DEUX CÔTÉS

'DUA SISI'

.

HUNHAN AS MAIN CASTS

AND THE OTHER CASTS

'M'

M-GORE!

.

.

SUSPENSE-CRIME-TRAGEDY

©kyoonel1220

.

SO,

E

N

J

O

Y

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mulut kecilnya ternganga. Matanya mengerjap bingung. Di usianya yang masih sepuluh tahun, ia sudah melihat hal mengerikan di depan matanya saat ini. Awalnya, bocah tersebut hanya ingin pergi ke taman dekat rumahnya, namun ketika ia melewati tikungan gang rumahnya, matanya malah tak sengaja melihat hal mengerikan tersebut.

Dengan perlahan kaki kecilnya melangkah bermaksud menghampiri apa yang telah dilihatnya. Ia tahu itu warna apa. Merah. Banyak dan menyebar tanpa malu.

Tangan kecilnya terulur guna menutup sepasang mata yang terbelalak itu. Tak ada rasa takut dibenaknya, yang ada hanyalah rasa ingin tahu dan bingung.

Gadis muda. Terbujur kaku. Darah dimana-mana. Tangan kecilnya beralih kepada sebuah benda yang tertancap pada perut sang gadis. Ketika ingin mengambilnya,

GUK

GUK

GUK

Sedikit terhenyak. Tangannya kembali ke tempat semula. Dirinya menoleh dan mendapati Mommynya sedang menatapnya khawatir. Ia bingung mengapa Mommynya menampakkan air wajah yang sarat akan ketakutan dengan mulut yang sedikit ternganga. Dengan cepat, ia menghampiri bocah tersebut.

"Valiant!" panggil sang Mommy dengan wajah pucat. Sang Mommy langsung berjongkok guna menyejajarkan dirinya dengan sang anak.

"M-Mengapa kau ada disini, sayang?" tanyanya sedikit bergetar. Bocah itu, Valiant, mengerjapkan matanya beberapa kali. Sang Mommy sedang mati-matian menahan mual, perutnya terasa teraduk-aduk dan hidungnya sangat risih dengan kehadiran mayat didekatnya.

Ia menggendong Valiant kaku. Diusapnya beberapa kali wajah sang anak.

"Kita harus pergi dari sini, sayang." Ucap Sang Mommy gugup. Baru berapa langkah, Valiant berseru,

"Berhenti, Mom! Bagaimana dengan dia?" ujar Valiant sembari menunjuk sesosok mayat gadis muda tersebut. Sang Mommy mengecupi wajah Valiant guna meyakinkan. Ia menoleh dan dirinya merasa semakin mual.

"Kita harus segera pergi, Herve." Putus sang Mommy final. Selama Mommynya melangkah menjauhi ujung gang, mata Valiant tak pernah lepas dari seonggok tak bernyawa itu.

.

.

.

Aku memejamkan mataku erat-erat. Kejadian tujuh tahun silam itu sedang terngiang dengan jelasnya di memori otakku. Bermula dari sanalah, aku menjadi seperti ini. Berdampak dan berbekas. Hal yang tak sepantasnya kulihat saat itu, malah menjadi titik dasar yang sangat memengaruhi diriku.

.

"Mommy! Kau harus melihat ini!" teriak sesosok pria remaja dari arah ruang tamu. Yang dipanggil buru-buru menghentikan aktifitas masaknya guna menghampiri pria tersebut.

"Ada apa, sayang?" tanyanya ketika sampai. Pria itu menunjuk kearah layar televisi sambil berkata,

"Yang kau ceritakan padaku, benar? Pelakunya sudah tertangkap, Mom." Jawabnya. Sang Mommy langsung menoleh dan melihat berita yang sedang ditampilkan secara langsung.

'Mayat seorang gadis ditemukan di tikungan gang salah satu perumahan elit di Lyon. Tersangka dengan teganya menusukkan pedang ke perut korban hingga tewas akibat kekurangan banyak darah. Setelah diselidiki, motif pelaku membunuh korban adalah karena ia cemburu dengan korban yang ternyata berstatus sebagai kekasihnya itu berkencan dengan pria lain. Polisi masih menindaklanjuti kasus ini, dan pelaku terancam hukuman serta denda yang lumayan berat. Sekian laporan siang ini.'

"Ya Tuhan." Gumam sang Mommy.

"Dasar pria gila. Membunuh sih, membunuh. Namun, seharusnya ia kondisikan lokasi dimana ia akan membuang mayat tersebut dahulu. Aku jadi khawatir dengan Herve, Mom." Ujarnya. Sang Mommy menghela napas pendek lalu duduk di salah satu sofa.

"Mommy juga, sayang. Herve itu masih kecil, polos. Ia pasti bertanya-tanya, apa yang telah ia lihat sebenarnya kemarin." Ia memijat kening. Kris Varquez Gallant—pria remaja tersebut, kakak Valiant terlihat berpikir.

"Kau tenang saja, Mom. Aku akan mengalihkan pikiran Valiant tentang kejadian kemarin, dengan bermain game bersama, misalnya?" ucap Varquez, santai.

"Mommy mengandalkanmu, Varquez." Balasnya. Varquez memutar matanya,

"Sudah berapa kali kubilang, Mom. Aku lebih suka dipanggil Kris."

.

.

"Kami pergi dulu, Mom! Sampai nanti." Pamit Valiant mencium singkat pipi sang Mommy lalu dengan cepat masuk kedalam mobil.

"Kami berangkat~" seru Kris lalu menutup jendela mobil , membunyikan klakson dan segera melesat ke tempat tujuan.

Di sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil hening. Kris sesekali melirik kearah Valiant, adiknya itu memang orang yang kaku. Ia berdeham ringan, lalu berkata

"Liburan akhir pekan seperti ini, bukankah menyenangkan, Herve?" suara Kris sedikit membuat Valiant terkejut. Ia menoleh dan melihat kakaknya tengah melirik jahil sembari menahan tawa. Ia menghela napas pelan.

"Sebenarnya banyak tugas yang menantiku di rumah. Namun, aku lebih memilih menghabiskan akhir pekan bersamamu, Varquez." Balasnya mengerling jahil. Kris terkekeh.

"Kau perlu udara bebas, Herve. Lagipula, tak usah telalu giat belajar, toh, kau baru tahun depan melaksanakan ujian akhir tingkat menengah pertama." Ujarnya. Valiant memutar matanya malas.

"Dan, hey, panggil aku Kris. Jangan Varquez ataupun Gallant. Terlalu kaku, kau tahu." Lanjutnya, mendengus.

.

"Bagaimana kalau halilintar?" usul Valiant. Kris bergidik.

"Tidak." Valiant menatapnya datar. Lalu ia meninju pelan bahu kiri sang kakak.

"Payah. Aku heran, mengapa Mommy menamaimu 'Gallant'." Ledeknya. Kris merengut,

"Aku tidak seberani itu, tak seperti namaku." Balasnya kesal.

Ia memerhatikan dengan seksama wahana halilintar yang tengah mengangkut sekitar dua puluh orang dengan kecepatan maksimal. Masih banyak juga orang yang mengantre untuk dapat menaiki wahana ekstrem yang satu itu.

Valiant menyaksikannya dengan berbinar dan ingin segera merasakan sensasinya. Lama mereka memerhatikan liukkan halilintar, tiba-tiba saja,

BRUK

Bunyi 'bruk' yang memekakkan telinga. Valiant dan Kris sungguh terkejut dan membelalakkan matanya tak percaya. Kris, ia membekap mulutnya sendiri, merasa mual seketika.

Para pengunjung berteriak histeris dan segera berlarian menepi. Kau tahu? Seseorang baru saja terlempar dari wahana tersebut. Tepat saat halilintar tersebut menurun menukik. Terlebih lagi, kepalanya langsung pecah seketika. Beberapa pengunjung terciprat darahnya. Otak korban langsung keluar mentah-mentah. Tangan kanannya patah, darah berceceran.

Tempat wisata menjadi riuh. Para Petugas pun turun tangan. Tak lama berselang, wahana halilintar diberhentikan. Kemudian, para pengunjung diperintahkan melalui pengeras suara untuk meninggalkan lokasi kejadian. Tim medis pun datang dan segera mengevakuasi wanita malang tersebut.

"Herve! Apa kau melamun? Kita harus segera pergi dari sini!" seru Kris sambil mengguncang bahu Valiant kencang. Valiant yang sedang memerhatikan kejadian tak terduga itupun seketika sadar. Valiant pun menoleh,

"Haruskah?" bodoh. Kris merutuk dan mencengkram pergelangan tangan sang adik.

"Hei, apa kau bodoh? Tentu saja kita harus segera pergi, Herve. Dan, wajahmu terkena sedikit cipratan darah mayat tersebut. Aku bertambah mual. Kita harus segera pergi." Ucap kris tegas. Valiant tak terlalu mendengarkan, ia mengedarkan pandangannya menyaksikan banyak orang berhamburan untuk pergi dan ia melihat ada wanita dewasa yang menangis menjerit ketika tim medis berusaha mengevakuasinya.

Kris yang jengah dengan cepat menyeret Valiant. Valiant mengikuti langkah Kris dan sesekali menoleh.

'Perasaan apa ini. Hal tadi…begitu hebat. Bagaimana rasanya jika…'

Itu bisikan dari entah siapa. Valiant dapat mendengarnya dengan jelas, seakan terngiang indahnya di otaknya. Kris terus menyeret adiknya, tanpa tahu Valiant yang terlihat berbeda. Auranya. Ia mengulum bibir menahan seringaian.

.

.

.

"Herve! Pulang sekolah nanti, jadi, kan?" Tanya seorang pria menyadarkan Valiant akan lamunan panjangnya. Ia mengerjap beberapa kali dan mengangguk kaku.

"Aku senang kau tipe orang yang menepati janji." Orang itu mengerling jahil. Valiant terkekeh.

"Lagipula, aku penasaran dengan film beserta game yang kau katakan itu." Ucap Valiant jujur. Orang itu menepuk-nepuk singkat bahu Valiant.

"Aku akan mengajakmu ke dunia fantasiku. Aku yakin, kau akan menyukainya. Aku percaya pada namamu, 'Herve'." Balasnya sembari membenarkan letak kacamatanya. Valiant tersenyum tipis,

"Kau membuatku penasaran, Pierre."

.

.

"Wajahmu terlihat tegang, Herve." Kekeh Yann. Valiant sedikit terkejut ketika Yann menyadari ketegangannya. Ia pun dengan cepat memasang wajah innocencenya. Ia menggaruk tengkuknya kikuk,

"Filmnya…mengkhawatirkan, Pierre." Ucapnya kalem. Yann terbahak akan keluguan sahabatnya itu. Ia merangkul Valiant akrab.

"Kau bercanda, Herve. Aku sangat yakin, kau akan turut menyukai genre yang sama sepertiku." Ucapnya santai. Valiant memutar matanya jengah,

"Memang harus mempunyai nyali dan mental yang besar, kurasa." Gumamnya.

"Kurasa, aku akan segera menjadi pengikutmu." Lanjutnya geli. Yann terkekeh ringan, "Kalau kau berteman denganku, kau harus menyiapkan mental dan keraskan hatimu, Vally. Gore itu takaran yang pas untuk orang sepertiku, dan dirimu, kurasa."

"Banyak merah bertebaran, potong ini-itu, menyongkel apapun. Dasar iblis." Komentar Valiant pedas. "Dan lagi, sudah bagus memanggilku Herve, jangan Vally. Terlalu girly, kau tahu." Sambungnya, sedikit jengkel.

.

.

Hari-hariku berlalu seperti itu saat masih berusia tiga belas tahun. Bersama Pierre, sahabatku, dan juga, orang yang paling kucari saat ini. Bermain ke rumahnya, menonton banyak film ekstrem, membuat hati kecilku berbicara.

'Kau menyukainya, kau menyukainya.'

'Tak ada guna munafik. Akui sajalah kalau kau memang menyukainya.'

.

Aku menatap kedua telapak tanganku. Sudah sedikit mengering. Walaupun sudah berulang kali melakukannya, aku tetap tak menyukai aroma anyir-besi yang menguar ketika selesai. Aku menatap sekeliling ruangan. Onggokkan itu tergeletak bak sampah yang harus segera dienyahkan, di lantai.

Diluar, cuaca sedang mendung. Sejujurnya, ruangan ini terlalu besar untuk memajang onggokkan tak penting seperti mereka. Terlalu mewah, untuk ukuran ruang bawah tanah, kurasa. Aku mengambil tisu basah dan mengelap tanganku yang semula dibaluri cairan sampah, sekarang kembali suci.

"K-kumohon…Tuan Muda." Aku menatap jijik pada seonggok itu. Berusaha meraih pergelangan kakiku. Gumpalan cairan menjijikan itu terus menerus keluar dari hidung dan mulutnya. Aku mengitarinya.

"Neraka lebih baik untukmu." Geramku sambil menginjak kuat dadanya hingga ia terbatuk kesakitan. Air wajahnya yang memelas itu sungguh membuatku muak, kau tahu.

Tak lama setelah itu, ia tidak ada lagi gerakan berarti. Aku bersorak dalam hati. Menendang kuat onggokkan itu hingga terguling lumayan jauh, di pinggir ruangan. Aku menghela napas panjang, merasa lega. Aku melangkahkan kakiku untuk keluar ruangan.

.

.

"Kau baru pulang, Herve?" Tanya sang Mommy ketika Valiant baru saja berjalan melewatinya di ruang tamu. Langkah Valiant terhenti. Ia menoleh dan berusaha berwajah rileks,

"Kerja kelompok di rumah Pierre, Mom." Jawabnya tenang. Sang Mommy menutup majalahnya dan tersenyum penuh pengertian pada Valiant. Ia berjalan menghampiri anak bungsunya itu.

"Kau terlihat lelah, Herve. Dan, sedikit…tegang?" ujar sang Mommy mengusak ringan surai emas Valiant. Valiant terkekeh kaku.

"Kau pasti bercanda. Aku perlu air hangat." Pamitnya dan berlalu meninggalkan sang Mommy yang sedang menatap punggungnya penuh Tanya.

.

"Kau…lagikah?" Tanya seorang pria penuh selidik. Yang ditanya, malah mengedikkan bahunya tak peduli. Pria itu mendengus karena diabaikan.

"Hei, sopanlah sedikit jika denganku." Ujar pria itu—Kris.

"Tebak saja." Balasan pria itu membuat Kris sedikit jengkel. Kris mendudukkan dirinya disebelahnya.

"Kau benar-benar harus dilaporkan, Herve." Dengan cepat, Valiant menoleh dan menatap sang kakak tajam. "Aku tidak seburuk itu, Kris." Balasnya penuh penekanan.

Kris memegang kedua bahu Valiant dan menatapnya serius.

"Usiamu sekarang?" Valiant mengernyitkan kening. Kris menatapnya jawab-saja.

"Tujuh belas."

"Kau berada di tingkat?" tanyanya lagi.

"Tingkat tiga menengah atas. Semester awal."

"Apa kau menyayangiku?"

Valiant mulai merubah air wajahnya yang semula dipenuhi guratan kesal. Menyendu.

"Tentu. Aku menyayangimu dan amat menyayangi…Mommy."

"Siapa kau sekarang ini?"

"Aku. Valiant Herve." Kris sedikit tak tega melihat tatapan adiknya yang mulai melemah itu.

"Valiant Herve. Apa kau baik?" tanyanya pelan. Ia dapat merasakan bahu Valiant yang dicengkramnya mulai merosot. Adiknya sedang menahan kesesakkan.

"Jawab aku."

"Aku orang baik. Aku baik. Aku selalu baik. Hanya mereka yang tak mengerti." Balasnya datar. Tak lagi menatap manik sang kakak. Dirinya menatap lurus kedepan.

Kris menghela napas pelan lalu dengan cepat mendekap penuh sayang tubuh Valiant.

"Aku tahu kau sudah tak seperti tadi. Aku dan—Mommy menyayangimu, Herve. Selalu." Ujar Kris lembut. Valiant hanya bergeming ketika dipeluk, tak membalas.

"Kau baik, Herve. Kau baik. Hanya mereka yang tak memahaminya." Tutur Kris berusaha meyakinkan adiknya itu. Valiant tak menanggapi kalimat Kris.

"Kau harus segera membersihkan dirimu. Taruh peralatanmu di tempat semula. Cuaca sedang buruk, Herve. Sepertinya, Lyon akan hujan lebat." Ucap Kris menepuk singkat bahu Valiant lalu segera beranjak menuju tangga.

"Aku tahu. Aku memang baik." Gumam Valiant.

'Kau. Tidak. Baik.'

Valiant benci ketika bisikan-bisikan itu kembali memenuhi otaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan menghela napas panjang.

"Herve, ada yang harus kubicarakan denganmu nanti. Seusai makan malam." Kris sedikit menaikkan volume suaranya ketika menaiki anak tangga ke lima. Valiant menoleh dan maniknya bertabrakan langsung dengan sang kakak.

Kris tersenyum. Valiant mengangguk menuruti.

.

.

"Kau yakin adikmu itu tak terlihat aneh, Kris?" Tanya sang Mommy sedikit berbisik. Kris memutar matanya jengah.

"Apa yang aneh dari Valiant, sih, Mom?" balasnya kembali fokus pada layar televisi. Sang Mommy meninju sebal bahu anak sulungnya itu.

"Air wajahnya itu terlihat…tegang. Tidakkah kau melihatnya tadi, huh?"

Kris berdecak samar dan kembali menoleh. "Kuakui. Memang…iya." Balasnya kembali fokus pada tv.

"Bantu Mommy menyelidikinya, Kris!" Ia merangkul mesra sang Anak. Kris menghela napas panjang.

"Acara menontonku terusik. Tidak apa-apa." Gumamnya sedikit sebal.

.

Siang itu. Seperti biasa, pria itu, mengistirahatkan dirinya di atap gedung sekolah. Lyon lebih terlihat indah jika dari atas. Ia berbaring santai dengan beralaskan tumpuan tangan sebagai bantalan. Semilir angin menerpa-nerpa halus wajah bonekanya. Wajahnya terlihat sangat damai ketika memejamkan mata. Bulu matanya indah, lentik alami. Rambut emasnya tertiup-tiup angin, memperlihatkan kening indah dan alis menawannya. Hidung mungil nan mancung serta bibir mungil yang merah alami itu seakan mempertegas alam, bahwa ia adalah salah satu diantara keindahan yang ada.

"Herve!" panggil seseorang dengan napas tersenggal. Valiant yang merasa terkejut akan panggilan itu sontak membuka matanya. Mata biru laut itu bertabrakan langsung dengan manik binar cokelat tua ketika ia menoleh.

"Aku mencarimu kemana-mana." Ujar seseorang itu. Ia menghampiri Valiant yang masih berbaring.

"Aku membawakanmu sandwich, Herve." Ucapnya berusaha menarik perhatian Valiant yang malah kembali memejamkan matanya. Ia duduk disebelahnya sambil menenteng bekal.

"Aku tahu kau belum makan, Herve." Suara orang itu sungguh mengusik telinga Valiant. Ia sangat jengkel karena orang itu mengganggu waktu santainya.

"Aku tidak mau, Mark." Balasnya berusaha bernada sopan. Orang ituMark, tersenyum tipis. Ia mengamati wajah boneka Valiant dari atas. Valiant begitu sempurna baginya. Bibir merah itu seakan menggoda Mark untuk menyicipinya, angan terbesarnya.

Dengan perlahan, pria tampan itu mendekatkan dirinya kearah Valiant. Merendahkan wajahnya guna menggapai benda lunak itu. Tinggal beberapa senti lagi Mark mendapatkan angannya, namun tak semudah itu, karena Valiant dengan cepat menolehkan kepalanya ke kanan.

"Jangan berbuat konyol padaku, Mark." Ucap Valiant datar. Pergerakan Mark terhenti dengan tidak elitnya. Ia kembali membenarkan posisi tubuhnya. Valiant mempunyai wajah yang menawan seperti boneka, innocence. Namun, kepribadian Valiant yang dingin dan kaku itulah yang justru membuat Mark penasaran dan berniat akan mengejarnya sampai dapat. Ia sungguh menyukaimencintai pria yang tengah memunggunginya ini.

"Aku hanya ingin merasakan bibirmu, ayolah." Ucap Mark tak tahu malu. Valiant membuka matanya tanpa sepengetahuan Mark. Dari sekian banyak pria maupun wanita yang mengejarnya, Mark adalah orang yang paling tak tahu diri bagi Valiant.

"Dalam mimpimu." Balas Valiant sengit. Mark menyunggingkan seringaiannya. Ditaruhnya kotak bekal itu dan menatap tajam punggung Valiant.

Dengan cepat, tangan Mark mencengkram bahu Valiant sehingga pria itu kembali tidur terlentang. Ia membuka matanya. Menatap kesal pada Mark. Mark tak menanggapinya. Tanpa diduga, pria itu langsung menindih tubuh Valiant. Mark mencengkram kuat kedua tangan Valiant yang diata kepala. Ia merendahkan tubuhnya dan berusaha menggapai bibir dambaannya itu. Kepala Valiant tak ada henti-hentinya tertoleh kanan dan kiri. Ia terus memberontak.

"Lepaskan aku, sialan!" teriak Valiant murka. Mark mengindahkannya. Dengan cepat ia menangkup pipi Valiant dengan satu tangannya dan langsung menabrakan bibirnya itu mentah-mentah pada bibir Valiant. Mark merasa gairahnya seketika naik, karena ciuman sepihaknya menjadi sangat intens karena mulut Valiant yang dari awal sudah terbuka.

Mark merasa tubuh Valiant sudah sedikit rileks. Mark ini kisser yang hebat, kau tahu. Akan lebih menyenangkan jika Valiant membalas ciumannya, namun sedari tadi Valiant hanya diam. Tak menolak, tak juga membalas. Tangannya merayap ke punggung mulus Valiant. Berusaha memberi rangsangan pada sang empunya.

"Kau cantik, Herve…" ucap Mark disela-sela kegiatannya.

.

Saat itu, aku juga tak tahu, otakku tiba-tiba menjadi blank ketika mendapat perlakuan seperti itu dari Mark. Pikiranku melayang jauh, entah kemana. Bukan karena perlakuannya, melainkan karena sesuatu hal. Seperti ada yang mengganjal.

Aku membencinya. Perlakuan tak bermoralnya sungguh membuatku geram. Ini adalah ciuman pertamaku. Dan sialnya, orang itulah yang justru mengambilnya secara tak wajar.

Aku memejamkan mataku. Tetap tak membalas. Hatiku bergemuruh. Bukan karena cinta, melainkan perasaan yang jauh berbeda dari itu.

Aku membuka mataku. Perasaan itu sungguh kuat. Aku berusaha memberontak lagi. Dan ciuman menjijikan itu terlepas. Napasnya terengah-engah diatasku. Aku bisa merasakan, gairahnya sedang tinggi. Aku tak tahu, hanya dengan berontakan kecil pula, tanganku terlepas dari tangan yang sedari tadi mencengkramku. Kudorong tubuhnya hingga tertidur di lantai.

Aku mendudukkan diri. Mata kami bertemu. Aku menatapnya penuh kebencian.

"Berani-beraninya kau." Geramku rendah. Ia malah menyeringai hendak mendekatiku lagi. Aku dengan cepat berdiri dan menendang kuat wajahnya. Ia meringis kesakitan. Aku mendekatinya. Menginjak-injak dadanya. Ia terbatuk kesakitan. Aku menyeringai.

'Kau. Tidak. Baik.'

'Kau bisa melebihi ini. Ayo lakukan.'

Aku menghentikan aktifitasku sejenak. Bisikan-bisikan apa itu? Seakan mengiyangi otakku. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling atap gedung. Oh, apa itu? Aku menemukan sebuah cutter di dekat tempat dimana aku berbaring tadi. Aku menendang kuat wajah Mark sebelum beranjak guna mengambil cutter tersebut. Seperti ada dorongan untuk mengambilnya.

Aku mencekiknya. Aku merasakan dorongan-dorongan itu semakin kuat. Menindihnya dan mengacungkan cutter tersebut tepat depan wajahnya. Tangan kananku menuntunku untuk menggores dalam pipi kirinya. Ia meringis perih. Aku menahan senyum, aku merasa menikmati ini!

"H-Herve! L-lepaskan uhuk…a-aku!" ucap Mark susah payah. Aku tertawa meremehkan.

JLEB

Aku membenamkan cutter tersebut pada perutnya. Aku yakin, bukan aku yang melakukannya! Tanganku bergerak begitu saja. Mark menjerit kesakitan.

'Ini kau. Kau tak perlu sungkan untuk mengakuinya.'

'Aku adalah kau. Kau adalah aku.'

Mataku sedikit melebar. Bisikan itu terdengar sangat nyata.

"Aku adalah kau. Kau adalah aku." Gumamku mengulang bisikan tersebut. Dorongan itu semakin kuat. Aku mencabut kembali cutter berukuran lumayan besar tersebut. Aku merasa diriku lebih rileks dan…menikmati sekarang.

Aku menatap lekat raut kesakitan Mark. Aku menusukkan lagi cutter tersebut pada dadanya. Ia semakin menjerit sakit dan aku tak peduli. Aku merendahkan tubuhku, membisikinya, "Kau tak tahu siapa aku."

Kucabut kembali cutter tersebut dan ternyata Mark sudah pingsan tepat sesudah aku membisikinya. Tanganku dilumuri sedikit darah. Cutter tersebut dibanjiri darah Mark. Aku segera menyingkir dari atas tubuhnya. Entah mengapa, aku merasa puas.

'Kau. Itu. Baik.'

'Kau baik.'

Bisikan-bisikan itu datang lagi. Berbeda sekali dengan bisikan sebelumnya. Tanganku masih memegang cutter tersebut. Aku mengamati tubuh tak berdaya Mark. Pandanganku tak fokus. Aku merasa bulu kudukku bergidik.

'Apa yang kau lakukan?!'

'Kau menyakitinya, Valiant! Kau membuatnya sekarat!'

Aku menutup kedua telingaku dan menggelengkan kepalaku. Aku merasa ada getaran rasa bersalah. Aku mengamati cutter itu. Aku tidak melakukannya! Bukan aku!

Aku melempar cutter itu. Biar saja cutter itu terbang di udara dan mendarat tepat di kepala seseorang.

'Kau berhasil melakukannya, Valiant!'

'Kau hebat. Aku akan terus mengembangkan dirimu.'

'Kau adalah aku. Aku adalah kau. Aku adalah dirimu yang lain. Perbuatanmu sungguh membuatku puas.'

'Kau. Tidak. Baik.'

Aku menghela napas panjang ketika bisikan-bisikan itu kembali memenuhi otakku. Aku mengepalkan tanganku yang berkeringat. Sedikit cemas, namun aku tetap mencoba rileks. Dengan perlahan aku melangkahkan kakiku untuk meninggalkan atap gedung. Sesekali aku menoleh guna melihat Mark. Sungguh anak yang malang. Aku bersih, aku tahu itu.

.

.

"Berapa jumlah mereka saat ini?" Tanya Kris disela-sela kegiatan makannya. Valiant berpikir sejenak, "Sekitar dua puluh, kurasa." Jawabnya. Kris menghentikan aktifitas makannya.

"Kau tidak bisa sekolah di sekolah biasa seperti orang normal lainnya, Herve." Ucap Kris serius. Valiant menghentikan aktifitas makannya. Merasa tersinggung dengan ucapan Kakaknya.

"Maksudku, kau ini berbeda, Herve. Impian terbesarku adalah kau menjadi baik sepenuhnya. Kau tidak bisa menyakiti ataupun menghilangkan nyawa mereka hanya karena kau dikuasai kau yang lain saat kau melakukannya." Ucap Kris tenang. Valiant menatap tajam sang Kakak.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya berusaha menahan emosi. Kris berpindah ke kursi sebelah Valiant, ia memegangi kedua bahu Adiknya.

"Sudah berapa banyak psikiater yang menyerah padamu?" Kris menatap lekat manik Adiknya. Ia tahu, bahwa Adiknya sedang menahan emosi yang siap meledak.

"Sudah kubilang. Aku tidak sakit. Aku hanya tak selalu baik." Jawab Valiant balas menatap tajam sang Kakak. Kris menghela napas pelan.

"Kau akan home schooling. Aku tahu yang terbaik untukmu. Aku sudah mengurus kepindahanmu beberapa hari yang lalu." Ujar Kris membuat Valiant menatapnya tak percaya.

"Mengapa kau mengatur-aturku?!" seru Valiant. Kris berusaha sabar lalu menjawab,

"Karena kau adikku. Aku menyayangimu. Mulai besok, kau akan bersekolah di rumah." Ujarnya final kemudian berlalu meninggalkan Valiant yang masih tak percaya.

"Gurumu, orang Paris. Ia akan menempati apartemen di Lyon selama mengajarmu. Ia masih sangat muda dan lulusan Cambridge." Ucap Kris ketika akan menaiki anak tangga ke dua.

"Kau akan belajar enam jam. Dimulai pukul delapan. Dan sebaiknya, kau berperilaku baik ketika bersamanya." Ia menoleh ke Valiant yang masih menatapnya marah. Kris tak peduli pada Adiknya yang pasti sangat jengkel padanya, ini semua ia lakukan agar Valiant lebih baik.

Valiant sedikit mengumpat. Ia bersedekap sambil sedikit menyebikkan bibirnya. Nafsu makannya sudah menguap entah kemana. Rumah ini—lebih tepat disebut istana sepertinya, sungguh sunyi. Hanya ditempati oleh Valiant dan Kris beserta beberapa pelayan yang masih sanggup bertahan.

Valiant berjalan kearah pintu utama. Hawa dingin dan rintikkan hujan menyapanya saat ia membuka pintu. Kepalanya mengadah menatap langit suram itu. Ia memejamkan matanya.

"Aku merindukanmu, Mommy. Maafkan aku. Aku baik, Mom." Gumam Valiant sendu.

.

.

.

TING TONG

"Apa benar ini rumah Tuan Kris Varquez Gallant?" Tanya seorang Pria pada pelayan yang membukakan pintu. Pelayan itu mengangguk sopan lalu membungkukkan badannya guna memberi penghormatan pada sang Pria.

"Kau sudah ditunggu Tuan Kris dan Adiknya. Silahkan masuk." Ujar sang pelayan sopan. Pria itu menganggukkan kepalanya mengerti. Sang pelayan menggiringnya untuk menemui mereka.

Pria itu menahan decakan kagum saat memasuki rumah yang lebih pantas disebut istana ini. Maniknya berbinar takjub pada setiap arsitektur yang terpahat dengan indahnya, dengan gaya khas Eropa-klasik yang sangat elegan. Pilar-pilar menjulang dengan apiknya, lukisan-lukisan menawan yang terpajang dengan anggunnya. Benar-benar seperti istana milik bangsawan Perancis. Ia tak heran, karena orang yang bernama Kris itu berjanji akan menggajinya dengan bayaran yang terbilang fantastis hanya untuk mengajari Adiknya. Ia pasti salah seorang konglomerat Perancis, pikirnya.

"Kau bisa menunggu sebentar disini. Saya akan memanggil Tuan Kris." Ujar sang Pelayan sopan. Pria itu mengangguk. Ia sangat menyukai keseluruhan yang berada di rumah ini—walaupun ia baru melihat tak sampai setengahnya, namun ia sangat terpukau akan keagungan bangunan yang kini ditapakinya.

Tak lama kemudian, seorang Pria yang lebih jangkung dari dirinya menuruni tangga. Pria itu—Kris, tersenyum ramah pada sesosok yang sedang menatapnya penuh hormat.

"Selamat datang di rumah kami." Ujar Kris ramah. Pria itu balas tersenyum.

"Silahkan duduk. Adikku akan turun sebentar lagi. Kau ingin minum apa?" tutur Kris. Pria itu meletakkan beberapa bukunya keatas meja dan menggaruk tengkuknya kaku. Kris terkekeh ringan, Pria dihadapannya ini sungguh kaku, seperti Adiknya.

"Santai saja. Anggap ini adalah rumahmu juga. Aku akan membuatkanmu minuman spesial, karena kau tamu special." Kris menepuk singkat bahu Pria itu kemudian berlalu meninggalkannya.

Ia menghela napas pelan, berusaha untuk rileks. Perlu diketahui, ini adalah pengalaman pertamanya mengajar. Ia baru lulus setahun yang lalu di Universitas Cambridge, dan setelah itu ia kembali lagi ke Paris. Dirinya berniat ingin memperdalam ilmu yang tengah diembannya, namun belum sepenuhnya menguasai, Kris, Pria bak bangsawan itu malah memanggilnya untuk menyuruhnya mengajar dua pekerjaan sekaligus. Namun ia juga masih bingung, darimana Kris, yang notabenenya seorang yang sangat kaya itu mengetahui dirinya. Terlebih di telepon, Kris berbicara seolah Ia-lah orang yang Kris cari-cari selama ini untuk Adiknya.

Lama ia melamun, kalau saja tak ada seseorang yang menyadarkannya.

"Siapa kau?" suara itu terdengar sangat datar dan dingin. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Dirinya duduk tegak dan langsung menemukan, seperti keindahan. Mata biru laut itu bertabrakan langsung dengan mata abu-abu kelamnya. Ia langsung berdiri. Ia yakin, bahwa orang ini adalah Adik Kris. Ia memutuskan kontak mata diantara mereka karena membungkuk hormat.

"Aku Oh Sehun. Aku yang akan mengajarmu. Mohon kerjasamanya." Ucapnya sopan, kemudian ia menegakkan lagi tubuhnya dan melihat Pria yang dihadapannya ini, bersedekap sambil menatapnya tajam.

"Siapa namamu? Kau bukan seorang Perancis. Namamu susah." Ujarnya sedikit jengkel. Sehun tersenyum maklum pada Pria dihadapannya.

Pria dihadapannya ini terlihat seperti boneka menurut Sehun. Pria itu—Valiant mengenakan kaus lengan panjang bermotif abstrak hitam-putih dan celana jeans cokelat muda selutut. Wajahnya terpahat indah seperti halnya boneka. Kulitnya putih mulus, matanya yang bak rusa itu seakan menenggelamkan Sehun kedalamnya. Rambut emas yang menutupi keningnya, serta beberapa anting yang yang menghiasi telinga kanan-kirinya. Bagi Sehun, meski Pria dihadapannya ini berwajah pongah, namun Sehun tetap dapat melihat berapa persen kebahagiaan yang kira-kira menyambangi kehidupannya.

"Saya memang percampuran. Saya lahir di Seoul, namun dibesarkan di Paris bersama Ayah. Ayah saya seorang Perancis." Balas Sehun sopan. Valiant tak terlalu mendengarkan karena tak peduli. Ia duduk di sofa sebelah Sehun, memainkan ponselnya santai. Sehun masih berdiri, agak segan dengan Pria ini.

"Sehun? Mengapa Kau berdiri, sudah ada Valiant. Kalian harus segera memulai, aku sudah membawakan ini semua." Kris tiba-tiba datang dengan membawa nampan besar. Diletakkannya nampan tersebut diatas meja.

Sehun mengangguk dan tersenyum lalu duduk kembali. Kris menghampiri Valiant yang tengah bermain ponsel.

"Apa kau sudah berkenalan dengannya, huh?" bisiknya. Valiant memutar mata malas, lalu mengangguk singkat.

"Kau tidak sopan. Aku tahu kau belum memperkenalkan dirimu. Sekarang cepat, perkenalkan dirimu. Pria ini yang akan menjadi gurumu, Herve." Bisikkan Kris sangat tajam, Valiant pun menghentikan aktifitasnya bermain ponsel dan menatap jengkel Kakaknya.

"Ini Adikku, Sehun. Silahkan perkenalkan dirimu." Ujar Kris menyenggol pelan siku Valiant. Sehun tersenyum maklum lagi, ia pun berinisiatif menjulurkan tangannya bermaksud berjabat dengan Valiant.

"Saya Oh Sehun." Sehun mengulang. Valiant tersenyum mengejek,

"Aku sudah tahu." Kris menyenggol lagi siku Valiant. Ia berdecak samar lalu menjulurkan tangannya, balas menjabat tangan Sehun.

"Valiant Herve." Mata mereka bertemu lagi. Menurut Sehun, mata Valiant sangat meneduhkan. Sehun tak tahu kenapa, jantungnya berdebum keras, dan ia merasa ribuan kupu-kupu berterbangan di perutnya saat tangan Valiant bersentuhan erat dengan tangannya.

Lama saling berpandang, suara Kris pun memecahkan keheningan.

"Nah, sekarang, aku akan meninggalkan kalian. Kuharap, kau, Sehun, bisa mengajari Adikku dengan baik dan Valiant, kau harus bersikap sopan pada Sehun. Walaupun ia masih muda, ia itu pengajarmu, dan usia kalian berjarak tiga tahun. Aku pamit." Kris meninggalkan mereka dalam kecanggungan—hanya Sehun, karena Valiant biasa saja.

"Namamu bagus. Valiant Herve. Dalam menghadapi setiap masalah, Herve, pertempuran. Kau akan pantang menyerah, dan akan terus berani, Valiant. Sepertinya, Orangtuamu mendedikasikan dirimu untuk menjadi pemimpin yang gagah berani." Tutur Sehun berusaha santai. Mata Valiant memicing. Ia pintar juga, pikir Valiant.

"Apa…Asia nyaman? Korea itu berdekatan dengan Cina, betul? Apakah kau pernah ke Cina?" tanpa sadar, kalimat itu terlontar dari mulut Valiant. Padahal, Valiant berusaha sekeras mungkin agar tak terlalu banyak berbicara padanya. Sehun tersenyum tipis.

Valiant baru menyadari. Bahwa Sehun adalah satu-satunya orang berdarah half-Asian yang eum terbilang rupawan—sangat. Rambut hitamnya yang tersisir hingga menutupi kening, mata sipit berwarna abu-abu kelam, kulit seputih susu. Garis wajahnya tegas, hidung mancung dan bibir tipis yang merah alami. Oh, sepertinya, pipi Valiant dihiasi semburat merah.

"Banyak Negara di Asia yang indah, termasuk Korea dan Cina. Aku pernah ke negeri tirai bambu itu, disana tak kalah menyenangkan dengan Perancis." Jawab Sehun diakhiri dengan senyuman tipis.

Valiant tak tahu apa ini, tapi ia merasa jantungnya berdenyut ngilu—menyenangkan saat melihat senyuman tipis itu. Ia menggelengkan kepalanya pelan, seharusnya ia tak perlu menanyakan tentang Asia, terlebih Cina. Valiant benar-benar harus mengeraskan hatinya untuk tidak mengungkit masa silam. Ia tak akan berkunjung ke Asia, terutama negeri tirai bambu itu. Valiant sudah sangat nyaman dan hidupnya ia dedikasikan untuk Perancis, dan Eropa.

Ia juga harus berhati-hati pada Pria yang bernama Sehun itu. Ia tak mau terjebak pada kesalahan yang sama. Bukannya ia membenci orang half-Asian, namun ia hanya perlu menjaga diri dan mengeraskan hati untuk mereka. Valiant sadar dan tahu betul, bahwa sekiranya, ia hampir sama dengan Sehun. Dan Valiant tak akan sudi mengakui itu. Tidak untuk sekarang.

"Hey, apa kau baik?" suara Sehun menyadarkan Valiant akan lamunan panjangnya. Ia pun menatap raut tampan Sehun yang sedikit khawatir. Ia seolah damai saat mata abu-abu kelam alami milik Sehun bertatapan dengan matanya.

"Aku baik." Jawab Valiant kaku. Sehun tersenyum kecil, memutuskan kontak mata diantara mereka.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC


H-A-L-O?!

Wkwkwk. Ini projek terbaru ffku. Gimana? Ada yang bingung teu? Hahaha. Ga bermaksud bikin bingung, Cuma ini alurnya aja yang maju mundur cantik.g

Btw, disini kyoonel bakal nyampein pesan-pesan/? Tersirat gitu, jadi ga secara langsung, biar kalian mikir wkwk /kabur/ dan juga, itu Mark Got7 yak, biar enak aja/?

Ini sok-sok an aja sih bikin ff genre suspense. Gatau deh suspensenya kerasa apa enggak:') disertakan dengan crime dan dibubuhi oleh romance hmm. Ini M-GORE juga ya, jadi tidak diperkenankan untuk readers yang baik hati dan jijikan/? Wkwkwk.

Ini lokasinya di Perancis yak, so pasti mereka ngomong bahasa Perancis hehe. Valiant Herve! Langsung jatuh cinta aja sama nama itu, cocok aja gitu buat si rusa wkwk.

MOHON REVIEWNYA YA TEMAN-TEMAN :)

TERIMA KASIH~