Hadiah yang terlambat untuk merayakan 1 tahun hari jadinya pair kesayangan kita semua #SasuSaku. Semoga kalian suka :)
Juga hadiah yang terlambat untuk partner sepenulisanku, Dian a.k.a Ucul World. Maaf aku mengganti hadiahmu karena kurasa fanfik yang satu itu nggak cukup manis untuk jadi kado tambah umur :p Semoga kamu suka, Nyonya Taka :)
.
.
Musim Semi Di Konoha
oleh hanaruppi
.
Disclaimer:
NARUTO selamanya milik Bapak Masashi Kishimoto
SasuSaku selamanya terjebak dalam dunia imajinasi saya
.
.
Ini adalah pertama kalinya bagi gadis kecil itu melakukan perjalanan udara tanpa didampingi siapapun. Namanya Sarada, usianya baru 11 tahun. Tapi dia cukup berani untuk pergi dari Suna ke Konoha sendirian. Apalagi dia pergi demi mamanya.
Sudah hampir dua minggu lamanya sang mama tidak di rumah bersama Sarada. Mamanya sedang menghadiri pertemuan penting dengan himpunan kepala rumah sakit se-Jepang di Konoha. Itu membuat Sarada rindu sekali padanya.
Meskipun sangat cerewet, suka mengatur, dan terkadang galak, bagi Sarada mamanya itu adalah mama paling baik sedunia. Sarada suka setiap kali mamanya mengecup kedua pipinya sebelum dia berangkat sekolah, membelai-belai rambutnya sebelum tidur, atau memeluknya saat dia bermimpi buruk. Tapi Sarada sudah besar sekarang, sudah 11 tahun. Malu rasanya diperlakukan seperti itu, walaupun dalam hati dia masih menginginkannya. Sarada hanya tidak ingin anak laki-laki paling badung di kelasnya mengejeknya anak manja.
Tiga hari lagi sang mama berulang tahun, Sarada ingin memberinya kejutan. Datang ke Konoha dan memberinya pelukan serta ciuman selamat ulang tahun. Jadi, mamanya tidak tahu-menahu soal perjalanannya ini. Jika mamanya tahu, bukan kejutan lagi namanya. Dan jika mamanya tahu, tentu Sarada tidak akan diizinkan pergi jauh tanpa didampingi siapapun.
Apa boleh buat. Sarada terpaksa pergi sendirian ke Konoha. Jangan tanya tentang nenek dan kakeknya, mereka sudah lama meninggal. Sahabat mamanya, yang biasa Sarada panggil dengan Bibi Ino, tidak bisa mengantarnya karena ada jadwal operasi usus buntu seorang anak kecil lusa nanti. Seperti mamanya, Bibi Ino juga seorang dokter anak di Rumah Sakit Suna—tapi mamanya adalah bosnya.
Tadinya Bibi Ino memang tidak mengizinkan Sarada pergi. Ada banyak alasannya. Pertama, Sarada adalah tanggung jawab Bibi Ino selama mamanya tidak di rumah. Karena sang mama sudah menitipkan Sarada padanya, Bibi Ino berjanji untuk menjaga Sarada sampai mamanya kembali. Ke dua, Konoha adalah kota besar. Bagi Bibi Ino terlalu berbahaya untuk gadis kecil seperti Sarada pergi sendirian ke sana. Sarada mengerti. Tapi dia tetap ingin pergi.
Sarada berusaha membujuk Bibi Ino. Mengingatkan Bibi Ino bahwa dia cukup pintar dan berani untuk menghadapi banyak situasi. Sarada pernah berhasil bepergian sendiri waktu acara studi tur sekolah di Amegakure—waktu itu dia sempat terpisah dari rombongan. Tapi Bibi Ino bilang Amegakure tidak jauh dari Suna, dan pastinya tidak sebesar Konoha. Sarada meyakinkan Bibi Ino sekali lagi, bahwa dia butuh belajar mandiri. Sarada berjanji akan menelepon Bibi Ino setiap satu jam sekali agar wanita pirang itu tidak cemas memikirkanya. Lagipula Sarada akan langsung menemui mamanya begitu tiba di Konoha, tidak akan ke mana-mana dulu.
Akhirnya Bibi Ino menghela napas. Saat itu Sarada tahu bibinya menyerah setelah melihat wajahnya yang memelas penuh permohonan. Sarada tahu tidak ada satu orang dewasa pun yang akan tahan melihat wajahnya yang menggemaskan itu.
"Kalau begitu, Paman Sai akan menjemputmu di Bandara Konoha. Kau masih ingat wajah tampan Paman Sai, kan? Biar Bibi bluetooth-kan fotonya ke ponselmu," cerocos Bibi Ino dengan wajah berseri-seri, memilih-milih foto lelaki yang dimaksud di ponsel pintarnya.
Dalam hati Sarada menggerutu, dia belum lupa dengan wajah murah-senyum Paman Sai. Tapi tetap membiarkan Bibi Ino mengirimkan salah satu foto suaminya—yang menurut Bibi Ino fotonya dengan wajah paling kece—ke ponsel Sarada, membiarkan bibinya tak berhenti memuja wajah tampan Paman Sai. Biar Bibi Ino senang.
Jika saja papanya masih ada, mungkin mamanya juga akan seperti Bibi Ino, ke mana-mana membanggakan suaminya.
Bibi Ino, sahabat mamanya yang berambut pirang itu, sebetulnya tinggal di Konoha bersama Paman Sai dan satu orang anak laki-laki mereka yang seumuran dengan Sarada, Inojin. Bibi Ino hanya sebulan sekali bertugas di Rumah Sakit Suna. Karena itu, Bibi Ino punya ide untuk meminta Paman Sai ikut ambil bagian dalam rencana Sarada mengejutkan sang mama.
Rencana Sarada itu hampir berjalan sempurna. Dia diantar Bibi Ino ke Bandara Suna, naik pesawat keberangkatan siang hari, dan akan dijemput Paman Sai begitu tiba di Bandara Konoha. Namun semua nyaris berantakan ketika Sarada ditahan di bagian pemeriksaan tiket, petugas pemeriksaan melarangnya naik pesawat tanpa orang dewasa yang mendampingi. Bibi Ino mengarang macam-macam alasan agar Sarada diloloskan, tapi sia-sia saja. Sepuluh menit lagi pintu pesawat ditutup. Semua penumpang sudah di dalam. Kecuali Sarada.
Saat Sarada pikir rencananya gagal, tiba-tiba seorang pria dari rombongan pilot dan pramugari yang melintas di dekat situ menghampiri mereka. Pria itu hangat menyapa Sarada. Paman Gaara Sabaku. Seorang pilot senior kenalan mamanya, orang yang cukup berpengaruh di Bandara Suna. Betapa beruntungnya Sarada bertemu dengannya. Berkat Paman Gaara, Sarada diperbolehkan masuk ke pesawat tanpa basa-basi lagi.
Sarada tersenyum dan berterima kasih pada malaikat penyelamat-nya—meskipun sebenarnya dia ingin memeluk dan mencium pipi paman tampan itu karena hatinya senang luar biasa. Rencana kejutan untuk sang mama tidak jadi gagal.
Setelah itu Sarada pamitan pada Bibi Ino. Sahabat mamanya yang pirang itu memaksa untuk mengecup basah pipinya—Sarada buru-buru mengelapnya saat Bibi Ino tidak lihat.
Sekarang Sarada sudah duduk manis di dalam pesawat, menatap ke luar jendela di mana kontur Kota Konoha yang bila dilihat dari atas tampak merah muda oleh mekarnya bunga-bunga sakura. Sarada tersenyum membayangkan wajah mamanya yang secerah langit musim semi ketika mereka berjumpa. Tidak sampai 10 menit lagi pesawat akan mendarat.
Mama, aku datang!
.
.
Rencananya, Paman Sai akan menunggu Sarada di gerbang kedatangan domestik. Tapi begitu tiba di sana, gadis kecil berkacamata itu tidak melihat Paman Sai. Banyak sekali orang di sana, bersiap menyambut kedatangan orang yang mereka tunggu. Sarada memperhatikan mereka satu per satu, tapi tidak ada satupun yang berwajah murah-senyum seperti Paman Sai yang dia ingat. Ah, dia tidak mungkin salah mengenalinya. Mungkin Paman Sai memang belum sampai.
Sarada akan coba menghubunginya kalau begitu. Dia mengambil ponsel di dalam ransel dan ... Eh? Ponselnya mana? Tangannya merogoh lagi isi ransel lebih dalam. Tidak ada. Ponselnya hilang!
Sarada terpaksa kembali, menuju pusat informasi untuk menanyakan barangkali seseorang di pesawat menemukan ponselnya. Ada banyak orang di sana—orang-orang dari pesawat yang dia naiki, mereka juga melaporkan barang hilang. Ada anting-anting, kacamata, bahkan sekantung suvenir untuk oleh-oleh.
Salah seorang penumpang mengaku sempat bicara dengan wanita muda yang mencurigakan. Satu orang lagi membicarakan wanita yang sama. Sarada jadi ingat, wanita itu duduk dua kursi di sebelahnya. Dia sempat tersenyum pada Sarada, dan gadis kecil itu membalasnya. Hanya begitu saja, tidak ada yang mencurigakan. Tapi Sarada sama sekali tidak tahu kalau ponselnya bakal hilang. Salah satu dari penumpang yang ramai di depan pusat informasi menyebut-nyebut soal kleptomania, menduga wanita muda itu seorang klepto. Sarada pernah mendengar istilah itu dari sebuah film, sepertinya semacam orang yang suka mencuri barang-barang tertentu karena hobi. Ada-ada saja kelakuan orang dewasa, pikirnya.
Ponselnya sudah jelas tidak akan kembali dalam waktu dekat. Sementara Sarada harus segera menghubungi Paman Sai. Dia tidak hafal nomor ponselnya. Jadi, dia meminta petugas informasi untuk mengumumkan pesan pada Paman Sai Shimura, bahwa dia—Sarada Haruno—menunggunya di pusat informasi, segeralah datang dan menjemputnya.
Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit. Paman Sai tidak juga kelihatan batang hidungnya. Sarada meminta petugas informasi untuk mengulangi pesannya, barangkali Paman Sai tidak dengar. Tapi sepuluh menit lagi ditunggu, Paman Sai tidak muncul juga.
Sarada sudah hampir bosan menunggu ketika mata hitamnya menangkap sosok wanita muda yang dia ingat tersenyum padanya di pesawat. Wanita yang mencuri ponselnya, juga barang-barang milik penumpang lain. Si wanita klepto! Sarada melihat wanita itu berjalan keluar meninggalkan ruang tunggu bandara, bebas melenggang seolah dia tidak pernah melakukan apapun yang merugikan orang lain.
Diam-diam Sarada mengikutinya. Sayangnya, wanita itu keburu melihat Sarada saat berada di eskalator. Dia langsung berlari menuruni tangga yang sedang bergerak turun perlahan dan melarikan diri ke dalam kerumunan. Sarada nekat mengejarnya, ikut masuk menerobos orang-orang yang membawa spanduk bertuliskan ucapan selamat datang besar-besar, dan poster bergambar foto seorang pria dalam setelan resmi di depan sebuah piano besar. Sepertinya seorang pianis terkenal. Itu menarik perhatian Sarada sejenak—gadis kecil itu selalu tertarik pada apapun yang berhubungan dengan piano. Rasa ingin tahunya tiba-tiba saja mendominasi.
Tapi Sarada mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap fokus pada apa yang harus dikejarnya sekarang. Si kleptomania. Wanita itu tadi masih kelihatan ujung kepalanya di dalam kerumunan, tidak terlalu jauh jaraknya dengan Sarada. Namun cepat sekali dia menghilang. Sarada bergerak ke depan, memaksakan diri menerobos barisan gadis remaja yang menjerit-jeritkan nama seseorang—nama pria di dalam poster itu.
"Sasuke Uchiha!"
Gadis di sebelahnya menjerit keras sekali sampai telinga Sarada berdenging, membuatnya pusing. Sementara di depan sana, Sarada melihat puncak kepala si wanita klepto, dia berhasil keluar dari kerumunan. Mana bisa Sarada membiarkannya. Gadis kecil berkacamata itu memaksakan diri untuk terus bergerak maju di antara lautan wanita muda. Sedikit lagi sampai, bertahanlah, Sarada, dia menyemangati dirinya sendiri.
Sarada mendorong tubuhnya terus ke depan. Menerobos dua remaja berbadan gendut. Susah-payah Sarada melawannya. Tiba-tiba gadis di depannya melonjak. Sikutnya keras mengenai bahu Sarada, membuat gadis kecil itu terlempar ke belakang hingga nyaris jatuh. Tapi dia tidak jatuh karena orang-orang di belakang bergerak maju. Kabar buruknya, tubuh Sarada yang jelas lebih kecil dibandingkan wanita-wanita itu terjepit, terhimpit tanpa daya.
Sarada tidak sanggup lagi menerobos barisan orang di depannya, sementara dorongan dari belakang semakin kuat. Dadanya sesak, Sarada kehabisan udara. Pelan-pelan tubuhnya pun melemah. Matanya mulai berkunang-kunang.
Jika dia pingsan di sana, entah Paman Sai akan menemukannya atau tidak. Jika Paman Sai tidak menemukannya, entah dia akan bertemu dengan mamanya lagi atau tidak.
Sebelum pandangannya jadi gelap, Sarada menyesal hari ini dirinya tidak jadi anak baik.
Maafkan aku, Mam ...
...
Hidung pria itu mengernyit jeri begitu mendengar suara-suara jeritan dari kejauhan. Astaga, jangan bilang ada satu pasukan gadis sedang berkerumun menghadang jalannya keluar dari bandara. Tapi itulah yang terjadi. Persis seperti itulah yang ditangkap matanya saat ini. Entah berapa puluh—boleh jadi ratus—wanita muda yang berkumpul di depan gerbang kedatangan luar negeri, penuh, tumpah ruah. Mereka memegang spanduk ucapan selamat datang dan poster fotonya yang dicetak besar sekali—dia bahkan tidak punya foto dirinya sebesar itu di rumahnya sendiri. Gadis-gadis itu tak lupa meneriakkan namanya keras-keras, membuat riuh suasana.
"Sasuke Uchiha!"
Rasa lelah setelah sekian belas jam melalui perjalanan panjang dari Wina ke Konoha, seakan tak mungkin terbayar dengan sambutan berlebihan dari para penggemar wanitanya di negeri ini. Mereka sungguh terlalu berlebihan. Satu-satunya yang diinginkan Sasuke begitu tiba di kota kelahirannya ini adalah beristirahat dalam suasana tenang. Ya, dia sungguh membutuhkan itu. Karena besok malam dia akan mempersembahkan piano concerto terakhir dalam rangkaian tur dunianya tahun ini.
Kakaknya, Itachi, tidak terlalu membantunya membebaskan diri dari kerumunan gadis itu. Kakaknya bahkan entah di mana, tidak tampak sejak mereka turun dari pesawat. Hanya berbekal pengawalan dari petugas keamanan bandara Sasuke bisa selamat, melewati histeria gadis-gadis itu dengan pengawalan di kiri dan kanannya—juga depan dan belakang. Tadi wajahnya nyaris saja terluka kena cakaran dari gadis yang berdiri paling depan. Bahkan beberapa dari mereka nekat menarik-naik blazernya. Sungguh menakutkan. Ternyata usia yang semakin menua tidak membuatnya kehilangan pemuja setia. Untunglah para petugas keamanan bandara yang mengawalnya tahu bagaimana mengatasi gadis penggemar.
Sasuke menghela napas lega begitu memasuki limosin yang disediakan hotel tempatnya akan menginap selama di Konoha. Dia mencoba menghubungi ponsel kakaknya, karena mereka akan segera pergi. Panggilannya tersambung, namun Itachi tidak juga mengangkat teleponnya hingga nada sambung ke sepuluh. Lalu pria yang berwajah sebelas-dua belas dengannya itu membuka pintu limosin sesaat setelah Sasuke menyimpan ponsel ke dalam saku blazer.
Mata hitam Sasuke terbelalak. Kakaknya tidak datang sendirian, dia membawa seorang gadis kecil berkacamata yang tidak sadarkan diri.
"Apa yang kaulakukan? Apa yang terjadi padanya?"
"Petugas keamanan bandara mengeluarkan gadis kecil ini dari kerumunan penggemarmu," kata Itachi, hati-hati merebahkan tubuh gadis kecil yang wajahnya pucat itu di bangku belakang—persis di sebelah adiknya. "Aku tidak bisa membiarkannya tumbang sia-sia, padahal dia sudah berjuang di antara gadis-gadis yang lebih besar darinya hanya demi menyambut kedatangan pianis kesayangannya. Kau, Sasuke Uchiha."
Sasuke mencibir. "Manis sekali. Kau mau aku mengantar gadis kecil ini ke rumah sakit, menungguinya sampai membuka mata, lalu aku harus mengalungkannya bunga?"
"Tentu saja tidak. Kau butuh istirahat, menjaga staminamu untuk besok malam," kata Itachi. "Penggemar kecil ini akan ikut kita ke hotel."
"Kau sudah gila?" Sasuke memelototi kakaknya. "Biar saja dia diantar petugas ke rumah sakit. Buat apa repot-repot membawanya bersama kita? Bagaimana kalau orangtuanya mencari gadis ini? Kau mau dituduh penculik?"
"Jangan jadi jahat begitu, Sasuke. Kau adalah seorang idola, beri gadis kecil ini hadiah atas perjuangannya. Dia harus menemuimu dalam keadaan sadar. Apa kau tidak tahu, impian gadis-gadis penggemar adalah bertemu dengan idolanya? Kau tega merusak impiannya?"
Sasuke hanya diam menatap gadis kecil yang masih terpejam lemah di sebelahnya. Tidak percaya gadis sekecil dia nekat berjejalan dengan wanita-wanita yang lebih besar darinya. Hanya untuk melihatnya dari dekat. Itukah impian gadis kecil ini? Bertemu dengan sang idola? Dirinya? Jika itu benar, tegakah dia merusak impian itu? Impian seorang gadis kecil yang kini terbaring lemah tepat di depan matanya. Tegakah?
"Petugas keamanan bilang, gadis kecil ini tidak bersama siapapun," kata Itachi lagi. "Aku tidak yakin jika harus meninggalkannya begitu saja di rumah sakit. Paling tidak bawa dia dulu bersama kita. Setelah dia sadar, kita bisa menanyakan di mana rumahnya, dan kita bisa mengantarnya pulang."
Sasuke mendengus kecil. Tidak menyatakan persetujuan, tidak juga penolakan. Biar begitu kakaknya tahu Sasuke tidak akan mendebat lagi. Tentu saja, kakaknya adalah satu-satunya orang yang tidak akan bisa Sasuke debat seumur hidup.
.
.
Gadis kecil itu baru terbangun saat Sasuke sedang membuat catatan-catatan kecil di buku partiturnya. Sasuke melihat gadis kecil berkacamata itu melintasi koridor dari ruang tengah tempat dia direbahkan, berjalan menuju ruangan di mana piano besar miliknya yang khusus dibawa dari Wina diletakkan. Khawatir sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi, buru-buru Sasuke menyusulnya.
Langkah gadis kecil itu terhenti. Dia memandang sekeliling ruangan, seakan berusaha mengenali tempat di mana dia berada sekarang. Lalu pandangannya berhenti pada piano besar berwarna hitam, mengilap elegan di bawah cahaya lampu. Piano yang tampak memanggil-manggil untuk segera dimainkan.
"Jaga jarakmu dari si cantik itu, gadis kecil," suara Sasuke di belakang punggungnya menghentikan langkahnya.
Gadis kecil itu menoleh pada Sasuke, tampak terkejut.
"Maksudku, jangan sampai kau merusaknya. Dia sangat berharga untukku. Piano itu," Sasuke meralat ucapannya, khawatir gadis kecil itu menangis karena merasa dimarahi. Tapi melihatnya sekarang, gadis kecil di depannya itu tidak tampak seperti gadis cengeng.
"Apa Paman yang menolongku?" tanya gadis kecil itu.
"Paman? Kau tidak mengenal siapa aku?"
Gadis kecil berkacamata itu mengangkat tinggi sebelah alisnya, menggeleng. Entah mengapa seketika saja itu membuat Sasuke teringat pada seseorang. Seorang wanita. Bertahun-tahun yang lalu.
Siapa yang tidak mengenal Sasuke Uchiha?
Seorang pianis sekaligus komposer yang punya nama besar di Eropa sejak satu dekade terakhir. Terkenal sebagai maestro melankolis lewat karya-karyanya yang menyayat perasaan, simfoni-simfoni kesedihan, musik patah hati. Dia punya aura musik yang gelap. Tapi itulah yang mengangkat namanya menjadi salah satu pianis hebat dunia, membuatnya bersinar di atas kemilau panggung orkestra.
Rasanya aneh jika ada orang yang tidak mengenalnya. Seakan-akan mereka berasal dari Mars. Kecuali jika orang itu memang tidak mengenal musik. Seperti wanita itu.
"Aku Sasuke Uchiha. Kupikir kau mengenalku, karena kau ada di dalam kerumunan penggemarku."
Sepasang mata hitam di balik kacamata itu membesar. "Sasuke Uchiha? Jadi, Paman adalah pria yang bermain piano di poster itu? Kalau begitu, Paman benar-benar seorang pianis?"
Sasuke hanya mengangguk kecil dan bergumam singkat untuk menjawabnya. Merasa sedikit kecewa karena gadis kecil itu bukanlah penggemarnya. Jika tahu begitu, untuk apa repot-repot membawanya pulang. Ini semua gara-gara Itachi bicara sembarangan, mengarang cerita hanya untuk membuat hatinya tersentuh agar tidak membiarkan seorang gadis kecil terlantar sendirian. Padahal itu sama sekali bukan urusannya.
Namun di satu sisi, Sasuke tidak bisa mengabaikan gadis kecil itu karena dia tampak tertarik sekali dengan piano.
Sasuke memesan makanan pada layanan kamar untuk gadis kecil itu. Kelihatannya dia belum makan apa-apa seharian ini. Wajahnya juga pucat akibat tadi pingsan di dalam kerumunan. Lihat saja, dia benar-benar sanggup menghabiskan satu porsi nasi hangat bersama semangkuk besar sup daging, ditambah segelas susu cokelat. Makannya lahap sekali. Kalau begitu biarlah gadis kecil itu mengisi perut, sementara dia melanjutkan pekerjaannya dengan partitur-partitur itu.
Namun Sasuke tidak bisa berkonsentrasi. Karena gadis kecil itu diam-diam memperhatikannya dari atas mangkuk sup. Begitu Sasuke mendelikkan mata padanya, gadis kecil itu pura-pura sibuk menghabiskan kuah sup daging. Sasuke menghela napas pendek, melanjutkan pekerjaan. Tapi gadis kecil itu melakukannya lagi, diam-diam memperhatikannya. Kali ini Sasuke menurunkan buku catatannya sambil berdeham cukup keras. Gadis kecil itu langsung pura-pura sibuk menenggak susu cokelat.
"Kenapa dari tadi kau melihatku seperti itu?"
Tatapan sepasang mata hitam gadis kecil itu tertunduk, entah merasa malu setelah ketahuan memperhatikan seseorang diam-diam atau takut dimarahi akibat kelakuan kurang sopannya. Dia menghabiskan susu cokelat di gelasnya sebelum bertanya ragu-ragu, "Bolehkah aku melihat Paman Sasuke bermain piano? Aku sangat menyukai piano. Apalagi bertemu dengan pianis hebat seperti Paman. Aku ingin menyaksikannya secara langsung."
Sekali lagi, entah mengapa Sasuke teringat pada wanita itu. Tapi berbeda dengannya, gadis kecil ini mengakui bakat Sasuke. Akhirnya ada seseorang yang tidak mengenalnya tapi menganggap mahir bermain piano adalah hal yang hebat.
Sasuke pun tergoda untuk mempertontonkan keahliannya bermain piano di depan gadis kecil itu. Dan dia bersungguh-sungguh, menaruh hati dan jiwanya ke dalam musik yang dimainkannya. Walaupun penontonnya malam ini hanya seorang gadis kecil. Siapapun itu. Bakatnya hanya dipersembahkan kepada mereka yang memuja musik. Siapapun dia. Seorang gadis kecil sekalipun.
Gadis kecil itu bertepuk tangan setelah mini concerto Sasuke berakhir. Wajahnya yang pucat setelah bangun dari pingsan kini cerah berseri seperti langit musim semi.
"Itu tadi Stravinsky's Petrushka 3 Movements, benar kan?"
Mata Sasuke membesar sedikit. Semakin tertarik menatap gadis kecil yang penuh kejutan itu. Padahal dia sama sekali tidak menyebut nama lagu yang barusan dimainkannya. Tapi gadis kecil itu menebaknya dengan sangat tepat.
"Kau tahu itu? Apa kau penggemar musik klasik?"
Gadis kecil itu mengangguk, matanya membesar. "Ya. Aku sangat menyukai piano. Aku suka karya-karya Gershwin, Chopin, Rachmaninoff, dan beberapa piano soneta Mozart."
Semakin menarik saja, pikir Sasuke. "Kalau begitu kau bisa bermain piano? Mau menunjukkannya padaku?"
Sasuke tahu gadis kecil itu ingin sekali memperlihatkan kemampuannya, melihat binar kesenangan di sepasang mata hitamnya. Namun dia tampak ragu-ragu. Barangkali merasa gugup harus tampil di depan seorang maestro. Sasuke sedikit menyemangatinya, memberinya tepuk tangan kecil untuk membangkitkan rasa percaya diri.
"Lupakan ucapanku soal aku takut kau merusak pianoku. Itu omong kosong sekarang. Seseorang yang mengenal Chopin atau Mozart tidak mungkin merusak piano," kata Sasuke, tersenyum kecil.
Gadis kecil itu pun memberanikan duduk di depan piano. Tangannya perlahan diletakkan di atas tuts. Mulai memainkan not-not yang langsung terbaca oleh Sasuke. Gershwin's Rhapsody In Blue.
Sasuke Uchiha, pianis berbakat yang telah membesarkan namanya di Eropa, bergeming mendengarkan pertunjukan piano dari seorang gadis kecil. Tenggelam dalam alunan simfoni yang begitu harmonis, mengalun lembut seakan memanjakan telinga. Sasuke hampir tidak percaya, gadis sekecil dia mampu memainkan sebuah karya besar tanpa ada kesalahan. Yang lebih membuat Sasuke terpukau, gadis kecil itu memiliki gaya orisinalitasnya sendiri. Jika dimainkan olehnya seakan-akan simfoni ini adalah miliknya.
Gadis kecil itu tidak hanya mampu memainkannya. Tapi dia memang berbakat. Sasuke bisa merasakan itu, ada bakat musikalitas yang luar biasa mengalir dalam darahnya.
Sasuke memberi tepuk tangan keras dan anggukan bangga sebagai hadiah setelah gadis kecil itu selesai dengan pertunjukan kecilnya. Gadis kecil itu tersenyum tersipu, matanya berbinar-binar bahagia. Wajahnya jelas terlihat senang luar biasa.
"Aku tidak tahu kemampuanmu bermain piano sebagus ini. Kau pasti berasal dari keluarga pemusik," kata Sasuke.
Gadis kecil itu tersenyum, tapi sorot matanya sedikit memancarkan kesedihan.
"Keluargaku bukan pemusik. Mamaku bahkan sangat membenci piano. Hanya karena Mama sangat menyayangiku, aku diperbolehkan ikut les piano. Guru lesku mengatakan pada Mama akan lebih baik kalau aku dimasukkan ke sekolah musik karena aku punya bakat. Mama tetap tidak mengizinkan. Mama bilang tidak akan memaksaku jadi apapun saat aku besar nanti, tapi Mama akan sangat menentang kalau aku memilih jadi seorang pianis."
"Sangat disayangkan," komentar Sasuke. "Padahal kau bisa jadi seorang pianis yang hebat jika bakatmu terus diasah. Aku yakin itu."
Raut wajah gadis kecil itu semakin muram, menatap sedih tuts-tuts piano di depannya. "Aku ingin sekali ada di panggung itu. Seperti Gershwin, Rachmaninoff, Mozart. Seperti Paman Sasuke. Tapi aku lebih menyayangi Mama."
Sasuke jadi ikut sedih mendengarnya. Gadis kecil ini adalah anak yang sangat baik, mendahulukan cinta ibunya di atas impiannya sendiri. Ibunya sungguh beruntung memilikinya. Tapi ibunya pasti tuli jika tidak mengetahui bakat emas yang terpendam dalam diri gadis kecil ini. Jika ibunya tidak tuli, dia pastilah orang yang sangat keras kepala. Seperti wanita itu.
Ah, lagi-lagi Sasuke teringat padanya. Seharian ini, sejak bertemu gadis kecil ini ... Eh, tunggu dulu!
"Siapa namamu, gadis kecil?"
"Sarada," suara pria menyahut.
Sasuke dan gadis kecil itu sama-sama menoleh ke pintu, dari mana suara itu berasal. Kakaknya, Itachi, baru saja melangkah masuk.
"Paman tahu namaku? Paman siapa?" tanya gadis kecil itu penasaran.
Itachi tersenyum irit padanya. "Aku tidak tahu namamu. Aku membacanya, tertulis di ranselmu." Dagunya yang lancip menunjuk ransel biru navy yang tergeletak di atas sofa, membuat gadis kecil itu menyengir, sepertinya baru ingat soal itu.
"Orang ini kakakku. Dia yang menyelamatkanmu dari kerumunan di bandara," kata Sasuke.
Itachi sudah menyeberangi ruangan, menghampiri tempat gadis kecil itu duduk. Tangannya lembut mengusap pundak gadis itu. "Bagaimana, Sarada? Kau senang akhirnya bisa bertatapan langsung dengan idolamu?"
"Gadis kecil ini bukan penggemarku seperti yang kauduga sembarangan," sahut Sasuke ketus. "Dia bahkan tidak mengenalku."
Kening Itachi berkerut. "Kalau kau bukan penggemar Sasuke Uchiha, kenapa kau ada dalam kerumunan gadis-gadis itu? Apa yang kaulakukan, Nak?"
"Ponselku hilang," Sarada menjawab. "Seorang wanita kleptomania di pesawat mencurinya. Tadi aku melihat wanita itu di bandara, tapi dia keburu menyadari aku dan kabur ke dalam kerumunan. Aku cuma berusaha mendapatkan ponselku kembali, karena aku harus menghubungi pamanku."
Seakan baru saja teringat sesuatu, Sarada menepuk dahinya yang lebar. "Sudah jam berapa ini? Paman dan bibi pasti mencemaskanku, dari tadi aku belum mengabari mereka."
"Jangan takut, Sarada. Kami akan mengantarmu pulang," kata Itachi. "Tapi lebih baik kau menginap di sini dulu karena sudah terlalu malam."
Sasuke langsung menyerang kakaknya dengan mata melotot. Kami, dia bilang? Memangnya siapa yang memutuskan membawa gadis kecil itu ke sini? Sasuke tidak pernah menyatakan persetujuan, tapi tetap saja dia dilibatkan. Kakaknya itu memang suka seenaknya sendiri.
"Kalau begitu, boleh aku pinjam telepon? Aku harus memberitahu bibiku agar mereka tidak cemas menungguku."
Itachi memberikan ponselnya pada gadis kecil itu. Tapi sebelumnya dia berpesan, "Lebih baik kau tidak memberitahu ada di mana kau sekarang. Paman khawatir berita soal kau diselamatkan oleh Sasuke Uchiha si pianis terkenal bocor ke media. Nanti wartawan akan mengepung kita, kau akan kesulitan pulang jika itu sampai terjadi. Dan yang paling Paman khawatirkan adalah pertunjukan Paman Sasuke besok malam akan berantakan kalau itu sampai terjadi. Kau tidak menginginkannya kan, Sarada?"
Gadis kecil itu mengangguk paham, menerima ponsel Itachi dan mulai menekan nomor-nomor.
Dalam hati Sasuke bertanya-tanya. Jika kakaknya tahu apa yang akan terjadi kalau media mengetahui ada gadis kecil yang pingsan di dalam kerumunan penggemar yang menyambut kedatangannya di bandara dan dia sendiri yang membawa gadis kecil itu ke hotel, untuk apa Itachi tetap nekat melakukannya? Padahal jika gadis kecil itu dibiarkan ditangani oleh petugas keamanan bandara, urusannya tidak akan serumit ini. Sasuke mencium sesuatu. Ada yang sedang direncanakan Itachi. Entah apa.
"Hei, Nak. Tadi kau menyebut pesawat. Memangnya di mana rumahmu?" tanya Sasuke setelah Sarada mengembalikan ponsel Itachi dan mengucapkan terima kasih.
"Aku tidak tinggal di sini. Rumahku di Suna."
Sasuke mengerutkan alis, semakin tidak paham. "Lalu untuk apa kau terbang sendirian dari Suna ke Konoha? Itu perjalanan yang jauh, bukan? Bibimu membiarkanmu pergi sendirian? Di mana orangtuamu?"
"Bibiku tidak bisa menemaniku. Dia seorang dokter dan besok ada jadwal operasi usus buntu. Papaku meninggal sejak aku bayi. Dan Mama ... Aku datang ke sini sendirian karena Mama. Sudah hampir dua minggu Mama di sini, menghadiri pertemuan dengan himpunan kepala rumah sakit di Rumah Sakit Sentral Konoha."
"Ibumu seorang dokter?" tanya Sasuke.
Sarada mengangguk. "Lusa adalah hari ulang tahun Mama. Aku ingin memberi Mama kejutan."
Tiba-tiba saja Sasuke merasa seperti ditampar dengan keras di pipi. Bukankah wanita itu juga berulang tahun dua hari lagi? Wanita itu, pemilik mata zamrud yang memesona. Wanita yang rambutnya sewarna nuansa musim semi, merah muda. Bukankah dia juga seorang dokter?
"Sarada, apakah nama ibumu ... Sakura?"
Gadis kecil itu mengangguk. Tampak sedikit bingung menatap Sasuke. "Bagaimana Paman tahu?"
Sasuke Uchiha hanya tersenyum di sudut bibir. Ada banyak simpul dugaan yang tersusun di dalam benaknya.
Bersambung
Catatan Penulis
Cerita ini sebenarnya mau dibikin oneshot. Tapi karena hasil ketikannya hampir 10k words, so saya spare jadi threeshot. Hehe...
Tadinya mau ikut ngeramein Forehaed Poke Celebration. Berhubung canon bukanlah zona nyaman saya, jadinya nulis ini buat ikut ngeramein 1 tahun jadiannya #SasuSaku di kategori AU kesukaan saya *seenak udel* hihi...
Cerita ini juga hadiah buat ulang tahunnya Dian Ucul. Daripada saya malu kasih doi hadiah ff nggak lanjut-lanjut *ngelirik WTDBA*. Semoga kamu suka sama hadiah penggantinya ya, Nyonya Taka xD
Buat kalian, terima kasih udah mampir ;)