HUNHAN FOREVER! HUNHAN FOR LIVE!

.

This fanfiction is highly dedicated for a special event held by HunHan Indonesia.
HUNHAN GIVE AWAY CHALLENGE!

.

.

Aruna Wu presents

.

"E.N.D"

.

HunHan

.

GS – Rated M – Family Life – Hurt/Comfort – Drama – Angst

.

.

Happy Reading! ^^

.

.

.

"Dokter, detak jantung pasien mulai melemah!"

"Segera siapkan Defibrilator1!"

"Baik dok!"

"Dokter, nampaknya pasien memberikan reaksi negatif setelah penyuntikan obat"

"Segera cabut selang oksigennya! pasien mungkin saja memuntahkan darah… dan siapkan suntikan lain dengan dosis lebih rendah"

"Baik dok…"

"Ya Tuhan… tolonglah hambamu ini… selamatkanlah anak ini ya Tuhan… aku mohon…"

"Suster Han, segera siapkan pemasangan pipauntuk mengeluarkan darah kotor pasien"

"Baik dok!"

"Suster Lee, jika darah sudah keluar langsung pantau detak jantungnya kembali!"

"Baik dok!"

"Defiblirator dalam hitungan, satu!"

"Jaehun-ah… bertahanlah sayang…"

.

.

.

"Jaehun-ah…. Hiks…hiks… Jaehun-aaaaahh…."

Seorang bocah laki – laki berusia 7 tahun menangis terisak dipelkukan sang ibu, wajahnya begitu merah dan sekujur tubuhnya dilumuri peluh. Kedua tangan mungil anak itu merangkul erat tengkuk ibunya, dia sangat jelas ketakutan. Tentu saja, saudara kembarannya sedang kritis di dalam ruang ICU.

Ini pukul 1 dini hari, lorong rumah sakit terasa begitu dingin padahal ini musim panas. Ini pukul 1 dini hari yang buruk bagi sepasang anak kembar yang satu dari mereka tengah meregang nyawa dan satunya lagi hampir gila ketakutan. Dan tentu saja, ini juga menjadi pukul 1 dini hari yang sangat buruk bagi kedua orang tua mereka.

Luhan, wanita yang kini memeluk buah hatinya itu merasa telah berhasil menjadi ibu yang paling tak berguna di dunia. Salah satu buah hatinya sedang berjuang ditengah hidup dan mati, dan satunya lagi seperti anak gangguan mental yang sama sekali tak berhenti menangis sejak saudara kembarnya mulai collapse2. Kedua tangan Luhan memeluk erat satu putranya itu seraya mengusap kepala sang anak yang rambutnya sudah basah dan lepek. Meskipun raganya ada disana, namun pikiran wanita cantik itu melayang, pikirannya ingin sekali mendobrak masuk ruang ICU dan melihat keadaan satu putranya yang lain, atau jika diizinkan dia ingin sekali bertukar posisi dengan putranya itu. Bibir mungil Luhan tak henti – hentinya berdoa untuk kembar sulungnya. Penampilan Luhan juga benar – benar kacau. Mata sembab, pipi dan hidung memerah, rambut acak – acakan, dengan pakaian pesta yang masih melekat di tubuhnya. Persetan dengan eyelinernya yang luntur, lipstiknya yang belepotan atau bedaknya yang tak lagi bisa menahan keringat dingin membasahi seluruh pelipisnya.

Berbeda dengan Luhan dan bocah kecil dipelukannya itu, di hadapan mereka seorang pria bertubuh tinggi dengan postur tubuh sempurna tengah berdiri dengan tatapan dingin dan misterius. Dibandingkan panik, pria bermarga Oh itu lebih terlihat tampan, dengan rambut hitamnya yang disisir menyamping, pakaian santai dengan celana jeans dan sneakersnya. Kedua tangannya dia lipat di dada, punggungnya menyandar di tembok rumah sakit dan kaki jenjangnya dia silangkan. Laki – laki itu terlihat sangat cool, mesikpun satu putranya sedang dalam masa kritis dan satunya lagi sudah seperti anak Down syndrome.

Tak satupun kata yang keluar dari Sehun dan Luhan selama hampir 4 jam putra sulung mereka, Oh Jaehun, masuk ke ruang ICU dan putra bungsu mereka, Oh Jaehan, mulai menangis. Hingga rasanya Sehun nampak lelah dan berjalan mendekat menghampiri Luhan dan Jaehan.

"Jaehan-ah… sudah… jangan menangis lagi… jika kau menangis lagi nanti badanmu jadi panas sayang.."

Sehun mengusap rambut lepek putranya dan merampas Jaehan dari pangkuan Luhan. Luhan hanya diam, pandangannya tetap kosong dan tubuhnya terasa lemas, terbukti dari seberapa mudahnya Sehun mengambil Jaehan dari pelukan wanita cantik itu.

"Tapi appa… Jaehun sedang sakit… Jaehun masuk rumah sakit lagi… Hiks.."

Sehun meraup tubuh Jaehan dan menggendongnya ala koala seraya menepuk – nepuk punggung bocah lugu itu.

"Jaehun pasti akan segera sembuh dan kembali bermain bersamamu sayang… ah iya… jika Jaehan menangis terus seperti ini, bagaimana Jaehun bisa kuat? Jaehan tidak lupa kan jika anak kembar punya hubungan batin?"

Sehun kembali bertanya pada putranya dan dibalas anggukan lemah dari Jaehan

"Jika Jaehan sedih dan menangis seperti ini, maka Jaehun akan jadi semakin lemah… bagaimana jika Jaehan berhenti menangis dan mengirimkan kekuatan Jaehan pada Jaehun?"

Jaehan yang mendengar ide brilian itu langsung mengangkat wajahnya dari pundak Sehun dan menatap kedua mata sang ayah yang dia warisi seratus persen.

"Bagaimana caranya?" tanya anak itu polos

"Jaehan bisa mengirimkan kekuatan itu dengan cara… tidur…"

Agak tidak masuk akal memang, tapi demi apapun tidur adalah hal yang dibutuhkan Jaehan saat ini. Akal sehat Sehun tentu masih bisa membayangkan seberapa repotnya dia nanti jika Jaehan juga ikut demam dan sakit, itu bukanlah hal yang jarang terjadi. Faktanya adalah, Jaehan memang sering ikut sakit jika Jaehun sakit.

Dan ajaibnya, 15 menit setelah penawaran itu akhirnya Jaehan tertidur. Sehun segera menuju ke loby rumah sakit dan memesan satu kamar rawat untuk ditiduri Jaehan. Satu kamar rawat VIP dengan dua tempat tidur, jika Jaehun sudah keluar dari ruang ICU maka disanalah dia akan dirawat. Selalu seperti itu jika Jaehun kembali collapse, Sehun akan memesankan ruang rawat VIP dengan dua bed.

"Jae…Jaehan sudah tidur?"

Luhan memberanikan dirinya untuk bertanya pada Sehun yang baru saja kembali dari ruang rawat untuk kembali menunggu kepastian di ruang ICU.

"Sudah" singkat Sehun dan pria tampan itu langsung duduk di bangku kosong samping Luhan

PUK

Sehun menyampirkan cardigan yang dia pakai di bahu Luhan. Ini hampir pukul 2 dini hari dan Luhan masih menggunakan gaun pesta tanpa lengan berwarna merah. Sehun tentu tidak mau jika wanita yang menyandang predikat sebagai ibu dari putra kembarnya itu juga ikut sakit.

Luhan agak kaget dengan perlakuan Sehun padanya, namun wanita cantik walaupun dengan keadaan kusut itu hanya diam, kepalanya terlalu lelah untuk berpikir mau mengatakan apa pada Sehun.

"Dimana ponselmu?" tanya Sehun dengan nada datar, nada datar yang berhasil membuat Luhan ketakutan setengah mati saat ini

"Ponselku mati, lowbat… lalu mati…" jawab Luhan terbata

"Dan kau baik – baik saja meninggalkan HunHan hanya berdua dirumah dengan membawa ponsel lowbat?"

tanya Sehun lagi masih dengan nada datar yang terasa makin dingin. Si kembar Jaehun dan Jaehan memang lebih sering mereka sebut HunHan untuk mempermudah saat menyebut atau memanggil mereka berdua.

"Aku tidak tau jika acaranya akan lama… jadi…"

"Apa kau lupa caranya menghubungiku?" Sehun memandang tajam Luhan namun wanita itu tak sama sekali membalas tatapan Sehun

"Jika kau ada keperluan diluar kau bisa menghubungi aku dan memintaku untuk menjaga HunHan… jangan bilang kalau kau lupa jika aku adalah Appa mereka"

"Sehun-ah… jaebal jangan bahas ini lagi… aku…"

"Kau selalu seperti ini, Lu…"

Sehun memotong kalimat Luhan dan itu membuat Luhan semakin merasa bersalah.

"Setiap kau bersalah dan tidak ada pembenaran yang bisa kau gunakan, kau pasti memaksa untuk tidak membahas masalahnya lagi… tapi jika itu aku, kau akan terus memakiku mungkin juga akan mengungkit kesalahan itu setiap hari"

Luhan tercekat, dia tidak bisa membela dirinya saat ini. Dari apa yang Sehun katakan barusan, Luhan terdengar sangat egois. Luhan memanglah wanita yang seperti itu, lalu Sehun bisa apa? Dia hanya bisa menghela napasnya dan menepuk pelan bahu sempit Luhan

"Aku hanya berharap kau tidak lupa jika sampai kapapun aku tetaplah ayah kandung Oh Jaehun dan Oh Jaehan… jangan merasa berat untuk memintaku datang kepada mereka jika kau tidak bisa ada bersama mereka, aku mohon… jangan hapus posisiku sebagai appa mereka… aku janji tidak akan mengusik kehidupan pribadimu, aku hanya ingin HunHan kita tetap merasa lengkap… punya eomma dan appa…"

Sehun berkata dengan nada lembut kali ini, dan entah asalnya darimana tapi hati Luhan yang sedari tadi ketakutan kini terasa lebih ringan dan nyaman. Sehun selalu bisa membuatnya merasa beribu kali lebih baik ketika dia merasa kesulitan, bahkan sejak mereka pertama kali bertemu 12 tahun yang lalu, saat masih di Senior High School.

"Maafkan aku Sehun-ah… maafkan aku…" lirih Luhan lagi dan kini wajah wanita itu jelas terlihat lebih tenang. Sehun tau itu, sedari tadi Luhan juga sangat takut dimarahi olehnya.

"It's okay… aku akan bersama kalian sampai Jaehun kembali normal" ujar Sehun lembut dan masih menusap pelan bahu Luhan

"Semalam aku tidak meminta bantuanmu karena tempat tinggalmu cukup jauh… dari Gangnam ke Incheon kan perlu waktu yang cukup lama dan aku kira kau pasti sibuk dengan pekerjaanmu jadi aku…"

GEP

Sehun menggenggam tangan Luhan dan membuat wanita itu menatapnya sedikit terkejut dan takut sekaligus.

"Aku tidak keberatan… bahkan jika aku berada di kutub utara sekalipun, dan kau memintaku datang untuk HunHan maka aku akan segera datang… tak peduli aku sedang dalam rapat tender raksasa atau sebentar lagi akan dihukum gantung. Aku tidak akan peduli, aku pasti akan segera datang untuk anak – anakku… dan kau… kau hanya perlu memberitahuku, Lu… aku pasti datang,"

Jantung Luhan berdegup kencang ketika Sehun mengatakan hal itu, sulit dipercaya baginya, seorang Sehun rela meninggalkan pekerjaan untuk menemuinya… ah ralat… menemui kedua buah hati mereka.

Luhan baru saja ingin mengatakan sesuatu namun pintu ruang ICU terbuka dan seorang dokter bertubuh tinggi tegap keluar dari ruangan itu.

Luhan dan Sehun segera berdiri lalu menghampiri sang dokter, "Bagaimana Jaehun?" tanya Sehun segera

"Kondisi Jaehun sudah lebih membaik, detak jantungnya sudah lebih stabil dan tidak ada masalah lainnya… mungkin untuk pemulihan dia harus di rawat paling tidak 3 sampai 5 hari lalu setelah itu Jaehun bisa pulang" ujar dokter tampan dengan alis tebal itu dengan sedikit senyum

Sehun dan Luhan menghela napas panjang bersamaan, mereka tentu sangat lega mendengar apa yang dokter tampan itu katakan barusan

"Sudah… jangan khawatir… Jaehunie baik – baik saja.." dokter itu mengusap bahu Luhan dan sedetik kemudian,

Luhan memeluk sang dokter dan menangis terisak, dokter itu perlahan tersenyum lalu balas memeluk Luhan yang menangis tersedu di dalam pelukannya.

"Aku bingung, aku takut terjadi sesuatu pada Jaehun… aku ceroboh, aku salah, aku tidak seharusnya meninggalkan mereka hanya berdua di rumah… hiks…"

Luhan terus meracau dan sang dokter tampan mempererat pelukannya lalu mengusap kepala belakang Luhan dengan lembut,

"Sudahlah… ini bukan salahmu… kau tentu tidak tau jika Jaehun akan collapse kan? Lain kali kau bisa menghubungiku untuk menjaga mereka jika kau sibuk" ujar dokter tampan itu dan memeluk Luhan lebih erat.

Kedua mata Sehun menyipit saat melihat adegan itu tepat di depan matanya. Luhan, mantan istrinya dipeluk oleh seorang dokter yang baru saja menyelamatkan nyawa anaknya, seorang dokter yang kini menyandang status sebagai kekasih mantan istrinya. Sehun semakin merasa dipecundangi oleh kenyataan, dia semakin terlihat seperti seorang pecundang yang tak bisa berbuat apapun untuk mantan istri yang demi Tuhan masih dia cintai itu dan terlebih untuk kedua buah hatinya, terutama Jaehun.

Sehun memilih pergi dari sana, dia tau, tidak ada gunanya tetap berdiri disana dan melihat pemandangan yang melukai mata, hati dan pikirannya. Bukannya dia tidak peduli dan tidak mau melihat Jaehun tapi… entahlah… rasanya dokter tampan bernama lengkap Wu Yifan itu lebih cocok ada disamping Jaehun saat ini. Selain karena Yifan adalah kekasih eomma mereka yang suatu hari nanti mungkin saja akan menjadi sosok ayah baru bagi kedua buah hatinya, lelaki blasteran China – Canada itu juga seorang dokter yang tau betul tentang kondisi putranya. Yah… Jaehun ada di tangan ibunya dan orang yang tepat. Jadi untuk apa Sehun masih diam disana?

Sehun merasa lebih baik dia pergi keruang rawat dan menjaga Jaehan, anak itu memang sehat, tapi dia sendirian. Sehun tak mau semakin jadi pecundang dengan membiarkan bungsu kecilnya tidur sendirian di kamar rumah sakit.

Lelaki bermarga Oh yang terlihat sangat tampan di usianya yang baru saja menginjak 25 tahun itu masuk ke ruang rawat dimana Jaehan terbaring damai di salah satu bed di kamar itu. Sehun menarik sudut bibirnya dan menciptakan smirk kecil ketika melihat betapa miripnya cara Jaehan tidur dengan dirinya. Satu kaki di tekuk, kedua tangan terangkat, kepala yang tak pernah nyaman dengan bantal dan selimut yang berserakan.

Sehun berjalan perlahan lalu menarik sebuah kursi untuk nya duduk di sebelah Jaehan, setelah puas tersenyum geli melihat kebiasaan tidur sang buah hati, Sehun lalu sedikit merapikan selimut Jaehan yang sudah tak beraturan letaknya.

"Bahkan saat tidurpun kau tidak bisa tenang… kau memang anak appa!" bisik Sehun dan kembali tersenyum

Melihat wajah damai Jaehan, mau tidak mau dia kembali merasa bersalah, kembali mengutuk kebodohannya, kembali memaki kesalahannya lima tahun yang lalu.

Banyak yang bilang usia belasan adalah usia yang labil, tapi sebenarnya usia ke 20 adalah usia yang paling menakutkan, usia 20 adalah titik puncak kelabilan seorang yang beranjak dari remaja ke dewasa. Usia dimana semua emosi kadang tak bisa dibendung dan tentu saja, saat itu Sehun belum siap menahan semua beban dan tekanan yang dia dapat di usia 20 tahun.

Sehun dan Luhan menikah karena Luhan telah mengandung buah cinta mereka. Sehun sangat mencintai Luhan, begitu pula Luhan, Sehun yang berada di tingkat dua Senior High School menghamili kekasihnya yang tak lain adalah kakak tingkatnya sendiri. Untung saat itu Luhan baru saja lulus sekolah ketika dia tau dia mengandung buah cintanya dengan Sehun.

Mereka menikah saat usia kandungan Luhan menginjak 4 bulan, di musim panas bulan agustus 7 tahun yang lalu. Semua berjalan mulus, Sehun dan Luhan menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik meskipun Sehun masih harus ikut Homeschooling karena orang tua Sehun tak mau menganggung lebih banyak malu setelah anak kebanggaan mereka didrop out dari sekolah yang lama. Sehun berasal dari keluarga yang serba berkecukupan, begitu pula dengan Luhan, kedua orang tua mereka tentu mampu menyokong kehidupan mereka lengkap dengan dua jabang bayi yang ada di kandungan Luhan saat itu.

Di bulan Januari, tepat di tanggal 10, Sehun dan Luhan sah menjadi orang tua dari sepasang bayi kembar yang mereka berinama Oh Jaehun dan Oh Jaehan. Tapi kebahagiaan mereka sedikit terganggu dengan kenyataan bahwa salah satu dari putra kembar mereka mengalami kelainan pada jantungnya. Ya… Oh Jaehun terlahir dengan kelainan jantung bawaan yang sering disebut dengan Tetralogi of Fallot (TOF)3dan harus mengalami perawatan intensif sejak 3 jam dia dilahirkan, Jaehun juga memiliki tubuh yang ringkih dan mudah terserang virus dan penyakit, memiliki beberapa macam alergi dan anak itu juga lebih kurus dari kembarannya. Sementara Oh Jaehan? Walaupun dia terlahir 10 menit setelah kembarannya, anak itu terlahir sangat sehat dan sempurna. Berat badannya memuaskan dan kondisinya sangat baik.

Sehun dan Luhan menjalani hari – hari mereka sebagai sepasang orang tua di usia muda dengan banyak tantangan. Mengurus anak kembar tentu 2 kali lipat lebih sulit dariapa mengurus seorang bayi saja, terlebih lagi salah satu dari bayi kembar mereka memiliki kondisi tubuh yang tidak biasa. Sehun dan Luhan menghabiskan banyak waktu dan tenaga mereka untuk menjaga, merawat dan mengasuh kedua buah hati mereka, belum lagi jika Jaehun mendadak collapse. Jika Jaehun collapse maka Jaehan sang kembaran pasti juga ikut sakit, entah itu demam, flu atau radang yang jelas Sehun dan Luhan selalu disibukkan dengan semua hal itu.

Sebagai orang tua, tentu Sehun dan Luhan tidak keberatan melakukan itu semua. Demi Tuhan mereka menyayangi kedua putra mereka apapun keadaannya, mereka berduapun saling mencintai. Tapi tetap saja, usia mereka belum matang untuk menerima semua tekanan itu. Tentu ada pertengkaran – pertengkarang kecil yang menghiasi pernikahan mereka, namun itu semua bisa diredakan oleh tawa putra kembar mereka dan cinta mereka. Sehun adalah tipikal lelaki sabar dan tak banyak menuntut, sangat cocok untuk Luhan yang lebih emosian, agak cerewet dan cukup mengatur. Hal itu Sehun rasa wajar karena Luhan adalah seorang wanita, dan mereka sudah punya anak.

Semuanya mungkin akan baik – baik saja jika mereka menjalani itu ketika mereka sudah lebih dewasa. Tidak di usia 18 dan 19 tahun. Sehun dan Luhan, keduanya dituntut untuk tetap berkuliah oleh kedua orang tua mereka. Orang tua Sehun dan Luhan memang memberikan support financial pada keluarga kecil anak – anak mereka namun selebihnya mereka tidak peduli, tak satupun kakek atau nenek dari kembar lucu itu peduli pada mereka. Bahkan sejak HunHan dilahirkan, nenek dan kakek mereka tak pernah sekalipun menjenguk, bahkan sekedar menelpon untuk bertanya apa kabar sang cucu saja tak pernah. Mungkin itu sebuah bentuk hukuman atau selebihnya mereka memang tidak peduli, entahlah.

Menjalani kehidupan kuliah dengan dua orang anak membuat Sehun dan Luhan makin sering bertengkar, mereka semakin tertekan dan dua bulan setelah ulang tahun HunHan yang ke dua, Sehun melayangkan gugatan cerai untuk Luhan. Sehun ingin menceraikan Luhan dan Luhan menerima perceraian itu tanpa sekalipun mau bermediasi. Sehun tak peduli apapun, Sehun sudah lelah dengan semua tekanan yang dia dapat saat itu, bahkan tak sedikitpun dia meminta hak asuh anak dari Luhan. Si bodoh Oh Sehun saat itu hanya menyanggupi untuk tetap memberikan dukungan financial pada HunHan. Itu saja.

Muda, bodoh, labil dan tertekan. Itulah Oh Sehun di usianya yang ke 20.

Berbeda dengan Sehun di usia ke 25nya kini. Oh Sehun di usia ke 25 adalah Oh Sehun yang dewasa, cerdas, mapan, stabil dan penuh penyesalan. Lama Sehun merenungkan penyesalannya sampai dia tak sadar telah jatuh tertidur dengan setengah badannya tertelungkup di tempat tidur Jaehan.

.

.

.

E.N.D
(Ex-Husband Next Door)

.

.

.

Chaper 1: Our 'APPA'

"Berapapun usianya, kesalahan apapun yang telah dia lakukan, berapapun banyaknya waktu yang telah dia buang… seorang ayah tetaplah ayah"

.

.

.

Semalaman itu, Luhan sama sekali tidak memejamkan mata. Wanita cantik itu masih setia memandang tubuh putranya terbaring lemah di tempat tidur dengan berbagai macam alat, selang infuse dan selang oksigen di tubuhnya. Hati Luhan sangat perih melihat itu semua, bagaimana bisa tubuh mungil dan ringkih Jaehun menahan sakitnya, betapa putranya itu pasti lelah dengan semua ini. Oh Jaehun memang terlahir dengan kondisi fisik yang tidak sesempurna Oh Jaehan, namun dari segi kematangan emosi entah bagaimana Jaehun memang jauh lebih dewasa dari Jaehan. Tidak hanya itu, otak Jaehun benar – benar encer, anak itu nampaknya mewarisi isi kepala sang ayah walaupun wajahnya sendiri lebih mirip Luhan, terutama dua mata rusa anak itu, seratus persen mata Luhan.

Ceklek

Suara pintu ruang ICU terbuka dan seorang dokter tampan masuk ke dalam ruangan itu dengan senyum teduhnya.

"Ganti bajumu dulu Lu… barusan aku membelikannya untukmu… maaf hanya ada yang seperti ini di dekat sini"

Yifan menyerahkan sebuah paper bag kepada Luhan dan wanita itu baru tersadar jika dibalik pakaian khusus ICUnya dia masih hanya menggunakan pakaian pestanya kemarin dan… cardigan Sehun.

"Aku tidak ingin meninggalkan Jaehun…" lirih Luhan tanpa memandang Yifan yang kini sudah menggunakan sarung tangan karetnya

"Jaehun akan baik – baik saja Lu… aku rasa detak jantungnya sudah sangat normal… dia hanya tertidur karena lelah pasca penanganan tadi"

Yifan berkata seraya mengecek luka di sudut bibir Jaehun dimana sebuah pipa dimasukkan untuk menyedot darah kotor agar tidak bercampur dengan darah bersihnya di jantung.Selang oksigen masih belum dilepaskan dari hidung mancung Jaehun yang Yifan tau itu diwarisi dari sang ayah.

"Jaehun adalah anak yang kuat… dia selalu berhasil bertahan selama ini dan itu luar biasa"

Yifan mengelus lembut kening Jaehun yang mulai berkeringat, satu tanda bahwa aliran oksigen di tubuh mungil itu sudah lebih membaik.

"Yifan-ah…"

"Ng?"

"Apakah… apakah Jaehunku akan terus menerus seperti ini?"

Sebulir air mata kembali jatuh di pipi Luhan tepat setelah kalimat tanya itu terucap dari bibir mungilnya. Mata elang dokter tampan itu langsung memandang tajam kekasihnya, kekasih yang tak lain adalah ibu dari pasien kecilnya. Itu bukanlah perntanyaan pertama Luhan, wanita cantik itu sudah berulang kali menanyakan hal yang sama pada kekasihnya, kekasih yang tak lain adalah dokter dari putra kecilnya.

"Dia akan sembuh Lu… Jaehun pasti akan sembuh,"

"Kapan? Jadi sampai kapan dia akan terus menderita seperti ini?" lirih Luhan sambil menghapus kasar jejak air mata di pipinya.

Yifan berjalan mendekat kearah Luhan, pria itu langsung berlutut di hadapan kekasihnya dan membantu sang kekasih menghapus air matanya.

"Saat ini usia Jaehun masih sangat muda, organ dalam tubuhnya masih belum stabil, jadi… kami para medis masih belum berani mengambil keputusan lebih lanjut"

Yifan menjeda kalimatnya lalu menggenggam erat tangan Luhan.

"Tapi aku bisa pastikan… Jaehun akan sembuh dan tumbuh dewasa bersama kita…"

.

"bersama kita"

.

Luhan tersadar ketika mendengar dua kata terakhir Yifan, bersama kita,

"Kita…?"

Luhan mempertanyakan dirinya sendiri, kita… satu kata yang amat sangat tak dimengerti Luhan. Entah kenapa, kata kita yang baru saja didengar Luhan seperti sebuah ikatan yang tak terlihat dan langsung mengikat dirinya dan pria di hadapannya ini bersama. Dan itu… rasanya sangat sesak bagi Luhan.

"Aku akan melihat Jaehan… Jaehan… harus sekolah hari ini"

Luhan melepaskan genggaman tangan Yifan padanya dan segera berdiri. "Aku titip Jaehun padamu" ujarnya lalu pergi tanpa peduli kalimat Yifan setelah itu,

"Ganti bajumu dulu, Lu…"

.

.

.

Ini jam 6 pagi, dengan naluri alami tubuh kecil berpiama biru muda dengan taburan gambar domba putih itu terbangun. Senyumnya merekah walau matanya belum sepenuhnya terbuka, hal yang paling membahagiakan untuk Jaehan adalah melihat sang ayah ada disampingnya saat dia baru bangun. Ini kejadian langka, sangat langka mengingat sang ayah sudah tak lagi tinggal bersamanya, kembarannya dan ibunya dibawah atap yang sama sejak dia berusia 2 tahun 2 bulan.

"Appa…"

Jaehan memanggil lelaki yang tertidur dihadapannya dengan lembut, namun yang dia panggil tak kunjung bangun. Jaehan yang baru berusia 7 tahun itu dapat melihat, betapa lelah wajah sang ayah saat ini. Mata Jaehan yang seratus persen mata Sehun itu mengedip beberapa kali sebelum dia kembali memanggil ayahnya.

"Appa….ayo bangun… appaaaa…"

Tak berselang lama Sehun pun bangun dari tidurnya dan menampilkan senyum penuh kasih sayangnya pada sang buah hati, meskipun mata sipitnya juga belum sepenuhnya terbuka. Jaehan ikut tersenyum lalu duduk diatas tempat tidur rumah sakit yang dia tiduri.

"Kenapa Jaehan bangun? Apa Jaehan mimpi buruk?"

Sehun mengusap kepala Jaehan yang rambutnya tak lagi selepek kemarin.

"Tidak… Tapi kan ini sudah pagi appa…" ujar Jaehan seraya mengucek matanya

Sehun segera mengecek arloji mahal di pergelangan tangan kanannya dan melihat jarum pendek di angka 6 yang diikuti jarum panjang di angka 2.

"Ah… maaf… appa kira ini belum pagi" ujar Sehun jujur

"Bagaimana dengan Jaehun?" anak itu bertanya setelah puas mengucek dua mata sipitnya.

"ah… Jaehunie… dia baik – baik saja sayang… hanya perlu sedikit pemulihan lalu dibawa ke ruang rawat" jawab Sehun masih dengan senyum tenangnya

"Lalu kapan Jaehunie boleh pulang?" anak itu kembali bertanya dengan tampang imut

"Segera sayang… segera… ah iya… Oh Jaehan…"

"Ne Appa.."

"Sampai kapan kau akan memanggil Jaehun seperti itu? Dia kan lebih tua darimu… kau seharusnya memanggil Jaehun dengan sebutan hyung"

Sehun memberikan mimic wajah yang tenang tapi tegas untuk menekankan satu nilai tradisi orang Korea, menghargai yang lebih tua, walaupun hanya 10 menit lebih tua.

Untuk memutuskan apakah dia akan memanggil Jaehun dengan sebutan hyung atau tidak, Jaehan nampak berpikir cukup keras. Namun tak lama kemudian wajah imut putra bungsunya itu kembali tersenyum.

"Aku akan memanggilnya hyung jika dia sudah sembuh nanti" ujar anak itu

"Benarkah?" Sehun bertanya dengan wajah yang dibuatnya imut dan itu dijawab dengan anggukan oleh putranya.

"Jaehanie janji akan memanggil Jaehunie dengan sebutan hyung?" Sehun bertanya lagi dengan nada yang sama imutnya

"Janji… janji sesama namja" Jaehan memberikan kepalan tangannya pada sang ayah, Sehun tersenyum sebentar lalu menyambut kepalan tangan itu dengan kepalan tangan miliknya, "Janji sesama namja"

Keduanya lalu saling tersenyum dan saling menatap satu sama lain.

"Appa tau tidak?"

"Ng?"

"Hari ini Jaehan sangaaaat bagahagia!"

"Bahagia? Kenapa?"

"Karena saat Jaehan bangun, Jaehan langsung bisa lihat appa"

Senyum merekah di wajah Sehun perlahan berubah sendu, lagi, sesuatu didalam hatinya terasa sangat menusuk dan mengganggu. Lebih tepatnya, perasaan bersalah dan penyesalan Oh Sehun di usia ke 25 ini kembali menggerogoti hati dan jiwanya. Well… entah Sehun harus bahagia dengan fakta bahwa Jaehan bahagia karena bisa melihatnya saat anak itu terbangun atau Sehun harus sedih dengan fakta bahwa dia memang jarang sekali bahkan hampir tidak pernah ada untuk putra kembar kesayangannya.

"Benarkah?"

Hanya sebuah perntanyaan singkat dengan nada lirih yang coba Sehun sembunyikan dan ditambah sedikit senyum dipaksakan itu yang bisa Sehun berikan sebagai balasan dari pengakuan sang anak.

"Iya… benar. Jaehunie juga pernah bilang kalau dia ingin melihat Appa setiap dia baru bangun tidur" ujar sikecil lagi dengan nada riangnya.

"Maaf…"

"Ng? Kenapa Appa minta maaf?"

"Maaf karena Appa tidak pernah ada bersama kalian…"

Jaehan mengedipkan matanya beberapa saat dan memandang kedua mata Sehun yang dia warisi itu dengan seksama.

"Appa kan bisa ikut tinggal di rumah bersama kami dan eomma"

Si kecil berbibir tipis itu memberi solusi paling brilian menurutnya, solusi yang membuat Sehun semakin ingin membenturkan kepalanya di lantai saat ini. Sehun tidak mengerti harus menjawab apa, bagaimana dia bisa menjelaskan apa arti kata 'perceraian' pada bocah lugu ini. Sehun tentu sadar jika kedua putra kembarnya sudah tau jika kedua orang tua mereka sudah berpisah, dan di usia 7 tahun anak – anak jaman sekarang pasti sudah mengerti arti kata perceraian, belum lagi Jaehun dan Jaehan juga sudah tau jika eomma mereka punya hubungan dekat yang lebih dari sekedar teman dengan seorang dokter yang menangani kesehatan Jaehun. Tapi… untuk menjelaskan itu semua kepada darah dagingmu sendiri, itu sama dengan Sehun telah bersukarela mencabik – cabik perasaannya sendiri.

Dan di sisi lain, Luhan yang ternyata ada di ambang pintu sedari tadi mulai menangkap sinyal 'perlu bantuan' dari arah mantan suaminya. Ya, Luhan tau jika Sehun tak akan pernah bisa menjelaskan keadaan mereka saat ini pada si kembar. Selama ini selalu Luhan lah yang turun tangan menjelaskan semuanya pada anak – anak mereka.

"Yaa… Oh Jaehun… cepat siap – siap! Hari ini kau harus tetap sekolah!"

Luhan menerobos masuk dan meraup Jaehun dari atas tempat tidur.

"Tidak… Jaehun belum sembuh…" rengek anak itu.

"lalu apa hubungannya denganmu?" tegas Luhan

"Sekolah tidak asik tanpa Jaehun" ujar sang anak dengan bisikan yang dia sendiri tau kalau kedua orang tuanya bisa mendengar itu.

"No way! Kau tetap harus pergi ke sekolah!" Luhan menatap sang bungsu dengan tatapan tak mau dibantahnya

"Eommaaaaa…"

Dan si kecil masih terus berusaha merengek.

"Bagaimana jika Appa yang mengantar Jaehan sekolah?"

Luhan dan Jaehan menatap kearah Sehun bersamaan.

"ASSIIIIK!" / "TIDAK!"

Namun ibu dan anak itu mengeluarkan reaksi yang berbeda.

"Kenapa tidak?" tanya Sehun dan Jaehan bersamaan

"Ka… karena… Appamu pasti sibuk sayang, jangan menyusahkan Appa begitu…" bujuk Luhan lalu kembali mengalihkan perhatiannya

"Appa tidak sibuk…"

"Ya… aku tidak sibuk…"

"Jaehan mau ke sekolah kalau diantar appa!" rengek anak itu dengan sedikit mengancam

"Oh Jae…"

"Biar aku yang menyiapkan Jaehan sekolah… kau temani saja Jaehun disini, Jaehun pasti butuh eommanya"

Sehun memotong perkataan Luhan dengan alasan yang tepat, namun Luhan kembali mencari alasan untuk menolak tawaran itu.

"Tapi aku juga harus mengambil beberapa kebutuhan Jaehun selama di rumah sakit, baju ganti untukku dan…"

"Aku akan mengambilkannya untukmu…"

Sehun memotong perkataan Luhan lagi.

"Ti…"

"Lu… Jaehun sudah siuman, ah maaf aku pikir hanya ada Luhan di sini…"

Yifan masuk tanpa mengetuk pintu dan mendapati Sehun dan Luhan tengah saling menatap dengan Jaehan yang berada di pelukan Luhan menatap kedua orang tuanya bergantian.

"Tidak apa – apa hyung… aku juga akan segera keluar untuk mengantar Jaehan pulang lalu sekolah" ujar Sehun dengan senyum manisnya.

"Jadi…. Boleh aku minta kunci rumah?" Sehun mengambil Jaehan yang tengah kegirangan karena dia benar – benar akan diantar ayahnya ke sekolah lalu pria tampan bermata sipit itu menadahkan tangannya di adapan Luhan

"Ini… dan… barang – barang yang kami butuhkan…"

"Aku tau… aku permisi dulu,Jaehan-ah beri salam pada paman dokter,"

"Annyeonghaseo paman dokter… Jaehan pulang dan sekolah dulu… titipi Jaehunnie yaa…"

Dan tak menunggu jarum jam lebih banyak bergerak, Sehun langsung pergi dan menginjak pedal gas mobilnya menuju ke rumah. Rumah yang ditinggali oleh Luhan dan kedua putranya saat ini, rumah yang berasal dari pemberian orang tua Sehun sebagai 'hadiah' pernikahan mereka dulu. Rumah yang sampai saat ini sama sekali tidak berubah dari segi bentuk. Setidaknya itu menurut Sehun ketika dia sampai di depan rumah itu.

"Appa beri waktu 20 menit untuk mandi dan bersiap… GO!"

Sehun menepuk bahu Jaehan ketika mereka baru memasuki ruang tamu. Sehun tersenyum geli sendiri ketika Jaehan dengan lincahnya menuruti apa yang dia perintahkan, berlari sekencangnya menuju ke kamar dan dengan jelas Sehun bisa mendengar Jaehan menyalakan shower dan berteriak nyaring akibat kedinginan.

Sehun berjalan menuju dapur untuk membuatkan Jaehan sarapan, masih ada 1 jam 15 menit tersisa, sedikit sarapan sehat akan jadi sempurna untuk mengawali hari dengan putranya itu. Sehun membuka lemari es dan seketika mata tajam itu menyipit. Lemari es yang ukurannya cukup besar itu bisa dikatakan kosong, ya… hanya ada tumpukan kotak – kotak kimchi kosong, kotak – kotak makanan yang juga kosong, bungkus sosis dan nugget yang sudah lagi tak ada isinya, buah – buahan dan sayur yang mulai keriput, sekotak ice cream yang isinya tinggal setengah dan… sekotak agar – agar beku. Beruntung masih ada sekotak susu murni di sana, dan begitu Sehun mengambil kotak susu itu, mata sipitnya langsung melebar, susu itu sudah kadaluarsa.

Sehun mengerutkan keningnya dan berpikir keras, bagaimana sebenarnya Luhan membesarkan anak – anak mereka, apa yang si kembar makan selama ini, bagaimana isi kulkas sebuah rumah yang ditinggali dua anak tampan dalam masa pertumbuhan bisa semengenaskan itu. Beruntung Sehun tidak menemukan botol beer atau soju di dalam kulkas, jika Sehun menemukan itu, maka dia akan benar – benar mempertanyakan kemampuan Luhan menjadi pemegang hak asuh.

Sehun membuka salah satu lemari pantry dan menemukan sekaleng susu bubuk dan sekotak sereal instan. Sehun menghela napas guna menenangkan hatinya. Tanpa ada yang perlu menjelaskan padanya, Sehun sendiri sudah mengerti, sarapan macam apa yang anak -anaknya makan setiap pagi.

Dengan berat hati dan dipenuhi oleh pikiran, 'lebih baik makan ini atau tidak sarapan sama sekali', akhirnya Sehun menghangatkan air dan menyiapkan semangkuk sereal untuk Jaehan. Berulang kali Sehun memijat pelipisnya ketika mendapati seberapa 'rapi' dapur seorang ibu tunggal beranak dua itu. Panci – panci bekas memasak saling menumpuk satu sama lain di bak cuci piring, sampah makanan yang menumpuk di tong sampah dan tentu saja, dapur rumah itu tidaklah sehat, setidaknya itu menurut pandangan Sehun.

"Hmm… pantas saja kau tidak mau aku datang ke rumah… ternyata kau masih seberantakan ini"

Sehun tersenyum sambil merapikan meja makan dan meletakkan susu beserta sereal yang akan dimakan Jaehan. Setelah selesai dengan acara 'mari jadi ayah yang baik', Sehun berniat untuk mengecek keadaan Jaehan di kamarnya. Well… meskipun Sehun tidak tinggal seatap dengan anak – anaknya, tapi percayalah, Ayah dua anak itu tau betul kebiasaan kedua putranya, apalagi Jaehan, sikapnya sama manja dan kekanakannya seperti sang ibu.

"Jaehan-ah… kau sudah siap?"

Sehun masuk ke dalam kamar bernuansa biru muda dengan ukuran 4 meter persegi itu dan mendapati putranya sedang duduk di pinggiran ranjang dan memandangi sepatunya yang tak terikat.

"Appa…."

Jaehan mengerutkan keningnya dan menatap sang ayah dengan penuh harap.

"Ya?" jawab Sehun pura – pura tidak tau.

"Aku tidak bisa mengikat tali sepatuku…" ujar Jaehan ditambah cengiran lucunya

Sehun tersenyum tipis lalu berjalan mendekati Jaehan yang benar – benar tidak tau bagaimana cara mengikat tali sepatu. Sehun berlutut di hadapan Jaehan lalu mengambil kedua tali di sepatu kanan Jaehan. Sehun sudah berniat untuk mengikatkannya langsung untuk Jaehan, tapi… setelah dipikir – pikir daripada memberikan ikan pada anak yang lapar, bukankah lebih baik mengajari anak itu cara memancing, iya kan?

Sehun lantas duduk di sebelah Jaehan dan melepaskan tali sneakersnya sendiri.

"Kita mulai dari yang kanan! Pengang kedua talinya seperti ini" Sehun memberikan contoh pada Jaehan dan Jaehan mengikuti apa yang ayahnya lakukan pada sepatu kanannya. Begitu juga dengan sepatu kirinya.

Namun begitu Jaehan mencoba bangun dari duduknya, Sehun menarik pergelangan mungil Jaehan dan membuat anak itu terduduk kembali. Jaehan yang tak mengerti hanya diam saja, sampai dia sadar jika saat ini sang ayah sudah melepas kedua simpul tali sepatunya.

"Appa… kenapa dilepas lagi?" protes Jaehan

"Sekarang… coba Jaehan lakukan sendiri tanpa contoh dari Appa"

Butuh waktu selama 15 menit bagi Jaehan agar anak itu mahir menyimpul, membuka dan menyimpul kembali tali sepatunya. Sehun tidak melakukan itu dengan tujuan membuang – buang waktu, tapi menurut Sehun, hal – hal mendasar seperti mengikat sepatu harus diajarkan kepada anak dengan penuh kesabaran dan ketelitian.

"Okay! Sekarang Jaehan sudah bisa mengikat sepatunya sendiri! Manse!" Sehun mengangkat kedua tangannya

"Mansee!" sambut Jaehan tak kalah bersemangat

"Ayo! Sekarang kita sarapan!"

Yah… berapapun usianya, kesalahan apapun yang telah dia lakukan, berapapun banyak waktu yang telah dia buang… seorang ayah tetaplah ayah. Ayah juga punya naluri untuk mendidik dan menyayangi anaknya. Tak terkecuali, Oh Sehun.

.

.

.

"Taeoh-ah!"

Jaehan langsung berlari menuju seosok anak laki – laki setinggi dirinya begitu Sehun membuka pintu mobil. Sehun yang merasa aneh dengan gelagat sang anak, kini melihat bahwa Jaehan tengah menarik lengan anak berhidung tak terlalu mancung itu ke arahnya.

"Taeoh-ah… ini Appaku! Appaku dan Jaehun!" Jaehan menunjuk kearah Sehun dengan bangganya, dan itu membuat Sehun merasa ada pelangi yang muncul diatas kepalanya saat itu juga. Dia sangat bahagia. Dia bahagia melihat seberapa bangganya Jaehan memperkenalkan dirinya sebagai 'Appaku dan Jaehun'.

"Annyeong Taeoh-ah!" ujar Sehun melambai imut pada anak di samping anaknya.

Si kecil bernama lengkap Kim Taeoh itu langsung memberi hormat dan memperkenalkan dirinya dengan sopan kepada Sehun, tapi bukan itu yang Sehun perhatikan, Sehun terus memperhatikan seberapa bangganya Jaehan bisa memperkenalkan dirinya dihadapan temannya. Seandainya Jaehun ada disini, ya… seandainya anak itu juga disini, pasti kebahagiaan Sehun senantiasa dikali menjadi dua.

"Masuklah… bel sekolah sudah berbunyi" Sehun berjongkok dihadapan Jaehan seraya mengusap kepala Jaehan dengan lembut, terpancar aura seorang ayah yang kental dari tubuhnya.

GREB

Jaehan memeluk erat ayahnya, seerat – eratnya yang dia bisa lalu berkata, "Terimakasih Appa! Hari ini Jaehan benar – benar bahagia!"

"Bahagia?"

"Ng!" Jaehan menganggukkan kepalanya mantap

"Kenapa?"

"Karena hari ini… begitu Jaehan bangun, Jaehan langsung bisa lihat Appa. Karena hari ini… Jaehan bisa mengikat tali sepatu Jaehan sendiri karena diajari Appa. Karena hari ini… Jaehan makan sereal yang disiapkan Appa. Karena hari ini… Jaehan sekolah diantar Appa. Dan karena hari ini…"

Jaehan menggantung kalimatnya, dan itu membuat jantung Sehun berdegup kencang.

"Karena hari ini akhirnya Jaehan bisa mengenalkan Appa Jaehan pada teman Jaehan! Walaupun tidak semuanya, tapi Taeoh saja sudah cukup, hehehehe"

Mata tajam Sehun memanas namun kedua telapak tangannya berubah sangat dingin dan sedikit gemetar. Apa yang baru saja Jaehan katakan, menyadarkan dirinya bahwa posisinya masih diharapkan, bahwa dirinya masih memiliki tempat dihati buah hatinya, meski hanya Jaehan saat ini, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk Sehun.

.

.

.

"Ommo! Kau… ayahnya si kembar kan?!"

Seorang wanita berusia sekitar 40 tahun tetapi masih terlihat cukup elegan menghampiri Sehun ketika Sehun sedang menyusuri rak – rak sayur mayur di sebuah Supermart dekat areal perumahan yang ditinggali Luhan.

"Ne?" Sehun malah balik bertanya dengan tatapan tak mengertinya.

"Ah benar! Kau ayahnya Jaehun dan Jaehan! Lama tak bertemu kau makin tampan saja ya…" wanita itu malah menepuk bahu Sehun dan Sehun membalasnya dengan anggukan ramah dan senyum manisnya

"Aku adalah tetanggamu, aku tinggal tepat di sebelah rumahmu… jangan bilang kau melupakanku!" wanita itu mencoba membuat Sehun ingat

"Apakah anda… Nyonya Jeon? Eommanya Jongkookie?"

"Akhirnya kau ingat juga!"

"Ah… maafkan aku… aku tidak bermaksud untuk lupa pada anda… tapi…"

"Yaah… wajar kau tidak mengingatku, aku melakukan sedikit perubahan pada hidungku.." ujar wanita cantik dan elegan itu dan kembali menepuk lengan Sehun

"Sekali lagi maafakan aku, Jongkookie eomma.." Sehun membungkuk lalu tersenyum canggung

"Dimana kau tinggal sekarang? Apa kau akan berkunjung ke rumahmu?" tanya Nyonya Jeon pada Sehun

"Sekarang aku tinggal di Incheon, aku mendirikan sebuah perusahaan properti bersama rekanku di sana… Dan… daripada berkunjung, mungkin lebih tepat jika akau bilang, aku sedang membantu Luhan untuk mengurus rumah dan Jaehan.."

"Apa Jaehun sakit lagi?"

"Iya… kemarin ketika aku ingin mengunjungi anak – anak, aku mendapati Jaehan sudah menangis sementara tubuh Jaehun sudah melemas… untung saja aku datang tepat waktu.."

Sehun menelan ludahnya sendiri, menolak ingatannya tentang apa yang terjadi kemarin.

"Benarkah? Lalu dimana Luhan? Maafkan aku, pasti Jaehan sempat ke rumahku tapi tidak ada orang… lalu bagaimana keadaan Jaehun?"

"Jaehun baik – baik saja…" jawab Sehun singkat dengan senyum datar

"Hmmm… aku jadi tidak enak pada Jaehan dan Luhan…" lirih Nyonya Jeon dengan wajah cemas

"Kenapa anda merasa tidak enak?" Sehun kembali bertanya

"Biasanya Luhan menitipkan Jaehun dan Jaehan padaku jika dia terpaksa lembur atau ada acara hingga larut malam… tapi… aku sekeluarga harus pindah ke Jeju, dan kami… akan menjual rumah itu.."

"Anda akan menjualnya?"

"Ya… karena kami tidak akan kembali ke Seoul.."

"Ah… begitu…"

Nyonya Jeon tersenyum tipis melihat Sehun yang kini tampak memikirkan sesuatu.

"Tapi aku belum menemukan siapa yang akan membeli rumah itu" ujar Nyonya Jeon dengan nada penuh harap, wanita paruh baya itu mencoba memberi kode tersembunyi pada Sehun namun nampaknya duda dua anak itu tak menangkap apa maksud Nyonya Jeon mengatakan itu padanya

Nyonya Jeon kembali menghela napasnya kemudian memberikan sebuah kartu nama berisi nama Nyonya Jeon lengkap dengan kontak wanita itu pada Sehun.

"Kau kan bekerja di perusahaan properti, jika kau punya kenalan yang mau mencari rumah… bisakah kau menawarkan rumahku juga?"

"Eh? Ah… iya Nyonya Jeon… nanti saya akan kabarkan kepada rekan – rekan yang lain." Sehun mengambil kartu nama itu dan langsung mengantonginya

"Kalau begitu, aku permisi dulu ya… salam untuk Jaehun, semoa dia cepat sembuh…"

"Ya, terimakasih nyonya Jeon"

.

.

.

Sehun memarkir mobilnya di halaman sempit rumah yang ditinggali Luhan dan kedua putra kembarnya. Sesegera mungkin Sehun mengeluarhakn barang belanjaannya dari mobil, namun sebelum dia masuk ke dalam rumah, Sehun memandang rumah minimalis yang berdiri cantik tepat di sebelah rumah Luhan, rumah yang ditinggali keluarga Jeon dan kabarnya akan di jual.

"Rumah itu pasti mahal…" gumam Sehun kemudian masuk ke dalam rumahnya sendiri, ralat, rumah yang ditinggali oleh mantan istrinya.

Sehun meletakkan semua belanjaannya di atas meja makan lalu meraih ponselnya, bisa Sehun tebak, Luhan pasti mengiriminya pesan tentang apa saja yang harus dia bawa ke rumah sakit. Luhan memang begitu, dia memiliki jiwa 'menagtur orang lain' yang sangat mendominasi. Padahal sesungguhnya, Luhan memiliki masalah dalam kemampuannya mengatur diri sendiri. Seperti saat ini, Sehun baru saja membuka kamar yang Luhan tempati, sebuah kamar yang berada tepat disamping kamar si kembar. Kamar itu cukup berantakan, tak perlu dijelaskan bagaimana Luhan bisa mengacak – acak kamar itu, Sehun sudah lebih dulu mengerti apa penyebabnya.

"Dia pasti mencari sesuatu…" gumam Sehun lalu memunguti pakaian mantan istirinya itu dan mengumpulkannya menjadi satu dalam sebuah keranjang yang dia ambil di atas mesin cuci.

Dan Sehun berakhir dengan tidak hanya mengepak barang – barang kebutuhan mereka selama di rumah sakit, Sehun juga membersihkan rumah itu, rumah yang ditinggali oleh mantan istri dan kedua putra kembarnya. Jangan lupa jika Sehun juga mengisi penuh kulkasnya.

Terakhir, Sehun merapikan kamar si kembar. Kamar itu tak begitu berantakan, hanya beberapa mainan di sudut ruangan yang letaknya tak teratur. Sehun tau, Luhan pasti lebih sering merapikan kamar ini daripada kamarnya sendiri. Dan dengan teliti, Sehun mengganti seprai dan bed cover di dua tempat tidur yang letaknya bersebelahan di kamar itu, satu milik Jaehun dan satu lagi milik Jaehan. Sehun benar – benar merapikan kamar anak – anaknya dengan penuh perasaan. Dan setelahnya, Sehun memungut sepatu olahraga Jaehan, Sehun tau itu milik Jaehan, karena sepatu itu memperlihatkan beberapa noda bekas pakai di sisinya. Ya… sepatu Jaehun tidak mungkin punya noda seperti itu, itu hanya dimiliki oleh sepatu yang digunakan untuk berlari di lapangan berumput. Dengan iseng Sehun membandingkan sepatu Jaehan dengan miliknya. Lalu mengukurnya di telapak tangan lebarnya sendiri.

"Hmmm… kalian sudah besar…"

.

.

.

Sehun baru sampai di rumah sakit ketika Luhan baru saja akan menelponnya.

"Kenapa lama sekali?" Luhan berkata ketus dan langsung mengambil tas yang Sehun bawa

"Aku sedikit kesulitan mencari beberapa barang" ujar Sehun dengan sedikit bumbu kebohongan

"Bagaimana Jaehun?" tanya Sehun basa – basi sebelum suasana menjadi tidak enak diantara dia dan Luhan

"Jaehun belum bangun…"

"Belum bangun? Bagaimana bisa?"

"Entahlah, Yifan sudah mengeceknya berulang kali tapi… Jaehun sama sekali belum mau bangun, padahal detak jantungnya sudah normal dan suhu tubuhnya juga sudah lebih baik"

"Lu…"

"Ya?"

Sehun menyerahkan sebuah kantong kertas berisi sandwich dan teh hijau hangat yang tadi dia beli dalam perjalanan.

"Aku dan Jaehan sudah makan di rumah, kau harus sarapan juga" Ujar Sehun penuh ketulusan.

"Ah… thanks!"

"No problem…kalau begitu… aku akan bertemu dengan Jaehun. Apa dia masih di ICU?"

"Tidak… dia sudah ada di ruang rawat…"

"Dan kau mau kemana Lu?"

"Aku? Mmm… ada beberapa urusan administrasi yang perlu diselesaikan, aku mau ke loby"

"Kalau begitu biar aku yang bawa ini, dan jika ada apa – apa segera beritahu aku…"

"Okay…"

"Okay…"

Setelah Sehun beranjak, Luhan hanya mampu mematung di tempatnya, janda cantik beranak dua itu terus memandangi punggung mantan suaminya yang berjalan menjauh menuju ruang rawat putra mereka. Luhan kemudian melihat isi dalam kantong kertas yang Sehun berikan padanya. Tuna Sandwich dan Teh hijau hangat tanpa gula. Itu kesukaan Luhan.

"hmm… dia masih mengingatnya" gumam Luhan kemudian tersenyum lembut.

Entah kenapa, hanya dengan satu fakta bahwa Sehun masih ingat menu sarapan kesukaannya saja, Luhan merasa begitu bahagia saat ini. Mungkin sama bahagianya ketika dia mendapatkan paket menu sarapan yang sama dari Sehun untuk pertama kalinya.

.

.

.

Sehun membuka pintu ruang rawat dan melihat si kecil Jaehun masih terbaring dengan banyak sekali alat – alat medis di tubuhnya. Sehun segera mendekati sang buah hati dan mengecup kening Jaehun. Kecupan lembut, hangat dan penuh kerinduan.

"Appa…"

Terdengar suara serak dan ringkih memanggilnya. Sehun menjaukan tubuhnya kemudian memastikan apakah Jaehun sudah bangun atau belum.

Jawabannya belum. Saat itu Jaehun hanya mengigau. Matanya masih terpejam dan bibir mungilnya terus memanggil satu nama.

"Appa…"

Dengan segera Sehun menggenggam tangan mungil Jahun yang bebas dari infuse, mengecupnya perlahan kemudian berkata,

"Ini Appa sayang… Appa ada disini…"

"Appa…"

"Ya… Jaehun-ah… ini Appa…"

Entah itu keajaiban atau memang seorang ayah juga punya hubungan batin yang kuat. Tak lama setelah mendengar suara Sehun, Jaehun akhirnya membuka matanya, dengan senyuman.

"Hallo jagoan kecil… sudah bangun?"

Sehun menyapa putra sulungnya dengan nada lembut dan senyum manis.

"Appa…" Jaehun menggerakkan tanganya yang bebas membelai pipi sang ayah, dan senyum anak itu semakin melebar

"Ini benar – benar Appa… Jaehun kira, Jaehun mimpi" ujar anak itu dengan tatapan polosnya.

Hati Sehun kembali tersayat, bagaimana bisa untuk bertemu sang ayah saja Jaehun harus memimpikannya. Sehun kembali dirundung rasa bersalah pada putranya. Penyesalan yang tertanam dalam dirninya kembali menyiksa hati Sehun. Demi Tuhan, jika dia bisa memutar waktu, dia tidak akan mengambil tindakan bodoh yang dia lakukan 5 tahun lalu itu. Dia tidak akan meninggalkan kedua putranya, seberat apapun tekanan yang dia terima dari keluarga, pendidikan dan bahkan orang yang paling dia cintai, Luhan.

"Maafkan Appa sayang…"

Hanya itu yang bisa Sehun ucapkan saat ini, meskipun Sehun tau, kata maafnya saja tidak cukup untuk memperbagiki luka dan trauma masa kecil Jaehun dan Jaehan akibat perceraiannya dengan Luhan.

"Kenapa Appa minta maaf?" tanya anak itu masih dengan tatapan lemah dan polosnya

"Maaf karena Appa tidak bisa ada untuk kalian setiap hari" jawab Sehun dengan senyum dipaksakan

"Tidak.. Appa selalu ada untuk kami, buktinya kapanpun kami butuh Appa, Appa pasti langsung datang tanpa diminta" Jaehun menarik sebelah sudut bibir tipisnya dan itu membuat Sehun bingung

"Dulu, waktu Jaehan terluka karena pecahan gelas dan eomma tidak ada, Appa langsung datang dan mengobati Jaehan, padahal kami sama sekali tidak memberitahu Appa. Lalu… waktu kami kesusahan membuat tugas prakarya dari sekolah dan eomma masih belum pulang kerja, Appa juga tiba – tiba datang dan membantu kami mengerjakannya. Kemarin ketika aku sakit lagi, Appa juga datang tepat waktu tanpa kami beritahu. Sebenarnya masih banyak lagi… Appa selalu datang saat kami membutuhkan Appa tanpa kami minta."

Jaehun menutup kalimat panjangnya dengan mengajungkan jempol mungilnya di hadapan Sehun, memberikan apresiasi kecil pada apa yang telah Supermannya itu lakukan. Sehun sendiri tak mengingat dengan spesifik akan semua hal yang Jaehun sebutkan tadi, entah kenapa rasa bersalahnya sedikit berkurang ketika dia mendengar pengakuan Jaehun baruan.

"Oh ya, bagaimana keadaan Jaehun hari ini? Apa kepala Jaheun pusing?"

Sehun berusaha mengalihkan pembicaraan seriusnya tadi ke hal yang lebih penting, keadaan Jaehun.

"Kepala Jaehun tidak pusing, tapi rasanya seperti ada serangga di perut Jaehun"

"Serangga? Di perut Jaehun? Sebentar… Appa panggilkan perawat untuk mengecek perut Jaehun ya…"

"Appa! Maksud Jaehun bukan itu… maksud Jaehun… Jaehun sangat bahagia sampai rasanya Jaehun geli sendiri"

Sehun terperangah dengan pengakuan putranya, kepanikan Sehun berbah menjadi senyum konyol penuh kelegaan. Bagaimana dia bisa lupa dengan istilah 'serangga dalam perut'.

"Jadi hari ini Jaehun merasa bagahia?" tanya Sehun yang kembali duduk di samping Jaehun

"Ng!" anak itu mengangguk pelan tapi mantap

"Kenapa?"

"Karena hari ini ketika Jaehun bangun, Jaehun langsung bisa lihat Appa"

Alasan yang sama. Si kembar punya alasan yang sama kenapa mereka bahagia pagi ini. Dan itu membuat Sehun semakin ingin lebih dekat dengan kedua putra mereka, karena demi Tuhan, dia sangat bahagia berada di dekat kedua putranya, apalagi dia dengar sendiri jika dia adalah alasan dari rasa bahagia kedua putranya.

"Jaehun ingin liat Appa setiap pagi?" tanya Sehun dengan nada imut, Jaehunpun mengguk

"Jaehun ingin sarapan dengan Appa setiap pagi?"

Lagi – lagi Jaehun mengangguk

"Apa Jaehun juga ingin Appa antar sekolah setiap hari?"

Dan kali ini Jaehun mengangguk terlalu semangat hingga selang oksigennya berpindah posisi. Sehun dengan hati – hati memperbaiki posisi selang oksigen itu lalu membelai lembut kepala putranya.

"Kalau begitu Jaehun harus janji, cepat sembuh dan jangan sakit lagi… bagaimana?"

"Benarkah jika Jaehun cepat sembuh dan tidak sakit lagi, Appa akan selalu ada bersama kami?"

Jaehun menatap Sehun dengan tatapan ragu, tapi disisi lain anak itu ingin sekali percaya apa yang dikatakan ayahnya barusan.

"Appa janji! Jika Jaehun cepat sembuh dan tidak sakit lagi, Appa akan selalu bersama kalian. Janji semsama Namja!"

Sehun memasang tampang serius lengkap dengan tangan terkepal yang dia sodorkan pada sang putra. Dan sedetik kemudian Jaehun menyambut perjanjiannya dengan sang ayah dengan penuh suka cita.

"Janji sesame Namja!"

.

.

.

Malam itu, Sehun memesan beberapa menu makanan di sebuah restoran untuk keluarga kecilnya dalam rangkan 'makan malam bersama keluarga OH' di ruang rawat Jaehun. Menu utama acara makan malam itu adalah sup Ikan dengan potongan sayur mayur segar, udang goreng tepung dengan saus kedelai dan tidak lupa nasi beserta makanan pendamping seperti kimchi, telur gulung dan lobak.

"Hari ini Jaehan belajar apa saja di sekolah? Apa ada PR?"

Luhan bertanya seraya menyuapi bubur buatan rumah sakit untuk Jaehun.

"Hari ini ada PR matematika, aku sudah mengerjakannya tadi siang bersama Appa! Aku juga mengerjakan punya Jaehun" ujar Jaehan santai

"Yah… kenapa kau mengerjakan punyaku juga… aku kan bisa mengerjakannya sendiri" bantah Jaehun dengan nada tak setuju

"Aku tidak yakin kau bisa mengerjakan PR dengan baik, kau kan masih sakit" kilah Jaehan

"kalau begitu jangan dikerjakan! Itu PRku… aku yang berhak mengerjakannya!" bantah Jaehun

"Ya… Oh Jaehun… disaat seperti ini, seharunya kau bilang 'terimakasih adikku, kau telah mengerjakan PRku' bukannya malah melarangku seperti ini" Jaehan berkata dengan nada lemah namun penuh ketersinggungan

Sehun dan Luhan yang sedari tadi hanya mengamati pun akhirnya memutuskan untuk turun tangan.

"Jaehun-ah… maksud Jaehan mengerjakan PRmu itu baik sayang, dia tidak mau kakaknya ketinggalan nilai tugas, apalagi hari ini Jaehun kan tidak masuk… dan… Jaehan-ah… Appa tau maksudmu itu baik, tapi sebelum kau mengerjakan tugas kakakmu, lebih baik kau meminta ijinnya terlebih dahulu, arraci?"

Luhan mencoba memberikan jalan keluar namun tak satupun dari kedua putra kembarnya bergeming, melihat mereka masih saling diam akhirnya Sehun turun tangan.

"memangnya kenapa Jaehun tidak mau kalau PRnya dikerjakan Jaehan?" tanya Sehun pada putra sulungnya.

"…"

"Jaehun-ah…. Appa bertanya padamu…" Sehun menegaskan suaranya karena tak mendapatkan jawaban dari si sulung

"Itu pasti karena tulisanku jelek" jawab Jaehan memotong pembicaraan

"benar karena itu?" Luhan memastikan

Dan akhirnya Jaehun pun mengangguk.

"Uahahahahahahahahaa….. aigoo…. Jaehun-ah…. Jaehan-ah….aaah…"

Luhan dan Sehun tertawa bersamaan dan itu membuat kedua anak mereka semakin malu satu sama lain.

"Tapi niatku benar – benar ingin membantumu Oh Jaehun!"

"Tapi tulisanmu benar – benar parah Oh Jaehan… semua orang pasti tau jika kau yang mengerjakannya untukku"

Si kembar Oh kecil itu kembali berdebat dan itu berhasil membuat Sehun dan Luhan geleng – geleng kepala dibuatnya.

"Baiklah, untuk kali ini saja… Jaehun mau memaafkan Jaehan kan?"

"…."

Luhan mencoba mendamaikan kedua putranya namun Jaehun yang ditanya tak mau menjawab. Kemudian Luhan beralih pada si bungsu,

"Jaehan-ah… ayo minta maaf pada Jaehunie…" pinta Luhan dan Sehun terus melirik putra bungsu kecilnya itu

"Maafkan aku…. Hyung…" ujar Jaehan sambil menundukkan kepala

"Hyung?" Jaehun langsung terpekik kaget.

"Mmm… aku sudah janji pada Appa, jika kau sembuh maka aku akan memanggilmu Hyung… sekarang kau terlihat sudah sembuh dan… aku akan memanggimu Hyung!" Jaehan tersenyum imut pada kakaknya dan dibalas dengan senyuman bangga sang kakak.

"Baiklah… aku akan memaafkanmu, adikku!"

"Uaah… anak Appa sudah besar ya…" Sehun mengusap kepala Jaehan dan Luhan pun mengecup pucuk kepala Jaehun.

Malam itu terasa sangat cepat dan akhirnya si kembarpun tertidur, tinggallah Luhan dan Sehun berdua di ruang rawat.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu? Seharian ini kau sama sekali tidak ke kantor" Luhan membuka percakapan ketika dia duduk di sebelah Sehun dan menyerahkan secangkir kopi instant yang baru dia buat.

"urusan di kantor tidak lebih penting dari HunHan… kau sendiri bagaimana?" Sehun kembali bertanya

"Minseok eonni sudah membantuku untuk menangani semuanya hari ini, dan sampai seminggu kedepan" ujar Luhan seraya meniup kopinya.

"Apa anak – anak sering bilang bahwa mereka merindukanku?" tanya Sehun lagi, kali ini memandang Luhan dari samping

"Mereka selalu mengatakannya, setiap hari, setiap mereka baru bangun dan akan tertidur… mereka selalu merindukanmu" jawab Luhan jujur dan kini tersenyum

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Apa?"

"Apa kau juga merindukanku?"

Sehun menatap kedua mata cantik mantan istrinya itu dengan tatapan serius.

"Ya… aku merindukanmu…" jawab Luhan singkat lalu memutus kontak matanya dengan mata Sehun

"Apa kau keberatan jika aku berada disampingmu lagi…?"

"Oh Sehun…"

"Ya… aku tau, kau sudah punya Dokter Wu disampingmu sekarang… maksudku bukan itu… maksudku adalah, berada disampingmu untuk anak – anak…"

Sehun kembali menyesap kopinya dan memandangi Jaehun dan Jaehan yang tengah terlelap.

"Untuk anak – anak?" tanya Luhan ragu

"Ya… untuk anak – anak" jawba Sehun mantap

"Jika itu untuk anak – anak… aku tidak masalah sama sekali, kau ayahnya bukan?" Luhan berkata dengan nada tenang.

Kopi di cangkir Luhan sudah habis, Luhan kemudian berdiri, berniat untuk mengembalikan gelas kosong itu ke pantry yang ada dalam kamar VIP itu. Namun sebelum Luhan sempat melangkah, Sehun lebih dulu berdiri dan menarik Luhan kedalam pelukannya. Sehun memeluk erat tubuh Luhan yang begitu pas dalam dekapannya. Dan pria tampan berusia 25 tahun itu merasa begitu nyaman dengan pelukan itu.

"Sehun-ah…"

Luhan berusaha memanggil Sehun dengan sebuah bisikian, namun Sehun malah mempererat pelukannya kembali.

"Mulai detik ini berjanjilah padaku…" ucap Sehun dengan nada datar namun dalam, nada yang selalu mampu menggetarkan hati Luhan.

"Berjanjilah padaku, jika sesuatu terjadi pada anak – anak kita, orang pertama yang kau hubungi adalah aku. Aku tau kekasihmu itu lebih mengerti urusan kesehatan. Tapi bagaimanapun juga aku ini ayah mereka. Darahku mengalir di tubuh mereka, jadi aku berhak tau apa yang terjadi pada mereka lebih cepat dari orang lain… kau mengerti?"

Sehun mengelus lembut pucuk kepala mantan istrinya itu sambil berkata dengan lembut dan tenang.

"Lalu bagaimana jika sesuatu terjadi kepadaku? Apakah kau juga mau menjadi orang pertama yang aku hubungi?"

Luhan bertanya dengan lembut, dengan nada berbisik di telinga Sehun yang mampu membuat pria dewasa normal berusia 25 tahun itu merasakan sensasi berbeda pada tubuhnya.

Sehun langsung mengendurkan pelukannya, kemudian kepalanya tertunduk agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah Luhan.

"Ya… kau juga harus beritahu aku…"

CHUP

Sehun langsung mengecup bibir Luhan. Dan ketika dia merasa tak ada penolakan dari sang mantan istri, Sehun langsung memberkan lumatan – lumatan lembut pada bibir ranum yang dia rindukan itu.

Sepuluh menit lamanya Sehun dan Luhan bertahan dalam pagutan penuh kerinduan yang sama sekali tak mereka akui itu. Jika saja oksigen tidak diperlukan, mereka pasti masih saling melumat dan memagut saat ini. Atau mungkin jika gengsi mereka tidak setebal tembok Cina, mungkin mereka kini sudah sama - sama tak berbusana dan saling berbagi kenikmatan dalam penyatuan cinta yang selalu mereka lakukan dim omen – momen seperti ini, dulu, sebelum mereka bercerai.

.

.

.

Semalam, setelah ciuman panasnya bersama Luhan, Sehun pamit pulang ke Incheon karena ada sesuatu dan lain hal yang harus dia urus. Dan pagi ini, entah kenapa Luhan merasa benar – benar menunggu kehadiran mantan suaminya yang tampan itu.

Sial. Bayangan akan ciuman mereka kemarin terus membayangi Luhan hingga pagi ini, dan mungkin siang nanti atau bahkan sampai besok. Entahlah, sejak dulu memang ciuman Sehun memberikan efek berbahaya bagi Luhan.

Hingga matahari menggantung, Sehun tak juga datang ke rumah sakit atau bahkan menelpon Luhan. Hari ini Jaehan ke sekolah dianatar oleh sahabat Luhan, Kim Minseok yang kebetulan datang menjenguk Jaehun pagi itu. Jaehun juga tak henti – hentinya menannyakan Sehun, membuat Luhan semakin kesal pada mantan suaminya yang hanya bisa memberikan berjuta harapan palsu.

Luhan marah. Hingga jam menunjukkan pukul 2 siang pun Sehun tak memberi kabar sama sekali.

"Kau kenapa sayang?" Yifan bertanya pada Luhan setelah mengecek keadaan Jaehun

"Aku baik. Dan jangan panggil aku sayang di depan anak – anak. Ku mohon" ketus Luhan

"Oh… Okay… maafkan aku, apa kau mau…"

"Yifan… aku titip Jaehun padamu ya, aku perlu pulang sebentar untuk mengambil beberapa berkas kantor, nanti sore Minseok eonni akan datang dan mengambilnya sambil mengantar Jaehan"

Dan belum sempat Yifan menjawab permintaan Luhan, Luhan sudah lebih dulu pergi. Yifan hanya bisa tersenyum manis melihat tingkah Luhan yang imut dimatanya itu.

"Aku mencintaimu Lu…." Ujar Yifan masih dengan senyum manisnya.

.

.

.

Luhan baru saja berhasil memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah dan melihat rumah yang berada di sebelah rumahnya dipenuhi oleh pekerja dekorasi.

"Annyeonghaseyo, apaanda pemilik rumah ini?"

Seorang wanita dengan paras cantik itu menghampiri Luhan. Senyumnya yang ramah ditambah eye smile wanita itu membuatnya terlihat sangat imut dan lovable.

"Ya… aku pemilik rumah ini, apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Luhan ramah

"Tidak… aku hanya ingin memperkenalkan diriku, namaku Byun Baekhyun… aku adalah penghuni baru rumah itu" wanita cantik bernama Baekhyun itu langsung menunjuk rumah yang dulu ditinggali oleh Keluarga Jeon.

"Aaah… aku Luhan, senang bertemu dengan anda…" Luhan menjabat tangan Baekhyun dan mereka berdua saling tersenyum ramah

"Anda tinggal bersama orang tua atau sendiri saja di rumah ini?" wanita cantik bernama Baekhyun itu kembali bertanya

"Aku tinggal bersama kedua putraku," ujar Luhan santai

"Ommo! Maaf… aku kira anda masih lajang, anda terlihat sangat muda Luhan-ssi"

"Mmm.. aku memang menikah muda, lalu bagaimana dengan anda Baekhyun-ssi?"

"Aku akan tinggal disini setelah aku menikah nanti, jadi sebelum kami resmi menikah, calon suamiku lah yang akan tinggal disini.."

"Benarkah? Wah… selamat ya Baekhyun-ssi… kapan rencananya anda akan menikah?"

"6 bulan dari sekarang, kami bahkan belum mempersiapkan apapun hahaha…"

"Uaah… aku sudah tidak sabar bertetangga dengan pengantin baru.."

"Hahahha… terimakasih Luhan-ssi… ah iya… ini, terimalah, bingkisan kue beras dari kami.. maaf hanya aku saja yang berkjunjung, calon suamiku masih sibuk dengan pekerjaannya"

"Calon suami anda bekerja dimana Baekhyun-ssi?"

"Ah, calon suamiku bekerja di salah satu perusahaan properti di Incheon. Dan dia sangat sibuk"

"Mmm… terimakasih kue berasnya ya, maaf aku sedang terburu – buru jadi tidak bisa mengajak anda masuk dan minum teh. Anakku sedang dirawat di rumah sakit"

"Oh! Maafkan aku Luhan-ssi, kalau begitu… aku permisi dulu.."

"Ya… sekali lagi terimakasih Baekhyun-ssi…"

.

Luhan masuk kedalam rumah setelah Baekhyun kembali, Luhan yang merasa cukup lelah langsung menuju dapur untuk mengambil air putih. Namun, begitu Luhan membuka kulkasnya dia langsung dikejutkan dengan isi kulkas yang penuh dan lengkap.

"Oh Sehun…"

Luhan tersenyum melihat itu semua, wanita cantik itu kembali terbayang dengan ciuman mereka semalam. Dan itu membuat senyuman Luhan semakin merekah, dan Luhan semakin merindukan Sehun.

To: OSH

Thanks, untuk yang kau lakukan di rumah
Apa nanti malam kau akan ke rumah sakit?
Anak – anak menanyakanmu seharian.

Luhan melunak, wanita itu mengirimkan pesan singkat pada mantan suaminya dan berharap agar Sehun mau datang kepadanya, ah… ralat… kepada anak – anaknya.

.

.

.

Namun… hingga 3 hari kemudian, Sehun tak kunjung muncul ke hadapan Luhan dan kedua anak kembar mereka. Jangan bayangkan betapa besar rasa kecewa Luhan pada Sehun. Setelah memberikannya perhatian, memberikan kejutan di rumah dan bahkan menciumnya malam itu. Kini Sehun pergi seenaknya, meninggalkannya lagi. Meninggalkan anak – anak mereka lagi. Setidaknya itu yang Luhan pikirkan.

"Lu…. Tutup bagasinya…"

Yifan berujar pada Luhan yang sedari tadi tidak berkonsentari sama sekali. Saat itu Jaehun baru pulang dari rumah sakit dan Yifan mengantar keluarga kecil tanpa ayah itu pulang ke rumah.

"LUHAN!"

Sehun tiba – tiba muncul dari balik pagar rumah Luhan, dengan senyum ceria dan manis manjanya. Bukannya balas tersenyum Luhan malah mengerutkan keningnya,

"Ya… Lu aku…"

"PERGI DARI SINI SEKARANG!"

Luhan membentak Sehun dengan nada tinggi, dan itu membuat Sehun terkejut.

"Lu… tenanglah… anak – anak bisa mendengarmu.." Yifan mengingatkan.

"Sehun-ah… kau datang, ayo masuk… anak – anak pasti senang bertemu denganmu" Yifan menyambut kedatangan Sehun dan kalimat penyambutan Yifan sukses membuat harga diri Sehun terinjak – injak. Apa itu katanya? 'ayo masuk… anak – anak pasti senang bertemu denganmu?'

"tentu saja mereka akan senang bertemu dengan 'Appa'nya" jawab Sehun berani dengan penekanan pada kata Appa.

"Kau masih berani menyebut dirimu sebagi seorang Appa?" Luhan berkata dengan nada ketus dan itu membuat Sehun bingung

"Lu… ada apa denganmu?"

"Ada apa denganku? Kau pikirkan saja sendiri."

"Jika kau marah karena aku tidak datang ke rumah sakit, itu karena aku baru saja pindah dari Incehon kemari. Bukankah aku sudah mengirim pesan padamu?"

Sehun meyakinkan Luhan tetapi Luhan sama sekali tidak berubah.

"Kau sama sekali tidak mengirimiku pesan dan nomormu bahkan tidak aktif" gertak Luhan

"Ponselku hilang, terjatuh entah dimana saat perjalanan dari rumah sakit ke Incheon hari itu… bukankah aku sudah menghubungimu dengan nomorku yang baru? Kau yang selalu menolak panggilanku!"

Sehun membela dirinya dan mencoba mengambil ponselnya untuk membuktikan apa yang dia katakan adalah benar.

"Ah… bagaiman kalau kita bicarakan ini di tempat lain, tetangga bisa melihat kalian bertengkar disini" ucap Yifan mencoba menengahi pertengkaran Sehun dan Luhan.

"Aku benar – benar minta maaf Lu, jika apa yang aku lakukan salah, aku benar – benar minta maaf. Aku sibuk memindahkan barangku dari apartemenku di Incheon kemari." Sehun kembali menjelaskan

"Kau… pindah rumah? Kemari?" Yifan membelalakkan matanya.

"Tidak… secara spesifik bukan ke rumah ini. Tapi mulai hari ini aku tinggal di sebelah, di rumah yang dulunya adalah rumah Keluarga Jeon"

Sehun menunjuk rumah minimalis yang sudah direnovasi dan didekorasi ulang itu dengan mantap.

Disisi lain, Luhan membelalakkan mata mendengar apa yang Sehun katakan barusan.

"Kau… pindah ke rumah sebelah?"

"Ya…"

Flashback

"Annyeonghaseyo, apa anda pemilik rumah ini?"

"Ya… aku pemilik rumah ini, apa ada yang bisa aku bantu?"

"Tidak… aku hanya ingin memperkenalkan diriku, namaku Byun Baekhyun… aku adalah penghuni baru rumah itu"

"Aaah… aku Luhan, senang bertemu dengan anda…"

"Anda tinggal bersama orang tua atau sendiri saja di rumah ini?"

"Aku tinggal bersama kedua putraku," ujar Luhan santai

"Ommo! Maaf… aku kira anda masih lajang, anda terlihat sangat muda Luhan-ssi"

"Mmm.. aku memang menikah muda, lalu bagaimana dengan anda Baekhyun-ssi?"

"Aku akan tinggal disini setelah aku menikah nanti, jadi sebelum kami resmi menikah, calon suamiku lah yang akan tinggal disini.."

"Benarkah? Wah… selamat ya Baekhyun-ssi… kapan rencananya anda akan menikah?"

"6 bulan dari sekarang, kami bahkan belum mempersiapkan apapun hahaha…"

"Uaah… aku sudah tidak sabar bertetangga dengan pengantin baru.."

"Hahahha… terimakasih Luhan-ssi… ah iya… ini, terimalah, bingkisan kue beras dari kami.. maaf hanya aku saja yang berkjunjung, calon suamiku masih sibuk dengan pekerjaannya"

"Calon suami anda bekerja dimana Baekhyun-ssi?"

"Ah, calon suamiku bekerja di salah satu perusahaan properti di Incheon. Dan dia sangat sibuk"

Flashback end

.

PLAK!

"PERGI! PERGI DARI SINI SEKARANG JUGA!"

Luhan menampar Sehun lalu mengusir mantan suaminya itu dengan sangat tidak hormat. Terlebih lagi Luhan melakukan penghinaan itu didepan Yifan. Sehun yang punya harga diri tinggi tak menunggu detik berikutnya dan dia langsung pergi. Meninggalkan rumah itu dan melangkah ke rumah barunya.

.

.

.

To be continue

.

.

.

Chapter 2: Let's Not Fall in Love Again!

"Kau tidak akan pernah melupakan cinta pertamamu, karena cinta pertama adalah cinta tanpa syarat yang sesungguhnya! Kau hanya benar - benar jatuh cinta pada cinta pertamamu"

.

.

.

.

.

.

Annyeonghaseyo! Yo! Yo! Yo!

Astaga… Aruna udah 1 tahun ya hiatus dari FFN… ada yang kangen gitu gak? Hehehehe…

Banyak hal yang harus Aruna kerjain Tahun ini, mulai dari Skripsian, Helath Theraphy, persiapan pindah ke luar kota dan ada beberapa project juga yang harus Aruna kerjain di tahun ini. So… maaf banget buat yang selalu menunggu, Aruna harap kalian masih menunggu… kekekeke…

Sesuai janji, Aruna bakal balik FFN bulan November. Dan FF yang sebelumnya pernah Aruna post seperti Overdose, TH-EXO version, How I Met Your Mother dan A Letter to remember itu semua bakal Aruna lanjutin kok, tapi itu nanti, posting serentak Akhir November. Tangal terakhir bulan November.

.

.

Nah… FF ini didedikasikan khusus untuk projectnya HunHan Indonesia, Giveaway Challenge.

Awalnya tau ini dari kak Lieya, aku kira ini udah berakhir, eh pas tak tanya ternyata masih boleh ikutan, ya udah… aku ikutan aja… turut memeriahkan lah… event HunHan lo ini….
Apalagi Author HunHan semakin langka, T_T
Makanya Aruna ikutan ini. Hehehehe… Mohon dukungannya ya…

.

.

Sebenernya FF ini ceritanya lebih ke Drama dan Hurt/Comfort daripada Angst. Tapi untuk mengikuti tema yang diinginkan, Aruna akan mencoba untuk membuat kalian ber-Angst ria nanti di Chapter 2 atau 3. Dan karena ini Rated M, maaf ya kalo di Chap – Chap selanjutnya ada kegiatan tak beraturan dari dua pasang mantan suami istri labil ini… bahahahaha….

Maaf kalo chapter ini rada ngeselin dan ceritanya amburadul, maklum seharian ini Aruna buat FF ini sambil kepanasan. Di Bali gak ujan – ujan sih… ujan pun sekali – kai doang dan ga lama… jadi… ya… maaf kalo moodnya berantakan pas kerjain ini. Aruna usahain di chap selanjutnya Aruna bakal kerjain ini di Indomalet biar ademan gitu, kan mayan dapet ucapan selamat pagi atau selamat siang juga disana. Kekekeke.

.

.

Oke segitu aja deh, Aruna kangen banget sama FFN! Jujur. Hahaha…
Mohon dukungannya ya Guys.

Akhir kata, Aruna ucapkam,

Auuu! Ah! Saranghaeyo uri readerdeul~~

RnR Juseyo! Yo! Yo! Yo!

.

.

.

Glosarium:

1. Defibrilator : Alat kejut jantung yang digunakan untuk merangsang detakan jantung dengan kejutan listrik di dada pasien.

2. Collapse: istilah yang digunakan untuk pasien yang memiliki penyakit kronis dan tumbang secara tiba – tiba.

3. Tetralogi of Fallot (TOF) : Kelainan jantung bawaan yang biasanya disebabkan oleh gagalnya perkembangan jantung bayi di dalam kandungan. TOF ini merupakan gabungan dari 4 penyakit jantung bawaan lainnya dengan cirri – cirri menonjol seperti ruam biru pada sekitar kuku atau tubuh bayi, sesak napas dan demam.

.