sakura memikirkan semua itu sekarang.

"Kau," celetuk Sakura asal.

Sasuke mendengus. "Carilah cara lain untuk menipuku, Sakura."

"Jadi kau tidak percaya?" Sakura pura-pura terkejut.

Namun lagi-lagi Sasuke hanya membalasnya dengan dengusan. Tiba-tiba pria pria itu memutar kemudinya.

"Loh, kita tidak ke apartemen?" Sakura bertanya sambil melihat jalanan dari balik kaca.

"Kita makan di luar saja."

Sakura memalingkan pandangannya segera, menatap Sasuke dengan dahi berkerut, "Kenapa?"

"Beberapa jam lagi aku harus pergi."

"Lagi?" Kali ini Sakura tidak berpura-pura terkejut. Bahkan ada selipan nada kecewa yang tidak sempat Sakura sembunyikan.

"Sebenarnya urusanku memang belum selesai," jawab Sasuke setelah lebih dulu menghentikan laju mobil akibat lampu lalu lintas yang berubah merah.

"Kalau begitu kenapa kau kembali?"

Sasuke menghelakan napasnya, baru kemudian mengarahkan mata hitamnya pada Sakura. Menatap tepat ke mata hijaunya.

"Pesanmu. Kalau saja aku tidak menerimanya, aku pasti masih berada di sana."

Sakura mengerjap. "Tunggu dulu. Kenapa itu jadi salahku?"

"Karena aku merindukanmu," jawab Sasuke.

Inginnya Sakura menganggap kalau jawaban Sasuke tadi hanyalah sebuah candaan. Namun hanya ada sorot keseriusan yang terpancar pada sepasang mata hitam yang masih menatapnya lekat. Beruntungnya lampu lalu lintas kembali mengubah warnanya hingga tatapan mata hitam itu terlepas.

Tetapi di detik itu juga Sakura menyadari kalau ia ingin melihat mata itu lagi.

…..

Makan malam mereka kali ini berakhir dengan sangat cepat. Entah mengapa saat itu bukan hanya Sakura yang memilih untuk tidak bersuara. Sakura pikir mungkin kebisuan di antara mereka disebabkan oleh ucapan Sasuke tadi. Namun, saat Sakura diam-diam mengintip di sela-sela kegiatannya mengiris daging, Sasuke terlihat melakukan semuanya seolah diburu waktu. Mengingatkan Sakura pada perkataan Sasuke yang mengharuskannya untuk pergi meninggalkan Konoha lagi … yang itu artinya meninggalkan Sakura lagi.

Tiba-tiba Sakura merasakan dadanya tercubit nyeri. Ia lantas menghentikan semua kegiatannya. Dipandanginya Sasuke dalam diam, dengan diam-diam. Tidak seperti benaknya yang meributkan banyak hal, yang pada akhirnya semua keributan itu tidak dapat Sakura lontarkan. Tentang apa yang mengharuskan Sasuke pergi, dan tentang berapa lama ia akan kembali lagi. Semua pertanyaan yang mengundahkannya itu, sebaiknya mungkin memang Sakura tidak perlu tahu.

Namun rupanya Sasuke mempertahankan kebisuan itu hingga mereka di dalam kendaraan menuju jalan pulang. Sakura meremas kedua tangannya yang berada di pangkuan. Keheningan di antara mereka kini terasa bagai cekikan tak kasat mata. Sakura ingin sekali bertanya, ingin sekali memecah sepi di antara mereka, tetapi lagi-lagi ia tidak dapat melakukannya. Sakura pikir mungkin ini lebih baik bila segala tanya, segala keingintahuannya, terkubur oleh sunyi.

Mobil Sasuke pun akhirnya berhenti. Sakura menghelakan napasnya kemudian melepas sabuk pengaman. Namun begitu tangannya berniat membuka pintu, Sasuke menggenggam pergelangan tangannya yang lain.

"Jangan mengirimkan pesan lagi," katanya.

Sontak Sakura menoleh, matanya memicing tak suka. "Kau lupa siapa dulu yang meminta untuk saling mengabari? Aku melakukannya atas dasar itu! Tapi kalau ternyata pesanku sangat mengganggumu, baiklah, aku takkan lagi melakukannya. Tidak akan pernah!"

Sakura menyentakkan tangannya. Tetapi Sasuke lagi-lagi menahan Sakura yang bersiap membuka pintu.

"Aku belum selesai bicara, Sakura."

Sakura kembali menoleh, kali ini melemparkan tatapan sengitnya. "Aku yang sudah selesai!"

Sakura menarik tangannya supaya genggaman Sasuke terlepas. Namun Sasuke justru memperkuat cengkeramannya seakan tahu kalau Sakura akan melakukan itu.

Berganti kini Sasuke yang menarik tangannya, membuat tubuh Sakura berputar menghadap ke arahnya tanpa bisa ia tahan. Namun Sakura masih tak mau mengalah. Ia mencoba memberontak, berusaha agar tangan Sasuke bisa terlepas.

"Kau marah." Sasuke tiba-tiba berkata.

Entah kalimat itu berbentuk pertanyaan atau penyataan, Sakura sudah tidak peduli. Ia berteriak melepaskan segalanya, "Tentu saja!"

Sakura menatap tepat ke mata hitam Sasuke. "Kau membuat seolah kepulanganmu sekarang adalah kesalahanku!"

Sedetik kemudian Sakura merasa matanya mulai basah. Ia menarik napas, berusaha mengatur ledakan emosinya. Namun bukan hanya gumpalan amarah, tetapi ada begitu banyak perih menusuk hatinya. Sai sudah menyalahkannya atas segala yang terjadi pada mereka. Dan kini Sasuke juga menyalahkannya atas apa yang tidak Sakura lakukan. Ia tidak pernah meminta Sasuke untuk pulang. Bukan ia juga yang menginginkan pria itu untuk datang menemuinya.

Mengapa harus ia yang selalu disalahkan?

Sakura mengigit bibir demi menahan butir air yang siap mengalir. Tidak ada lagi keinginan untuk melepaskan cengkeraman Sasuke. Sakura lebih memilih menundukkan kepala agar tidak menatap pria di depannya, agar dapat menyembunyikan gurat kesedihan di matanya.

Namun Sasuke justru mengendurkan cengkeramannya. Ibu jarinya mengelus lengan Sakura perlahan. Rambutnya juga mendapat perlakukan yang sama. Sasuke membelai dengan tangan yang lainnya.

"Dengar. Aku tidak bermaksud begitu," ucap Sasuke dengan nada terlembut yang ia punya.

Demi apa pun, Sasuke tidak pernah merasa secanggung ini ketika menemukan lapisan air menyelimuti mata seorang wanita. Bisa dibilang ini juga bukanlah kali pertama Sasuke mendapati wanita menangis di hadapannya, jadi seharusnya ia telah memiliki cukup kekebalan untuk tidak merasa bersalah. Sasuke ingat. Bahkan dulu ia tidak pernah peduli pada tiap tetesan air yang jatuh karena dirinya.

Namun sekarang Sasuke merasa seperti ada remasan kuat di jantungnya saat tahu air mengenang di mata Sakura. Dan untuk kali pertama juga, Sasuke berpikir sangat keras agar air itu tidak sampai mengalir ke pipinya. Karena kalau tidak, Sasuke rasa ia akan kehilangan kewarasan.

"Aku hanya … argh!" Sasuke mengerang, lalu mendesah.

Demi Tuhan! Tidak pernah sekalipun di dalam hidupnya Sasuke harus menjelaskan segala sesuatu yang ia rasakan. Selama ini ia telah terbiasa menyimpan rapat semuanya. Itu adalah cara yang ampuh untuk membuatnya kuat.

Sasuke membiarkan bola matanya berkeliaran, menatap apa pun selain Sakura yang masih menundukkan kepala. Sasuke tahu ia tidak suka bila harus menjelaskan isi hatinya karena itu sama saja dengan memperlihatkan kelemahannya. Dan tentu saja itu membuatnya kesal. Tetapi perasaan bersalah karena telah menjadi penyebab air mengenang di mata Sakura ternyata lebih menyiksanya. Seperti ia tidak diberi kebebasan untuk bernapas.

Sasuke menghela napasnya lagi. Mata hitamnya kini ia jatuhkan pada kepala merah muda yang masih menunduk. Perasaan bersalah sialan!

"Aku tidak bermaksud seperti itu." Sasuke mengatur napasnya, mencoba mengusir gelisah dari perasaan bersalah karena harus menjelaskan. Pada akhirnya, Sasuke memaksa mengalahkan egonya. "Aku senang menerima pesanmu, Sakura. Tapi saking senangnya, aku jadi tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku ingin menemuimu, seperti ini. Aku melarikan diri dari tugas yang sepenuhnya belum kuselesaikan. Seharusnya aku tidak boleh melakukannya, tetapi di sinilah aku sekarang. Kalah oleh sebuah pesan singkat. Dan pada akhirnya, bila sudah melihatmu, rasanya sangat sulit untukku pergi dari sini."

Sasuke meraih ujung rambut Sakura. Memainkan rambut merah muda itu dengan mengusapkan jemarinya. "Dan kau tidak merasakan itu, bukan?"

Sakura menggigit bibir bagian dalamnya. Ia juga masih mempertahankan tatapannya ke bawah. Bukan karena rasa kecewa yang semula bercokol di hatinya. Tetapi ucapan Sasuke membuatnya tidak mampu mengangkat kepala. Bagaimana mungkin ia bisa menjawabnya!

Namun di sisi lain pertanyaan itu berhasil menyentilnya. Pesan singkat yang ia kirimkan, apakah itu termasuk bentuk perasaannya yang juga ingin bertemu Sasuke?

Tidak. Tidak. Sakura mengumamkan kata itu berulang-ulang dalam hatinya.

Ia tidak pernah merindukan pria di depannya.

Dan kemudian Sakura mendengarnya, suara Sasuke yang berbisik lirih, "Maafkan aku."

Sakura tak dapat mengelak. Hatinya bergetar mendengarnya. Sasuke bukanlah seseorang yang mudah mengucap maaf. Pria itu punya harga diri yang cukup tinggi untuk merasa kalah dengan orang lain. Sakura nyaris tak percaya. Ia tidak ingin memercayainya. Tetapi jantungnya berdebar makin kencang. Dasar jantung sialan!

"Sakura." Sasuke memecah keheningan dengan memanggil namanya. Wanita itu masih menundukkan kepala. Apakah kata maaf belum cukup baginya?

Sasuke pun mengulanginya lagi. "Sakura …," akhirnya ia mendesah frustrasi. "Kau tidak mau bicara?"

Kali ini jemari Sasuke menangkup pipi Sakura. "Masih marah?" tanyanya sembari berusaha mengangkat wajah Sakura.

Namun Sakura segera menepis tangannya. "Sudahlah."

Sakura buru-buru memalingkan wajahnya demi menghindari tatapan Sasuke. Namun lagi-lagi Sasuke menangkap pergelangan tangannya.

"Apanya yang sudah? Kau masih menghindariku. Jangan buat semuanya menjadi lebih sulit, Sakura."

"Aku?" Sakura mengarahkan mata hijaunya pada Sasuke. Ia tertawa getir. "Jadi ini salahku lagi?"

Sasuke mendecak. "Sudah kukatakan bukan itu maksudku. Demi Tuhan, Sakura! Apa kau tidak mendengarkan ucapanku tadi?"

Sakura melengos. Dan Sasuke kembali menghelakan napasnya lagi. Sepertinya malam ini menjadi rekor terbanyaknya dalam mendesah.

"Kau adalah orang pertama yang akan kuhubungi jika urusanku sudah selesai. Mengerti. Jadi kau tidak perlu lagi mencemaskanku."

"Aku tidak mencemaskanmu!" Sakura melotot. "Kan sudah jelaskan tadi. Idemu yang menyuruh untuk saling mengabari. Aku hanya menjalankan saja. Buang jauh-jauh pikiran anehmu itu, dasar."

Sasuke hanya menampilkan senyum tipis mendengar gerutuan Sakura. Diacak-acaknya gemas rambut Sakura hingga wanita itu menepis tangannya, lalu memberengut karena mendapati rambutnya yang tak beraturan. Sasuke pun tertawa saat Sakura berusaha memukul lengannya.

Tentunya Sasuke dengan mudah menangkap pergelangan tangan Sakura, tapi kemudian matanya tertuju pada jam yang melingkar di tangannya.

"Sialan." Sasuke membebaskan tangan Sakura, dan langsung meraih ponsel di sakunya.

Sakura menatap kegiatan itu dengan rasa ingin tahu. Sekilas tadi ia menangkap kepanikan di wajah Sasuke, dan raut itu masih tercetak di wajahnya saat pria itu memerintahkan seseorang di seberang sana untuk memesankan tiket penerbangan lagi.

Seketika perasaan bersalah menghampiri Sakura. Sudah pasti dirinyalah penyebab Sasuke terlambat sampai ke bandara. Ia dan sikap kekanakannya. Maka ketika Sasuke menutup teleponnya, Sakura langsung berucap, "Maafkan aku."

Sasuke langsung menatap Sakura, alisnya berkerut, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tetapi kemudian Sasuke terkekeh hingga Sakura memukul lengannya lagi.

"Kenapa kau malah tertawa? Memangnya kau pikir permintaan maaf itu lucu, hah!"

Sakura makin menggebu memukul Sasuke. Kali ini ia menggunakan dua tangannya, yang kemudian salah satunya berhasil di tangkap dengan mudah oleh Sasuke. Pria itu lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. Tahu-tahu dia berkata sambil mengarahkan matanya pada Sakura.

"Kalau begini aku jadi ingin menciummu."

Sakura memelototkan kedua matanya. Ia menarik tangannya panik. "Berani melakukannya akan kupukul kau. Tidak, tidak kupukul. Aku akan menghajarmu menggunakan ini." Tangan Sakura yang lain berusaha mengamit sepatunya. "Jadi cepat lepas! Atau aku akan berteriak… "

"Tenanglah, Sakura."

"Kau menyuruhku untuk tenang saat ada seseorang yang ingin berbuat cabul padaku!"

"Aku bisa saja melakukannya sedari tadi, tapi aku tidak melakukannya, kan. Aku tidak akan melakukannya kalau kau tidak menginginkannya."

Sakura langsung membuang muka. Tetapi Sasuke masih melanjutkan bicara.

"Tetapi kalau sebuah pelukan. Kau tidak keberatan, kan?"

Sasuke masih menahan diri untuk tidak menarik tangan Sakura hingga wanita itu datang ke pelukannya. Ia ingin pelukan itu terjadi bukan karena paksaan, tapi karena keinginan.

Sasuke berdehem sebelum melanjutkan. "Anggap saja itu sebagai pengganti makan malam yang sampai aku kembali nanti."

"Memangnya selama apa kau pergi? Sebulan?"

Sasuke mengangguk, tetapi kemudian segera meralatnya. "Mungkin bisa lebih. Aku ingin memastikan semuanya benar-benar berjalan dengan baik agar nenek tua itu tidak bisa menemukan celah kesalahan setitik pun."

Perbincangan dengan Tsunade kembali melintas dalam benak Sasuke. Ia kini mengetahui kalau wanita tua itu tidak hanya mengawasi dirinya, tetapi juga Sakura. Tsunade pasti akan mencari cara untuk bisa mengenyahkan apa pun yang menghalangi keinginannya. Sasuke mengakui, keputusannya untuk membeli saham Sabaku Group bukanlah keputusan yang tepat.

Untuk itu Sasuke mulai memperketat pengawasan di setiap cabang. Ia akan mengawasinya secara langsung, memastikan semuanya berjalan lancar. Baru kemudian ia akan menghabiskan lebh banyak waktu untuk mengawasi kerja sama dengan Sabaku Group. Sementara sampai pekerjaannya selesai, ia bisa mempercayakan tugas itu pada Sai, salah satu orang kepercayaannya.

Sakura tersentak, "Maksudmu, ibumu?"

"Dia bukan ibuku." Sasuke membantah tegas. "Aku tidak memiliki ibu, Sakura. Aku tidak punya."

Sasuke mengalihkan pandangannya setelah mengatakan itu. Sakura merasa udara di dalam mobil berkurang sangat banyak hingga membuat dadanya sesak. Raut kesedihan itu telah mencubit-cubit hatinya. Sakura ingat, Sasuke pernah mengatakan tentang ibunya yang menjual dirinya pada Tsunade. Dan Tsunade, apakah wanita itu menggunakan Sasuke sebagai sebuah pion untuk menjalankan bisnisnya. Lalu nama Uchiha yang Sasuke sandang, mungkinkan itu hanyalah sebuah pajangan?

Tanpa sadar satu tangan Sakura yang terbebas tekah bergerak menggenggam baju depan Sasuke. Pria itu menoleh, menatap Sakura penuh tanya.

"Boleh…, " ucap Sakura yang juga membalas tatapan mata hitam Sasuke. "Kau boleh memelukku."

Tanpa banyak bicara Sasuke langsung mendekap tubuh Sakura. Mengalunkan kedua tangannya di punggung dan pinggang munggil wanita itu. Sakura membalas sama, kedua tangannya mengalung di bahu Sasuke. Ia dapat merasakan ujung hidung Sasuke menelusup di leher kemudian berhenti di atas bahunya. Pria itu menghirup napas dalam-dalam lalu memeluk tubuh Sakura makin erat.

Sakura pikir ia hanya ingin memberikan ketenangan pada Sasuke. Tetapi kemudian ia ingat kalau pria itu akan menghabiskan waktu yang lama meninggalkan Konoha, meninggalkan dirinya. Tiba-tiba gelisah menghampirinya, mendadak dadanya pun terasa sesak. Lantas Sakura ikut mengeratkan kedua tangannya di leher Sasuke. Lalu tanpa sadar Sakura memejamkan kedua matanya.

Ia melarutkan diri ke dalam pelukan yang menghangatkan sekaligus memberatkan. Ada secuil keinginan untuk tidak melepaskannya, secuil hal yang tidak Sakura mengerti mengapa bisa ia rasakan. Sakura pikir ia mulai gila karenna telah erpikir hal yang tidak-tidak. Apa lagi kini Sakura juga merasa pelukan ini, meski masih tidak bisa Sakura percayai, rasa-rasanya akan mungkin ia rindukan nanti.

…..

Hai ^^

Aku tau kalian bosen baca ini, tapi aku tetep bakalan bilang, maaf aku apdet sangat lama. Bagi yang udah lupa jalan ceritanya, silakan dibaca lagi dari awal hihihihi :D Maaf juga ngak bisa balas ripu. Aku bener-bener baru selesai ngetik bab ini dan harus capcus pergi… tapi aku selalu baca ripu kalian kok. Kalian pasti tau klo itu adalah penyemangat aku. Terima kasih ya udah mau bersabar menunggu aku yang ngetiknya lelet banget macem siput. Sampai ketemu lagi ^^