MAY I LOVE YOU?
.
-8-
Seperti Fantasi
.
Cluster headache.
Aku tidak tahu telah memiliki riwayat sakit kepala ini sampai ada diagnosis dari dokter. Selama ini aku mengabaikannya karena hanya muncul sesekali dan tidak menentu. Namun ketika rasa itu datang semakin sering, bahkan setiap hari, dengan lebih dari sekali dalam sehari, di jam-jam yang sama, entah pagi atau malam, aku mulai merasa terusik. Disebut langka, tapi bukan sakit berbahaya yang akan membuatku cepat mati, hanya saja sangat mengganggu.
Serangannya tidak memandang situasi, kapanpun dimanapun, setiap kambuh mataku akan menutup begitu saja, seolah refleks, hingga terlalu berat untuk dibuka. Mata panas, berair, tampak seperti menangis dengan sebelah mata, padahal air mata keluar begitu saja tanpa mampu ditahan. Sakit yang menghujam sebagian sisi kepalaku, nyeri yang menusuk-nusuk, seperti membakar isi kepalaku, seakan hendak mencongkel bola mataku, bahkan saat tertidur nyenyak akan dapat terbangun saking sakitnya.
Dokter menganjurkan untuk menghindari nikotin atau alkohol yang dapat menjadi pemicu kambuhnya sakit kepala klaster ini. Sedangkan aku bukan perokok, juga bukan peminum. Tetapi aku teringat saat mencicipi alkohol sebelum nyeri kepala ini berlangsung lebih sering. Barangkali minuman keparat itu yang memperparah sakitku pada periode ini. Tapi itu memang salahku sendiri, tak ada gunanya menyalahkan alkoholnya, paling tidak aku mendapat pelajaran.
Aku membutuhkan terapi, meski itu dikatakan tidak akan dapat menyembuhkan, setidaknya akan mengurangi nyeri saat kambuh, juga memendekkan jangka waktu serangan. Belum lagi obat-obatan, di awal aku pernah diberi 12 macam obat penghilang rasa sakit untuk dikonsumsi setiap harinya.
Ada tawaran untuk melakukan pembedahan, dan aku menjalaninya tidak lama setelah keputusanku untuk meninggalkan rumah. Saat ada anjuran untuk melakukan terapi oksigen, aku memilih untuk menyepi di dataran tinggi yang masih segar dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang. Sejenak mengistirahatkan diri dari padatnya rutinitas sehari-hari yang rentan terhadap stres, sedangkan stres merupakan salah satu pemicu kambuhnya sakitku ini. Dan terbukti, aku merasa jauh lebih baik sekarang. Entah sudah berapa lama, namun aku sudah sangat merindukan rumah, keluargaku, dan dia.
Atau lebih tepatnya mereka, Hinata dan calon anakku.
.
.
Aku harus menelan pil pahit, mengubur bayangan Hinata menyambut kepulanganku dengan perutnya yang ketara membawa kehidupan. Begitu pulang, ia tidak ada di sudut manapun di dalam rumah. Ditambah kenyataan getir bahwa calon anakku lahir terlalu cepat, bahkan sebelum dia memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di luar rahim ibunya. Ya, anak yang mulai ku sayangi itu pergi, ditambah kepergian Hinata dari rumah ini.
Entah apa yang Hinata pikirkan tentangku sekarang. Selama ini aku tak menghubunginya langsung karena aku tidak mau membohonginya, sedangkan aku juga belum siap mengatakan semuanya. Aku ingin dia tenang menjalani kehamilannya, seperti yang dikatakan oleh Karin, Hinata tidak boleh banyak pikiran, karena stres akan mempengaruhi janin dalam kandungannya.
Tapi tak ada gunanya untuk menyesali pilihanku, dan tentu tak akan ada yang dapat benar-benar memahami rasa kehilanganku. Tidak ada kata-kata hiburan yang mampu menghapus kesedihanku, bahkan meski itu dari keluargaku. Tidak ada.
Ku timang ponsel di tangan, lalu mengetikkan sebaris pesan kepadanya.
.
.
"Kau sudah lama mengenal Sara, bukan? Bagaimana dia menurutmu?"
Hari pertama aku kembali menduduki posisiku di kantor, Kakashi menanyakan hal yang ku rasa tidak penting. Entah apa yang terjadi di antara mereka selama dia menggantikanku. Seharusnya dengan Sara sebagai asisten di sisinya, dia dapat lebih mengenal wanita itu dengan usahanya sendiri.
"Ada yang bilang dia bukan wanita baik-baik. Tapi dia yang ku kenal adalah pribadi yang manis tutur kata dan sikapnya, juga terpelajar."
Aku paham sekarang. Tapi ku rasa pendapatku tidak akan berarti.
"Kalau kau memang suka menelan makanan yang sudah dikunyah orang lain, kau bisa menilai Sara dari ceritaku? Tertarik?"
"Menjijikkan, jangan merusak selera makanku."
Aku hanya tergelak. Percuma menasehati seseorang yang sedang jatuh cinta, sama halnya dengan memeluk angin, sungguh perbuatan yang sia-sia. Aku yakin dia juga tidak akan mendengarku, meski mungkin aku mengatakan bahwa Sara pernah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga sahabatku. Sekarang saja dia tampak telah dibutakan oleh pesona Sara. Aku tidak akan turut campur. Mungkin saja Sara sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Ya, siapa tahu.
.
.
"Selamat datang kembali, Bos!"
Mendapatkan undangan dari kafe, ternyata ini yang mereka rencanakan. Sebuah pesta kecil-kecilan untuk menyambut kepulanganku. Dan kafe menjadi sangat ramai karena bonus jor-joran yang ditawarkan hari ini. Siapa lagi dalangnya kalau bukan Konohamaru. Dapat ku lihat ada Kiba juga.
"Sebenarnya ini ide Iruka san."
Aku digelandang Konohamaru, kemudian ditempatkan di kursi terdekat dengan panggung rendah di mana ada seseorang duduk menghadap grand piano. Tak lain pria bernama Iruka yang disebutkan oleh Konohamaru, chef senior di kafe ini. Aku mengulum senyum melihat Iruka san mulai mendentingkan melodi buah karya Frederic Chopin, dari 21 dia memilih memainkan Nocturne Op. 9 No. 2. Aku cukup suka musik klasik, dan entah dari mana mereka mengetahuinya. Tidak menyangka juga jari-jari yang biasanya gesit dalam urusan dapur, ternyata lihai membangun harmoni yang ku rindukan.
Aku jadi terbawa suasana yang dilukiskan oleh Nocturne. Malam hari yang tenang, emosional, sedikit romantis, dan penuh mimpi. Seketika itu pula rekaman tentang pertemuan pertamaku dengan Hinata seperti berputar di kepalaku. Dia gadis istimewa yang memiliki mimpi teramat sederhana. Aku masih mengingatnya dengan jelas, tentang gaun pengantin yang diimpikannya, tentang keinginannya untuk mengenakan gaun di hari pernikahannya, tentang dorongan dalam dirinya untuk bekerja keras agar mendapatkannya, meski dia berujar bahwa itu tidak lebih dari angan-angan masa kecilnya.
Perasaanku menjadi semrawut ketika alunan piano berubah menjadi lantunan sonata karya Ludwig van Beethoven. Bagian pertama dari Moonlight Sonata. Sayup-sayup seakan mendengar tangisan yang memilukan, namun juga indah dalam waktu yang sama. Begitu merdu, begitu lembut, begitu halus, dan sungguh teramat sedih. Gubahan yang dilandasi cinta mendalam sang maestro kepada muridnya, namun perbedaan usia yang terpaut jauh dan status sosial menjadi jurang yang menghalangi mereka untuk bersama. Quasi Una Fantasia, hampir seperti fantasi.
Menengok ke belakang, bagaimana awal perjumpaanku dengan Hinata yang usianya bahkan separuh dari umurku namun terkesan begitu dewasa, bagaimana malam-malam yang kami lalui bersama, sikap kekanakanku, kegalauanku, kelabilanku, ketika aku harus berobat dan meninggalkannya tanpa kata, lalu saat kami kehilangan ikatan darah yang seharusnya dapat menyatukan kami. Sampai pada titik ini, di mana kami memilih untuk berjalan di path yang berbeda.
Nyaris tak percaya bahwa aku benar-benar mengalaminya. Tapi aku masih cukup sadar untuk merasai bahwa ini bukan fantasi, pun bukan mimpi. Ini sungguh terjadi dan telah ku lalui.
"Oi, Bos, sepertinya Matsuri masih marah besar kepadamu. Buktinya dia tidak mau datang."
Konohamaru merusak renunganku, "Sudah ku duga, dan aku pantas mendapatkannya."
"Iya lah, bilang see ya lalu pergi begitu saja, siapa yang tidak dongkol."
"Jadi sekarang kau bersekutu dengannya?"
Bocah jabrik ini malah cengengesan, "Bos tidak akan menyesal punya menantu sepertiku."
Aku mendecih tapi tidak bisa menahan kekehanku. Aku memang bisa mempercayakan Matsuri pada Konohamaru, dan aku tidak hanya akan mengacungkan jempol jika bocah ini dapat mengambil hatinya. Namun Matsuri yang ku kenal tidak semudah itu.
"Best luck." Aku menyemangatinya.
Konohamaru sepertinya langsung tanggap, mengerti bahwa yang ku maksud adalah good luck, dan tentu dia sudah tahu apa yang menjadi kesukaan Matsuri, termasuk lagu itu.
Tepat saat aku hendak meraih gelas minumanku, sebuah tepukan menghantam bahuku. Hampir saja menjatuhkan gelas yang baru ku sentuh. Si pelaku sama sekali tidak merasa bersalah, justru terbahak ketika menghempaskan pantatnya di sebelahku.
"Yo, Bro, sombong sekali tidak menyapaku dulu."
"Kata orang, dunia serasa milik berdua untuk pasangan yang sedang kasmaran. Itu yang ku lihat saat kau bersamanya."
Kiba kembali tergelak, tak lama seorang wanita yang sebelumnya ku bicarakan menduduki bangku yang masih kosong. Wanita yang ku tahu adalah teman baik Hinata di distrik merah. Setelah Kiba bercerai, sekarang dia lebih berani menggandeng wanita ini kemana-mana.
"Apa kabar, Namikaze san?" tanyanya basa-basi.
"Seperti yang Anda lihat, Tenten san." Aku tersenyum sedikit, "Saya harap Anda juga baik."
Dia tersenyum lebar dan terkesan misterius, "Anda tidak ingin bertemu dengannya?"
Aku paham siapa yang dimaksud.
"Terakhir dia bilang kalau Anda menghubunginya. Tapi karena dia tidak yakin, dia malah tidak membalas."
Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri ketika dia kembali berucap. Mengingat-ingat, memang tidak ada balasan untuk pesan yang ku kirimkan tempo hari.
"Kiba bilang saya tidak boleh mengatakan apapun padanya sebelum Anda sendiri yang menemuinya."
Dapat ku dengar Kiba di sebelahku masih saja terkekeh-kekeh.
"Sekarang dia sedang sibuk belajar untuk menghadapi ujian." Tenten masih terus berbicara. "Ya, dia melanjutkan sekolahnya yang sempat terputus di tengah jalan." Dia menambahkan seolah mengerti hanya dengan melihat tatapanku padanya.
"Mungkin kau bisa menyuntikkan semangat untuknya?" sahut Kiba yang jailnya minta ampun.
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Sedangkan mereka terus bercerita. Bagaimana hari-hari yang dijalani Hinata ketika aku tidak di sini. Tentang Hinata yang memilih tinggal bersama dengan Tenten dibanding ikut dengan keluarga sepupunya. Tentu aku belum lupa dengan pria yang terlihat selalu memusuhiku itu, dan jujur saja aku juga kurang suka padanya. Kiba memastikan Tenten tidak kembali ke dunia malam, berlaku juga untuk Hinata. Dan selama ini Hinata melakukan kerja sambilan di sebuah toko swalayan untuk menghidupi dirinya.
Jika dipikirkan kembali, sesungguhnya tidak pernah benar-benar ada ikatan antara diriku dan Hinata. Dari awal kami sama-sama manusia bebas, bahkan hingga kini tak lagi bersama. Sepertinya tidak akan aneh jika berlagak tak pernah saling mengenal sebelumnya. Tapi benarkah ini yang ku inginkan?
Time passed like a blink of an eye, as it was just a dream, but my feelings still remain the same.
.
.
Aku tak bisa mengalihkan pandangan darinya. Melihatnya dari balik deretan rak-rak tinggi yang berjajar rapi. Tanpa sadar aku telah tersenyum, dia belum menyadari kedatanganku. Dia tidak bisa mengalihkan fokus dari para pengunjung yang berderet mengantre menguji ketangkasannya. Aku masuk ke dalam barisan, maju selangkah demi selangkah, menjemput giliran untuk dilayani olehnya.
Aku terhibur mendapatinya menatapku dengan sedikit melongo ketika ku letakkan sebotol air mineral dingin dan salad buah kemasan di meja kasirnya. Dia terdiam, seperti lupa belum menghitung jumlah harga yang mesti ku bayarkan. Atau karena aku dianggap aneh membeli minuman dingin di kala malam bersuhu rendah seperti ini. Sebenarnya aku juga baru sadar, tadi aku mengambilnya secara asal.
"Aku akan menunggumu di luar."
Hinata terlihat gelagapan saat aku menyerahkan selembar uang padanya, lalu melirik jam tangannya, "Tapi sif saya masih satu jam lagi."
"Ada ini." Aku menunjuk belanjaanku.
Seperti yang ku katakan, aku menunggunya di dalam mobil dengan ditemani air dan salad. Aku iseng membeli salad buah yang mengingatkanku padanya. Tapi air dinginnya tak tersentuh, aku justru menyesap kopi panas yang ku beli di teras toko.
Sejujurnya, saat sendiri seperti ini, saat ketenangan merajai, saat kesunyian justru terdengar begitu bising, seketika itu pula aku merindukan hari-hari yang telah lalu, dan segala tentangnya. Ku letakkan gelas kopiku di cup holder, lalu ku putar radio untuk mengusir sepi.
Sambil menyandar, ku pejamkan mataku.
Aku merasa baru saja tidur-tidur ayam ketika mendengar ketukan di kaca jendela sebelahku. Di luar Hinata agak membungkuk sambil melambaikan telapak tangannya yang terbungkus sarung tangan wol. Ternyata aku memang sempat ketiduran, bahkan sampai sifnya berakhir.
Pintu terbuka, ku persilahkan dia masuk, dan dia menduduki jok di sebelahku. Wajahnya tampak lebih bersinar ketika dia melihat ke arahku. Aneh sekali karena sekarang aku baru menyadari. Mungkin sedikit terlambat, tapi ku rasa aku tidak ingin kehilangannya lagi. Aku ingin memberitahunya, aku ingin mengatakan banyak hal padanya. Namun semua kata-kata itu seolah tertahan di ujung lidahku.
"Makan siang seorang Naruto Namikaze bisa selama ini ya," ucapnya dibarengi senyum.
Aku masih menunggu apapun yang hendak diungkapkannya.
"Namikaze san waktu itu pamit makan siang, tapi baru kembali sekarang. Tahu begitu, saya akan memasakkannya untuk Anda."
Dia tertawa kecil karena candaannya sendiri, sedangkan aku tak bisa lepas dari memandanginya. Dia tampak salah tingkah ketika menyadari pandanganku. Lantas aku tergelak sembari menyandar pada jok, begitu pun dengannya yang turut tertawa pelan. Aku tidak tahu apa yang ku tertawakan, aku hanya tahu kalau aku merasa begitu lega sekarang, lega karena sudah bertemu dengannya.
"Selamat ulang tahun," kataku akhirnya.
Aku tak mampu berkata-kata ketika secara tiba-tiba dia menerjangku dengan sebuah pelukan menyesakkan. Ku rengkuh tubuhnya yang bergetar terisak-isak, melirihkan maaf berulang-ulang di tengah tangisnya, menyatakan penyesalan terdalamnya, merasa tidak becus menjaga nyawa yang telah dititipkan padanya. Ku angkat tanganku untuk membelai kepalanya. Seharusnya aku yang mengucapkannya karena aku tidak bisa menjaganya. Tapi semua kata-kata itu kembali tertahan.
So many things that I want so badly to say but I just can't.
.
.
.
.
29112015
NARUTO belongs to Kishimoto Masashi sensei :)
! gain no profit from this fanfiction ! thanks for reading ! please don't copy without permission !
based on true "story"
request-inspired-by-uknowho