Hari minggu memang hari yang tepat untuk bersantai atau bersenang-senang dengan mengunjungi tempat wisata, berjalan-jalan bersama teman atau kencan dengan kekasih hati... Hm, lupakan kalimat terakhir, itu menyenangkan jika kita yang melakukannya, tapi jika kita hanya melihatnya tentu hanya membuat sebal. Yap, itu lah yang dirasakan Sawamura Eijun.

Kini ia berada di Disneyland Tokyo, tepatnya di gerbang masuk menunggu dua teman yang entah kenapa tak kunjung tiba. Eijun bosan menunggu. Matanya sudah lelah sedari tadi melihat puluhan pasangan lalu-larang di depan matanya. Eijun tahu hari ini hari lIbur, tapi tidak menyangka akan banyak pasangan ke sini. Apa Jepang kekurangan anak-anak separah itu hingga tak ada keluarga yang bawa anak-anak? Entahlah.

"Eijun/Sawamura!" Dua suara halus namun berbeda notasi memanggil nama lengkapnya bersamaan. Eijun melihat seorang gadis dan pemuda mungil berlari sambil melambai ke arahnya. Gadis berambut hitam panjang serta pemuda surai merah muda.

"Loh, kok bisa bersamaan?" Kata Eijun setelah mereka berhadapan.

"Eh? Dia temanmu itu." Sahut gadis mungil.

"Yap, Kominato Haruichi. Batter kedua dari Seido. San Minami Suzuka, teman sekelasku di Yakushi." Eijun memperkenal dua temannya ke satu sama lain dengan sekali nafas. Minami tersenyum ramah, mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Sambutan malu-malu malah diperlihatkan oleh pemuda merah jambu, Harucchi menyambut tangan gadis mungil itu.

"Harucchi! Minami! Cepat, kita masuk!." Eijun dengan seenaknya mendorong mereka sebelum sempat mengucapkan nama masing-masing. Minami sempat protes karenanya, tapi tak digubris pemuda surai cokelat pekat itu.

Mereka pun masuk ke tempat yang penuh mimpi kanak-kanak di dalamnya.

Aku tersenyum saat mengingat kenangan di Disneyland. Kenangan yang tak terlupakan untukku dan Miyuki.

"Kenapa kau tersenyum, Harucchi?" Terdengar suara halus seorang wanita yang duduk di sebelahku. Aku menoleh pada orang yang sangat kukenal. Rambut wanita itu terlihat acak-acakan, matanya sembab karena semalaman dan sampai sekarang pun masih ada isakan kecil dari bibir mungilnya.

"Tidak. Aku hanya mengingat saat kita bertemu pertama kali." Kukembangkan senyum lembut saat menatap mata hitam jernihnya, merah terlihat samar pada sisi putih yang mengelilingi mutiara hitam itu.

"Ah, yang itu." Wanita cantik itu mengangguk, tahu benar apa yang kuingat. Senyum terbit di bibirnya. "Waktu itu sampai dimarahi nenek sihir karena misahin dia dengan Miyuki, agar Miyuki bisa berduaan dengan Sawamura."

Aku tertawa pelan. "Kau masih memanggilnya nenek sihir?"

"Mirip, sih." Ia mengangkat bahu. "Tapi aku bersyukur berada di sana saat itu, apa yang dilakukan Miyuki sangat romantis. Janji dalam taruhannya."

"Aku tak bisa mengerti Fujoshi." Kurasakan sakit di bahu kiri akibat tinju wanita cantikku ini.

"Hmp... laki-laki lurus memang tidak peka." Katanya dengan pipi digembungkan, layaknya anak kecil.

"Kalau aku tidak lurus, kau tidak akan punya calon suami imut sepertiku, Suzu." Lagi kurasakan tinju di bahuku. Aku memang tak mengerti, dimana sisi romantisnya pada cara Miyuki mendapatkan Eijun saat itu. Yang kurasa cara itu adalah kelicikan seorang catcher untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dari seorang pitcher-nya. Yah, setidaknya taruhan itu dikatakan saat kembang api berkembang dengan indah di belakang istana Disney yang terkenal.

Tapi ku akui saat itu mereka bagai pangeran musim semi dan pangeran musim gugur. Tidak mungkin aku menyebut pangeran dan putri, 'kan?

Hari sudah siang ketika mereka bertiga memutuskan untuk memasuki restoran yang berada di area Mickey si tikus dan kawan-kawannya. Restoran itu bernuansa kapal laut dari kayu, bangku-bangku panjang dipilih untuk tempat duduk para tamu dan meja-meja besar panjang. Suananya benar-benar seperti di dalam kapal kayu besar.

"Katanya, makanan di sini enak-enak, lho." Kata gadis bersurai hitam sebahu. Ia memimpin dua pemuda yang berada di belakangnya.

"Hai, Minami. Bisa kita cari restoran lain saja?" Tanya Eijun dengan suara pelan dan kelam ketika ketiganya sedang mencari tempat duduk yang nyaman untuk mengisi perut mereka. Minami mengerutkan dahi, sedikit bingung akan suara pemuda berambut cokelat pekat. Suaranya seperti bertemu hantu yang menakutkan atau malah mantan? Entahlah...

"Tapi aku mau makan kue yang terkenal di sini." Minami tak mau kehilangan kesempatan untuk pamer pada teman-temannya, makan kue yang sama dengan kue yang dimakan artis ternama.

"Ayolah, Minami." Dan pemuda manik emas itu masih tidak ingin makan di sana. "Ah, di area ace geke ada restoran yang masuk tv, loh, Minami. Ya, 'kan, Harucchi?" Eijun meminta dukungan.

"Eh? Entahlah, aku jarang menonton tv." Dan orang yang dimintai tak mengerti dengan maksud pemuda berisik itu, Harucchi malah menemukan kursi kosong untuk lima orang.

"Di sana makanannya enak juga." Eijun berkeras walau kedua temannya sudah duduk di bangku kosong yang Harucchi temukan, dirinya tetap berdiri.

"Area ace geke itu mahal-mahal loh, Sawamura. Aku tak mau kau cuci piring selama kita melihat kembang api." Ucap Minami membuat Eijun cemberut, tapi tak membuatnya duduk, ia masih berdiri tak jauh dari teman-temannya yang sudah duduk sambil melihat sekeliling.

"Kau ini kenapa sih, Sawamura." Ujar gadis mungil itu, mulai tersadar keanehan temannya. "Apa di sini ada sadakonya?"

"Bukan begi-"

"Kominato?" Suara genit terdengar tiba-tiba dari belakang Eijun yang membuatnya terlonjak. Minami menaikan alis saat melihat reaksi pemuda bermata emas itu, padahal bukan dia yang dipanggil?

"Hah? Akako?" Pemuda merah muda terlihat terkejut saat menatap sang penyapa. Tak jauh dari Eijun berdiri, seorang gadis seumuran Minami berjalan mendekat. Ia memakai rok pendek hitam, kaus tanktop putih, kaus kaki selutut berwarna ungu, rambut pirang catnya ditata ala boneka.

"Kau kencan juga?" Gadis modis itu mendekati pemuda merah muda. Sedangkan Eijun sudah merapat ke sebelah Minami yang duduk di seberang Harucchi, sambil bergumam tak jelas.

"Bu... bukan, kami bertiga, kok. Kau sendiri kenapa di sini? Bukankah para Manajer sedang rapat jelang persiapan semifinal?" Harucchi mengerutkan alis, tak mengerti kenapa Manajer resek ini bisa di sini padahal yang lain sedang rapat bersama wakil klub baseball?

"Kencan. Kencan dengan Kapten dan semua mengizinkanku, kok." Ujar Akako sambil bergaya genit. Minami merasakan ketegangan di sebelahnya dari pemuda bersurai cokelat pekat. Eijun menggerakan kepalanya ke kiri dan kanan, seakan mencari sesuatu.

"Eh? Kapten mengajakmu ke sini?" Tanya Harucchi tak percaya.

"Tentu saja-"

"Tidak..." Suara dingin memotong perkataan sang gadis modis itu, dengan wajah dingin Miyuki berjalan mendekat pada meja Eijun dan teman-temannya. "Kau sendiri yang beli tiket dan mengikutiku kemanapun." Katanya, dengan nada kesal yang sangat kentara. Pemuda itu dengan seenaknya duduk di sebelah Harucchi sekalipun tak ada yang mempersilahkannya.

"Hei, kenapa kau duduk di meja kami?" Sahut Eijun sewot.

"Di sini kau bebas duduk di mana pun, walau sudah ada orang lain di meja asal bangkunya ada yang kosong. Lagian kalian kan cuma bertiga dan bangku ini untuk lima orang, jadi tak masalah, kan? Kominato, apa kau keberatan aku duduk bersamamu?" Kata-kata panjang itu membuat lawannya menggertakkan gigi. Eijun melihat pemuda merah muda, berharap untuk tidak mengizinkan mantan pasangan battery-nya duduk satu meja.

"Aku sih tidak masalah, Senior Miyuki. Tapi, kalian kan lagi kencan, bagaimana kalau cari tempat berdua saja?" Tanya Harucchi polos. Bukannya ia mengerti isyarat Eijun, hanya saja tidak ingin lama-lama melihat Manager rese yang berdiri dekat meja mereka. Sakit matanya jika melihat gadis sok imut itu.

"Benar, kita cari bangku lain, Kazuya." Ucap si gadis pirang palsu dengan nada menuntut manja.

Miyuki mengernyit tak suka tapi tersenyum iblis saat melihat Eijun berpaling dari kontak mata mereka. Boleh ia main-main dulu? "Kita kencan bareng aja, Kominato?" Salut Miyuki dengan senyum sejuta dollarnya.

Pemuda surai pink mengerut dahi, tak mengerti maksud Kapten tim bisbolnya itu. Kencan apa yang dilakukan oleh tiga pria dan dua orang wanita? itu namanya manas-manasin orang yang satu lagi. Lalu siapa yang mau nyempil di antara dua pasangan? "Kencan bareng? Aku kan ikut Eijun dan teman sekelasnya, Senior Miyuki. Jadi tidak bisa disebut kencan."

"Kenapa tidak? Kupikir kau cocok dengannya." Miyuki menunjuk Minami dengan Ibu jari. Melirik Eijun, "Dan aku dengan kekasihku." Minami merasa hal ganjil dengan kalimat terakhir pemuda surai cokelat hitam, gadis itu berpikir sambil memperhatikan si kacamata.

Gadis cantil yang berdiri di sebelah kiri Harucchi, berbinar bahagia karena merasa akhirnya diakui juga. Perjuangannya tidak sia-sia."Hehe, kau ini. Kasian kan anak itu sendirian." Ucap Akako mengejek Eijun lalu hendak duduk di sebelah Minami berseberangan dengan Miyuki.

"Siapa yang kau maksud?" Tanya Miyuki dengan kepala dimiringkan, sebelah alis dinaikkan. Menatap bingung gadis yang hampir menyentuhkan pantat berbusanya pada bangku panjang. "Kekasihku itu bukan kau, tahu."

Minami hampir terbahak karena ucapan pemuda berkacamata itu, nada suara ringan terdengar menyebalkan. Melirik Eijun yang mengernyit tak suka, Gadis surai hitam itu mendekati pemuda berambut cokelat pekat. "Hei, Sawamura. Dia siapa? Pria berkacamata itu..." Bisiknya.

Gadis pirang itu tak jadi duduk. "Lalu siapa? apa dia lebih cantik dariku? dari tadi kulihat kau sendnirian, tak ada wanita yang menemuimu. Jangan menipuku dengan kekasih khayalanmu itu." Cecarnya dengan nada marah tersamar kesombongan. Akako berkacak pinggang, menantang.

Eijun menanggapi pertanyaan Minami dengan berbisik kembali, dengan intonasi sebal. "Kapten team Seido, Miyuki Kazuya. Kelas tiga, catcher utama dan pemukul keempat."

Minami berpikir sejenak. "Dia mantanmu, dong." Ujarnya. Ambigu.

Pemuda manik emas sedikit memelototinya. "Kok ambigu sekali, sih." Ucap Eijun, mengernyit.

Miyuki menatap Akako dengan malas. "kau tahu, tidak semua lelaki suka perempuan cantik? Aku tidak ingin menyakitimu dengan kenyataan apa yang kualami. Kau harus sadar, kadang lelaki lebih menyukai perempuan yang tidak cantik tapi bisa memantaskan diri. Lagi pula cantik itu relatif."

Minami tertawa pelan. "Kau memang mantannya kan, mantan battery. Hehe."

Pemuda manik emas cemberut, sudah kesal karena keberadaan si Tanuki. malah digodain sadako fujoshi, sial. Andai Raichi ikut... "Terserah kau saja. Kapan kita pesan makanan."

Gadis rambut hitam panjang itu mengangkat bahu. "Mereka bertengkarnya seru, aku mau lihat sampai klimaks dulu." Dan Eijun hampir membenturkan wajahnya ke meja, tak mengerti pikiran temannya satu ini. Ya, mungkin ia pesan duluan saja.

Akako menyunggingkan satu senyum sombong. "Terserah, tapi aku ingin tahu wanita yang jadi kekasihmu itu. Kalau dia di sini, kenapa dia tidak bersamamu?" ucap gadis pirang.

"Kalian bisakah, hentikan pertengkaran ini. Senior Miyuki, Akako?" Lelah harucchi yang sudah bosan dengan adu mulut dua saudara jauh itu. Sedangkan Eijun sudah memesan minuman sendiri yang cepat datang rupanya.

Si mata empat menghela nafas lelah, ia melirik manik emas yang sedang meminum minumannya. Si bodoh itu juga tidak peka, ya. Pikirnya dengan sebal. Yah, sudahlah. Terus-terang saja. "Nah, dengar, aku bilang kekasih. Bukan cewek.*" Ujar Miyuki kalem.

Dua orang yang satu meja dengan Miyuki melotot, seorang lagi yang berdiri mematung. Dan pemuda yang sedang minum tersedak minumannya, terbatuk hebat,

"Sawamura, kau baik-baik saja." Minami menepuk-nepuk punggung pemuda berambut cokelat yang batuk-batuk. Eijun mengangkat tangannya, memberi isyarat kalau dia baik-baik saja.

"Maksudmu apa? jangan main kata. Apa bedanya cewek dengan kekasih?" Akako meletup dalam amarah. Minami bersyukur jadi fujo, karena lebih peka terhadap pria-pria belok. Jadi tidak dibodohi seperti gadis cantik ini. Setidaknya kau harus tahu yang mana pria belok, mana pria lurus. Agar tidak terlalu sakit jika ditolak, toh saingannya sama-sama kelapa bukan terong atau pisang.

"Sudah jelas, kan?" Miyuki masih ingin menjaga perasaan gadis ini-ah, tidak. Ia hanya tidak tahu reaksi apa yang Akako lakukan jika tahu dirinya lebih suka terong dan terong itu satu meja dengan mereka. Bisa saja kan, dia menyerang Eijun. Eijun mungkin laki-laki namun, Miyuki tidak mau ambil risiko hanya untuk kebenaran yang sulit diterima wanita udik.

"Ap-"

"Sudahlah, kalian berdua. Ayo, pesan makan dan pergi main berlima." potong Harucchi, dingin. Pemuda pink itu sudah bosan melihat perdebatan tak berujung itu. Ia lapar, ingin pesan makanan tapi harucchi tidak bisa makan enak jika ada dua orang berdebat dengan suara keras.

"Aku yang bayar semua... pesanan Eijun." Miyuki berujar keras sampai semua pandangan menatap ke arahnya. Eijun mengerutkan dahi, bingung dengan mantan pasangan battery-nya.

"Hah?" Eijun berseru, bukannya tidak senang makanan gratis tapi,buat apa coba bayarin makanan miliknya, jangan-jangan ada apa-apanya lagi. "Maumu apa? bayarin pesananku?" sewot Eijun.

Miyuki hanya tersenyum menyebalkan, ia maju sedikit mendekati pemuda bermata cokelat emas. Mengulurkan tangannya, mengusap bibir Eijun yang belepotan karena minumannya tumpah akibat terbatuk.

Eijun beku, tak bergerak. Semua orang yang melihat adegan itu pun melongo, Akako yang baru saja akan duduk berhenti. "Bersihkan bibirmu dengan benar, kau bukan anak kecil kan?"

"Tentu saja!" sahut Eijun, keras.

Setelah itu suasana di meja mereka cukup suram sekaligus cerah dan berisik. Aura suram terpancar dari gadis di sebelah Minami. Yang cerah tentu sang Kapten team baseball Seido, ia begitu cerah. Tersenyum indah hanya untuk pemuda bermanik emas yang berisik tak mau diam.

Miyuki terus menggoda Eijun dan pemuda bersurai cokelat itu terus menanggapi godaan sang mantan pasangan battery-nya, dengan teriak keras dan sindiran atau cibiran tak suka.

Akako selalu memelototi Eijun saat menghina Miyuki, dan lalu aura hitam muncul tak kala pemuda yang ia cintai malah tertawa. Hanya Harucchi dan Minami yang sadar aura permusuhan di sekitar Akako.

Makan siang telah tiba hanya beberapa saat setelah mereka memesannya. Minami memesan spageti mozarella, mata gadis itu berbinar saat melihat hidangan itu. Miyuki dan Harucchi sama-sama memesan steak daging sapi dan Akako hanya memesan salad segar dengan sedikit mayones. Hanya Eijun yang memesan lebih dari satu makanan, di hadapannya tersaji satu ayam bakar keju, omelette rice, es krim moka cokelat, dan minuman stroberi srek.

Miyuki mengangkat alis, "Kau memang bisa memakan semua itu." Ujar pemuda berkacamata itu tak percaya. Ya, memang dia juga terbiasa makan dua-tiga kali dari porsi manusia normal namun kalau di restoran yang ramai dia biasanya cuma satu porsi saja.

"Aku lapar, kenapa?" Ujar Eijun, ketus."Aku tidak minta dibayarin." Lanjutnya sambil menyendok besar omurice nya dan memasukkannya ke mulutnya. Minami yang melihat itu menyerngitkan alisnya.

"Sawamura, itu terlalu besar. kau bisa ter-"

"Hmk! mk! hk! Hmk!"

"-sedak." Belum selesai Minami memperingati, Eijun sudah tersedak dan membuat Minami panik. Miyuki yang tidak tahu efek penyakit Eijun pun tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya memukul punggung Eijun dari depan.

"Tolong lakukan metode dari belakang dari pada memukul tengkuknya. Cepat !" Minami sedikit mengeraskan suaranya. Miyuki yang pernah belajar beberapa metode pertolongan pertama langsung mengerti apa yang harus dilakukan. Miyuki pindah ke samping Eijun, menarik pemuda itu agar memunggunginya lalu meletakkan kedua tangan yang disimpulkan di atas perut Eijun. Pemuda empat itu menghentakkan tubuh Eijun sampai beberapa kali. Eijun pun memuntahkan kembali nasinya, Minami memberinya minum.

Miyuki menghela napas lega sambil duduk kembali, ia lemas mendadak. "Kau ini suka sekali membuatku jantungan." Miyuki menghela napas lagi, ia mulai memotong steaknya.

Mereka makan dengan tenang, sesekali rIbut. Selesai makan mereka membahas mau ke mana. Eijun ingin ke star wars namun Minami ingin ke istana disney didukung oleh Akako, Eijun keras kepala ia ingin pergi ke sana sendiri. Miyuki berinisiatif pergi dengan Eijun. Akako ingin protes namun Minami menyetujuinya.

Eijun sebenarnya tak ingin bersama Miyuki, entahlah. Ia merasa canggung, ada yang aneh dengan Miyuki hari ini.

Mereka berpisah dengan Minami menyeret Akako bersamanya. Harucchi ikut bersama para gadis ia cukup tahu diri, Miyuki harus berdua saja dengan Eijun. Mereka harus memperjelas hubungan dan status mereka. Jadi membiarkannya berdua adalah hal yang tepat.

Eijun sangat senang saat mereka menemukan wahana perang bintang itu, ia berlari ke barisan pengantre yang seperti ular yang meliuk di tanah. Miyuki selalu melihatnya, selalu perhatikannya. Ia selalu berharap suatu hari nanti ia dan Eijun bermain bersama di team Jepang, di team kebanggaan seluruh rakyat Jepang. Ia ingin selalu melihat senyum kesombongan yang pemuda itu tunjukkan saat berhasil mengalahkan batter lawan. Miyuki ingin mendengar celotehan tak berguna. Ia menginginkan banyak hal di masa depan bersama Eijun. Walau bukan sebagai kekasih namun ia ingin terus melihatnya, melihat senyumnya yang lebar, mendengar suaranya yang bersemangat.

Namun kini harap itu bagai bintang di langit, sebuah cahaya memancar indah dari bintang yang mungkin sudah mati, bintang redup yang menunggu waktu terhisap oleh dirinya sendiri.

Miyuki tanpa sadar memeluk Eijun erat di tengah area permainan yang gelap. Ia tak tahu kenapa setelah sadar bahwa dirinya berharap besar akan bintang kecilnya tapi saat itu juga bintangnya perlahan redup, dan tak akan memancarkan cahaya lagi. Eijun sang bintang baru akan redup tanpa sempat bercahaya terang.

Eijun yang terkejut karena tiba-tiba dipeluk seseorang, di area yang gelap. ia tak bisa melihat orang yang memeluknya erat, Eijun ingin melepasnya namun, tak bisa. Pelukan itu kuat namun tak menyakitinya. Ia sedikit takut ada orang jahat yang melecehkan.

"Sebentar..." Ujar suara yang sangat ia kenal. "Sebentar saja, biarkan seperti ini." Eijun terdiam, suara Miyuki yang bergetar tak dimengerti oleh Eijun. Kenapa suara itu terdengar begitu sedih, apa yang Miyuki tangisi hingga tubuhnya bergetar hebat. Ia tak peka pada orang lain, ia tak mengerti apa yang Miyuki rasakan. Namun, rasanya ia ingin menangis juga.

Ia ingin terus bersamanya, Eijun menjadi pitcher hebat bersamanya. Ingin selalu melihat ke arahnya namun takdirnya begitu kejam. Penyakitnya terlalu berat untuk tetap di depannya, untuk melihat ke arahnya. Untuk berhadapan dengan satu sama lain sebagai sepasang battery, impian yang dari pertama kali ia impikan adalah berkembang bersamanya. Menjadi pasangan hebat.

"Haha... ada apa Kapten team Seido menangis?" Eijun tertawa canggung. Hai, ini di tengah permainan, di tempat yang mungkin orang lain akan melihat mereka bisa dikira sedang melakukan kegiatan mesum di tempat umum.

Miyuki tak menanggapinya, ia hanya ingin memeluk tubuh yang mungkin tidak akan lama lagi kaku. Ia hanya ingin bersamanya, memeluknya seperti saat mereka menang dalam satu team.

"Aku menyukaimu, Sawamura."

Tanpa aba, Miyuki mengatakan itu membuat Eijun membolakan mata.

Tunggu, apa? "Apa?" Eijun menoleh, kini ia berhadapan dengan wajah mantan battery-nya. Dengan posisi tetap Miyuki memeluk Eijun dari belakang, wajah mereka begitu dekat.

"Aku mencintaimu, Eijun." Miyuki mengucapkan kata-kata itu dengan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Ia tak bisa menahan air matanya, Miyuki tahu dirinya akan terluka suatu saat nanti, mereka tak akan menua bersama, mungkin paling lama sepuluh tahun lagi. Namun ia berpikir, bersama Eijun selagi bisa itu lebih baik daripada tak pernah mengatakannya dan menyesal.

"Hah?"

.

Aku tak tahu ada apa pada mereka waktu itu, saat kami bertemu kembali di istana disney. Eijun tampak begitu diam dengan wajah merah merona, tangan kirinya selalu digenggam oleh tangan kanan Miyuki, seakan jika genggaman itu lepas Eijun akan menghilang. Itu membuat Akako marah-marah, dan beberapa kali ingin menabrak Eijun agar berpisah dengan Miyuki.

Saat sore kami pergi ke wahana finisia dan menaiki perahu. Saat itu Eijun menolak Miyuki, itu dia mengatakannya dengan tertunduk tak ingin melihat wajah Miyuki. kami memang menyewa satu perahu saja Eijun duduk di sebelah Minami berhadapan dengan Miyuki, Akako ada di sampingnya, aku berada di tengah mereka menghadap samping. Aku tak mengerti apa yang ditolak Eijun pada Miyuki saat itu tapi Miyuki tidak menerima penolakan dan mengajukan taruhan.

Eijun bukan tidak senang dengan pengakuan Miyuki tapi ia tahu diri, walaupun ia hidup sepuluh tahun lagi mungkin hanya tak sampai satu atau dua tahun lagi ia kehilangan keseimbangan, ia tak tahu kapan itu terjadi, cepat atau lambat.

Eijun adalah seorang pengecut ia tak ingin ditinggalkan sendirian, lebih baik dirinya tak memulai jika pada akhirnya akan berakhir. Bagaimanapun juga hubungan seperti itu tidak stabil, tidak ada kesetiaan dalam hubungan lelaki dengan lelaki, itulah yang dikatakan orang-orang.

"Kau menolakku karena apa yang terjadi padamu sekarang, kan?" Suara Miyuki lembut memecah keheningan yang sempat ada di kelima orang itu, Akako diam karena tak mengerti apa yang dibahas. Minami dan Harucchi juga sama.

"Aku tak tahu kapan memakai tongkat, memakai kursi roda, lalu terbaring di tempat tidur dan tak bisa lagi mengangkat tangan. Di saat seperti itu akankah kau tetap di sisiku, apa cinta mu sama seperti sekarang?." Eijun berkata dengan cukup keras sampai terdengar yang lain, membuat semua orang terkejut.

"Apa?" Akako melotot.

Miyuki menutup mata, ia tahu Eijun bukan menolak perasaannya tapi takut perubahan perasaannya. Miyuki pun mengerti ketakutan Eijun, ia tak bisa jamin perasaan yang Miyuki rasakan akan tetap sama namun ia tak berniat jadi brengsek, jadi walaupun perasaannya pudar. Miyuki akan memupuknya kembali hingga tumbuh kembali. "Bagaimana kalau kita taruhan?" Ucap pemuda berkacamata itu, tersenyum lembut.

Akako ingin berbicara namun remasan menyakitkan di bahu membuatnya menoleh ke depannya, bahunya dipegang kuat oleh gadis berambut hitam dengan seringai seram dan mata tajam menusuk membuat Akako beku.

"Taruhan?" Eijun bertanya heran dengan sang Kapten Seido itu. Apa-apa taruhan? apa dia suka judi.

Miyuki mengangguk pelan. "Ya. Jika aku dapat tiga homerun di final liga Amerika, kau harus menerima lamaranku dan menikah denganku." Senyum percaya diri terbit di wajah tampannya.

"Hah?" Eijun tak mengerti kenapa orang ini percaya diri sekali. Memang mudah apa? Jangankan masuk final, lah masuk team papan tengah saja tak mungkin bisa seumur dengannya, apalagi dia orang Jepang. Ya sudah pasti harus di team Jepang dulu sebelum dikenal oleh team-team Amerika sana.

"Aku punya undangan beasiswa universitas swasta yang dimiliki oleh orang Jepang. Mereka punya team baseball. Jika aku menunjukkan kemampuan maka paling tidak ada tim liga papan bawah yang melirikku untuk bergabung."

"Terlalu percaya diri." Eijun menghela nafas pelan, ia tak habis pikir kenapa bisa jatuh cinta dengan orang seperti dia? kenapa bukan ke Senior Christ saja?

Miyuki tersenyum, mengulurkan tangannya pada pemuda yang duduk di hadapannya. Lagi mengajaknya deal taruhan. Ini seperti cintanya main-main tapi, Miyuki sungguh ingin jadi orang spesial di sisi pitcher kidal itu, jadi pasangan lagi walau bukan di dalam diamond.

Eijun terdiam sejenak, sebelum berbicara."Dua tahun, kau harus masuk final liga Amerika dan tiga homerun dalam waktu dua tahun setelah kau lulus dari Seido, kalau kau gagal ... taruhannya batal." Ujar pemuda surai cokelat itu.

Miyuki yang mendengar syarat sulit dari Eijun menghela napas. Ini sangat sulit tapi, tak ada kata mundur baginya. Ia akan memperlihatkan bahwa dirinya akan memperlihatkan keseriusannya. "Aku pasti akan membawakanmu serIbu mawar."

Eijun melongo, haruskah ia menganggap kata-kata itu romantis atau gombal. Entahlah, yang Eijun pikir sekarang adalah tatapan tajam Akako dan Minami dengan senyum fujoshi. ... ah, kenapa juga ia menolak Miyuki di sini. Otaknya jadi blank karena pengakuan Tanuki.

Perahu sampai pada ujung sungai buatan, Akako ditarik Minami secara paksa dan berjalan menuju istana Disney yang ikonik, sedangkan Harucchi berjalan sendiri meninggalkan Eijun. Hanya Miyuki yang membantunya turun dari perahu.

Matahari condong ke timur, warna cantik langit menemani mereka yang berpegangan tangan layaknya pasangan kekasih. ...

.

Aku melihat pemandangan Jepang saat ini dari jendela tasik, tak terlalu banyak perubahan dari kota Tokyo. Suzu-Chan tertidur di sebelahku, menumpukan kepalanya di bahuku.

Aku tersenyum saat mengingat kami bermain kostum di Disneyland, aku memakai kostum mickey mouse. Para gadis memakai gaun putri Disney dan Eijun serta Miyuki mengenakan pakaian pangeran beda warna. Miyuki memakai warna hitam sendang Eijun putih.

Sebenarnya itu adalah acara mingguan dansa pasangan dengan kostum dan harusnya itu adalah pasangan untuk lawan jenis. Karena angka kelahiran Jepang terus menurun jadi acara-acara seperti itu banyak digelar.

Hanya saja Miyuki termasuk orang yang tak peduli dengan hal itu dan mengajak Eijun berdansa. Ya, pangeran hitam dan pangeran putih berdansa dengan pandangan iri para putri.

Itu lucu.

Aku kembali melihat buku kusam yang kupegang. Buku harian Eijun dari satu setengah tahun setelah lulus SMA. Kami sebenarnya putus kontak. Eijun pulang ke Nagano di mana rumah orang tuanya berada. Aku hanya tahu Eijun ingin melupakan baseball dan mencoba bertahan lebih lama.

Lalu kudengar Miyuki berhasil menembus final liga Amerika dan membuat homerun sampai empat kali dan setelah itu seluruh media heboh karena sang idola baru baseball Amerika mengumumkan akan segera menikah. Isu yang beredar adalah dia akan menikah dengan wanita yang selalu ada di pertandingan team Miyuki, Akako.

Namun satu bulan pulang ke Jepang. Ia membawa Eijun serta mendaftarkan pernikahannya dan masuk dalam kategori pernikahan sesama jenis.

Entah bagaimana Miyuki tahu alamat orang tua Eijun, karena hanya wakil ketua Club Seido saja yang pernah datang ke rumah Eijun.

Saat itu ada banyak komentar pro-kontra. Banyak yang mencibir karena mereka pikir, untuk apa dia menikah dengan orang yang tidak akan lama atau kenapa tidak dengan wanita cantik yang sehat.

Orang-orang selalu bertanya kenapa?

Aku pikir itu tidak penting, karena alasannya hanya mereka yang tahu ...

.

Eijun tidak lagi bermain baseball, setelah lulus SMA, ia hanya membantu perkebunan keluarga kecilnya. Teman-temannya sudah sebagian pergi ke kota besar, hanya beberapa teman SMP-nya yang tetap di kota kecil ini, mereka cukup sering berkunjung. Membawa makanan dan minuman untuknya.

Wakana diterima di universitas Tokyo jadi ia hanya datang saat lIburan semester, wanita cantik itu selalu bercerita tentang kehidupan barunya di kota besar dan ya, Eijun sendiri pernah merasakannya walau ia hanya menghabiskan waktu di asrama dan lalu rumah sakit tapi, Eijun tahu rasanya terasing.

Wakana juga bercerita kalau ada Senior yang jahil, bersuara serak, dan tawa yang lucu. Pemain baseball, ia pelari cepat.

Eijun merasa mengenal orang ini, tapi siapa, ya?

Eijun tidak pernah menonton pertandingan baseball apapun kelasnya, ia masih berprinsip lebih menyenangkan bermain daripada menonton. Ia juga tidak update dengan berita di dunia. Ia hanya bekerja di ladang lalu pulang, tidur. Hanya itu.

Ia tak pernah berharap serIbu mawar merah, benar-benar datang. Ia tak pernah mau tahu berita baseball, tidak ingin tahu orang Jepang yang berhasil masuk ke liga Amerika tertinggi. Eijun hanya tak ingin berharap, ia sudah putus asa dan tidak ingin lagi merasakannya. Eijun hanya ingin bahagia dengan dirinya sendiri.

Hari sudah akan berlalu, warna langit sudah menguning. Jalanan yang agak kecil itu tak ramai, berbeda dengan jalanan di Tokyo. Eijun berjalan dengan tongkat, pelan. Ia baru saja pulang dari minimarket yang lumayan jauh dari rumahnya untuk membeli bahan makanan. Ibunya yang menyuruh. Katanya untuk melemaskan otot-otot. Paling tidak Eijun harus menghirup udara luar.

"Eh, dia meninggalkan Amerika untuk melamar calon istrinya?" Seorang siswi SMA melewati Eijun bersama dengan pemuda berseragam baseball. Mereka berbicara dengan cukup keras hingga Eijun bisa mendengar jelas.

"Iya, katanya dia akan melamar calon pendampingnya di Jepang."

"Apa Akako? dia selalu datang di setiap pertandingan catcher itu." Eijun mengerutkan alisnya, ia merasa mengenal nama itu. Tapi nama Akako cukup umum jadi mungkin ia pernah mendengar di suatu tempat. Eijun angkat bahu. Ya itu bukan urusannya.

Si pemuda tampak tak sekutu. "Tidak, tidak mungkin. Dia bahkan tidak menyapa saat wanita itu ingin memberinya bunga di ruang ganti usai pertandingan."

"Masa!?" Ekspresi sang siswi sangat terkejut.

Si pemain baseball mengangguk. "Dia melewatinya begitu saja saat itu dan beberapa media gosip bahkan memberitakannya."

"Wow, kasihan. Padahal dia cantik, ya." Anak-anak SMA itu terus bergosip tentang catcher Jepang yang tak tahu siapa, Eijun tak ingin tahu juga.

Pemuda dua puluhan itu berbelok ke arah rumah yang lumayan cukup besar, rumah kakeknya dan ayah serta Ibunya tinggal.

"Aku pulang!" Teriaknya sesudah menutup pintu, melepas sepatunya, menaiki lantai kayu lalu berjalan menuju dapur. "Ibu! aku sudah membeli apa yang kau pesan."

"Oh, Ei-Chan" Wanita paruh baya muncul dari belokkan ujung koridor yang menyambung ke dapur. Ia tersenyum sayang ketika mendekati Eijun. "Terimakasih. Oh, ya. Ada teman berkunjung, katanya Senior SMAmu."

"Hah? Senior SMAku? siapa?"

"Ibu tidak tanya, lupa." Wanita berambut cokelat itu menggaruk belakang kepala, ia melanjutkan kalimatnya."Tapi, dia tampan sekali dan juga terlihat seperti pengacara atau pengusaha."

"Hah?" Pemuda itu tak paham tentang yang dikatakan Ibunya itu, masa karena jas saja dikira pengacara? dasar drama tidak mutu mengajarkan hal tidak benar saja. Eijun menggelengkan kepalanya, ia memberikan kantong belanjaan pada wanita yang paling ia cintai satu-satunya di dunia ini. "Di mana Senior itu?." Tanyanya lagi.

Sang Ibu menerima kantong plastik. "Di kamarmu, dia datang tepat saat kau pergi, Ei-Chan. Dia cukup lama menunggumu."

"Baiklah." Eijun pun beranjak dari dapur dan berjalan menuju kamarnya. Dulu kamarnya ada di lantai dua rumah kakeknya ini tapi, karena ayah dan Ibunya khawatir tentang kondisinya maka kamar Eijun di pindah ke lantai bawah yang dulu digunakan sebagai kamar tamu. Eijun tahu orang tuanya akan melakukan hal gila jika tahu tentang penyakitnya. Memindahkan kamarnya bukanlah hal gila sama sekali tapi, memukul dokter yang mendiagnosisnya salah satu hal gila yang dilakukan ayahnya, Ibu? ia menangis di kuil selama dua hari dua malam. Kakeknya hanya diam tak berkomentar tapi, Eijun melihat getar pada buah adamnya.

Inilah yang ia takutkan, tak ada senyum pada keluarganya, senyum yang ada hanya palsu. Senyum itu hanya kedok untuknya agar tak terlalu memikirkan apapun, tetap bahagia dengan waktu yang pasti singkat. Ya, bahagia dengan apa yang bisa ia lakukan sekarang.

Eijun sudah di depan pintu kamarnya. Memegang gagang pintu. Ia membuka pelan pintu kayu berwarna cokelat muda itu. Eijun dapat melihat orang berjas sedang melihat-lihat mejanya.

Seorang pria dewasa yang mempunyai tubuh atletik, ia memakai baju yang benar-benar ketat hingga tubuh indahnya tercetak dengan rapi. Otot-ototnya tak terlalu besar namun terlihat gagah, cukup melihat punggungnya saja semua orang menyangka dirinya aktor film.

"Siapa?" Eijun bertanya, karena ia tak punya bayangan siapa pengunjung ini. Ia tahu itu bukan rambut kuning kecokelatan Chris. Dia berambut cokelat kehitaman. Eijun lupa siapa yang memiliki rambut seperti itu.

Pertanyaan itu membuat pria itu sedikit tersentak namun, segera tawa riang terdengar renyah. Eijun terhenyak mendengar renyahnya suara tawa itu. Ia tentu mengenal tawa itu.

"Senior Miyuki?"

Miyuki berbalik dengan senyum tampannya. Ia merentangkan kedua tangannya. "Halo, Eijun-Kun." Katanya. Senyumnya makin lebar, berharap mendapat pelukkan hangat. Hanya saja Miyuki lupa bawah Eijun tidak pernah peka akan hal yang menyangkut perasaan cinta, hanya diam tak melakukan apa-apa.

Dua menit berlalu Miyuki merentangkan tangannya, tentu saja cukup membuatnya pegal. Eijun hanya melihat dengan bodohnya di depan pintu yang sudah terbuka. "Apa yang kau lakukan di sini? kenapa kau tahu rumahku?"

Dan sebuah pisau terlempar ke hati sang pangeran.

Miyuki mengangkat alisnya, ia tak menyangka respon sang pujaan hati yang bukannya senang dan memeluknya penuh cinta malah seperti seseorang yang bertemu malaikat maut. "Eijun, tidak mau memeluk kekasihmu ini?" kata pria tampan itu, senyumnya pudar dan berubah menjadi cemberut.

"Huh?" Eijun hanya bisa melongo atas apa yang dikatakan sang Senior.

"Apa kau lupa tentang taruhan kita?" Pria berjas itu berjalan ke arah Eijun, mengambil kotak kecil dari dalam saku celananya. "Kau akan menerima lamaranku jika aku berhasil homerum di final liga Amerika."

"Tapi, ini baru setahun setelah kau pindah, bagaimana bisa kau membuat tiga homerun di final liga Amerika?" Eijun tidak sedang meragukan Miyuki tapi, baseball bukan permainan individu, hanya satu orang yang hebat tidak akan menjadikan satu team hebat juga. ia tidak ragu jika Miyuki bisa mendapat team kuat Jepang karena memang dari kelas 1 SMA sudah jadi incaran team pro. Tapi, siapa yang mengenalnya di Amerika? siapa yang tahu sehebat apa Miyuki Kazuya, seorang catcher jenius Jepang? team kuat Amerika tidak akan meliriknya, mungkin dia dianggap pemula. Jadi, tidak akan mungkin secepat itu bisa masuk final.

Namun, itu sebenarnya tidak penting. Eijun tidak berharap Miyuki Kazuya datang kalau pun dia berhasil masuk liga Amerika, karena untuk apa? Managernya pun pasti mati-matian mencegah pernikahan tak lazim ini. Karier Miyuki akan dipertaruhkan, masyarakat selalu merendahkan hubungan seperti ini.

Eijun tahu risiko jika hubungan seperti Ini diresmikan, juga untuk apa? maksudnya, pernikahan hanya untuk mengamankan status hukum anak saja, definisi pernikahan modern bukan seperti definisi pernikahan agama yang tadinya tidak boleh menjadi boleh. Pernikahan modern hanya untuk status hukum pemerintah.

Miyuki membuka kotak kecil yang berbahan kayu dicat hitam di tangan kanannya. Jarak di antara mereka hanya lima langkah, hingga pria muda berambut cokelat pekat bisa melihat sebuah cincin perak yang tak diberi hiasan apa pun.

Cincin kecil dan sederhana, cocok untuk pria.

"Kau, serius ingin melakukannya denganku?" Eijun menatap cincin itu dengan sayu. "Tidakkah kau takut karier mu hancur gara-gara ini?." Mata cokelat emasnya beralih pada mata cokelat kehitaman Miyuki.

Pria yang memakai setelan formal mengangkat alisnya, ia mengambil tangan kiri Eijun. "Aku rasa, catcher jenius sepertiku sangat berharga hingga menikahi seorang pria tak menjadi alasan kuat untuk mendepakku dari team dan dunia baseball." Katanya, sombong. Sambil memakaikan cincin perak di jari manis Eijun.

Eijun yang mendengar kata-kata percaya diri mantan Seniornya di Seido menatapnya aneh. Kok bisa ada orang yang begitu percaya diri dan menyebalkannya itu bukan hanya omong kosong. Dia memang sehebat itu, Eijun sendiri sangat mengaguminya dan jatuh hati padanya. Menyebalkan...

"Percaya diri sekali. Dasar Tanuki." Ucap Eijun, ketus. Ia menatap cincin di jari manis tangan kirinya.

Miyuki tersenyum, mendekati pria yang ada di hadapannya. "Kau suka?" Tanyanya sambil mengecup pipi kiri pria yang lebih muda setahun darinya.

Eijun masih diam, menatap cincin sederhana itu. Tak lama kemudian ia memiringkan kepalanya, menatap kembali Miyuki. "SerIbu bunga mawarnya?"

Mendengar pertanyaan itu Miyuki terkekeh. "Kau akan menolakku dengan itu?"

Pria surai cokelat pekat mengembulkan pipinya, sedikit jengkel. "Tidak. Aku hanya bertanya, kalau kau tak bawa, ya sudah. Itu terlalu konyol, membawa serIbu bunga mawar." Cecar Eijun. Mundur selangkah menjauh dari Miyuki.

Miyuki mencegahnya. Ia memeluk Eijun, kepalanya bersandar pada bahu surai cokelat pekat. "Aku membawanya, kok. Tunggu sebentar, ya."

Eijun hanya diam. bagaimana cara membawa serIbu bunga? Itu yang ada di pikiran Eijun sekarang. Ia pikir tidak mungkin membawa serIbu bunga tanpa kendaraan dan di depan tadi tak ada apa pun... apa masih belum datang?

Pria yang lebih muda tak sadar kalau bibir pria lain mendekat ke bibirnya. Menyentuh, menekan, melumat, menuntut lebih, memasuki dirinya.

Itu adalah ciuman lembut yang pertama kali ia rasakan. Ya, itu ciuman pertamanya. Eijun tak pernah merasakannya sebelumnya. Cukup sulit ketika kau tak bisa mengatur nafasmu. Tubuhmu lemas, entah karena asupan H2O berkurang atau karena hal lain. Katanya makan cokelat setara dengan ciuman tapi, rasanya tidak seperti ini.

Rasanya lebih menyenangkan...

"Eijun, ADA Wakana!" Teriakan nyonya rumah mengagetkan mereka. Eijun langsung mendorong Miyuki menjauh.

"Wakana!?" Seru Eijun, terkejut. Miyuki menaikan alisnya, ia sedikit tahu siapa Wakana. Dia gadis satu SMP Eijun dan digosipkan pacar pitcher berisik ini.

Langkah kaki riang terdengar mendekat. Posisi mereka masih berpelukan, tepatnya Miyuki memeluk Eijun. Eijun sendiri masih memegang bahu Miyuki karena ciuman tadi dan belum berpindah ketika seorang wanita cantik muncul dari ruang tamu mendekati mereka.

Eijun mendorong Miyuki agak keras, ia belum siap menjelaskan hubungannya dengan Miyuki. Ia tak yakin temannya bisa menerima hubungan seperti ini. Wanita berambut sebahu itu berjalan dengan senyum manis pada Eijun membuat perasaan pria yang ada di belakang sedikit suram.

"Ei-Chan, aku rindu padamu." Kata Wakana, sambil memeluk teman sama kecilnya. Eijun yang dipeluk gelagapan, melirik Seniornya yang beraura suram.

Dengan lembut mendorong wanita yang selalu ada untuknya, senyum dipaksakan terpampang di wajahnya. "Wakana? bukannya ini masih pertengahan kuliah?" Ya, ini memang masih pertengahan semester di Jepang, apalagi jurusan Wakana yang banyak sekali mata kuliahnya di awal perkuliahan, membuatnya tak mungkin ada waktu luang untuk pulang kampung. Ini mengejutkan sekali.

"Ya. Memang seharusnya aku tidak pulang ke sini, karena hanya besok yang tak ada kelas. Tapi salah salah satu Seniorku yang katanya pernah jadi Seniormu di SMA memaksa ingin bertemu dengan Ei-Chan. Karena kamu hilang kontak sejak pindah." Jelas panjang Wakana. Eijun sedikit heran kenapa hari ini banyak Senior yang datang, tidak banyak sih. Tapi, cukup mengejutkan..

"Siapa?" Tanya Eijun, penasaran.

"Senior Kuramochi." Jawab Wakana.

"Kuramochi!?" Seru Miyuki serta Eijun bersamaan. Wakana menatap keduanya dengan heran. Wanita itu memperhatikan pakaian pria yang sekarang ada di samping belakang Eijun, merasa aneh dengan kostum yang dipakai Miyuki.

"Di mana dia sekarang?" Tanya surai cokelat pekat, antusias. Eijun tak pernah bertemu dengan Senior sekamarnya itu sejak pertandingan musim panas. Karena mereka sudah kelas tiga jadi para Senior tidak lagi bermain saat musim gugur, saat dimana Eijun jadi Ace Yakushi.

"Ah, dia di ruang tamu. Aku di suruh Ibumu memanggilmu untuk memberi tahu. Tapi, beliau tak memberi tahuku kalau Ei-Chan sedang ada tamu juga." Ujar Wakana sambil melirik Miyuki.

Eijun sedikit salah tingkah, ia menggaruk pipi kiri dengan telunjuk kirinya. "Dia Senior SMAku juga, Miyuki Kazuya..."

"Miyuki Kazuya yang masuk final liga Amerika baseball? ... yang membuat homerun sampai empat kali itu." Wakana terlihat antusias lebih dari ia membahas baseball itu sendiri. Eijun tak tahu sejauh mana Wakana update tentang baseball. Yah, mungkin karena Kuramochi juga.

Tapi Eijun tak menyangka kalau Tanuki bisa homerun sebanyak itu di Amerika. Ia melirik pria di sampingnya dengan sinis. Sementara yang dilirik tersenyum bangga.

"Katanya, kau akan menikah setelah ini. Benarkah?" Wakana bertanya yang membuat Eijun batuk-batuk, Miyuki tersenyum ramah.

"Doakan, saja." Jawab Miyuki. Seperti menjawab pertanyaan wartawan Sports atau gosip.

"Eeh, siapa calonnya? Akako?" Wanita muda itu masih kepo tentang siapa yang akan jadi pendamping lelaki tampan ini. Wanita ini cukup membuat iri para fansgirl baseball yang jatuh hati pada catcher jenius Jepang ini.

Eijun jadi teringat pembicaraan pasangan SMA tadi, entah harus kesal atau tertawa. Kesal, karena semua orang menyangka Miyuki dengan Akako. Wanita sok cantik, menyebalkan itu? lebih baik ia yang ambil Miyuki dari pada di ambil sama nenek sihir sok bule, kan? tertawa, seandainya mereka tahu dirinyalah yang menikah dengan Miyuki. Seorang laki-laki. Bagaimana reaksi mereka?

Reaksi Wakana, orang tuanya, kakeknya dan teman-temannya.

Mungkinkah seperti ayah Raichi yang tak peduli apa-apa selain uang dan kebahagiaan anaknya. Ataukah mereka menginginkan cucu lahir dari istrinya?

Eijun tak pernah memikirkannya tapi, sekarang? ada banyak kata bagaimana di kepalanya. Bukan hanya tentang karier Miyuki tapi, bagaimana ayah Miyuki menanggapi ini, bagaimana keluarganya, teman-teman mereka. Karena pada akhirnya ini bukan tentang mereka tapi, tentang dunia kecil mereka. Tentang sekeliling mereka.

"Kalau begitu, kita temui Senior Kuramochi. Jika kau ingin bertanya padanya, nanti saja." Eijun mendorong Wakana ke arah koridor yang menghubungkan ruang tamu, diikuti Miyuki. Mereka berjalan bersama.

"Kau ikut?" Pria muda berambut cokelat pekat melirik pria surai cokelat kehitaman yang mengikuti di belakang mereka.

"Ya. Aku belum bertemu dengan Kuramochi sejak lulus..." Miyuki mensejajarkan jalannya dengan Eijun, ia mendekati telinga kiri lalu berbisik. " Aku terlalu sIbuk mengejar posisi catcher team dan pemukul supaya bisa membawamu ke rumahku."

"Senior Kuramochi, lama tak jumpa." Eijun mengacuhkan pria yang ada dibelakangnya, pria muda itu menyapa pria lain yang sedang duduk di sopa tamunya, pria itu masih mengecat rambutnya dengan warna hijau, wajahnya masih seperti preman. Kuramochi mendongak, ia sedang melihat smartphone tadi jadi tak sadar kalau tuan rumah yang ia tunggu sudah datang.

Kuramochi tersenyum, ia bangkit dari duduknya meraih tangan Eijun, menariknya dan menghimpit kepala Eijun.

"Kau junior kurang ajar, pindah sekolah tiba-tiba, lalu hilang bagai ditelan bumi. Aku ingin sekali menghukummu seperti ini, heh... Bakamura!"

Eijun hanya bisa meronta kesakitan, ia meminta untuk dilepas. Hanya Wakana yang meminta Kuramochi berhenti. Sementara Miyuki yang baru saja mengatakan kata-kata manis malah tertawa-tawa melihatnya menderita.

Nmp... Dasar, psycho!

Semenit kemudian Kuramochi melepasnya, senyum masih ada namun sendu sekarang. "Syukurlah. Aku masih bisa menghukum mu, Sawamura."

Eijun tak habis pikir dengan Senior-Seniornya ini, mereka peduli dengannya atau cuma rindu menyiksanya? Eijun bingung sendiri jadinya.

Miyuki yang masih tertawa menyapa teman sekelasnya dulu dengan sindiran. Kuramochi sedikit terkejut dengan adanya si catcher jenius jepang di rumah Sawamura, sementara semua orang membicarakan tentang siapa yang akan dinikahi si setan licik ini. Bahkan wartawan sudah menginap di rumah akako yang selalu diisukan kekasih Miyuki dari kelas dua sma. Jadi saat Miyuki bilang akan melamar kekasihnya, semua akan mengira dia akan melamar gadis modis itu. Namun sampai akhirnya musim lIbur baseball akan berakhir tak ada yang terjadi, padahal seminggu lagi musim baru akan dimulai. Tentu saja Miyuki harus kembali ke amerika.

Jadi kenapa si catcher terbaik di Jepang ini malah berada di rumah mantan battery team smanya sekarang? Bukankah harusnya dia sIbuk dengan urusan pernikahan?

"kau, bukannya harus menyiapkan pernikahanmu. Kau bilang, pulang ke jepang untuk melamar kekasihmu. Atau kau hanya ingin membuat kerIbutan saja, setan licit?" Kuramochi menyicipkan matanya, ia tahu Miyuki bukan orang yang suka kehebohan tapi Miyuki bisa memafaatkan apapun untuk keuntungan baseballnya atau pitchernya.

Miyuki menggaruk belakang kepalanya, tersenyum kecut. "Aku harus bertanya pada ren untuk tahu rumah kekashiku, kau tahu." Dan itu tak mudah, lanjut Miyuki dalam hati. "Lagipula kami tidak bisa menikah di jepang, jadi persiapan dilakukan di amerika."

"Kau harus kembali ke amerika, kan?" Tanya, Kuramochi. Salah paham dengan kata-kata mantan Kaptennya di sma.

"jadi kalian akan menikah di amerika?" Wakana penasaran dengan pasangan si catcher tampan dan jenius ini, masih penasaran dengan wanita beruntung yang mendapatkan hati si jenius ini.

Sementara itu Eijun diam, ia lupa kalau jepang tidak menerima pernikahan sejenis. Artinya ia harus mengikuti Miyuki ke amerika dan menikah di sana. Namun yang ia dengar musim liga baru akan mulai seminggu lagi itu artinya waktu Miyuki hanya kurang seminggu. Masalahnya adalah ia harus memberitahu orang tuanya. Ia pikir masih ingin menyiapkan mental, tapi Eijun sudah menunggunya selama dua tahun, ia menunggu tampa harapan apa pun. Tapi yang ditunggu datang dengan cincin perak yang indah penghubung cinta.

Eijun tak mau menunggu lagi.

"Ah, aku akan buat minuman dulu." Eijun baru sadar tak ada minuman untuk para tamunya, dan ia pun berjalan dapur. Wakana mengikutinya di belakang.

"Aku bantu." Wakana dan Eijun pergi, meninggalkan dua pria muda yang bagai tom dan jerry. Akur tapi adu kata selalu.

Eijun di dapur, ia linglung memikirkan bagaimana berbicara dengan Ibu, ayah dan kakeknya, ia pun memikirkan teman-temannya. Semua membuatnya pening. Eijun bahagia karena Miyuki memenuhi janjinya, dia berusaha keras untuk menepati janji itu. Jadi jika kalah dengan ketakutan akan reaksi sekelilingnya maka itu tidak adil untuk Miyuki, bukan?

Wakana yang melihat Eijun terlalu diam, bertanya-tanya. Biasanya Eijun tak sediam ini walau ia tak seberisik dulu, semua tahu. Betapa besarnya ia mencintai baseball, itu pukulan terberat bagi atlet. Perlahan tubuhmu tak lagi bergerak, tak bisa lagi melakukan apa yang kau sukai.

Wakana sendiri tak membayangkan apa yang ia lakukan jika dirinya terkena penyakit yang sama seperti Eijun. Ia tak tahu.

"Ei-Chan, cangkirnya kurang satu." Wakana berbicara sambil menata cangkir di dua tatakan. Eijun yang mendengarnya langsung berjalan ke arah jajaran lemari set yang ada di sisi kiri dapur, membuka satu pintu lemari atas dan mengambil cangkir di dalamnya.

Tampa sadar cincin perak yang berada di jari manis kirinya terlihat. Wakana heran, Eijun bukanlah pria yang suka memakai aksesoris apapun, ia lebih suka memakai sarung tangan baseball sepertinya? Jadi kenapa sekarang ia memakainya, adakah alasan khusus?

Kenapa hatinya tak nyaman melihat cincin itu tersemak di teman lelakinya. Iya, ia menyukai Eijun tapi Wakana tahu, ia hanya teman bagi pria itu.

"Ei-Chan, kau memakai cincin?" Wakana memberanikan diri bertanya, mungkin itu tidak seperti apa yang dipikirkannya. mungkin Eijun hanya ingin memakainya.

Sayangnya harapannya tak terkabul, Eijun tergugup. Rona merah tersemak di kedua pipinya. Wakana tahu artinya.

"Ah, ini teman-"

"Teman, siapa gadis yang kau lamar? Apa gadis otaku itu?" Wakana tersenyum jahil, teman-teman lelaki mereka selalu menggoda Eijun dengan mengatakan bahwa Eijun cocok dengan teman sekelasnya di sma baru. Dan Wakana tahu gadis itu memang manis.

Eijun yang mendengar itu terdiam sejenak dan tertawa terbahak-bahak. Wakana tak tahu apa yang lucu.

"Kau tahu, Wakana? Kalau aku melamarnya mungkin aku akan mati lebih cepat." kata pria muda itu sembari menghapus air matanya yang sedikit keluar.

"Hah?" Wakana bingung.

"sudahlah, nanti aku beritahu. Tapi aku harus beritahu keluargaku dulu. Sekarang kita harus berikan para Senior kita, air kali saja ada yang belum minum sebulan."

Wakana sebenarnya tak ingin mendengar kata-kata itu, tapi ia tahu kenapa Eijun tadi diam, tampaknya ia telah menghIbur teman baiknya. Dan ya, ia harus siap untuk berita bahagia temannya.

Eijun dan Wakana berjalan ke arah ruang tamu, empat cangkir berisi teh dibawa masing-masing. Suara gemuruh terdengar samar, Wakana tak ambil pusing dengan gemuruh itu. Ia menaruh cangkir-cangkir di atas meja, begitu juga Eijun.

Suara gemuruh itu makin dekat, seperti helikopter yang tebang menuju rumah tempat mereka berada. Gemuruh itu makin dekat dan makin berisik. Aing kencang pun tiba-tiba bertiup.

"Ada apa ini?" Wakana panik, begitu juga dengan Eijun dan Kuramochi. Ibu Eijun pun keluar kamar dan berkumpul.

Hanya Miyuki yang tak panik, ia lebih terlihat tak suka. "Ah, aku tak menyangka akan jadi ada banyak orang begini." Eijun menyicipkan matanya. Kuramochi mendekati Wakana dan Ibu Eijun, takut ada apa-apa. Bisa saja temannya jadi gila karena ditolak lamarannya oleh kekasihnya.

Miyuki berjalan ke pintu keluar, membukanya, melambai pada sang kekasih. "Eijun kemarilah, lihat ke atas." Pria berkacamata itu tersenyum, sekarang ia ada diluar rumah. Berdiri ditengah halaman depan rumah Eijun.

Eijun mengikutinya, angin meniup rambut cokelat pekatnya. Kuramochi, Wakana serta Ibu Eijun mengikut dari belakang. Melihat ke atas, jauh di langit ada helikopter terbang di atas rumah itu, ia membawa gumpalan hitam diikat yang perlahan terbuka.

Eijun yang melihat ke atas merasa sesuatu jatuh ke hidungnya ia mengambilnya. Itu adalah kelopak bunga Mawar merah, Eijun tak tahu bagaimana bisa itu jatuh sementara di rumah atau sekitarnya tak ada yang menanam bunga Cinta itu.

"Eijun." suara Miyuki menyadarkannya dari lamunannya. Eijun mengarahkan pandangannya ke arah depan, dimana pria tampan berkacamata berdiri tak jauh darinya sambil tersenyum menawan. Miyuki mengulurkan tangannya ke arah Eijun, dengan latar hujan kelopak bunga Mawar merah.

Ini seperti komik yang dulu Eijun baca, sang pangeran melamar sang putri di tengah padang bunga. Eijun tak peduli lagi Ibu, Wakana dan Senior Kuramochi, ia hanya ingin meraih tangan pangeran, hanya ingin memegang tangan yang selalu jadi tujuannya dulu. Ingin bergandengan tangan dengan tangan itu. Tak masalah walau waktunya tak lama, tak Masalah jika semua orang menghujatnya.

Eijun tak peduli. Yang ia tahu hanya meraih tangan pangerannya, catchernya...

Miyuki meraih tangan Eijun ketika tangan itu sampai di ujung jarinya, terlalu lama menunggu. Miyuki terlalu lama bersabar. "Maukah, kau hidup denganku."

Eijun tak punya kata-kata. Ia hanya mengangguk, menjawabnya.

Wakana tak tahu perasaannya sekarang. Hanya saja ia tahu Eijun tersenyum manis, Eijun bahagia. Dan itu tak pantas dipertanyakan, tak pantas dihujat. Baginya ini Indah, Wakana tersenyum tulus.

Ibu Eijun menutup mulutnya, ia tahu putranya tak pernah bicara soal Cinta. Ia tak pernah punya kekasih, Ibu Eijun pernah mengadai jika putranya melamar gadis tapi pada akhirnya putranyalah yang dilamar oleh pria tampan. Ibu Eijun melihat senyum yang hilang dari putra kembali, senyum matahari putranya kembali.

Kuramochi ingin merobek lukisan berlebihan itu, tapi ia masih punya hati untuk teman sekelasnya dan junior tercintanya.

Sore itu kehebohan terjadi disekitar rumah Sawamura karena hujan kelopak bunga mawar merah, sampai ada yang melipatnya. Dan makin heboh ketika kenyataannya terungkap.

Kakek Eijun memarahi Miyuki karena kelopak bunganya harus dibersihkan, ayah Eijun menenangkannya.

Wakana pulang ke tokyo dengan kereta bersama Kuramochi. Walau ia sudah kuatkan hati tapi tak ada yang memungkiri jika pujaan hati memilih yang lain rasa sakit terasa. Kini Ia tahu kenapa hatinya berat saat tahu Eijun pergi ke tokyo pada akhir kelas tiga smp. Ia tahu saat itulah Eijun bertemu sebelah jiwanya, dan hatinya terambil oleh pria itu.

Wakana ingin menangis.

Tiba-tiba ada sapu tangan putih di depannya. Itu Kuramochi memberinya.

Mungkin Cinta memang tak bisa diatur...


ok. ini end ya. terimakasih untuk para editor dian dam aya. temalasoh untuk para penbaca.

tunggu epilognya ok

dan mari menyambut season 3 dna HOOOOOOOOOOOOOOOEREEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE