Welcome!

Cinta, Roh, dan Kutukan by Bunga Sharesputri

Disclaimer : Kamichama Karin (CHU) Koge Donbo

Warning : OOC, TYPO, Gaje, Alur yang mungkin kecepatan, dll

Don't like! Don't read!

Happy reading, minna!

Summary : Roh merupakan jiwa orang yang sudah mati. Tak mungkin bisa menyentuh tanah dan hidup seperti manusia. Tapi, apakah kau pernah tahu tentang cerita roh yang dikutuk? Tidak? Kalau begitu, akan kuceritakan. Aku melihatnya tanpa sengaja. Dan tanpa sengaja juga, aku jatuh cinta padanya.

Chapter 1 : Tersesat

Normal POV

"Woy, Kazune! Kau yakin tidak salah jalan, nih?" Jin berteriak dengan kesal. Sudah dua jam mereka ber-lima jalan berputar-putar. Yah, Himeka Kujyo, Kazusa Kujyo, Kazune Kujyo, Michiru Nishikiori, dan Jin Kuga baru saja tersesat di hutan. Ralat, bukan baru saja, tapi dua jam yang lalu.

Kazune menggelengkan kepalanya. "Mana kutahu! Lewat jalan ini saja tidak pernah, bagaimana aku tahu jalan?" Himeka menunduk pasrah melihat jawaban Kazune yang ber-notabene sepupunya itu.

"Go-gomen, gara-gara aku, kita semua malah tersesat. Harusnya, harusnya aku tidak perlu membawa kalian semua kesini. Ja-jadi, kita bisa melanjutkan acara kemah kita. Tidak perlu terganggu dengan acara tersesat ini." Himeka berucap pelan dengan lirih.

"Sudahlah, Hime-chan! Jangan bersedih bergitu. Kita pasti bisa keluar dari hutan ini dan melanjutkan acara kemah kita~!" Michi berkata riang sambil menepuk pucuk rambut Himeka. Kazusa menganggukkan kepalanya, tanda ia setuju dengan Michi.

"Iya, Himeka-chan. Tenang saja," sambung Jin menenangkan Himeka. Himeka hanya menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Ta-tapi, ini sudah sore. Kalau keburu malam, gimana?" semuanya terdiam. Tidak ada yang berani menjawab. Karena pada dasarnya, mereka berbicara seperti itu hanya untuk menenangkan Himeka, bukan?

"Hn, lebih baik kita beristirahat dulu. Lelah juga berjalan dua jam tanpa henti. Dan, Himeka, berhentilah menyalahkan dirimu. Kau itu tidak salah." Kazune langsung mendudukkan dirinya di akar pohon yang cukup besar. Semuanya mengikutinya, mencoba melemaskan otot kaki mereka yang terasa pegal.

"Ne, Himeka. Bunga seperti apa yang kau lihat? Bunga liar, ya?" tanya Kazusa sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Himeka mengangkat wajahnya. Sebuah senyuman terpampang jelas diwajahnya.

"Bunga yang indah. Sepertinya bukan bunga liar, bunga itu sengaja ditanam disana. Ada dua warna. Satunya warna kuning muda dan yang satu biru tua. Pokoknya, bunga itu cantik dan belum pernah aku lihat!" kata Himeka berubah ceria. Michi menatap Himeka.

"Tunggu! Sengaja ditanam? Kalau gitu, siapa dong yang nanam? Emangnya, di hutan lebat kayak gini ada orang, ya?"

Jduak!

"Ittai! Apa sih, Jin? Kau itu cari ribut, ya?"

"Kau itu bodoh, sih. Kata Himeka kan sepertinya! Mungkin bunganya cuma bunga liar biasa saja. Tapi, Himeka enggak pernah lihat!" Jin berucap dengan sangat kesal. "Bodohmu itu kelewatan, tahu!"

Ctak!

Urat kepala Michi muncul begitu saja mendengarnya. "Hei, kau itu enggak sadar diri, ya? Bukannya kau yang bodoh? lagipula aku tadi tidak dengar kalau Hime-chan ada bilang kata 'sepertinya'!"

"Dasar sembarangan! Kau yang bodoh!"

"Kau!"

"Kau!"

"Kau!"

"Ka-"

Jduak!

"Kalian berdua sama bodohnya!" dengan kejamnya, Kazusa menjitak keras dua kepala berdosa berbeda warna rambut itu. Mungkin, kalau di anime tertentu, bakal ada asap tebal muncul dari kedua telinga gadis berbando kelinci tersebut.

"Huwaa! Sakit, Kazusa-chan~!" dengan nada yang bikin merinding, Jin mengadu pada gadis yang ber-notabene kekasihnya itu. Kazusa menatapnya dengan tatapan menusuk dan langsung membuat jin mengkeret saat itu juga.

"Diam, kau! Bikin suasana gak enak, tahu!" Kazune menghela nafas melihat kelakuan adik kembarnya itu.

"Sudahlah, ayo lanjut jalan lagi. Nanti, keburu malam." Baru saja Kazune bangkit berdiri, Himeka langsung meloncat riang dan berlari ke satu arah.

"Himeka!" panggil Kazune. "Kau mau kemana?"

"Ke tempat bunga itu! Aku melihatnya~! Aku benar-benar melihatnya!," ucap Himeka samar dari kejauhan. Ia nampak benar-benar senang.

"Ck, anak itu. Benar-benar bikin ribet saja," keluh Kazune.

"Sudahlah, Kujyo. Ayo ikuti dia," ajak Michi sebelum berlari kearah Himeka pergi.

"Hn."

Serentak, seluruhnya pergi mengikuti Himeka. Gadis beriris Hazel it uterus berlari dengan gambiranya. Sampai ia berhenti, semuanya tercengang.

Bunga. Puluhan, tidak. Itu bunga bewarna kuning dan biru yang Himeka ceritakan tadi dan berjumlah ratusan!

"Sugoi…" tanpa sadar, Kazusa bergumam. Bunga yang tak pernah ia lihat dan berwarna menarik sungguh membuatnya kagum.

"Ba-bagaimana bisa, bagaimana bisa bunga ini tumbuh di hutan lebat seperti ini? Ini benar-benar hebat…" ucap Michi kagum, sekagum Kazusa. Jin tanpa berkata apa-apa, langsung menyeruak diantara bunga-bunga itu.

"Kazusa-chan~! Kemarilah, bunga ini benar-benar indah, lho!" teriak Jin yang berdiri diantara bunga-bunga berwarna kuning dan biru tua itu. Kazusa mengangguk dan mengikutinya yang kemudian disusul oleh Michi. Himeka sendiri sibuk memetik bunga-bunga cantik itu. Senyuman tak pernah hilang diwajahnya.

Berbeda dengan yang lain, Kazune tetap berdiam ditempatnya. Tidak berniat mengikuti yang lainnya. Jujur saja, dia juga kagum dengan bunga cantik yang tak pernah ia lihat ini. Tapi, ia merasa ada yang aneh.

"Ini tidak mungkin. Aku tak pernah melihat dan membaca tentang bunga ini dibuku manapun. Bukankah ini hutan yang dikelola pemerintah Jepang? Tapi, tak pernah ada yang membahas ini. Ini aneh. Benar-benar aneh." Kazune menutup matanya sebelum kembali membukanya di detik setelahnya. "Hei, kalian semua. Tidak bisakah kalian berhenti dan kembali kesini?!"

Himeka dan yang lain menoleh heran. Kegiatan memetik bunganya terhenti. "Ada apa, Kazune-kun?" tanya Himeka balik.

"Kembalilah lebih dulu."

"Ne, Kujyo-san!" Michi dengan semangat memanggil pemuda bersurai blonde pucat itu. Kazune mengangkat alisnya. "Disini ada bangunan yang indah, lho! Mau lihat, tidak?!"

Alis Kazune bertaut heran. "Bangunan?" gumamnya.

"Lihat atau enggak?!" Teriakan Michi kembali menggelegar. Kazune mendecak.

"Ya. Tunggu, aku kesana."

"Ah, nii-san, aku ikut!" Kazusa berlari mengikuti Kazune dan Michi yang berada didekat pohon besar. Himeka benar-benar menghentikan kegiatan memetik bunganya dan menyusul yang lain. Jin juga mengikuti tindakan Himeka.

"Wah~… sugoi! Bangunan apa ini?" Jin bertanya heran bercampur kagum. Mulutnya menganga lebar melihat bangunan didepannya.

Himeka memiringkan kepalanya. "Mungkinkah, ini kuil?"

"Kuil?" Kazusa ikut bertanya. Himeka mengangguk.

"Ne, bukankah yang didekatnya itu ada tempat melempar koin?"

"Ah, Hime-chan jeli sekali…" puji Michi. Himeka langsung merona mendengarnya.

"Umhh, arigatou, Michi-kun."

"Sudah-sudah. Tempat ini nampaknya sudah lama. Lihat!" Kazune menunjukkan sebuah koin didekat kotak melempar koin. Koin itu sudah berkarat. "Koin ini ada di zaman Heian. Jadi, dengan kata lain-…"

Jin memotong ucapan Kazune cepat. "Dengan kata lain, bangunan ini dibangun di zaman Heian begitu?" Kazune mengangguk. Ia menatap bangunan yang terbuat dari batu karang dan kayu itu.

"Anehnya, bangunan utamanya ini tidak tampak begitu. Bangunannya tampak terawat sekali. Bahkan dia tidak miring. Padahal, era zaman Heian sudah berakhir lama sekali. Disinilah letak keanehannya," sambung Kazune. Tangan kanannya ia taruh di dagu, layaknya seorang detektif. Kazusa menatap kakaknya.

"Apa ada orang yang tinggal disini?" Seluruhnya menoleh pada Kazusa. "A-apa? Aku cuman sedikit kepikiran dengan kata-kata Michi. Ku-kukira, kata-kata Michi ada benarnya juga. Bunga yang tumbuh disini tampak terawat. Tidak jauh beda dengan bangunan mirip kuil ini."

"Hmmm…" Diam. Semuanya diam berpikir.

"Ini memang kuil. Dan aku yang tinggal disini."

"Err… Hime-chan, kau bicara sesuatu?"

"Eh? Tidak, kok. Kukira Kazusa yang bicara, Michi-kun."

"Apa? Aku? Aku enggak ada bicara lho," elak Kazusa. Kazune dan Jin mengerutkan dahi mereka.

"Ehm." Kazune berdehem pelan. "Lalu, siapa yang bicara?"

"Aku. Di belakang. Kalian. Dan, jangan. Ter-ke-jut."

Dengan gerakan leher patah-patah, mereka semua serentak menoleh kebelakang dan,

"Gyaaa!"

.

.

.

"Aku tidak menyangka kalian akan terkejut seperti itu. Aku rasa aku sudah bilang pada kalian agar tidak terkejut." Seorang perempuan tersenyum manis sambil membawa nampan kayu berisi teko dan gelas teh. Tubuhnya dibalut dengan Junihitoe berwarna biru langit dan kimono utama berwarna merah muda. Surai Brunette panjangnya digerai dengan hiasan rambut berwarna ungu dan berbentuk kupu-kupu bertengger indah dikepalanya.

"Ka-kau siapa?" Himeka dan Michi bertanya gugup bersamaan. Sejurus kemudian, mereka menunduk malu. Perempuan itu tertawa.

"Karin. Namaku Karin. Karin Hanazono lengkapnya." Perempuan itu masih tertawa anggun sebelum berdehem pelan. "Silahkan minum tehnya." Tangannya menyerahkan lima gelas berisi teh pada masing-masing orang.

"Kau manusia?" tanya Kazune to the point. Karin menatapnya kagum.

"Tidak tahu."

"Ba-bagaimana bisa kau tak tahu kalau kau itu manusia atau bukan? Ja-jangan ka-kau hantu?" Kazusa memasang wajah horror mendengar pertanyaan Jin Kuga.

"Tidak tahu."

"Apa maksudmu?" tanya Kazune lagi. "Kau mau mempermainkan kami? Mentang-mentang kami sedang tersesat dan tak tahu apapun begitu?"

Karin tersenyum lembut. "Aku Karin Hanezono. Salah satu putri keluarga bangsawan Hanezono di era zaman Heian. Umurku dua puluh tahun, hingga saat ini. Seumuran kalian. Aku tidak tahu pasti akan wujudku. Manusia atau hanya sekedar roh, aku tidak peduli."

"Nani? Zaman Heian?!"

Michi ikutan memasang wajah horror. "U-umurmu bukan dua puluh tahun lagi, tapi ratusan tahun, err- Hanazono?" Himeka langsung serasa ingin pingsan mendengar perkataan perempuan yang mengaku putri bangsawan zaman Heian itu.

Seakan tidak nyambung, Karin malah bertanya yang tidak berkaitan dengan topik. "Apa kalian memiliki permen?"

Cengo. Bahkan, Kazune Kujyo juga ikut tercengang mendengarnya.

"Maaf, kau bilang apa?" tanya Jin pelan. Takut, kalau-kalau ia salah bicara.

Karin mempertahankan senyumnya. "Apa kalian memiliki permen?"

Pluk!

Sebuah permen yang dibungkus plastik bening jatuh tepat diatas meja. "Apa permen seperti itu? Itu rasa cherry."

Iris Green Emerald Karin berbinar senang. "Arigatou. Aku menyukaimu,"

"Apa?"

"Aku selalu menyukai orang yang memberiku permen. Tapi, apa aku boleh tahu nama kalian?"

"Ehm, aku Jin Kuga. Yang rambutnya caramel, Michiru Nishikiori. Yang ngasih kamu permen, Kazune Kujyo. Yang mirip Kujyo itu Kazusa kujyo, adiknya sekaligus kekasihku. Dan sisanya Himeka Kujyo. Sepupu Kazusa. Kau bisa menghafalnya?"

"Hm… aku sudah hafal. Apa kalian mau makan malam?"

"Eh?"

"Atau langsung pulang? Ini sudah malam, lho…"

"Err… apa Karin tinggal disini sendirian? Lalu, makannya darimana? Terus, kenapa tinggal disini? Kemudian, kenapa enggak pergi saja dari kuil ini? Sebenarnya, Karin itu siapa?" Himeka bertanya bertubi-tubi pada perempuan muda itu. Membuatnya agak bingung, Karin menghela nafas.

"Aku mungkin persembahan. Tidak tahu, hanya kemungkinan."

"Lalu?"

Karin mengangkat kepalanya dan mendekatkan wajahnya pada Himeka hingga hanya berjarak dua puluh cm. "Apa… kau percaya?"

"Percaya apa?"

"Percaya dengan roh yang dikutuk?"

.

.

.

Delete or Continue?

a/n : Hora, mina-san! Adakah yang ingat dan kangen dengan author cantik macam Bunga ini? #TebarConfetti#DihajarMassa.

Enggak, bercanda. Sebenarnya, Bunga mau minta maaf terlebih dahulu. Bunga tahu, Bunga memiliki sekitar tiga fic yang harus diselesaikan lebih dulu. Tapi, idenya malah mengalir ke lain arah dan jadilah fic amburadul macam ini. Gomennasai, mina-san. Bunga bukanlah orang yang konsisten sepertinya… T^T

Ne, adakah yang bersedia mereview fic Bunga ini?