.

.

.

.

CLAP

Suara gemuruh langit menyusul setelah kilatan itu terlihat, hujan semakin deras mengguyur kota yang sudah begitu dingin dan lembab malam itu. Setiap butir yang menghantam aspal menimbulkan gemerisik yang menggema di sepanjang gang gelap di pinggir kota. Keadaan yang kumuh serta bau yang menyengat membuat tak ada seorang pun yang akan memasuki tempat itu.

Srek

Srek

Sekuat tenaga ia mencoba menyeret tubuhnya. Pelan tapi pasti mencoba keluar dari tempat itu. sesekali terdengar erangan kesakitannya saat kulit hitamnya melepuh, menggelembung dan pecah. Sebagian tubuhnya telah meleleh, reaksi alami dari fisiknya yang memang tak tercipta untuk dunia ini. Membuatnya harus beradaptasi dengan cara yang menyakitkan. Kebanyakan mahkluk sepertinya akan musnah bahkan sebelum bertemu para mahkluk fana itu.

Musnah dengan cara yang mengerikan.

Tapi tidak, ia berbeda. Ia tidak akan musnah. Hanya tinggal sedikit.

Sedikit lagi.

Tubuhnya tiba-tiba saja bereaksi dengan cepat, membuat kesakitan sebelumnya menjadi berkali-kali lipat. Raungannya mengerikan, rasa sakitnya mengerikan. Dengan cepat tubuh hitamnya meleleh perlahan bagai patung lilin yang di lempar dalam api. Semakin terkikis habis namun memunculkan sesuatu di dalamnya. Sebuah tubuh balita yang kering kerontang dengan kulit yang begitu pucat. Perlahan tubuh baru itu berkembang bagai manusia yang tumbuh dengan begitu cepat. Kakinya berubah panjang, tubuhnya ramping dengan rambutnya yang menjuntai penjang.

Perlahan ia mulai berdiri dengan susah payah, ia belum terbiasa dengan tubuh barunya. Tapi ini hanyalah masalah waktu. Rasa sakitnya telah menghilang digantikan dengan rasa dingin air hujan yang mengguyur tubuhnya. Hujan perlahan menghilangkan noda kotoran laknat di tubuh sebelumnya. Seakan setiap tetes yang menyentuh tubuhnya akan menyamarkan kebusukannya dari dunia ini, membaur dengan dunia ini.

Ia melihat kedua tangannya yang kini memiliki jemari lentik yang begitu putih. Paras tak berbentuknya sekarang berubah begitu cantik. Ia tersamarkan sekarang menjadi mahluk fana yang begitu cantik. Bibir merah itu tertarik kesamping, perlahan ia melihat keluar gang gelap itu dengan kedua matanya.

Kedua mata yang memiliki bola mata semerah darah didalam kegelapan malam.

Kegelapan yang pekat persis seperti dirinya.

Sang iblis.

.

.

.

Devil

.

.

.

Pair: Haehyuk

Rate: M (untuk umpatan dan kekerasan)

Warning: BL/Crime/Fantasy/Humor(sedikit)

Summary: Donghae adalah seorang mafia yang kejam, sadis, dan berdarah dingin. Namun segalanya menjadi jungkir balik saat ia harus berhadapan dengan malaikat bodoh dan idiot bernama Hyukjae.

.

.

.

Mobil itu berhenti tepat di depan salah satu bank terbesar di Seoul, membuat petugas parkir lekas menghapirinya. Pintu pengemudinya terbuka mengungkapkan sesosok pria tampan bersetalan rapi. Dengan santai ia melemparkan kuncinya lalu berjalan memasuki gedung. Suara langkahnya menggema karena lantai marmer yang ia pijak. Ia berhenti tepat di meja costummer service membuat seorang wanita cantik dengan senyum menawan membungkuk sopan padanya.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Aku ingin melihat brangkasku" Ucapnya tenang.

"Atas nama siapa, Tuan?"

"Lee Donghae."

Jawaban itu diakhiri senyum tipis yang menawan.

Waktu berikutnya ia sudah berjalan dideretan brangkas yang dilengkapi pengaman tercanggih. Sekilas ia dapat melihat kamera keamanan dimana-mana. Seorang pegawai laki-laki berjalan di depannya dengan sopan, ia menghentikan langkahnya saat pegawai itu berhenti tepat di brangkas nomor 1378.

"Permisi Tuan." Pegawai itu menyodorkan sebuah kartu berukuran sedang dengan sebuah cetakan persegi hitam di tengahnya.

Tanpa ragu ia menempelkan ibu jarinya tepat di cetakan persegi hitam tersebut, scan sidik jari. Saat scan selesai, berarti kunci dapat diaktifkan. Pegawai itu memasukan kartu kedalam sisi depan brangkas.

Jegrek.

Brangkas terbuka, ada sebuah koper di dalamnya. Sebuah koper dengan keamanan ekstra. Pegawai itu mengeluarkannya lalu menaruhnya diatas meja yang ada di tengah tempat itu. Ia membungkuk sopan sebelum keluar memberikan privasi kepada nasabah VVIP tersebut.

Lelaki itu dengan santai menyusun sandi kunci koper tersebut sebelum dengan perlahan membuka kopernya.

Ada.

Senyum tipisnya terukir. Tangannya terulur mengambil satu dari puluhan batangan emas didalam koper tersebut. Perhatiannya teralih pada kantung beludru berwarna biru tua di antara tumpukan emas . Ia membukanya dan ratusan butir berlian segera memantulkan sinar lampu ruangan itu. Semuanya ada, pemindahan barang ini berhasil. Semuanya telah ditangannya sekarang, ratusan juta won ada dalam genggamannya sekarang. Seluruh jiri payahnya selama ini, akhirnya segalanya menjadi miliknya sekarang. Dengan cepat ia menutup koper itu kembali, menekan tombol memanggil pegawai itu kembali guna mengembalikan semuanya kembali kedalam keamanan ekstra.

"Senang bisa membantu anda Tuan Lee Donghae." Ia membalas senyuman dari pegawai itu lalu beranjak pergi dari sana.

Ia pasti akan kembali ketempat ini lagi karena cepat atau lambat ia harus memindahkan semua emas dan berlian itu nantinya. Disimpan di satu tempat secara terus menerus tak akan aman, karena itu sebelum ia mencairkannya menjadi uang serta barang ia perlu menyimpannya dengan hati-hati.

Tapi itu nanti.

Untuk sekarang ia ingin bersenang-senang.

.

.

.

Dentuman musik menggema diseluruh ruangan dengan gemerelapan lampu dikegelapan. Asap rokok bercampur dengan bau alkohol disana-sini seperti oksigen bagi orang-orang yang haus akan kesenangan dan kenikmatan itu. Iris cokelatnya mengedar disekitar hanya untuk melihat wanita-wanita berbusana minim yang rela di jamah dengan lelaki acak di setiap sudut, bercumbu dan melakukan apapun yang ia sama sekali tak ingin tahu. Bartender itu dengan ahli menuang minuman untuknya. Vodka itu dengan cepat mengalir ditengorokannya dalam sekali teguk, matanya terpejam dan erangan halusnya terdengar saat cairan alkohol itu mengalirkan sensasi panas di tubuhnya. Sensasi yang membuatmu ketagihan untuk minta satu teguk lagi dan lagi, sampai kau mabuk dan setengah sadar.

Tapi tidak, ia bukanlah anak sekolah yang mencoba peruntungan dengan memasuki club malam, mencoba-coba alkohol karena penasaran. Satu teguk alkohol tak akan membuatnya mabuk, bahkan setelah minum berbotol-botol ia masih sanggup menyetir hingga Incheon tanpa menabrak mobil orang lain atau pembatas jalan. Alkohol seperti soda baginya, club seperti rumah keduanya. Semua yang ada disini adalah bagian dari dirinya.

Ini adalah hidupnya.

Tak perlu diperintah bartender itu menuang cairan vodka kedalam gelasnya, satu teguk, dua , tiga dan seterusnya. Apa? Bukankah sudah dia katakan ia tak akan mabuk bahkan jika itu puluhan gelas.

Tubuhnya sudah beradaptasi dengan hal-hal seperti ini sejak lama. Sekali lagi ia meneguk vodka digelasnya saat iris cokelatnya menangkap seseorang berjalan ke arahnya.

Seorang wanita.

Iris cokelatnya bergerak mengikuti langkah pelan wanita itu. Mata keduanya sempat bertemu pandang sebelum sosok wanita itu menghilang dari pandangannya, melewati punggunya. Menyisakan wangi yang begitu mengoda untuknya. Suara gelasnya yang membentur meja terdengar setelah ia menelan seluruh minumannya. Ia menengok dan mendapati wanita itu melihatnya, tersenyum tipis padanya sebelum bergabung dengan kerumunan orang.

Ia diundang.

Ia tahu wanita itu mengundangnya untuk memenuhi gairah masing-masing. oh ayolah, semua orang tahu apa saja yang bisa kalian lakukan di dalam club serlain minum. Tak perlu banyak bicara ia berdiri dari duduknya, meninggalkan meja bar dan berjalan pelan menuju kerumunan orang-orang yang menikmati musik elektrik yang begitu keras. Tak butuh waktu lama saat iris cokelatnya menangkap sosok menawan ditengah kerumunan itu. Pandangan mereka kembali bertemu sebelum wanita itu berbalik dan berjalan semakin dalam kekerumunan orang.

Oh wanita itu ingin bermain dengannya, ingin ia menangkapnya, begitu? Dengan pelan ia mengikutinya. Jujur saja ia bukan tipe lelaki hidung belang yang akan meniduri wanita setiap malam, tapi terkadang ia memerlukan seseorang untuk melepaskan hasratnya sebagai lelaki normal. Dan sepertinya malam ini adalah salah satunya. Lagipula wanita yang membuatnya penasaran seperti ini adalah tipenya.

Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk kembali keluar dari kerumunan manusia disana, menetap di sudut lorong club yang gelap. Tak mau basa-basi ia segera menghimpit wanita itu ditembok, membuat tubuh mereka hampir bergesekan. Terlihat terlalu percaya diri? Tidak juga, karena ia tahu pasti wanita ini menginginkannya juga. Bola matanya menulusuri sosok wanita itu.

Cantik, dengan wajah yang begitu jauh dari kata asian. Rambutnya coklat panjang menggelombang dengan minidress hitam yang membentuk tubuhnya yang ramping. Auranya begitu berbeda dari wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, begitu sexy dan panas. Tipe wanita yang sedikit jarang ditemukan di Korea, anggap saja malam ini keberuntungannya.

Setelah ia merasa cukup untuk mengenal gadis itu, secara sepihak ia menciumnya tanpa basa-basi. Membuat tubuh mereka menempel dengan sensasi nikmat yang sudah lama tak ia rasakan. Mereka bercumbu dengan begitu panas hingga merasa tempat itu tak sesuai lagi dengan kubutuhan mereka. Mereka membutuhkan ranjang, segera.

Dan menyewa salah satu kamar disana bukanlah ide yanga buruk.

Bruk.

Kedua tubuh itu jatuh diranjang dengan dia yang menindih wanita itu, masih dengan saling bercumbu. Kedua tangan mereka tak bisa diam dengan saling merapa tubuh satu sama lain, tapi saat tangan besarnya dengan tak sabar akan merobek gaun hitam wanita itu tangan lain yang lebih ramping mencenggahnya.

"Be patient, dear. We still have a lot of time." Suara itu terdengar menggoda tanpa ada nada memerintah. Mungkin jika orang lain akan langsung tunduk dengan wanita ini, tapi tidak untuknya. Ia terlalu dominan untuk diperintah jadi tanpa memperdulikan perkataan wanita itu ia kembali mencumbunya. Kali ini merasakan leher dan pundaknya yang terbuka membuat telinganya menangkap erangan lembut wanita itu. Tubuhnya panas dan ia tahu gairahnya sudah sampai pada batasnya untuk dileburkan malam ini. Pergerakannya semakin liar, liar dan intim karena nafsu sudah membutakannya. Ia bahkan tak sadar erangan wanita itu sudah tak terdengar.

Menghilang sepenuhnya.

Ia bahkan tak sadar tangan ramping itu kini terulur dibalik punggungnya. Jemari lentik wanita itu megenggam jarum suntik yang berisi cairan aktif. Tak perlu menunggu laki-laki diatasnya untuk menelanjanginya, ia mengayunkan lengannya. Membuat jarum itu menembus tengguk lelaki diatasnya.

"Aarkh!" Ia langsung bangkit dan reflek mundur beberapa langkah, satu lenganya dengan cepat mengambil jarum ditengkuknya, ia dapat melihat cairan didalamnya hanya bersisa sedikit. Ia yakin sebagian telah masuk kedalam tubuhnya. Iris cokelatnya menatap tajam wanita itu.

Langkahnya terdengar keras saat ia akan menedekati wanita itu. Namun belum sempat tangan besarnya meraih leher kecil itu tubuhnya sudah rubuh.

Oh tidak, racunnya sudah bekerja.

Seluruh sendi tubuhnya serasa diserang ribuan jarum dengan tubuh yang mulai kaku. Jantungnya berdetak semakin cepat dan nafasnya mulai sesak. Ini menyakitkan. Pandanganya mulai mengabur tapi ia tahu ada beberapa orang yang masuk kedalam kamar ini sekarang. Ia juga merasakan tangan dingin wanita itu memaksa tangannya agar terulur. Ia mengelak hanya untuk mendapatkan tendangan seseorang dipunggunya.

Tanganya kini terulur saat ditarik paksa kali ini tak ada perlawanan karena racun dalam tubuhnya membuat pukulan itu terasa lebih menyakitkan, sesuatu menempel di ibu jarinya. Seseorang sedang mengambil scan sidik jarinya. Wanita itu bangkit melihat cetakan sidik jari yang ia dapatkan dan tersenyum. Ia melihat orang-orang disekitarnya

"Clean up."

Dengan itu ia pergi dari sana, berjalan keluar kamar melewati orang-orang di dalam club dengan langkah pasti. Senyum cantiknya terus terukir, dan jika saja ada yang memperhatikan sekilas mata birunya mengkilap merah sesaat.

.

.

.

Tubuhnya mengelepar ditanah dengan keadaanya yang mengerikan. Satu tendangan menghantap perutnya membuatnya terbatuk-batuk dan mulutnya mengeluarkan darah selayaknya tubuhnya yang penuh luka. Orang-orang ini menghajarnya habis-habisan seperti tak puas juka ia mati begitu saja.

Mereka ada ditanah lapang tak jauh dari kota sekarang, menyeretnya dengan kasar ditempat ini sebelum dipukuli oleh gerombolan ini.

"Ck ck. Lee Donghae, liat dirimu sekarang. Orang-orang akan tertawa jika melihatnya."

Lee Joon.

Ia tahu dari suaranya. Salah satu berandal mafia yang begitu membencinya.

Dua orang menarik kedua lengannya tiba-tiba, memaksanya berdiri berhadapan dengan ketua mereka.

Bugh.

Satu lagi pukulan tepat di ulu hatinya membuat darah semakin banyak keluar dari mulut Donghae.

"Sakit, Lee Donghae?" Nada itu terdengar mencemooh.

Brengsek.

Ia akan menghabisi mereka semua dengan tangan kosong jika saja tubuhnya tak terkena racun.

Racun sialan.

Wanita sialan.

"Rasanya aku sudah menunggu begitu lama untuk saat seperti ini, aku menunggu begitu lama untuk menghabisimu Donghae."

Oh tentu saja, bahkan setelah Donghae keluar dari kelompok mafia itu orang ini masih menaruh dendam padanya. Mereka memang selalu berselisih dan Donghae selalu tahu bagaimana mempermalukan Lee Joon didepan semua anggota. Membuatnya menjadi bahan tertawaan karena kemampuannya yang tak sepadan dengannya. Bukan secara sengaja, Donghae hanya tak suka seseorang menghalangi jalannya.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Donghae waspada. Tubuhnya serasa remuk, dirusak dari dua arah, dalam dan luar. Ia bahkan hampir tak bisa menggerakan tubuhnya sedikitpun. Tapi ia masih bisa mendengar dengan jelas. Meski penglihatannya samar ia masih bisa menegenali seseorang dari jarak dekat.

"Lee Donghae yang begitu kuat di dunia mafia dipukuli di pinggir kota, apa yang akan dikatakan ayah tentang ini menurutmu? Ah benar sekali ia akan sangat menyesal pernah menjadikanmu bagian dari kerajaannya." Tawa ia mengelegar setelahnya di susul tawa-tawa dari semua orang yang ada disana.

"Tapi jika saja, jika saja kau mau sedikit bersikap sopan padaku, mungkin saja aku akan mengampunimu. "

Lee joon mendekatkan mulutnya ditelingan Donghae.

"Aku tak akan menuntut banyak, cukup sedikit saja kerendahan hatimu untuk memohon padaku, mungkin aku akan memikirkan tentang melepaskanmu, Donghae."

Donghae ingin tertawa dalam batinnya, memohon? Yang benar saja, bahkan jika ia dikuliti hidup-hidup sekarang ia tidak akan pernah sudi melakukannya.

"Kau hanya perlu memohon padaku Donghae, dan aku akan melepaskanmu. Semudah itu."

Namun senyum Lee Joon menghilang saat Donghae justru meludahinya. Pandangan matanya berubah tajam melihat seringaian yang terukit di bibir Donghae. Amarahnya serasa naik hingga ubun-ubun saat melihat orang babak belur didepannya ini masih bisa mengejeknya.

"HAJAR DIA!" Teriaknya keras sebelum sekali lagi Donghae merasakan hantaman-hantaman keras yang seakan meluluh lantahkan tubuhnya.

Tubuhnya terus dipukuli hingga ia tak bisa merasakan apapun lagi, ia sama sekali tak sadar kapan hal itu berhenti dan tubuhnya dibiarkan tergeletak di tanah yang keras dan dingin.

"Kau tidak membunuhnya?" Salah satu anak buah itu bertanya saat mereka berjalan meninggalkan tubuh Donghae di sana.

"Racun itu akan membunuhnya perlahan."Jawabnya sambil menyalakan rokok lalu menghisapnya.

Orang –orang itu pergi meninggalkan tempat itu, membuat tempat itu kini begitu sunyi dan gelab. Hanya terdengar deru nafas Donghae yang semakin memendek. Ia membuka matanya, melihat langit malam yang begitu samar di matanya sekarang. Meski begitu bulan masih terlihat dari iris cokelatnya yang semakin meredup. Nafasnya semakin memendek dan ia tahu jantungnya mulai berdetak lemah sekarang.

Apa ia akan mati?

Semudah inikah ia mati?

Selama 29 tahun ia hidup, sama sekali tak terpikirkan akan berakhir seperti ini, sama sekali tak terpikirkan ia akan mati dengan menyedihkan seperti ini. Lalu ia tersenyum kecut saat menyadari kenyataan bahwa hidupnya memang menyedihkan dari awal. Lihat pekerjaannya, lihat perbuatannya. Tak ada yang bisa dibenarkan dari semua itu.

Mungkin ini hukuman untuknya. Selama ini ia selalu mendengar bahwa mafia memang selalu mati dengan mengenaskan. Dan sekarang ia merasakannya, sekarang gilirannya.

Ia tak bisa bernafas dan pandangnaya semakin meredup. Jantungnya terasa nyeri karena begitu berusaha kuat untuk kembali berdetak tapi racun mencegahnya, memaksanya untuk segera berhenti. Kesadarannya mulai hilang selaras dengan angin malam yang menyapu tubuhnya.

Deg

Detak jantunganya semakin samar

Deg.

Semakin samar

Deg.

.

.

.

Kaki-kaki ramping itu melangkah dengan sedikit aneh, bahkan beberapa kali kaki kanannya selaras dengan tangan kanannya yang berayun. Iris hitamnya mengedar kesegala arah dengan binggung dan takut. Tangan kirinya terkepal dan tangan kananya memegang seutas tali yang tersambung dengan botol kecil berisi air murni di dalamnya, pergerakannya yang serampangan dan tak jelas membuat botol itu berayun kesana kemari.

Ia menghentikan langkahnya saat sampai di tanah lapang, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri membuat surai hitamnya bergerak selaras.

"Dimana? Mana? Senior bilang disekitar sini."

Ia kembali berjalan kesekitar dengan langkahnya yang tak biasa, berputar-putar ditempat itu sebelum kakinya tak sengaja menginjak ekor kadal di bawahnya.

"AAAH!"

Ia berteriak begitu kencang karena ketakutan dan mundur secara serampangan membuat satu kakinya menginjak tali sepatunya. Bisa ditebak ia tersandung kakinya sendiri setelah itu, membuatnya berguling- guling di daratan menurun. Iya dia terjatuh, jatuh begitu saja seperti tanpa sebab. Jika ada orang yang melihatnya pasti berfikir dia aneh atau parahnya lagi gila.

Dengan susah payah ia mencoba bangkit, kepalanya terasa pusing dan siku tanganya terasa nyeri. Sesuatu yang pertama kali ia rasakan. Ia melihat tanganya yang nyeri dan kembali berteriak nyaring saat melihat darah keluar dari sana. Matanya terasa panas dan air matanya sudah berkumpul di sudut-sudutnya.

Rasanya sakit, begitu sakit dan ia tak tahan.

Jangan khawatir itu hanya luka kecil sebenarnya tapi dia saja yang terlalu melebih-lebihkannya. Bahkan anak SD hanya akan menanggapi luka seperti itu sambil lalu. Tolong maklumi, ini rasa sakit pertamanya.

Mungkin ia juga sudah akan menangis untuk pertama kalinya kalau saja iris hitamnya tak menangkap tubuh seseorang yang tergeletak beberapa meter darinya. Dengan cepat ia bangkit dan berjalan mendekati tubuh lemah itu. Ia berhasil meredam teriakannya yang akan keluar saat melihat betapa parah orang itu terluka. Ia berlutut didekatnya kemudian kebingungan sendiri sambil melihat kesana-kemari.

"Bagaimana ini, bagaimana ini!" Ucapnya sambil mengepalkan tangan pucatnya erat-erat. Benar-benar lupa tentang botol yang ia bawa.

Ia meletakkan kepalanya di dada tubuh itu.

"Astaga! Jantungnya akan berhenti! Ia bisa mati! Bagaimana ini, senior bagaimana ini!"Serunya sambil menengadah menatap langit.

Mungkin jika seniornya ada disini sudah pasti akan memukul kepalanya dengan keras karena kebodohan juniornya ini, atau untuk sekedar menyadarkan si bodoh ini tentang tugasnya bukan malah panik sendiri seperti ini. Tapi sepertinya tak perlu keberadaan seniornya untuk menyadarkannya saat matanya yang sudah bulat itu semakin membulat karena mengingat tugasnya.

Tanganya mengacung, memperlihatkan botol kecil yang bergoyang kesana-kemari sesuai ritme tali yang ia pegang. Dengan cepat ia mendekati tubuh itu lagi, menyandarkan kepala orang itu di atas pahanya. Jemarinya yang pucat dengan cepat membuka tutup botol itu sebelum dengan perlahan dan hati-hati menuang cairan bening itu kedalam mulut orang ini.

Membiarkan cairan itu mengalir masuk kedalam tenggorakan orang ini dan senyebar keseluruh tubuhnya.

.

.

.

"...hae."

Suara itu samar terdengar.

"Donghae?"

Tapi semakin lama semakin jelas. Kelopak matanya bergerak-gerak sebelum dengan perlahan terbuka memperlihatkan iris cokelatnya yang menawan.

Yang pertama kali Donghae lihat saat sadar adalah sepasang iris hitam yang begitu gelap. Sebelum pandangan matanya beralih pada bibir gemuk yang kembali memangilnya.

"Donghae?'

Panggilan itu begitu halus dan menumbulkan sensai aneh dalam dadanya. Donghae kebingungan melihat wajah putih dengan rambut sehitam bola mata orang ini. Dan ia semakin tak bisa berfikir saat melihat sudut bibir orang itu tertarik membentuk senyum indah untuknya.

"Donghae, syukurlah kau bangun."

Realitas tiba-tiba saja menyadarkannya.

Tunggu.

Donghae langsung bangun dari pangkuan orang asing itu dan melihat sekitar. Ia ada dilapangan dengan langin malam yang mulai terjamah oleh fajar. Ingatannya kembali berputar sebelum ia tak sadarkan diri, mulai dari di dijebak, diracun, dan dihajar hingga hampir mati. Satu nama langsung terlintas di otaknya.

Lee Joon.

Mata sayunya berubah dingin karena rasa amarahnya. Beraninya orang-orang itu mempermalukannya seperti itu. Beraninya orang-orang itu mencoba membunuhnya, bermain-main dengannya. Lupakah mereka dengan siapa ia berurusan?

Mereka sedang berurusan dengan Lee Donghae.

Lee Donghae, salah satu mafia yang paling ditakuti di Seoul bahkan jika ia kini bekerja untuk dirinya sendiri. Tubuh kuat itu bangkit dengan cepat mengejutkan yang lainnya sebelum berjalan pergi dari sana tanpa mengatakan apapun.

"Donghae? Donghae kau mau kemana?"

Seruan itu bagaikan angin lalu bagi Donghae, amarah sedang menguasahinya sekarang. Sosok itu ikut berdiri dan dengan kesulitan mencoba mengikuti langkah Donghae yang lebar. Langkah Donghae yang mengarah kembali ke kota.

Dia akan membalas perbuatan orang-orang itu, ia akan membuat mereka menyesal sudah mengenalnya.

Yah begitulah mafia, selalu mengedepankan amarahnya padahal ada sesuatu yang seharusnya lebih Donghae pikirkan, tentang tubuhnya yang tiba-tiba saja sembuh total tanpa sebab dan orang asing yang tiba-tiba saja memanggil namanya.

Bukankah itu begitu janggal?

.

.

.

Suara tawa itu menggema di seluruh club yang kini hanya berisi Lee Joon dan para anggotanya. Mereka memang mengusir semua orang untuk merayakan kemenangan mereka atas Lee Donghae malam tadi. Pesta masih berlanjut meski fajar sudah akan terlihat. Botol-botol alkohol berserakan dan musik elektrik masih memenuhi tempat itu.

"Kau akan memberitahu ayahmu tentang Lee Donghae" Salah satu orangnya bertanya, membuat Lee Joon tersenyum sebelum kembali meneguk minumannya dari botol hingga beberapa mengalir melewati dagunya.

"Tidak." jawabnya.

"Akan lebih dramatis jika ayah mengetahuinya dari sebuah berita di surat kabar. Sebuah berita tentang mayat mafia yang ditemukan di pinggir kota."

Semua orang yang di sana langsung tertawa. Semua anggota mafia disini tahu betapa ayah Lee Joon menyegani Donghae karena kemampuannya, tapi segalanya berubah saat Donghae memutuskan untuk keluar dari organisasi itu dan berdiri sendiri. Membuat ayah Lee Joon begitu marah saat itu. Mulai saat itu Donghae dianggap musuh, ancaman yang begitu berbahaya. Tapi seperti semua orang tahu Lee Donghae bukan sembarang orang, begitu sulit untuk meleyapkan orang seperti dia. Bahkan sebentar lagi Lee Joon akan tahu bahwa ia juga gagal melenyapkan Donghae kali ini.

Kursi itu tiba-tiba saja melayang ke udara sebelum dengan keras menghantam mesin DJ di lantai dua club itu, tak jauh dari tempat Lee Joon berada membuat musik yang tadinya mengalun keras hilang seketika. Semua orang terdiam saat melihatnya, mereka tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mata Lee Joon terbelalak saat melihat ke bawah, tempat dipintu masuk club berdiri sosok yang ia yakini seharusnya sudah mati sekarang.

Lee Donghae lengkap sengan seringaian di bibir tipisnya.

"Hallo Lee Joon, merindukanku?"

Tak perlu diperintah semua orang yang ada disana langsung menyerang Donghae, tapi sekali lagi dia adalah Lee Donghae.

BUAK.

Satu pukulan telak dari Donghae memulai pertarungan sebenarnya. Seperti yang Donghae katakan sebelumnya, ia akan membuat mereka menyesal telah mengenalnya.

.

.

.

Tubuh kurus itu berjalan dengan terengah-engah. Tarikan nafasnya begitu berat seperti baru berlari pulukan kilometer meski pada kenyataannya ia langsung menyerah saat baru berlari beberapa meter saja dan memutuskan berjalan seadanya. Astaga, berlari itu sangat amat melelahkan, ah tidak-tidak berjalan juga melelahkan mengingat cara berjalannya yang masih aneh. Jujur ia mulai merindukan sayapnya, terbang lebih mudah dari pada berjalan. Terhitung baru beberapa jam ia jadi manusia tapi keluhannya sudah begitu banyak. Dimulai saat pertama kali ia diharuskan bernafas, membuatnya terbatuk-batuk karena tersedak air liurnya sendiri saat itu. Bahkan bayi yang baru lahir bisa langsung bernafas tanpa kesulitan, tapi di membutuhkan sepuluh menit lebih untuknya menemukan bagaimana ritme bernafas yang baik dan benar.

"Kenapa bernafas begitu susah!" Itu adalah keluhan pertamanya dan kini disusul keluhan-keluhan lainnya.

Kepalanya celingukan melihat jalanan kota yang sepi. Ia mencari Donghae yang menghilang dengan cepat karena dia yang tak bisa mengimbangi langkah manusia satu itu. Dan kini ia harus mengandalkan instingnya. Insting yang selalu bisa mengarahkannya disekitar dimana Donghae berada, namun sayang instingnya tak pernah bisa menyebutkan tepat letaknya. Alhasil pada akhirnya ia tetap harus mencari. Sekali lagi ia mengeluh.

"Kemana orang itu pergi? Kenapa jalannya cepat sekali!"

Ia mulai cemberut karena kesal belum mendapati Donghae sedari tadi. Kakinya menghentak-hentak sambil tetap berjalan menyusuri jalanan kota. Beruntung baginya jalanan itu sepi, kalau tidak ia pasti sudah ditabrak truk sayur karena berjalan ditengah jalan raya dengan begitu santai.

"Hyukjae bodoh, harusnya kau mencegahnya pergi. Ah tidak, seperti kata senior aku harus tegas. Aku harus memerintahnya! Donghae kau tidak boleh pergi begitu saja! Donghae kau tidak boleh meningggalkanku! Donghae kau-"

BLUAR

"AAAKH!"

Hyukjae berteriak nyaring dan reflek memeluk tubuhnya sendiri saat tiba-tiba saja ada tubuh manusia yang terlempar keluar. Iris hitamnya dengan takut-takut melihat ke arah tempat orang itu datang. Terlihat kaca gedung lantai dua itu pecah berantakan lalu kembali pada manusia yang masih mengerang kesakitan didepannya, serpihan kaca terlihan berhamburan mengelilinginya.

Suara keributan terdengar dari bangunan tak jauh dari Hyukjae berdiri. Instingnya bekerja, memaksanya masuk kedalam meski ia takut.

Dengan langkah hati-hati ia masuk kedalam gedung hanya untuk melihat puluhan orang terkapar kesakitan dengan luka dan darah diwajahnya. Tempat itu juga porak-poranda. Siapa yang menyangka jika ternyata ini hasil perbuatan satu orang.

Buak

Buak

Terdengar suara keributan dari atas sebelum iris hitam Hyukjae melihat manusia yang ia cari sejak tadi sedang menyeret orang menuruni tangga sebelum melemparnya tanpa belas kasihan ditengah ruangan.

Lee Joon terlihat babak belur, sesekali ia terbatuk memuntahkan darah dari mulutnya. Dengan tenaga yang tersisa ia menganbil pistolnya di balik celana dan mengerahkannya pada Donghae, tapi karena gerakannya yang terlalu lambat dengan mudah Donghae merebutnya. Kakinya menginjak leher Lee Joon dengan keras, membuat erangan menyakitkan terdengar setelahnya.

"Katakan padaku siapa wanita itu?" Pertanyaan itu terlontar dingin. Saat tak ada jawaban didapat Donghae semakin menekan kakinya.

"A-Aku tidak tahu."

Sekali lagi Donghae menekan kakinya.

"Yang kutahu ia bekerja pada ayah, selebihnya aku tak tahu, sungguh."Dengan sudah payah Lee Joon menjawab.

"Kau ingin aku mematahkan lehermu katakan se-" Perkataan Donghae terpotong nalurinya bekerja, menyadari bahaya disekitarnya dengan cepat ia menengok.

Hyukjae begitu terkejut saat Donghae mengarahkan senjata padanya dan tanpa ragu menarik pelatuknya.

DOR

Hyukjae membeku namun ia tak merasakan apapun. Ia malah mendengar seseorang jatuh di belakanya. Ia menengok dan melihat orang yang tadi ia lihat terkapar diaspal itu kini mengerang kesakitan dengan luka tembak dilengannya.

Donghae berniat menembak orang itu sejak awal bukan dia.

Iris hitamnya kembali melihat Donghae yang baru menyadarinya. Dahi Donghae mengernyit saat iris cokelatnya beradu dengan iris hitam sosok asing didepannya. Mereka masih diam hingga bibir gemuk itu mengalunkan namanya dengan begitu halus.

"Donghae."

.

.

Ngomong-ngomong sepertinya Hyukjae harus berfikir ulang jika ingin memerintah Donghae.

.

.

.

.

TBC

Hallo semua, gimana kabarnya? Aku harap tetep pada semangat ya meski Haehyuk wamil. Ayolah mereka kan masih tetep di Korea, ga kemana-mana.

Gimana ffnya? Suka?

Seperti yang ditebak isi ff ini seperti judulnya, seperti Mvnya juga. Tapi unsur fantasi disini cuma seumprit aja jadi jangan berharap akan ada adegan dimana Hyukjae terbang pake sayap atau pertarungan kekuatan iblis dan malaikat, itu gak bakal ada. Untuk kedepanya ff ini akan lebih ke crime komedi.

Semua anggota suju akan muncul di ff ini, tapi anggota yang ada di MV-nya aja, sesuai dengan karakter mereka yang di Mv kecuali Hyukjae.

Maaf kalo masih jelek, bosenin, dan pasaran maklum habis skripsi jadi ya begitulah, maaf soal typo dan kesalahan penulisan lainnya. Chapter 2 secepatnya lah :D

See u next chapter