A/N:
Hi! Akhirnya saya update juga, maaf ya lama untuk membuatnya. Tenang saja Fic ini belum mati kok. Berterima kasih pada Kardia Es Scorpio dia PM saya lho, kalau gak di PM saya bisa lupa sak plengan kalau saya harus update.
Ya sudahlah kalian bisa kembali menikmati Fic yang Pairingnya Gaje ini. Maksudnya katanya Main Pair :HashiMada, tapi ceritanya yang nongol HikaMada ama Hashi Mito /abaikan yang ini/
Anyway Enjoy : )
.
.
.
.
.
.
Sudah berapa lama waktu terus berjalan, ya?
.
.
.
.
.
.
Waktu terus berlalu meninggalkannya sendirian dengan hati yang di bebani masa lalu yang kelam. Seolah dia sedang mengejar kunang-kunang yang terbang kabur di dalam kegelapan, dia terus mencari jawaban. Apakah sebenarnya dia bahagia?
Dua anak kembar non-identik— laki-laki dan perempuan— tidur diatas sofa. Mereka masih bayi berumur setahun. Ya! Itu anak Madara dan juga...Hashirama. Tapi, kalian tahu? Hikaku sangat menyayangi keduanya. Seolah pria itu tidak tahu kalau istrinya melahirkan dua orang anak, tapi bukan miliknya.
Madara menghampiri kedua bayinya, dia tersenyum hangat pada pemandangan manis di depannya. Kedua anaknya tidur lelap setelah bermain. Keduanya saling berpelukan, nampak nyaman sekali tidur diatas sofa. Namun si ibu tidak bisa membiarkannya, bisa saja nanti mereka masuk angin. Dan Hikaku akan mengomel nantinya, ingat? Ayah mereka sangat sayang pada mereka sampai bisa mengomel pada Madara jika sesuatu terjadi pada kedua anak kembar tersebut.
...
"Ma—Madara! Kau baik-baik saja?" Hikaku membelai wajah pucat istrinya yang tengah berbaring diatas ranjang rumah sakit. Wanita yang baru saja melahirkan tersebut tersenyum pada suaminya "Aku baik-baik saja," jawabnya lirih dan lemah, rasa sakit masih belum sepenuhnya hilang "Yang...yang lebih penting lagi, anakku...dan juga anakmu"
Hikaku mengangguk mantap "Mereka kembar," ujarnya lembut lalu mengecup dahi Madara "perempaun dan laki-laki" pria itu nampak bersemangat, membuat wanita yang sudah melakukan tugasnya gembira meski saat ini tak bisa ditunjukannya dengan sepenuh hati karena rasa nyeri disana-sini. "Kau beri nama mereka, Hikaku" minta Madara. Dan itu langsung ditolak oleh sang suami "Tidak. Mereka anakmu dan juga anakku..secara resmi. Berarti kita akan mendiskusikan ini bersama"
Berlahan Madara mengeleng "Maka karna itu, aku minta kau memberi nama mereka. Karena kau ayah mereka...anggap saja kau menolongku, karena aku sama sekali tidak punya ide"
Hikaku mengalihkan pendangannya ke kedua bayi yang tidur disebelah istrinya. Keduanya kembar. Si kembar tersebut anak Madara dan juga sang Hokakge, Hashirama. Jelas bukan miliknya. Dia tahu apa maksud Madara memberinya hak untuk memberi anak-anak itu nama "Dengar, setelah kau pulih kita baru bicarakan," ujar Hikaku halus "Pemberian nama bukan berarti 'tanda' untuk memiliki mereka, Madara" dia tahu, kalau sebenarnya Madara masih merasa bersalah karena telah memberinya anak, tapi bukan dari darah dan dagingnya. Karena itu dia memberi hak ini...
"...aku ingin sesuatu Hikaku," Madara mengulurkan tangannya lalu mengusap pipi Hikaku "Aku ingin kau memberiku sesuatu. Yaitu nama untuk kedua anakku," manik gelap wanita itu menatap tepat manik pria pasangan hidupnya "Aku memberikan mereka padamu, sekarang kau harus memberikan nama mereka padaku, sebagai balasan"
Cukup lama sampai akhirnya Hikaku mengangguk setuju. Dia diam, menunduk ,dan terkadang mengetukkan kakinya. Dia benar-benar ragu dan gugup sekarang. Memberi nama? Ini tugas yang berat, kau tahu? Nama yang akan dipilih sang ayah ini akan menempel pada si kembar seumur hidup!. Lebih baik dia memilih nama yang bermakna dan juga enak didengar dan diucapkan.
Ini hal yang diberikannya untuk Madara, wanita yang sangat dicintainya. Jadi dia akan memberi sesuatu untuk istrinya tersebut.
Terlintas dipikirannya tentang semua yang telah terjadi. Dia ingat bagaimana sedihnya Madara dengan takdir yang dijalaninya. Wanita itu selalu butuh 'kehangatan' dan juga 'kepercayaan'. Tahu maksudnya? Itu berarti seorang kekasih yang sebenarnya dalam kasus ini kekasih tersebut adalah ;Hashirama.
Dan Hikaku menemukan sisi terang dari hubungan Hashirama dan Madara yang siapapun pikir sangat gelap gulita. Pria yang sekarang menjadi Hokage itu telah meninggalkan sesuatu pada Madara yaitu kedua anak itu agar selalu melindunginya. Dengan kata lain, kedua anak itu adalah 'semangat' dan 'cinta' Hashirama.
Duh, bagaimana bisa Hikaku berpikir sejauh itu pada sebuah ikatan hubungan sepasang kekasih?. Dia bukan pria romantis, apalagi bijaksana. Tapi semua pikiran itu keluar begitu saja, hanya untuk Madara!. Apa-apaan ini? Ini seperti dia sudah meletakkan hidupnya pada Madara yang sepertinya tak akan pernah mencintainya meskipun wanita tersebut telah berusaha semaksimalnya.
Uchiha Hikaku benar-benar tolol...
"...Atsuko dan Rai," Hikaku menyebutkannya "Anak perempuan Atsuko dan anak laki-laki Rai, bagaimana Madara?" tanyanya penuh harap jika kedua pilihannya bagus.
Atsuko adalah anak yang membawa kehangatan, dan Rai adalah kepercayaan. Kedua kata tersebut yang paling cocok mendampingi Madara.
"Dengar?, ayah kalian memberi nama kalian. Nama yang indah untuk kalian," Madara berbicara pada si kembar dengan halus dan keibuan "Atsuko-chan dan Rai-kun..."
OXO
"Aku pulang..." Hikaku masuk kedalam rumah. Wajahnya berseri ketika kedua anaknya menghampirinya dan mengangkat tangannya untuk minta digendong "Dada puyang!" seru keduanya bersamaan. Hikaku tertawa pada kemanisan mereka "Hahaha...iya-iya papa pulang" dia mengendong mereka berdua secara bersamaan. Aroma makan malam mengelitik perut dan hidungnya, segera ia mengintip dapur "Apa yang kau masak?" tanyanya.
"Oh! Kau sudah pulang" Madara menoleh sebelum kembali menghadap kompor "Aku membuat Kare dan bubur untuk anak-anak," jawabnya "Sebentar lagi siap. Bagaimana kalau kau mandi dulu? Air panas sudah siap" tambahnya.
"Baiklah" balas Hikaku lalu menurunkan kedua anaknya diatas sofa "Papa mandi dulu ya"
...
Waktu akan terus berlalu. Bukan seperti seekor Cheetah yang berlari dengan cepat, melainkan seperti sebuah bunga yang mengikuti arus sungai. Entah alirannya cepat atau lambat tapi tetap kau akan mengikuti arus tersebut dan berakhir di laut.
Apakah takdir sekejam itu? Mengharuskan kita mengikutinya selalu?. Lalu untuk apa dibangun kuil-kuil untuk berdoa?. Apakah tak ada satupun yang ingin mengabulkan permintaan kecil dari seorang bocah?
"Apa itu takdir? Lalu apa itu kenyataan?"
Gadis kecil misterius yang pernah ditemui Madara bergumam sesuatu. Bola matanya yang tajam melihat rumah, yang merupakan sarang keluarga bahagia.
"Terkadang manusia tidak begitu mengerti perbedaan keduanya," ujarnya sendiri di tengah malam. Diatas pohon, dia duduk dengan kedua kakinya yang menggantung "Lalu apa perbedaan antara mimpi dan khayalan?"
"Kuismu semakin konyol," suara berat dari seorang pria memecahkan keheningan yang dibuat beberapa detik yang lalu "Kurasa hanya orang tolol saja yang bisa menjawabnya"
Gadis itu menjatuhkan badannya namun mengkaitkan kakinya ke dahan, membuatnya bergelantungan dengan kepala di bawah. Dia bisa menemukan sosok pria yang berdiri, bersandar di batang "Tolol yang kau maksud adalah bijaksana," balas gadis itu "Apalagi, bukannya kau salah satu jenis orang 'tolol' itu?. Kenapa tidak kau berusaha menjawabnya?"
"Meh...ini hanya seperti kerumitan yang dibuat manusia. Saat kau ingin berlari, berlarilah. Saat kau ingin berjalan, berjalanlah," jawab si pria "Terkadang malah mereka lupa bagaimana cara berlari dan berjalan, lebih buruk lagi kalau lupa untuk merangkak"
Gadis itu terkekeh geli "Kalau begitu, lebih baik dia ingat bagaimana cara untuk tidur. Dia perlu beristirahat," katanya antusias "Aku mengerti maksudmu"
...
Hashirama dan Mito, mereka berdua telah mendengar kabar jika Atsuko dan Rai sudah berumur setahun. Rasanya waktu cepat berlalu, benar-benar cepat. Perasaan Hashirama campur aduk. Dia senang Madara telah melahirkan dengan selamat bahkan sampai merwat anak-anak tersebut sampai sebesar itu,tapi dia kecewa karena dia bukanlah pria yang dipanggil 'ayah' oleh keduanya.
Mereka sendiri masih belum di karuniai anak. Tentu saja, ini hanya masalah waktu. Dan waktu yang akan berlalu akan menjadi waktu yang paling menyebalkan bagi mereka berdua. Karena hubungan mereka yang buruk dalam arti sangat rumit karena cerita masa lalu dan celoteh orang-orang yang ingin mereka memiliki anak.
"Beristirahatlah," suara Mito terdengar diikuti dengan suara geseran pintu kayu "Sampai kapan kau mengacak-acak dokumen-dokumen itu?". Wanita itu mendekati suaminya lalu berdiri di belakangnya, seperti biasa ruang kerja si Hokage pertama berantakan. Kertas dan buku-buku tebal ada disana-sini. Belum lagi dengan tetesan tinta dan gulungan yang bergelinding kemana-mana. Bisa saja seseorang menginjaknya dan terpeleset karenanya.
"Jadi, apa yang membuatmu cemas sekarang?"
Hashirama menoleh lalu tersenyum tipis pada istrinya "Dunia kesehatan" jawabnya membuat wanita berambut merah tersebut menaikkan kedua alisnya. Mito mendekat dan berusaha membaca tulisan di kertas. Dia menutup mulutnya dan wajahnya mulai pucat "Penyakit menular? Apakah—"
"Tenang saja," Hashirama menyela "Belum sampai kemari, tapi tidak tahu kalau...suatu saat"
Tentu ini masih masalah besar. Penyakit yang dimaksud berasal dari sumur di desa kecil sebelah, bagaimana jika itu menulari air di sini?
Mito membeku dalam pembayangannya sendiri. Rasanya ngeri, jika memang wabah itu sampai ke Konoha, apakah mereka bisa melaluinya? Apa yang harus mereka lakukan? "Yah...kita harus melakukan sesuatu," Hashirama mengelus punggung istrinya "Besok sebuah tim akan menyelidiki sumbernya"
"...bodoh, kenapa tidak kau ceritakan padaku?...masalah ini bisa fatal, dan kau tidak bisa memikirkannya sendirian," Mito menghela nafas panjang " Kalau begitu aku akan membantumu mengurusi beberapa hal. Dan pastikan penduduk mengetahui masalah ini"
Hashirama mengangguk, sudah terbiasa dengan nada memerintah istrinya "Terima kasih, kau membantuku. Tapi...jika ini perbuatan suatu kelompok"
Belum sempat suaminya berkata. Mita menyelanya "Aku tidak selemah itu. Dan sebaiknya kau beristirahat, Konoha tidak akan hancur selama sehari, hahaha kecuali jika rubah ekor sembilan keluar"
Hashirama tersenyum lalu berdiri dari tempatnya. Mereka berdua bersamaan menuju kamar lalu tidur.
OXO
Tidak seperti biasanya suasana pasar terasa keruh. Biasanya tempat ini akan dipenuhi galak tawa antara penjual dan pembeli, mereka memang mengobrol tentang cerahnya hari ini atau bagusnya panen tahun ini. Tapi kali ini tidak, topik yang mereka bicarakan terdengar buruk dan mungkin bisa menghancurkan desa ini. Madara mendengarnya, saat ini dia mengerutkan dahinya sambil mengigit ujung jempolnya—kebiasaannya saat berpikir—penjual sayur di depannya juga terlihat cemas "Tuan Hokage dan kelompoknya akan menuju sumur itu hari ini," katanya memberitahu "Semoga saja mereka mengetahui penyebab dan obatnya"
"Tentu wabah penyakit bukan musuh yang bisa dilawan dengan mudah," Madara mengangguk "Jadi...kapan informasi ini menyebar?" tanyanya. Sungguh, bahkan Hikaku tidak mengatakan apapun kemarin. Apa yang terjadi? Kenapa informasi berjalan dengan lambat? Apakah Hashirama sudah menyimpan kabar ini sendirian untuk beberapa waktu?...
"Pagi ini. Seorang utusan memberitahu dan kami menyebarkannya sekarang"
Jika seperti itu, dia pasti sudah gila!. Tapi, sebaiknya percaya pada Hokage saja ada kemungkinan jika Hashirama juga telat mengetahuinya dan baru bisa menyebarkannya pagi ini.
Menghela nafas, Madara mengangguk sekali lagi "Begitu," untuk sesaat dia tertegun lalu melanjutkan kalimatnya "Semoga Konoha tetap damai dan bisa melewati ini"
"Semoga begitu..."
...
Sesampainya di rumah Madara menemukan Hikaku yang memasukan kepalanya kedalam sumur rumah mereka. Pemandangan yang konyol tapi dia tahu apa yang dilakukan suaminya, memeriksa air.
"Pasti kau sudah mendengarnya" Madara berdiri di sebelah Hikaku lalu juga ikutan memeriksa ke dalam. Hikaku berdehem, lalu berhenti memeriksa "Orang-orang sedang meributkannya" katanya.
"Kita tidak tahu kalau air ini baik-baik saja. Aku takut kalau Atsuko dan Rai meminumnya lalu ternyata..." Madara bergumam, ini sudah menjadi beban barunya sekarang
"Kita memang berbagi satu mata air dengan desa sebelah...tapi bukannya aneh kalau mereka terkena sedangkan kita tidak?"
Desa sebelah yang dimaksud adalah desa kecil atau bahkan kau tidak pantas untuk menyebut tempat itu sebagai sebuah desa. Pemukiman tersebut hanya berisi 10 keluarga dan mereka masih membutuhkan jasa Konoha, dalam berbagai hal. Seperti keamanan, dan makanan. Terletak di di timur-Konoha.
"Mungkin saja kita belum terkena," balas Madara sambil melipat lengannya di depan dada "Atau mungkin penyakit tersebut belum terlihat..."
"Terlalu negatif," Hikaku mengalihkn pandangannya ke taman bunga milik istrinya "Tapi...itu memang kemungkinan terburuknya"
OXO
"Masalah ini membuatku takut meminum air," keluh Mito sambil menyentuh pipinya sendiri dengan anggun "Dan yang paling membuat kesal, kita tidak bisa tidak minum air" ocehnya sambil memberi suaminya yang akan melakukan perjalanan sebotol besar air. Hashirama tertawa "Hahaha...setidaknya aku tidak mau meminum air disana" balasnya, menerima botol pemberian istrinya "Jaga dirimu, Mito" lalu memberi kecupan sampai jumpa di pipi.
Wajah wanita itu memerah tapi ditutupinya dengan wajah sok sewot "Harusnya aku yang bilang begitu. Sana!, bukannya kelompokmu sudah menunggumu?"
Mito manis seperti ini, seandainya Hashirama bisa mencintai wanita itu seperti adanya dia mencintai Madara...ini tidak akan sesakit ini. "Ah dan juga, bisa kau melakukan sesuatu untukku?" tanya si suami dengan tatapan serius kali ini. Istrinya mengangguk lalu membiarkannya berbisik.
"Baiklah...aku akan mencarinya"
"Kudengar dia baik, pasti dia akan membantu kita"
To be continue
A/N:
G'mana tambah baik gak tulisannya? Biasa aja ya? Cuma tambah teliti doang kok biar gak ada Typo kaya sebelumnya tapi kalau masih ada ya maaf...
Thank You for Reading : )