Kau seperti embun yang hinggap di daun talas dan hilang terbias cahaya mentari.

Kau seperti pelangi yang datang setelah hujan. Datang saat-saat rasa sedih menggelayuti hatiku, walau hanya sekejap.

Lalu di lain waktu, kau datang seperti badai yang menabrak sebuah tembok rapuh yang berusaha tetap tegar. Menghancurkannya secara rata hingga tak bersisa. Dan aku hanya pasrah tersapu gelombang bernama duka.

Tapi ketika waktu kembali bergulir, kau kembali datang seperti matahari. Tidak perduli akan badai sekencang apa pun, walau bumi akan roboh, kau tetap berdiri kokoh dan menyinariku dengan cahaya cintamu. Dan terkadang aku berpikir, mana sebenarnya wujud dirimu yang asli?

.

.

.

.

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Look at Me, Sakura! (c) Bang Kise Ganteng

Semua kata-kata yang tertuang dalam fanfiksi ini murni karya author.

Warning!

Plot rush, OoC (sudah pasti), affair-affairan, typo, (miss)typo, dkk.

Gak suka langsung minggat, jika tak mau kena' begal #Plak

Berhubung ini last chapter, jadi agak panjang, semoga gak bosan ya bacanya…

.

.

.


Happy Reading, minna-san ^_^


.

.

.

Uap asap mengepul dari secangkir kopi yang baru saja tiba di mejanya. Sakura menelan ludah gugup. Matanya tak pernah beralih dari liquid berwarna kecoklatan itu, seolah-olah benda itu adalah hal yang paling menarik di matanya.

Ia bahkan tak berani hanya sekedar mengangkat pandangannya dan melihat wajah Gaara. Dan tampaknya pemuda bertatto 'Ai' itu juga masih betah dengan kesunyian yang menyelimuti mereka. Ini bahkan sudah hampir sepuluh menit berlalu sejak keduanya tiba di café ini.

Sakura bergerak dalam duduknya, sekedar menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Kepalanya dengan pelan terangkat dan menatap Gaara yang kini memandangnya. Bibirnya bergetar pelan, ingin mengeluarkan suara namun urung dilakukan ketika melihat tatapan tajam pemuda itu.

"Banyak hal yang telah terjadi," gumam pria merah itu hampir menyerupai sebuah bisikan. Pandangannya kini menerawang ke arah langit luas tanpa celah dari balik kaca etalase. Sakura masih duduk di tempatnya dengan bahu yang merosot turun. "Seperti halnya setahun yang lalu," kini jade itu menatap intens sang Emerald. "Bukan hanya kau, tapi aku juga berbohong padamu."

Sakura tak mengerti maksudnya dan lidahnya terlalu kelu untuk bersuara walau hanya untuk sekedar bertanya 'apa maksudnya?'. Jadi Gaara kembali melanjutkan ucapannya.

"Aku ingat, setahun yang lalu bagaimana ketika kita berpisah," Ia menarik otot-otot di rahang kakunya membentuk senyum sendu. "Waktu itu Kankurou mengatakan bahwa Ayah harus menerima mentah-mentah bagaimana perusahaan kami yang telah ia rintis dari titik nol harus berhenti di tengah jalan," lanjutnya dengan getir. Sakura mengerti sampai di sini, namun tidak bisa mengatakan apa pun. Hal itu sudah menjadi masa lalu dan sudah sangat terlambat jika ingin menghibur pemuda itu sekarang. Apalagi ia sudah menabur luka akibat kebohongannya selama ini.

"Akibat karyawannya yang melakukan penggelapan dana, perusahaan lain terpaksa menarik sahamnya kembali. Masalah langsung datang dengan silih berganti," ibu jari dan jari telunjuk pemuda itu memijat pangkal hidungnya yang sedikit pegal. Gaara memejamkan matanya, coba menggali kembali memori-memori pahit yang ia rasakan dulu.

Di lain sisi, Sakura masih terhenyak dalam diamnya begitu mendengar ucapan Gaara. Bibir bagian bawahnya ia gigit pelan, mencoba menahan isakan kecil yang mungkin tak lama lagi akan lolos dari sana.

Gaara membuka kelopak matanya yang terpejam seraya menengadah, memandang Sakura yang sejak tadi menunduk diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia tak ingin menceritakan hal ini—yang berarti harus kembali membuka luka lama—namun ia merasa perlu untuk menjelaskan semuanya, sebagai alasan atas hilangnya ia beberapa waktu lalu.

"Perusahaan kami bangkrut dan seluruh aset-aset perusahaan tersita habis. Selain itu, kami juga harus melunasi hutang dalam jangka waktu tiga bulan," Ia menghela nafas gusar dan memandang Sakura yang kini menatapnya dengan air mata yang telah mengalir deras di pipinya. "Keluargaku benar-benar hancur dan penyakit jantung Ayah tiba-tiba kambuh," jelasnya lagi. Gaara tetap membiarkan air mata membasahi wajah wanita itu sementara ia terus menceritakan semuanya. "Tapi untunglah, Shikamaru datang dan membantu melunasi semua hutang-hutang kami. Dia yang sudah menikahi Temari-nee dengan senang hati membantu keluargaku," ada jeda dalam kalimatnya sebelum ia kembali melanjutkan, " Aku tak tahu apa jadinya jika dia tidak ada saat itu."

"Mengapa kau tak bilang padaku soal ini," ujar Sakura mencoba menahan getar dalam suaranya. "Kau bahkan tak pernah mengabariku sejak kita lulus menjadi sarjana," air mata tak pernah berhenti mengalir dari emerald teduhnya dan Gaara tak pernah mengulurkan tangan untuk menyeka air mata tersebut. Itu sudah bukan lagi haknya. Apa pun yang ada pada Sakura bukan lagi haknya, meskipun cintanya masih mengakar kuat untuk wanita berhelaian soft pink itu.

"Karena aku takut…" Sakura berusaha menahan isakan dari bibirnya saat mendengar perkataan pemuda berambut merah bata itu, "Kau akan meninggalkan aku nantinya," walaupun percuma saja.

Bukan hanya isakan, tetapi tangisan pilu dia tunjukkan pada pria yang masih mencintainya. Ketika kenyataan begitu kuat menamparnya hingga membuatnya terhempas jatuh ke dalam jurang kehancuran. Ia telah hancur, menjadi kepingan-kepingan kecil saat tak ada tangan yang terulur untuk menariknya dari pintu gelap yang kian menutup dan menjauh.

Tidak Gaara maupun Sasuke.

=0=0=0=

….

=0=0=0=

Jari-jarinya dengan gerakan lihai menekan tuts demi tuts, membentuk sebuah melodi. Bibirnya membuat satu lengkungan kurva tipis yang jarang terlihat, sedangkan kelopak matanya mengatup rapat dengan wajah menengadah, membiarkan bias cahaya keemasaan yang terpantul dari jendela kaca menyirami wajah rupawannya.

Dalam kepalanya berputar ribuan memori, di mana takdir membuat kehidupannya berubah. Dan nada ini sebagai pembicaranya. Tentang hidupnya, dirinya, dan… wanita itu.

Ah, betapa bahagianya.

Senyum makin melebar saat ia akan sampai di bagian akhir. Mendesah pelan, kesepuluh jarinya akhirnya berhenti bergerak dalam hitungan beberapa detik. Kelopak matanya yang sedari tadi terpejam kini terbuka, menampilkan sepasang jelaga yang tak pernah berhenti membius wanita akibat ketajamannya.

PLOK PLOK PLOK

Sasuke melirik dari sudut matanya. Di sana, Uzumaki Naruto tengah bertepuk tangan sambil memoles cengiran lebar yang menjadi ciri khas pemuda tan tersebut. Di belakangnya, Shimura Sai hanya mengulas senyum tipis sambil berjalan menghampirinya.

"Chopin Etude Op. 25 no. 5. Kau memainkannya dengan sempurna, Sasuke," ujar pemuda berambut eboni itu.

Sasuke mengangguk singkat sebelum bangkit berdiri, membetulkan letak jasnya sebentar lantas melangkah ke sudut ruangan. Pemuda itu mengambil sebotol minuman dari lemari pendingin yang ada di ruangan khusus Galeri Seni milik Sai.

"Hahaha, kau tahu, aku hampir menangis mendengarnya," ujar Naruto. Demi mendramatisir suasana, pemuda pirang itu mengusap sudut matanya dengan senyum tak lekang dari bibirnya. "Perasaanmu… benar-benar," lanjutnya kemudian sambil menggeleng pelan,

"Diam, Dobe!" Kata Sasuke sebelum meneguk minumannya hingga tandas setengah. Pemuda bermarga Uchiha itu berjalan mendekati jendela dan bersandar di sana.

"Hari ini cerah sekali," ujar Sai. Pria itu duduk di depan piano peninggalan Ayahnya yang tadi sempat dimainkan Sasuke, menekan tuts-nya sebelum kembali bersuara. "Semua pekerjaan berjalan lancar dan Naruto mengeluarkan kepintarannya hari ini," Sai tersenyum tipis. Dengan setengah menyindir, pemuda itu lanjut berkata, "Mungkin faktor cuaca membuat otaknya mencerna lebih cepat."

Di sisi lain, Naruto yang mendengarnya mencebikkan bibir. "Seharusnya kalian berterima kasih, bukannya malah menghinaku."

"Ya, ya. Terima kasih Naruto," ujar Sai sambil merotasikan matanya jenaka. Sedangkan pemuda lain yang ada di antara mereka masih menatap jalanan penuh sesak di bawah sana, ikut menghitung menit demi menit yang dilalui orang-orang, kapan sekiranya lampu merah di pinggir jalan itu berganti menjadi hijau.

"Sebentar lagi akan malam Sasuke, kau tak menjemput istri kesayanganmu?" Naruto mencoba menggoda bungsu Uchiha itu.

Ada jeda yang lama sebelum Sasuke angkat suara. "Tidak," Ia menggeleng pelan. "Dia memintaku begitu, entah mengapa," tukasnya.

Tak ada yang bersuara selama beberapa detik sebelum helaan napas gusar Sasuke terdengar. Naruto menaikkan sebelah alisnya, sedangkan Sai menatap heran sahabat mereka tersebut.

"Aku pulang!" cetus pemuda berambut raven itu sambil beranjak pergi. Sasuke berbalik sebentar saat tangannya akan menyentuh gagang pintu. "Oh iya, laporan pengeluaran kali ini, aku serahkan kepada kalian," ujarnya sebelum benar-benar ke luar dari ruangan itu.

Sai menepuk bahu Naruto sambil tersenyum setan. "Kuserahkan padamu, Naruto."

"LAGI?!" Pekik Naruto tak percaya yang hanya dibalas dengan tawa tanpa dosa dari Sai. "SIAL," umpatnya keras yang hanya menyebabkan gelak tawa pria eboni itu semakin keras.

.

.

Saat Sasuke masuk ke kamarnya, Sakura ada di sana. Duduk di tepi ranjang dengan gaun tidur tanpa lengan miliknya. Wajahnya yang biasa berseri-seri kini kelihatan murung. Wanita dengan mahkota merah muda itu tampaknya belum menyadari kedatangan Sasuke. Bungsu Uchiha itu berjalan mendekat sehingga gema dari langkah pria itu menyadarkannya.

Sakura dengan cepat mengangkat kepalanya dan menatap Sasuke. "Okaeri," ujarnya pelan, tanpa senyum seperti yang biasa ia lakukan setiap harinya. Tangan lentiknya menyeka sejumput rambut yang menempel pada wajahnya sebelum menyampirkannya ke belakang telinga.

"Hn." Sasuke terdiam sebentar, memperhatikan penampilan wanitanya. Ia menggunakan gaun tidur berwana lavender tanpa lengan, menampilkan kulit putih porselen tanpa celah miliknya.

Sakura bangkit dari duduknya dan membantu Sasuke melepaskan jas kerjanya. Pria itu meringankan tugas sang Istri dengan membantu melepaskan dasinya. Tangan lentik Sakura kemudian membuka kemeja yang melekat pada tubuh suaminya.

"Ingin mandi dengan air hangat?" tanya wanita itu sambil menyerahkan handuk biru pada Sasuke. Ia hanya menggeleng sambil mengelus pelan kulit wajah istrinya sebelum berlalu ke kamar mandi.

Sakura mengumpulkan pakaian kotor Sasuke lalu turun ke lantai bawah. Mengambil dua kaleng minuman bersoda dari lemari pendingin dan kembali ke kamarnya. Suara gemericik yang berasal dari dalam kamar mandi menandakan bahwa Sasuke masih betah berada di dalam sana.

Putri tunggal Kizazhi Haruno itu kemudian berjalan ke balkon, menikmati hembusan angin malam sambil meminum sodanya. Banyak pikiran yang berseliweran di kepalanya. Tentang Gaara, Sasuke maupun hubungan rumah tangganya.

Memorinya kembali memutar ke pertemuannya dengan Rei Gaara sore tadi. Setelah mengetahui semua kebenaran dari Gaara, rasa bersalah yang ada pada dirinya kian mengakar kuat. Seandainya saja ia punya kekuatan untuk mengulang waktu, sekedar kembali ke awal di mana kebohongannya dimulai. Karena jauh di dasar hatinya, Sakura tidak pernah ingin menyakiti siapa pun juga.

Tapi nyatanya, Sakura tidak akan pernah bisa mengulang apa yang telah terjadi atau kembali menuju titik di mana ia memulai. Karena kehidupan itu berjalan maju, bukannya mundur.

Wanita itu memekik kecil ketika sebuah tangan merebut kaleng sodanya. Sasuke berdiri di sampingnya dengan sorot mata yang tajam.

"Aku memanggilmu sejak tadi, kau tak dengar?" Mata Sasuke menyapu seluruh tubuh Sakura saat menyadari apa yang dipakai istri merah mudanya itu. "Dan… apa yang kaulakukan dengan pakaian ini di luar Sakura?"

Semburat merah tipis menyepuh wajah manis wanita itu ketika melihat pandangan sang Suami. "Aku kepanasan Sasuke," jawab wanita itu lirih. "Dan di sini lebih nyaman."

Sakura membuat gerakan memeluk tubuhnya sendiri sebelum mengelus dari siku sampai lengannya. Sasuke merotasikan bola matanya, bersikap pasrah dengan kekeraskepalaan Sakura.

Hening yang cukup lama menyelimuti sekitar mereka dengan suara nyanyian jangkrik sebagai penyapu sunyi. Sasuke berbalik dan menatap langit gelap dengan jelaganya.

Sakura sendiri masih setia memaku sang Suami dengan tatapannya. Melihat bagaimana Sasuke meminum soda dari kaleng yang ia rebut dari tangannya. Memerhatikan apa yang dilakukan Sasuke, dari gerakannya, cara ia menarik nafas, tatapan matanya yang tajam, Sakura menyukainya.

Segala yang ada pada pemuda itu membuat seluruh saraf yang ada di tubuhnya menjadi lumpuh seketika. Seolah-olah dia…. mencintainya. Mencintai segalanya yang ada pada Sasuke. Kedua tangannya ia tangkupkan di dada ketika merasakan degupan kencang di sana.

Sakura merasa bahwa kini semua darah yang dipompa oleh jantungnya berkumpul di wajahnya, membuat rona merah tampak jelas di sana ketika hal itu lagi-lagi terlintas di kepalanya. Segala sesuatu yang membuat sikapnya menjadi aneh di mata Sasuke akhir-akhir ini.

Perasaan semu yang masih Sakura cari kebenarannya.

Sasuke mengernyitkan alisnya ketika tak mendengar suara apa pun dari sampingnya. Ia menolehkan sedikit kepalanya sehingga permata hitamnya dapat menatap wajah sang Istri.

"Sakura," kedua tangan Sasuke memegang bahu wanita itu, membuat Sakura tersadar dari lamunannya. "Kau melamun, hn?" tanyanya lembut.

"Ah, itu… gomen, aku hanya merasa kurang enak badan," matanya menolak menatap onyx itu. Sasuke tak bergeming dan hanya menatap Sakura dengan intens.

Merasa sedikit risih dengan pandangan mengintimdasi dari suaminya, Sakura praktis melepaskan tangan Sasuke yang hinggap di bahunya dan segera berjalan masuk ke dalam kamarnya masih tetap menghindari tatapan tajam permata hitam itu. Namun tidak. Gerakan lelaki itu lebih gesit. Sasuke dengan cepat menarik tangannya dan menghempaskannya ke pintu.

Bibir mungil menantu Uchiha itu mengeluarkan ringisan pelan saat merasakan sakit di punggungnya akibat perbuatan sang Suami. Sakura menengadah dan langsung menemukan pandangan tajam dari sepasang mutiara hitam milik Sasuke.

Ia mengatupkan kedua bibirnya cepat. Tidak pernah sekalipun ia bertemu pandang dengan mata Sasuke yang begitu gelap ini.

"Aku tidak mengerti," lirih pemuda itu hampir menyerupai sebuah bisikan. Onyxnya bergerak ke kanan dan ke kiri, membidik dengan pandangan intens sepasang emerald di depannya. Tak ingin ada sedetik pun terlewat. Seolah-seolah, ia bisa memecahkan satu teka-teki hanya dari tatapan itu.

Rahangnya mengatup keras, "Kau jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya," ujar lelaki itu tanpa melunturkan sedikit pun ketajaman dalam tatapannya. "Kau menangis, tertawa, tersenyum… dan sekarang…" lelaki itu menggeleng tak mengerti, " Kau aneh di mataku."

"Sudah kubilang aku—"

"Che!" Sasuke memotong perkataan Sakura lewat decihan. "Kau selalu berbohong dan menghindariku. Lalu tiba-tiba kau datang dengan wajah manis, membuatku merasakan perasaanmu dan menganggap itu seperti kau menyukaiku," pungkasnya dalam satu tarikan napas.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja—"

Sasuke menggeleng cepat, kedua tangannya menangkup kedua belah pipi wanita merah muda itu, mengelusnya dengan sayang. Membuat perkataan Sakura tak selesai diucapkannya.

"Apa kau punya masalah? Kau bisa mengatakannya padaku," ujar pria itu lirih. Kedua emerald Sakura langsung membeliak mendengar nada sedih dari suaminya, apalagi ketika Sasuke melanjutkan perkataannya. "Aku merasa… menjadi satu-satunya orang yang terlambat memahami dirimu."

Sakura melemah, begitupula Sasuke. Tidak ada suara lagi setelah itu. Keduanya sibuk dengan pemikiran sendiri. Namun tanpa diduga, tangan putih Sakura terulur, mengalung di leher pria itu sedangkan tangannya yang lain menyingkirkan helai raven yang menutupi wajah suaminya.

Ada kilat sedih yang menaungi jelaga hitam tak berdasar itu. Sasuke semakin menundukkan kepalanya, menghindari tatapan Sakura. Ia bahkan tak bergeming sedikitpun ketika wanita gulali itu memberi kecupan di rahang tegasnya.

Kepala Sakura bersandar di bahu kokoh Sasuke. Sakura bahkan tak perduli jika ia harus berjinjit agar bisa lebih merengkuh tubuh hangat itu dalam dekapannya. Ia ingin menghapus segala kesedihan itu.

Sakura menatap lautan malam dengan hamparan bintang dari balik bahu Sasuke. Bibirnya melengkung ke atas tanpa sadar saat kedua tangan kokoh Sasuke melingkar di pinggangnya sementara kepala berhelaian raven itu menumpu di bahunya.

"Bagaimana bisa aku menceritakan masalah itu saat kaulah yang menjadi penyebabnya," gumam Sakura tepat di telinga Sasuke.

Wanita gulali itu merasakan tubuhnya tersentak ke belakang dan jelaga hitam Sasuke yang menatapnya dengan heran. Sakura menggigit pipi bagian dalamnya saat menatap balik onyx itu. Ia ingin memulai semuanya lagi dari awal—dimulai dari sang Suami baru setelah itu ia menyelesaikan masalahnya dengan Gaara.

"Aku?" beonya tak mengerti.

Sakura menunduk. Lantai adalah objek paling menarik untuk dipandangnya kini.

"Aku menyentuhmu, memelukmu, menghirup wangi tubuhmu, rasanya sangat menyenangkan. Mengecup bibirmu, mendengar suaramu dan tertawa bersama seperti menjadi kebutuhanku," Ada nada sedih yang tersirat dari suara Sakura.

Emerald itu memandangnya lekat-lekat, penuh perasaan dan kepastian. Mematut sosok Sasuke dalam lingkaran hijaunya. Hatinya bergemuruh hebat. Sedangkan Sasuke belum melunturkan pandangan herannya. "Apa itu cukup untuk membuktikan bahwa aku cinta kamu," lirih Sakura. Emerald teduhnya memandang mata hitam Sasuke yang tampak terkejut dengan intens.

Sasuke merasa ada uluran tangan yang menyentuh rahangnya, menarik wajahnya mendekat dan menyatukan kedua bibir mereka.

Dingin, hangat dan… manis.

Dingin ketika bibir itu mengecupnya. Hangat ketika lidah itu membelainya. Dan manis…saat rasa itu terkecap olehnya. Padahal kenyataannya, Sakura tak melakukan apa pun padanya selain hanya menempelkan bibir mereka.

"Pertanyaanmu yang waktu itu, apa sudah terjawab?"

Hatinya benar-benar dilanda perasaan senang saat ini. Jantungnya berdegup kencang tanpa bisa ia kontrol. Bibirnya terkulum mencoba menahan senyum. Jelaganya menatap Sakura penuh arti.

"Kau…mencintaiku?" tanyanya skeptis, dengan nada tertahan. Sakura mengangguk dengan penuh keyakinan yang terpancar pada lautan hijaunya yang telah berkaca-kaca.

Apa ini artinya Sakura sudah bisa menerimanya dan melupakan Gaara?

"Coba katakan sekali lagi," pinta Sasuke dengan menatap intens Sakura. Dia tidak ingin ini semua hanya mimpi dan akhirnya Sasuke akan kembali bangun dalam lautan dukanya karena wanita ini.

Kedua tangan lembut wanita bermanik hijau daun itu membingkai wajah si Pemuda Uchiha dan menatap onyxnya dengan lekat. "Aku. Cinta. Kamu," ulangnya dengan lamat-lamat dengan nada tak terbantah.

Sasuke menyentuh tangan itu dan menggenggamnya lembut tanpa pernah sekalipun mengalihkan perhatian dari mata Sakura. Bibirnya perlahan melengkung tipis dan terus melebar begitu Sakura menghambur ke dalam pelukannya.

Ditekannya bibirnya pada pelipis Sakura, sambil bergumam bahagia, "Aku lebih mencintaimu, kau harus ingat itu," sebelum kembali mengeratkan pelukannya pada tubuh yang lebih kecil darinya itu. Membiarkan Sakura mendengar detakan jantungnya yang bertalu-talu. Dan di pertengahan bulan april ini, Sasuke bisa mendengarkan musik dari piano Chopin yang mengelilinginya. Tepat di mana ia mendapatkan kebahagiaannya.

.

.

.

=0=0=0=

.

.

.

Temari baru saja menaruh semangkuk sayur bayam ke atas meja saat melihat adiknya lewat tanpa bicara apa pun. Pemuda bersurai merah bata itu masuk ke dalam kamarnya dengan tak acuh dan membanting pintunya keras-keras.

Temari mengelus dada melihat tingkah adik bungsunya itu.

Sesaat kemudian, Shikamaru datang dengan Shikadai dalam gendongannya. Anak itu berontak dari gendongan sang Ayah begitu melihat makanan kesukaannya sudah tersaji di atas meja. Shikamaru hanya menghela napas dan menurunkan putra tunggalnya—mendudukkannya di kursi khusus milik bocah itu.

Pria itu mengambil sepiring nasi yang telah diisi oleh istrinya dengan berbagai lauk dan sayuran yang masih hangat. Atensi wanita Nara itu kini berpusat pada anak satu-satunya. Melilitkan serbet di sekitar lehernya dan menaruh nasi dengan sup kentang di depannya.

"Kau makan sendiri ya," ia menyodorkan sendok plastik pada Shikadai yang menerimanya dengan antusias. Bocah kecil itu menyuap nasi ke dalam mulutnya dengan belepotan, menarik tangan sang Ibu untuk membersihkan wajahnya. "Anak pintar," ujarnya lagi sambil mengelus surai halus dengan model nanas itu.

Perhatiannya kembali pada sang Suami yang sedang memakan makanannya dalam khidmat. "Kau ingin tambah lagi?" pria itu menggeleng tanpa berucap apa pun. Temari mengangguk pelan dan menggerling menatap pintu kamar adiknya yang masih tertutup rapat. "Aku ingin memanggil Gaara dulu," ujarnya sambil melengos pergi.

Dengan perlahan tangannya mengetuk pintu marmer itu. Sekali. Tidak ada sahutan. Dua kali. Masih sama. Temari mulai tidak sabar, ia mengetuk pintu itu dengan sedikit kuat—hampir menyerupai gedoran—sambil memanggil sang Empunya kamar.

"Gaara!" Tidak ada sahutan. Wanita berkuncir itu baru saja ingin mengetuk pintu untuk yang kesekian kalinya sebelum mendengar suara kenop yang diputar.

Pintu berderit ketika dibuka dan menampilkan sosok Rei Gaara dengan celana training dan kaus merah yang membalut tubuh kekarnya. Handuk kecil menggantung dengan nyaman di pundak kirinya sedangkan tangan kanan pemuda itu sibuk mengusap-usap rambutnya yang basah.

"Ada apa?" suaranya begitu ringan tanpa beban.

Temari mendengus pelan mendengarnya, "Pergilah ke ruang makan, kami sudah menunggumu sejak tadi," katanya.

Gaara lekas menutup pintunya ketika sang Kakak berbalik, "Aku sudah makan," ujarnya sambil mengunci pintu.

Tungkainya dengan perlahan menghampiri ranjangnya, merebahkan tubuhnya di sana. Matanya kemudian menggerling ke samping, ke sebuah figura dengan foto seorang gadis SMA yang tengah cemberut.

Netra hijau klorofilnya yang besar tampak berkaca-kaca, dengan bibir melengkung ke bawah dan pipi merona merah karena kesal. Foto Sakura yang diam-diam Gaara ambil saat Sakura merengek karena Gaara tak sengaja menjatuhkan es krim kesukaannya yang hanya tersisa satu. Foto delapan tahun yang lalu, tepat saat mereka masih duduk di bangku kelas dua SMA.

Ia tersenyum tipis dan mengelus wajah Sakura dalam foto dengan ibu jarinya. Teringat kenangan dulu membuatnya rindu. Rasanya ia ingin kembali ke masa-masa itu dan terjebak di sana bersama gadisnya. Gaara kembali mengulas senyum menawan di bibirnya dan kembali menatap figura lain dengan objek yang sama.

Kali ini menampilkan seorang gadis berbalut gaun merah maroon. Gaun yang Sakura pakai saat menghadiri perayaan kelulusan mereka. Sakura di foto tersenyum lima jari ke arah kamera. Matanya menyipit menyerupai bulan sabit dengan pipinya yang semakin chubby, membuat pemuda bertatto 'Ai' itu ingin mencubitnya karena gemas.

Seperti tersadar akan sesuatu, Gaara segera beranjak dari ranjangnya menuju lemari. Membuka laci di bagian bawah dan menemukan sebuah album. Ia membukanya dengan pelan, membiarkan segala kenangan itu merangkak naik dan mengambil alih pikirannya. Satu per satu.

Ah, rasanya ia ingin kembali ke masa lalu. Masa-masa di mana ia pernah begitu bahagia karena memiliki seseorang di hidupnya. Andaikan saja kenyataan tak begini kejam menghantam dirinya hingga terjatuh dalam kubangan duka bersama dilema. Andai pernikahan antara Sakura dan Sasuke tidak pernah terjadi.

Tapi, bukankah cinta Sasuke hanya sepihak? Istrinya masih berhubungan dengan pria lain di belakangnya. Berbohong padanya.

Ya, itu benar, yakin Gaara dalam hati. Hanya pernikahan bodoh itulah yang menjadi pengikat hubungan mereka. Sebuah bentuk hubungan tanpa ada rasa cinta dari awal.

Tuhan memang bisa membuat langit tanpa tiang. Namun manusia tidak bisa membangun rumah tanpa tiang. Begitupula dalam hubungan rumah tangga. Cinta yang menjadi tiangnya sedangkan kebahagiaan adalah dinding terkuatnya.

Tanpa itu semua, bukan tak mungkin jika badai kecilpun tak bisa menghancurkan dindingnya. Diam-diam lelaki berumur dua puluhan itu mengambil pendapat sendiri.

….

….

….

Nyanyian burung pipit di pagi hari turut mengiringi cahaya matahari yang kini mulai menerobos masuk ke dalam setiap ruangan melalui celah-celah ventilasi. Menyiraminya dengan cahaya keemasan yang perlahan semakin terang.

Sasuke menggeliat pelan dalam tidurnya saat bias cahaya mentari pagi yang telah memayungi kota Tokyo masuk ke dalam kamarnya. Seraya menggeliat, ia eratkan pelukannya pada tubuh mungil seorang wanita yang sejak semalam berbagi kehangatan bersamanya.

"Hei, ayo bangun. Kau harus bekerja, Sasuke," Uchiha Sakura menekan pipi tirus itu dengan jari telunjuknya, mencoba mengganggu sang Empunya agar segera terbangun.

"Lima menit lagi."

Dan untuk yang kesekian kalinya pula ia mendengar gumaman Sasuke tentang lima menit lagi. Lima menit yang sudah setengah jam berlalu.

"Tidak Sasuke, kau harus bangun sekarang," wanita dengan surai merah muda cantiknya itu mencoba melepaskan diri dari kukungan tangan Sasuke yang erat. "Oh ayolah, ini sudah pukul tujuh pagi. Aku harus siapkan sarapan," ujarnya kemudian masih dengan usahanya yang mencoba melepaskan diri dari pelukan sang Suami.

Tubuh kekar itu semakin meringkuk dan menariknya merapat pada tubuhnya. Sakura mendengus keras-keras seperti kuda melihat tingkah Sasuke ini sebelum mendaratkan kecupan singkat pada dagunya.

Kelopak mata itu dengan perlahan membuka, menampilkan jelaga sekelam malamnya yang polos. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis sebelum menggumam, "Kau memang selalu tahu cara untuk membuatku tidak bisa tidur."

Kekehan merdu langsung meluncur manis dari bibir ranumnya dan Sasuke berusaha menahan lidahnya untuk tidak berdecak ketika melihat senyum kemenangan yang terpatri anggun di bibir merah muda itu.

Ya, ya. Uchiha Sasuke mengakui bahwa Uchiha Sakura yang menjadi pemenangnya kali ini. Dia memang selalu menang dalam hal apa pun yang menyangkut tentang dirinya.

"Cepat mandi, aku akan siapkan sarapan di bawah," ujarnya sambil mendorong punggung pria itu masuk ke dalam kamar mandi. Sasuke bergumam dengan malas dan langsung menutup pintunya. Tak lama kemudian, suara gemiricik air shower terdengar dari dalam sana.

Tungkai jenjangnya kemudian berjalan mendekati lemari, mengambil pakaian sang Suami dari dalam sana. Menaruh pakaian kerja Sasuke di atas tempat tidur, Sakura segera meluncur ke lantai bawah. Mencuci muka dan menggosok giginya terlebih dahulu sebelum mulai berkutat dengan bahan makanan.

.

.

Sasuke menyesap ocha—yang baru saja diseduh Sakura—dalam hening sambil membaca koran paginya selagi ia menunggu istrinya menyiapkan sarapan.

Mulai dari berita seputar olahraga, bom bunuh diri, gedung terbakar sampai berita tentang perusahaan pun tak terlewat dari sapuan onyxnya. Jika minggu lalu memuat berita tentang ayahnya, maka kali ini tentang seorang pria paruh baya bernama Fujimaki Kirishawa—Sasuke mengenalnya karena mereka sempat bertemu dalam ulangtahun Ayahnya beberapa bulan lalu. Pria paruh baya itu cukup ramah padanya.

Mata onyxnya kembali menyapu sederetan berita tentang pria itu sebelum menekuk korannya menjadi lipatan dan menaruhnya di atas meja.

Sakura datang bersama nasi goreng omelet buatannya. Sasuke tersenyum tipis sambil meraih sendok dan menyantap sarapannya dengan tenang.

"Hari ini aku punya shift sampai jadwal makan siang," ujar Sakura setelah Sasuke menghabiskan separuh makanannya. "Kau ingin makan malam apa, mungkin pulang dari rumah sakit aku langsung belanja ke pasar," Sasuke kembali menyesap tehnya sambil tetap mendengarkan ucapan sang Istri. "Sekalian beli bahan untuk buat kue, nanti aku antar ke Ayah dan Ibu. Mereka pasti senang, apalagi saat ini Kak Itachi ada di sana," Sakura tersenyum tipis.

Sasuke menggangguk sembari tersenyum manis. "Apa pun itu, kalau masakanmu pasti kumakan," ujarnya.

"Idih, gombal," balas Sakura sambil bersemu merah. Wanita kebanggaan Uchiha itu mengikuti langkah sang Suami, meyuruhnya duduk di sofa. Selagi Sakura memakaikan sepatu untuknya, Sasuke menggerling pada arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya.

"Sudah siap," gumam Sakura sambil menatap Sasuke yang juga menatapnya. Tangannya berada diatas lutut pria itu. "Sudah periksa semuanya? Yakin tak ada yang ketinggalan?" tanyanya kemudian. Kepala berhelaian raven itu mengangguk singkat dan mengelus kepala sang Istri penuh sayang.

Pria bermarga Uchiha itu dengan cepat bangkit berdiri diikuti Sakura. Wanita itu berjalan di belakangnya—mengantarnya sampai ke depan pintu. Hal ini sudah seperti menjadi rutinitas bagi istrinya itu bahkan sebelum pengakuan tadi malam terjadi.

Sasuke menarik kepala sang Istri dan mengecup keningnya berkali-kali dengan mesra. Ia tumpahkan seluruh perasaannya dalam kecupan itu, menghantarkan aliran listrik yang menyengat tubuh Sakura dalam kebahagiaan.

"Hati-hati," kata wanita gulali itu saat Sasuke telah masuk dan menyalakan mesin mobilnya. Sasuke tersenyum ringan dan mengangguk singkat sebelum melajukan kendaraannya ke luar dari halaman rumahnya. Sakura yang melihatnya ikut tersenyum.

Inilah kebahagiaan yang selalu ia impikan bersama suaminya sejak dulu. Ia benar-benar bahagia, seolah semua beban yang tampung di atas punggungnya terangkat ke atas. Dalam sekejap, Sakura mampu melupakan seorang Rei Gaara karena euforianya.

=0=0=0=

Sakura mendorong troli berisi barang belanjaannya menuju kasir dengan senyumannya yang khas. Sang Penjaga kasir itu memberi secarik kertas kecil berisi jumlah harga ketika ia selesai membayar. Tersenyum sekali lagi sambil mengucapkan terimakasih, Sakura langsung ke luar dari tempat itu sambil menenteng barang belanjaannya. Memang tidak berat mengingat Sakura hanya membeli beberapa cokelat batangan, bubuk kue, tepung dan persedian makanan untuk seminggu ke depan.

Wanita bersurai pink pucat itu berdiri menunggu taksi lewat. Dia sengaja tidak menelepon Sasuke karena tak ingin mengganggu pekerjaan suami ravennya itu mengingat akhir-akhir ini dia sangat sibuk. Sakura menghela napas dalam dan memandang ke depan.

Matanya tiba-tiba terbelalak kaget saat melihat sosok Gaara berdiri di seberang jalan sana sambil menatapnya. Kendaraan yang berlalu lalang di depan mereka tak menjadi penghalang saat kedua netra dengan warna serupa itu bertemu.

Sakura menelan ludahnya susah payah ketika melihat pemuda merah itu mulai berjalan ke arahnya. Demi apa pun juga, dia belum siap setelah kejadian di café kemarin.

"Sendirian? Kau tidak bekerja?" pemuda itu langsung mencecarnya dengan pertanyaan begitu ia sampai di hadapan Sakura.

Sakura mengangguk pelan sebelum menjawab, "Iya, shift-ku hanya sampai jadwal makan siang."

Pria berumur dua puluh empat tahun itu menggangguk mengerti. Jadenya bergulir ke bawah, melirik tangan Sakura yang dipenuhi oleh beberapa plastik berisi belanjaanya.

"Kau tampak terkejut saat melihatku, ada apa?" pemuda itu mulai membuka suara dengan datar sambil menghitung kendaraan yang lewat di depan mereka. Sakura hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Gaara melirik sekilas lewat ekor matanya dan menghela napas. "Dua hari lagi, aku akan meninggalkan Jepang," tukasnya.

Keterkejutan spontan menabrak Sakura, membuatnya diam tak berkata. Tiba-tiba tangan Gaara menariknya, membuat kedua netra mereka bersiborok. Ia letakkan kedua tangannya di bahu mungil wanita itu, meremasnya pelan.

"Aku menaruh sesuatu di depan rumahmu, sebagai hadiah dariku. Kuharap kau suka," ujarnya. Sakura hanya menatap Gaara dengan pandangan kosongnya. Gaara akan pergi, mengapa ia tidak rela begini? Pemuda ini akan meninggalkannya, bukankah seharusnya dia senang? Senang karena hubungan rumah tangganya takkan terancam hancur lagi.

Ia mulai gusar. Menatap sang Pemuda dengan pandangan terlukanya, Sakura mulai buka suara. "Kau akan pergi ke mana?" walau sedikit tercekat, Sakura masih bisa mengontrol getar dalam suaranya.

Pemuda bertatto merah itu kembali menarik sudut-sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Khas seorang Rei Gaara sekali. "Kanada. Mungkin dalam rentang waktu yang lama atau aku tidak akan kembali lagi ke sini," pungkasnya sambil mengangkat bahu tak acuh.

Dan hari ini, perasaan seorang Uchiha Sakura sukses hancur diterjang badai bernama Rei Gaara. Namun tampaknya kejutan Gaara tak hanya sampai di sini saja. Terbukti dari senyum misterius yang lelaki merah itu lemparkan saat melihat ekspresi tak karuan Sakura.

"Oh lihatlah CEO kita ini, tersenyum menawan sepanjang hari," sindir Naruto. Sai di sebelahnya tertawa renyah sedangkan Sasuke hanya mengulas senyum miring. "Apa mungkin Shion menaruh sesuatu dalam gelas kopimu? Atau kau tak sengaja terbentur sesuatu?" si Pirang jabrik itu makin menjadi karena tak mendapat tanggapan apa pun dari sahabat Uchiha-nya.

"Diamlah Naruto, Sasuke sedang bahagia saat ini. Jangan karena Karin menendangmu ke luar dari kamar, kau melampiaskannya pada Sasuke," pemuda eboni itu tergelak mendengar perkataannya sendiri.

"Mengapa begitu?" Sasuke mengangkat alisnya penasaran dan menatap kedua temannya bergantian.

"Dia menggandeng Hyuuga Hinata, siswi SMA. Cantik, sih. Karin yang merasa tersaingi langsung minta pisah ranjang," jawabnya dengan kekehan geli sambil menepuk pundak pemuda Uzumaki itu penuh simpati. Sedangkan Naruto di sebelahnya merengut sebal sambil melotot galak ke arah Sai.

Sasuke tersenyum di tempat duduknya melihat tingkah random kedua temannya yang kini tengah beradu argumen.

"Dasar playboy kelas cacing."

"Mayat hidup."

"Muka rubah."

"Berhenti. Kalian terlihat seperti anak kecil," interupsi Sasuke—saat Naruto akan melayangkan penghinaannya pada Sai—dengan datar. Suami Sakura itu mengecek sebentar beberapa file yang baru diperiksanya sebelum memanggil sang Serketaris.

"Ya, Tuan," ujar gadis cantik bermanik violet itu sambil ber-ojigi singkat. Sasuke menyerahkan beberapa file dalam map dan satu lembar kertas di atasnya.

"Jam berapa kita akan pergi?" tanyanya tanpa mengalihkan perhatian dari layar monitor.

"Setengah jam dari sekarang, Tuan. Aku sudah siapkan semuanya," ujar sang Gadis Mikko. Sasuke mengangguk mengerti dan membiarkan gadis itu ke luar dari ruangannya.

"Aku tidak tahu jika akan ada meeting hari ini," ujar Naruto heran. Jemari Sasuke kembali menari di atas keyboard, membuat suara 'tak tik tak tik' pengisi keheningan yang sejenak ada di antara mereka sebelum kemudian berhenti bergerak.

"Bukan meeting, aku hanya menemui Shikamaru dan menjalin kembali kerja sama dengannya," ujar Sasuke. "Gaara akan pindah dari Jepang dan Shikamaru yang akan menggantikannya," lanjutnya kemudian.

"Itu bagus," Sai menyahut dengan datar. Pandangannya lurus menatap Sasuke dengan beribu misteri yang tak bisa terpecahkan.

"Sai, jangan bilang kau membenci Gaara."

Tidak. Itu sama sekali bukan seperti yang dikatakan Naruto. Dari pandangannya, pemuda eboni itu menyiratkan hal yang lain. Bukan rasa benci, tapi sakit hati. Namun, sakit hati karena… apa?

.

.

.

.

.

.

.

Sakura mebuka album berwarna cokelat muda di tangannya dengan perlahan. Kenangan masa lalu yang indah langsung menyeruak masuk memenuhi kepalanya, memaksa Sakura menarik satu senyuman simpul di bibirnya.

Sakura terus membalik lembar demi lembar tersebut hingga ia menemukan secarik kertas di sana.

Kenangan yang takkan kulupa.

Hati Sakura berdebar kencang ketika matanya menyapu sederet kalimat yang tertulis rapi di sana. Ia sangat mengenal tulisan ini, tulisan Gaara. Matanya kembali bergulir ke bawah, ke deretan tulisan lainnya.

Sakura…

Ada luka yang secara tak sengaja kau koyak dalam hatiku. Aku tak menyalahkan dirimu karenanya, karena aku juga ikut andil dalam bagian ini. Aku yang pergi tanpa kabar dan menghilang dalam waktu yang lama.

Kupikir, waktu sepuluh tahun sudah sangat matang untuk menjalin hubungan yang lebih dalam lagi. Aku ingin cinta kita menyatu dalam satu ikatan sah bernama pernikahan, seperti apa yang selalu kau inginkan dulu.

Tapi kenyataan tak berjalan mulus sesuai rencana. Aku sudah menceritakan bagian ini di pertemuan kita sebelumnya, 'kan? Aku tahu, seharusnya sejak saat itu juga aku mengatakan hal ini. Aku mencintaimu dan berharap kau kembali. Ya, hanya berharap.

Sakura, tiga hari lagi aku akan pergi ke Kanada dan mungkin tak kembali. Aku sudah merencanakan hal ini sejak jauh-jauh hari. Namun aku juga tak bisa pergi dengan tangan hampa, dengan kata lain… aku ingin kau ikut.

Tapi semua pilihan ada di tanganmu, kau yang berhak memilih. Pergi denganku dan kembali merajut cinta kita atau tetap tinggal bersama Sasuke.

Aku tak berharap apa pun, aku hanya ingin kau bahagia. Aku juga akan siap dengan segala keputusanmu nantinya. Tapi pilihlah yang benar-benar tulus dari hatimu.

Sakura… maaf jika aku menuliskan hal konyol sepanjang ini hanya dalam secarik kertas. Jujur saja, aku tidak tahu harus menatapmu bagaimana nantinya. Oh ya, jika nanti akhirnya kau memilih Sasuke, tolong simpan kenangan kita ini dengan baik, sebagai pengingat bahwa aku pernah ada dalam hidupmu.

Tapi jika kau memilihku, ambilah visa dan paspor juga tiket pesawat yang telah kuselipkan di lembar berikutnya dan datang temui aku. Aku akan menunggumu, selalu.

Sakura langsung membalik halaman berikutnya dan menemukan apa yang dikatakan Gaara. Ternyata pemuda itu benar-benar serius padanya. Sakura meremas pinggiran kertas itu sebagai pelampiasan emosinya.

Hatinya berderit sakit. Mengapa takdir harus begini kejam padanya. Saat Sakura sudah memantapkan dirinya untuk bahagia bersama Sasuke, Gaara malah datang dan meluluh lantakkan semuanya hingga hancur tak bersisa.

Ding!

Sakura mengerjapkan mata guna menghapus buram yang menyinggahi permata hijaunya. Wanita yang hampir berumur kepala tiga itu langsung menyambar benda tipis berwarna biru metalik miliknya yang beberapa detik lalu berbunyi.

Ada sebuah pesan masuk di sana, dari suaminya. Sakura membuka pesan itu dan tersenyum tipis.

Aku pulang pukul tujuh. Siapkan makan malam yang enak untukku ya~—Sasuke.

Singkat namun terasa manis. Dalam sekejap Sakura mampu melupakan semua kesedihannya. Ia kembali melempar pandang pada benda di tangannya dan mengelusnya dengan sayang. Selang beberapa detik kemudian ia bangkit dari duduknya, membuka laci nakas dan menaruh benda itu di dalam sana. Netra hijaunya beralih menatap jam yang menempel kokoh pada dinding. Sudah pukul lima sore. Ia harus bergerak cepat sebelum Sasuke pulang.

Wanita merah muda itu lantas melangkah ke luar kamar dengan senyum tipis yang terpatri di bibir ranumnya.

.

.

.

.

Sasuke mengendarai mobilnya dengan kecepatan konstan di jalan bebas hambatan. Sesekali netranya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum pendek telah menunjukkan pukul delapan lewat—ini sudah terlambat satu jam dari janjinya.

Sasuke langsung berjalan masuk dengan tergesa-gesa setelah memakirkan mobilnya di garasi. Pemuda itu bahkan tak sadar ia telah berlari bak orang kesetanan saat memasuki rumahnya.

"Sakura?" Sasuke berdiri di ambang pintu dapur dengan napas terengah sambil menatap Sakura yang kini tengah menuangkan jus tomat ke dalam gelas. Wanita itu berbalik dan melempar cengirannya.

"Hai, kau baru pulang?" Tanyanya sambil menaruh dua gelas berisi jus tomat ke atas meja. Sasuke menghampirinya sambil menggulung lengan kemeja dan tersenyum penuh rasa bersalah.

Ia menarik kursi untuk duduk dan menatap semua makanan yang tersaji di atas meja. "Semuanya terlihat lezat," pemuda itu membasahi bibir bawahnya dengan saliva sebelum meraih sendok.

"Tidak ingin mandi dulu?" tanya Sakura. Pria raven itu menggeleng pelan dan mulai menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Oishi," gumamnya sambil berdecak pelan begitu rasa makanan tersebut terkecap oleh lidahnya. Sakura mengukir senyum sambil menyodorkan segelas jus tomat pada Sasuke.

"Aku juga membuat pudding mangga, tidak terlalu manis," wanita Uchiha itu berjalan mendekati lemari pendingin dan mengambil beberapa mangkuk berisi pudding dari dalam sana. Sasuke meliriknya sekilas sambil meneguk jus tomat kesukaannya.

Lelaki itu menghela napas, "Kau tidak makan?" tanyanya pada akhirnya. Ia mulai mengunyah pudding dalam mulutnya dengan mengernyit; makanan itu masih terasa sangat manis di lidahnya.

"Aku—tidak!" balas Sakura setelah beberapa saat sambil meminum jusnya. Wanita merah muda itu kemudian bangkit, mengumpulkan piring kotor dan menaruhnya di bak pencuci piring. "Kau ingin mandi? Akan kusiapkan air hangat ya," katanya kemudian.

Sasuke bangkit berdiri dan menjawab dengan tak acuh, "Tidak," Ia menahan lengan sang Istri dan menarik tubuh mereka mendekat. Sakura bisa merasa rasa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Tangannya menahan dada bidang itu; membuat jarak yang tak bisa dibilang jauh.

Sasuke menghembuskan napas hangatnya di wajah wanita itu sembari menyingkirkan helai rambut dari wajah sang Istri dengan tangan kirinnya. "Aku merindukanmu sepanjang hari," gumamnya sambil menekan bibirnya pada dahi wanita itu. Sakura memejamkan matanya dengan bibir melengkung ke atas.

"Aku juga," bisiknya.

Sasuke mendesah, entah karena apa. Pandangannya menatap langit-langit dapur dengan menerawang. "Rasanya seperti mimpi," Ia melepaskan pelukannya dan mengetuk dahi lebar Sakura dengan dua jarinya. "Tapi kau nyata," dia tersenyum kemudian.

Bibir peach Sakura merengut, "Apa artinya?" dia bertanya, merujuk pada hal yang baru saja dilakukan sang Suami pada dahi lebarnya. Matanya memancarkan rasa ingin tahu yang tinggi. Sasuke tersenyum tipis sambil menaiki undakan tangga menuju kamarnya sambil bergumam.

"Artinya, rasa sayang yang tiada batas," lalu punggungnya hilang di balik sekat dinding.

.

.

.

.

.

.

.

Temari membantu adiknya mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Tiga hari lagi, pemuda rupawan itu akan pergi ke luar negeri. Ia melirik Gaara lewat ekor matanya dan melihat sang Adik kini tengah mengumpulkan beberapa macam DVD, buku dan figura ke dalam kotak kardus.

"Kau juga akan membawa itu semua?" pekik sang Kakak dengan nada melengking. Gaara menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melirik malas ke wanita Nara itu.

"Ini akan kukembalikan pada Sakura," katanya datar. Ia bisa mendengar helaan napas panjang dari belakangnya.

"Dia sudah menikah, kau harus ingat itu!" tukasnya. Dadanya naik turun tidak beraturan, seakan-akan menahan emosi yang terjebak di dalam sana. Diamnya Gaara hanya menghasilkan keheningan yang tak berarti. "Jangan jadi bodoh Gaara. Kau bisa merusak—"

"Mereka tidak saling mencintai," desisnya marah. "Tidak ada cinta dengan dasar perjodohan, Temari. Jangan kolot," tukasnya tajam.

Temari diam, tak mengerti dengan jalan pikiran adik bungsunya. Ia gigit keras-keras bibir bawahnya menahan emosi. Tak menunggu apa pun lagi, wanita berkucir empat itu langsung ke luar dari kamar bernuansa putih gading tersebut dan membanting pintunya keras-keras sambil mengumpat.

Meninggalkan Gaara sendirian yang kini tenggelam dalam keheningan.


=0=0=0=


Ada udara hangat yang menyapu kulit tengkuknya sebelum lingkaran tangan itu menariknya ke belakang. Sakura tersenyum, tahu siapa oknum yang berani melakukan hal ini padanya.

"Sudah bangun," Ia membetulkan letak kain yang sedang dijemur sebelum menjepitnya di dua sisi. Tak ada jawaban yang terdengar namun kepala berhelaian raven itu bertumpu pada bahunya, membuatnya sedikit merinding.

"Aku lapar."

Suara datar itu otomatis mengundang kekehan geli Sakura. Wanita itu melepas lingkaran tangan Sasuke dan menatapnya dengan wajah kaget yang dibuat-buat. "Tapi aku sudah buatkan sandwich untukmu," ucapnya.

Sasuke sedikit manja—Sakura menyadarinya semenjak malam itu. Hal itu tak pelak membuatnya gemas pada suami ravennya ini. Bersama Sasuke, membuatnya lupa akan segala hal—termasuk Gaara.

Oh ya, tentang pemuda itu, Sakura jadi ingat tentang permintaannya tempo hari. Sakura kembali menatap Sasuke yang kini membantunya menjemur pakaian. Tinggal satu hari lagi sampai semuanya berakhir. Sesuai dengan keputusannya.

Ia tidak ingin berpisah dengan Sasuke—begitupula dengan Gaara. Dia membutuhkan keduanya. Jika Sasuke adalah napasnya, maka Gaara yang menjadi udaranya. Jika tidak ada mereka, sama saja dengan mati. Namun saat ini, Sakura harus melepaskan salah satunya.

Egoiskah jika ia menginginkan keduanya?

"Sasuke," panggilnya lirih. Pria raven itu menoleh dan menatapnya dengan pandangan penuh makna. "Masuk yuk, aku harus siap-siap," lekas ia menarik tangan suaminya masuk ke dalam rumah. Pria itu berjalan mendekati wastafel dan mencuci tangan. Selagi Sakura mengeluarkan bumbu dan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng dari dalam kulkas, lelaki itu duduk di meja makan sambil membaca koran paginya.

Sudah pukul delapan pagi dan ia harus bergegas. Sasuke tidak pergi ke kantor— Ia menyerahkan urusannya pada Naruto dan Sai. Setelah menyiapkan sarapan untuk Sasuke, Sakura langsung menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap.

.

.

.

.

Sasuke mengantarkannya dengan senang hati ke rumah sakit. Setelah melepaskan safety belt, Sakura tak lekas turun melainkan bersandar ke arah pria itu, memberikan kecupan pada bibirnya.

Tanpa mengatakan apa pun lagi, menantu Uchiha itu segera keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah sakit. Wanita itu menyapa beberapa perawat yang lewat termasuk para pasien. Tubuhnya langsung hilang dari pandangan begitu selesai membuka pintu.

.

.

.

Sasuke tak tahu apa-apa tentang sebuah kardus yang kini ada di depan pintu masuk rumahnya. Memarkirkan Porsche-nya, pemuda Uchiha itu lantas menghampiri kotak kardus yang tak jelas asal-usulnya tersebut.

Tidak ada nama pengirim atau apa pun selain nama Sakura yang ditulis menggunakan spidol hitam. Dengan begini Sasuke yakin, bahwa ini adalah kiriman paket untuk istrinya. Dengan cepat ia membawa benda itu masuk ke dalam kamar, menaruhnya di samping pintu.

Rasa penasaran mendominasi kepalanya dengan hal-hal tak masuk akal. Ia melempar pandang pada kardus yang teronggok malang di depan pintu itu sekali lagi sebelum mengambil gunting dari laci.

Hal yang dilihatnya pertama kali adalah sebuah album berwarna cokelat susu. Sasuke sangat mengingat apa pun yang pernah dilakukannya dan ia merasa tak pernah menaruh album itu di sana. Mungkin Sakura? Ia membenarkan kalimat itu dalam hati. Namun yang ia tak mengerti adalah; setelah mengambil gunting dari sana, ia turut membawa album itu bersamanya. Entah karena apa.

Sasuke berjongkok di depan kardus tersebut dan menggunting perekatnya dengan pelan. Hal yang pertama ia lihat setelah membuka penutupnya adalah; bermacam-macam foto Sakura menggunakan seragam SMA, beberapa DVD, buku dan sebuah bandana berkuping kelinci.

Semuanya terlihat seperti milik Sakura. Apa mungkin Kizazhi yang mengirimkan ini untuk anaknya? Tidak mungkin, Sasuke berucap dalam hati.

Ada kertas yang menyembul saat Sasuke mengeluarkan buku tebal dari dalam sana. Uchiha bungsu itu mengambilnya sebelum membacanya.

Otanjoubi omedetou, Gaara-kun. Semoga makin pintar ya~ aku mencintaimu.—Sakura-chan.

Sasuke menahan napasnya ketika membaca sederet kalimat dengan tulisan tangan yang sangat di kenalnya itu. Siapa yang mengirim semua ini? Apakah Gaara… atau—

"Selamat atas pernikahanmu, Uchiha-san."

"Tenang saja, aku mengetahuinya dari Shikamaru."

Ingatan Sasuke berputar pada malam pertemuannya dengan Rei Gaara. Kalimat ganjil yang diucapkan pemuda itu, mengapa ia baru menyadarinya sekarang.

Oh Tuhan! Sasuke seperti merasa dibodohi selama ini. Gaara tahu semuanya, yang berarti ia telah bertemu dengan Sakura.

Dengan gontai, pemuda bermarga Uchiha itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke ranjang. Tak lupa, ia membawa serta albumnya. Menaruhnya dengan asal di atas meja. Sepuluh detik kemudian, matanya kembali menggerling pada benda itu sambil bertanya-tanya. Akhirnya, dengan rasa penasaran yang tak lagi bisa berkompromi, Sasuke meraih benda itu dan membukanya dengan perlahan.

Halaman pertama berisi foto-foto Sakura dengan seragam SMA; sedang tersenyum, melamun bahkan tertawa. Hal ini tak pelak menarik senyum Sasuke. Berlanjut ke halaman berikutnya, masih berisi foto-foto Sakura saat membaca buku, menangis—Sasuke baru sadar kalau Sakura sangat menggemaskan saat menangis. Membuka halaman selanjutnya, Sasuke terkejut ketika selembar kertas jatuh ke atas pahanya.

"Ini—"

=0=0=0=0=

"Tadaima," ucap Sakura saat memasuki rumahnya. Wanita itu melangkah gontai mendekati sofa dan menghempaskan tubuhnya di sana. Tubuhnya terasa remuk redam akibat menunggu Sasuke berjam-jam namun pria itu tak kunjung datang.

"Sudah pulang," Sasuke berdiri di anak tangga dan menatapnya. Wajahnya sedatar tembok tampak dingin seperti udara yang berhembus di luar sana. Sang Wanita hanya mengangguk dan berjalan mendekati suaminya.

"Sudah makan?" tanyanya yang hanya dibalas gumaman pria itu. Sakura tampak berpikir sebelum mengangguk pelan. Wanita gulali itu langsung melangkah menaiki undakan tangga sebelum suara sang Suami menghentikannya.

"Hm?"

"Kita harus bicara."

Dan Sakura tidak ada pilihan lain mengikuti langkah pria itu masuk ke kamar—walau dengan langkah berat.

.

.

Suara benda keras membentur lantai ketika dibanting terdengar jelas dalam ruangan itu. Mulutnya memekik pelan sambil menatap tak percaya pelaku yang masih berdiri dengan wajah datar di depan sana.

"Apa yang kaulakukan?" akhirnya ia bertanya. Decihan itu praktis ke luar dari mulut sang Lelaki yang kini berdiri pongah.

"Mengapa kau tak bertanya pada diri sendiri, 'apa yang telah kaulakukan?'" balasnya.

Sakura menggeleng, "Aku tidak mengerti. Dan darimana kau dapatkan semua ini," matanya menggerling pada tumpukan buku yang sesaat dibanting Sasuke ke lantai. Berjongkok, ia pungut salah satu buku bersampul hijau tua itu. Matanya membeliak ketika mengingat hal ini, "Mengapa bisa ada di sini?" katanya lirih—seolah bertanya pada diri sendiri.

"Kautahu, kau menyakiti hati semua orang Sakura." Matanya beralih pada Sasuke, menatapnya nanar. Ia menggeleng keras, seolah mengatakan bahwa apa yang pria itu katakan adalah salah. "Kau selingkuh—"

"Tunggu! Jangan katakan apa pun lagi," Sakura berlari secepat kilat dan menutup bibir pemuda itu dengan tangannya. Matanya menatap gelisah kedua onyx Sasuke sebelum menunduk. "Aku bisa jelaskan," lirihnya.

"Tidak perlu," tangan Sasuke mengepal di dalam saku celanannya, "Aku sudah tahu semuanya. Sekarang…" pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan menyodorkannya tepat di depan wajah Sakura. "Kau yang pilih sendiri."

Sasuke tak perlu menjelaskannya secara spesifik, Sakura sudah mengerti maksudnya. Dan untuk melakukan hal itu, ia harus menyakiti salah satunya.

"A-aku… tidak tahu," lirihnya. Onyx itu masih membidik emeraldnya dengan tajam. Sakura kembali bersuara dengan tangisnya. "Mengapa kalian begitu egois, menyuruhku menentukan sesuatu seperti ini."

Sasuke berjalan menuju ranjang, tampak lelah dengan pembicaraan ini. Ia menaruh visa, paspor dan tiket itu di atas ranjang kemudian mengambil bantal.

"Karena tidak ada seorang lelaki pun yang ingin bersama wanita yang masih menyimpan nama pria lain di hatinya," dengan langkah tenang ia berjalan ke luar kamar, meninggalkan Sakura yang masih diam mematung di tempatnya.

dan aku merasa bodoh karena melakukannya sejak dulu—batin Sasuke.

.

.

=0=0=0=

.

.

Segala hubungan mereka berubah sejak malam itu. Sasuke tak pernah menyapanya di waktu pagi. Bahkan saat ini mereka tak lagi tidur bersama. Pria itu bahkan terkesan menghindarinya, dan ini membuat Sakura merasa sakit hati.

Wanita itu duduk di kamarnya, merenung. Wajahnya pias, dengan bibir pucat. Kembali ia melirik benda yang ditaruh Sasuke di atas ranjangnya tadi malam. Benda itu yang menjadi taruhannya saat ini. Ambil dan pergi atau pura-pura tak melihatnya.

Dia tak tahu semuanya akan menjadi rumit pada akhirnya. Dia menyayangi keduanya tapi harus memilih salah satunya. Menggerling sekali lagi, Sakura lekas menyambar benda itu dan memasukkannya ke dalam tas dan pergi.

.

.

Tak ada satupun dari dua pria itu yang mengetahui penyebab perubahan Sasuke. Pemuda Uchiha itu sedang tidak dalam mood yang baik jika wajahnya sangat datar dengan bibir yang mengatup rapat. Bukan sehari dua hari mereka mengenal Uchiha Sasuke.

"Sasuke—"

"Sstth," Sasuke berdesis dan menaruh penanya dengan asal di atas meja. "Kurasa, sebaiknya aku menceraikan Sakura."

Sai dan Naruto tampak terkejut—semua orang akan begitu. Pasangan muda yang bahkan sehari sebelumnya baik-baik saja tiba-tiba akan berpisah, siapa yang tidak terkejut.

"Mengapa Sasuke, kukira kalian baik-baik saja," Sai berujar, masih dengan tampang terkejutnya.

"Tidak ada yang baik-baik saja," pria itu menggeleng pelan. "Kupikir, setelah Sakura mengatakan cinta padaku, kami bisa memulai sesuatu yang baru. Tapi tidak. Kata-katanya malam itu tak lebih untuk mengelabuiku."

Sasuke melirik dua sahabatnya yang masih tak mengerti, terlihat jelas dari wajah mereka. "Dia akan pergi bersama Gaara. Dia membohongiku selama ini," ada nada sedih di akhir kalimatnya.

Sai tahu betul bagaimana perasaan Sasuke, begitupula Naruto. "Dia hanya ragu, Sasuke. Wanita itu makhluk paling peka. Makanya jika mereka berbohong, itu karena dia tak ingin menyakiti perasaanmu," ujar Sai bijak. Sasuke mencernanya lamat-lamat sebelum melirik curiga ke arah pemuda eboni itu.

"Kau berbicara seolah-olah tahu semuanya," katanya. Sai mengumbar senyum tipis.

"Tentu saja aku tahu, bicara apa kau," wajahnya kembali serius ketika menatap Sasuke. "Kau bilang ingin bercerai, kau bisa saja menjadi orang jahat karena menyakiti perasaan wanita. Beri dia waktu Sasuke dan bicarakan hal ini baik-baik."

Tapi semua tidak berjalan seperti apa yang Sai bicarakan. Ketika pulang, Sasuke tidak menemukan istrinya di rumah. Padahal Sasuke tahu, wanita itu muntah-muntah dengan hebat tadi pagi. Wajahnya pias dan tidak secerah kemarin. Walau begitu, ia tetap tak mengacuhkannya dan pergi bekerja.

Dan sekarang, Sakura sudah pergi. Mungkin meninggalkannya mengingat besok kepergian Gaara. Ia menyesal karena tak mencegah wanita itu. Saat ini, hanya hujan deras di luar sana yang menggantikan tangisnya.

.

Sakura berlari sekuat tenaga menerobos hujan di luar sana. Tinggal sedikit lagi ia akan sampai tempat tujuan. Melihat bangunan megah yang hanya berjarak beberapa meter di depan sana ia merasa senang. Dengan cepat ia berlari ke sana dengan benda yang telah basah dalam genggamannya.

Gaara ke luar dari dalam rumahnya dan menatap Sakura yang telah basah kuyup berdiri di depannya. Tubuhnya menggigil pelan dengan mata merah seperti habis menangis seharian. Tak tega, ia menarik wanita itu masuk ke dalam rumah namun Sakura menolaknya.

"Gaara, aku…"

Gaara menyela, "Tunggu sebentar, kuambilkan handuk,"dengan cepat ia berlari masuk ke dalam dan meninggalkan Sakura di luar. Tak menghiraukan pandangan heran dari Temari dan Shikamaru.

Beberapa menit kemudian pemuda merah itu kembali dengan handuk tebal di tangannya. Ia menarik Sakura mendekat, dan menyelimutinya dengan handuk itu.

"Bodoh. Apa yang kaulakukan di tengah hujan seperti ini," pemuda itu menceramahinya dengan blablablayang Sakura tidak begitu dengarkan. Karena ada hal yang lebih penting dari itu.

"Aku ingin bicara," ucapnya dengan bibir bergetar sambil menahan tangan sang Pemuda yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Aku tidak bisa ikut denganmu. Maaf Gaara, tapi sekarang aku mencintai Sasuke. Sangat."

Lelaki di depannya terdiam seribu bahasa, tak tahu harus menanggapi dengan apa. Tapi yang jelas, sakit hati itu tetap ada.

"SASUKE!"

Pintu menjeblak terbuka dengan Sakura berdiri di ambang pintu dengan napas terengah. Matanya dengan rakus membidik segala arah. Namun tidak ada Sasuke di sini.

Tubuhnya berbalik ke belakang dengan tiba-tiba dan rengkuhan tangan kokoh mengelilingi pinggang dan punggungnya. Wajah orang itu tenggelam di cerukan lehernya sambil menggumam samar.

"Sasuke," Sakura menarik wajah itu dari bahunya, membingkainya dengan kedua tangan. Sasuke mengambil sebelah tangan wanita itu sedang tangan yang lain masih setia berada di pinggangnya.

"Aku berharap ini bukan mimpi," ujarnya. Sakura menggeleng dengan airmatanya. Melihat wajah terluka prianya membuat hatinya perih. Sasuke menarik kepalanya mendekat dan menghujani wajah itu dengan ciumannya sambil bergumam, "Syukurlah ini bukan mimpi. Aku hampir kehilanganmu."

Ia tatap wajah penuh airmata itu dengan lekat, "Aku menolak Gaara. Aku mengatakan semuanya, termasuk… aku mencintaimu."

Sasuke tersenyum sendu mendengarnya, "Tapi kau mencintainya juga," ujar Sasuke. Ia bisa melihat sedikit kekosongan dalam mata Sakura saat menyebutkan nama Gaara.

Sakura kembali bersuara sambil menatap Sasuke dengan sungguh-sungguh, "Ya, mungkin," bibirnya kembali mengumbar senyum, "Tapi aku lebih mencintaimu."

Tak ada yang bersuara lagi setelahnya, karena Sasuke langsung menarik wajah mereka mendekat dan memangkas jarak yang tersisa lewat ciuman yang menggebu. Di tengah pagutannya, Sakura kembali mengingat….

Hujan masih enggan berhenti. Menghasilkan suara berisik. Membasahi setiap sudut jalan tanpa terlewat sedikitpun.

Mereka masih di sana, berdiri dengan kebisuan masing-masing sebelum suara salah satunya terdengar, "Gaara, apa kau merasa sakit?"

Yang ditanya hanya tersenyum pahit, "Apa yang kautanyakan, tentu saja ini menyakitkan," Ia berusaha sekuat mungkin menahan tangisnya sehingga napasnya tercekat. "Tapi, kalau kau bahagia dengan pilihanmu, maka tidak apa-apa."

Sakura menatapnya dengan nanar, tapi dia sudah menentukan pilihan. Ia berusaha sekuat mungkin menahan langkah agar tidak memeluk pria itu, yang pastinya akan membuat rasa sakitnya bertambah.

"Gaara, apa kau membeciku?"

Angin bertiup kencang sedangkan sang Pemuda masih terdiam sambil menatap sang Wanita. Bibirnya perlahan melengkung ke atas, "Bodoh. Tidak pernah ada cinta yang berubah menjadi benci," ucapnya sambil menepuk pelan kepala merah muda itu.

Sakura tersadar dari lamunannya saat mereka menyudahi ciumannya. Napasnya sedikit tersenggal, kontras dengan Sasuke yang biasa saja. Mereka kembali bertatapan seperti sepasang kekasih yang sudah terpisah sejak lama.

Ia sudah melepaskan Gaara dan akan bahagia bersama Sasuke. Dia telah melepaskan cintanya yang lain dan menggenggam salah satunya. Seperti teringat sesuatu, Sakura kembali menatap Sasuke.

"Oh iya, aku punya sesuatu," Sakura tersenyum misterius membuat satu alis Sasuke terangkat. "Coba tebak!" ujarnya.

Pria itu mendengus pelan sambil mengerutkan dahi, "Aku tidak suka main tebak-tebakan," katanya datar. Sakura memberengut imut sambil memukul jenaka lengan suaminya. "Katakan saja apa isinya?"

Hilang sudah wajah imut Sakura digantikan dengan wajah cantiknya yang biasa. "Aku…" alis Sasuke semakin menukik, merasa begitu penasaran dengan ucapan wanita itu. "Aku…" Sakura tampaknya sedang menggodanya. Wanita Uchiha itu terkekeh geli melihat wajah cemberut Sasuke sebelum akhirnya berjinjit dan memberi kecupan di pipinya setelah berbisik, "Aku hamil."

.

.

.

.

Tapi ternyata aku salah.

Kau bagaikan udara. Tak terlihat, tak tersentuh, tapi tetap berhembus dengan tak jenuh…

Karena kautahu, aku takkan bisa bernapas tanpamu.

.

.

.

Next to epilogue


A/n:

Tinggal satu chapter lagi buat epilog-nya. Senang bgd cerita ini udh tamat, hehehe. Ohya, music Chopin yang dibilang Sasuke waktu di balkon itu; Ecossaises Op. 72 No. 3. Aku suka bgd dengarnya.

Buat masalah chapter yang ilang, udah saya bilangkan mau edit typo (buat yang login) terus saya juga ada masuk ke kotak review, yang ada baca pasti tahu. Jadi gak ada maksud apa-apa. Soal sok-sok-an buat penasaran itu; ohohoho, NO!