"Keluarkan aku!" Kaito menendang pintu ruang bawah tanah dengan sekuat tenaga. "Aku yang seharusnya membunuh Neishi! Kenapa kalian membiarkan Gakupo sendirian di luar?!"

Len mencoba menarik Kaito untuk menjauh dari pintu, "Tenanglah, Shion Kaito!"

Menghela nafas, Rin melirik Megurine yang terlihat berantakan. "Kau baik-baik saja?" Tanya Rin yang masih menatapi Megurine dengan seluruh badannya yang hampir terbakar.

Dengan matanya yang sayu dan suaranya yang tenang, Megurine tersenyum, "Mungkin. Dan lagi, Megurine tidak bisa mati, jadi Kagamine Rin tidak perlu khawatir."

"Meskipun kau tidak bisa mati, kau bisa saja terluka parah dan harus menjalani hidupmu dengan keadaan tidak sehat." Balas Rin yang sudah agak muak dengan sikap Megurine.

"Megurine sungguh tidak apa-apa, yang terpenting adalah..." Megurine mengangkat tangan kanannya dan meniupkan sebuah asap dingin berwarna putih ke arah Kaito dengan hembusan yang lembut.

Kaito yang tadi masih meronta-ronta pun tumbang, dia tertidur lelap bagaikan bayi di lantai. Megurine menoleh ke arah Rin dan tersenyum, "...kita harus membuat Shion Kaito berpikir jernih akan keputusannya setelah dia bangun."

Len menghela nafasnya, "Dia benar-benar merepotkan." Dia melirik Rin, "Tunggu... jika Shion Kaito tertidur, siapa yang akan memakai segel youkai di ruangan ini?"

Megurine meraba dada Kaito menemukan dua atau tiga lembar segel youkai di balik bajunya. Ia pun menariknya, tiba-tiba tangan Megurine mulai mengeluarkan asap hitam.

"Megurine!" Len tampak ketakutan, "Lepaskan segelnya!"

Megurine pun menempelkan semua segel-segel tersebut di setia sudut ruangan, "Ini sudah cukup. Kita tidak bisa keluar, dan tidak ada youkai yang bisa masuk ke ruangan ini."

Rin menatapi Kaito dengan mata kecewa, "Jadi, kita haru menunggu dia hingga sadar?"


Sementara itu, di halaman belakang Kuil Shion, Neishi menahan tubuh Gakupo dan membuatnya tidak bisa bergerak.

"Berhentilah melindungi seorang Shion! Sadarlah akan posisimu, Seiran! Kau adalah Rubah Putih! Dan aku adalah Rubah Merah! Seharusnya kita selalu bersama dalam keadaan apapun!"

Gakupo terdiam dan menatapi mata Neishi dengan geram, "Aku tidak akan mengikuti keinginan bocah yang hanya memikirkan kekuataannya untuk kehancuran dunia."

Neishi kembali ke tubuh rubah besarnya, lalu membanting tubuh Gakupo ke tanah dengan keras, berulang kali, hingga Gakupo mulai mengeluarkan darah dari mulut dan hidungnya.

"Tidakkah kau sadar betapa bodohnya saat kau mengatakan kalimat itu?!" Neishi meraung dan tidak berhenti membanting tubuh Gakupo. Neishi pun melemparkan tubuh Gakupo hingga dia menabrak pohon besar.

Gakupo terduduk hampir tidak berdaya dan menarik sesuatu dari bajunya. Dengan wajah yang damai, Gakupo mengeluarkan apa yang baru saja dia tarik. Mata Neishi membulat dan mencoba untuk tidak menyerang.

Di tangan Gakupo, ada hiasan rambut milik Seiran yang selalu diinginkan oleh Neishi. Hiasan rambut itu berbentuk jarum besar dengan sebuah tali perak di ujungnya dan sebuah bola bulat kaca putih menggelantung di ujung tali peraknya. Bola kaca putih itu mengeluarkan cahaya yang cukup terang dan seakan-akan cahaya di dalamnya terlihat hidup.

Gakupo menyeringai dengan senyumannya yang mengerikan, "Kau tahu apa yang akan terjadi jika aku memecahkan bola kaca ini di tanganku?"

Neishi tampak gemetaran, "Berikan..." Neishi pun kembali ke tubuh manusianya dengan wajah yang panik, "Berikan itu padaku..." Kini dia tampak geram, "Jika kau berani memecahkan—"

Namun Gakupo sama sekali tidak menghiraukan Neishi. Dengan sekuat tenaga Gakupo meremukan hiasan rambut tersebut di tangannya.

"Tidak!" Neishi berteriak sekeras mungkin.

Cahaya putih menyelimuti seluruh tempat itu, Neishi sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Kekuatan Neishi seperti tersedot habis dan dia tidak berdaya untuk kembali ke wujud rubahnya. Dia terlihat lemah dan lemas, saat dia membuka matanya dia melihat sebuah tangan di depannya, menyulur seperti tangan itu memberikannya pertolongan untuk berdiri.

"Sei... Ran..." Neishi mengeluarkan suara lemahnya.

Dihadapan Neishi, Gakupo tampak seperti seorang dewa dengan penampilannya yang semua berlapis putih—bahkan lengannya yang putus telah tumbuh kembali. Rambutnya yang biasanya terikat, kini terurai dengan lembut. Setelan pakaian tradisionalnya cukup panjang dan hampir menutupi tanah di bawahnya. Gakupo menarik tangan Neishi dengan perlahan.

Tangan Gakupo sangat dingin, membuat Neishi sedikit menggigil. "Seiran?" Neishi tidak berhenti mengatakan nama tersebut, memastikan bahwa itu adalah Seiran yang dia kenal.

Gakupo menurunkan tatapan matanya, "Aku Seiran. Tapi sepertinya kau memanggil Seiran yang lain."

Gakupo membuka pakaian Neishi dengan perlahan. Neishi yang masih sempoyongan tampak terganggu dengan apa yang dilakukan Gakupo. "Apa... Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku..." Suara Neishi terdengar lemah.

Menemukan apa yang dia cari, Gakupo menarik kalung panjang milik Neishi. Sama seperti hiasan rambut Seiran, milik Neishi berbentuk sebuah kalung yang talinya terbuat dari emas dengan hiasannya yang berbentuk bola kaca merah.

"Tidak..." Neishi mencoba melawan namun dia tidak berdaya, "...kembalikan..."

Gakupo mengambil kalung itu dan menyimpannya. "Seharusnya kau menggunakannya sejak dulu." Gakupo pun melepaskan Neishi dan membiarkannya tergeletak di tanah.

"Bunuhlah aku, Seiran." Neishi bersikeras dengan tubuhnya yang mencoba untuk bangkit.

"Aku tidak bisa membunuhmu, Neishi." Gakupo mengerutkan alisnya, dia tampak kecewa, "Kau tahu aku tidak bisa melakukannya."

"Aku bisa." Terdengar suara dari arah belakang.

Gakupo dan Neishi menoleh ke arah suara tersebut. Sebuah panah besi menusuk ke pipi Neishi. Gakupo terkejut karena Kaito baru saja menembakkan anak panah itu dengan gagah ke arah Neishi.

Perlahan-lahan, teriakan Neishi mulai semakin keras. Dia tampak menderita dan menyedihkan. Dia tergeletak di tanah dengan erangan sekaratnya. Kaito berlari ke arah Gakupo.

"Gakupo?" Kaito tersenyum tidak percaya, "Kau tampak... menyilaukan."

Gakupo mengangkat tangannya dan melihat pakaiannya yang serba putih dan serba panjang. "Sepertinya merepotkan untuk dipakai berlari."

Megurine dan Kagamine bersaudara keluar dari ruang bawah tanah. Kini Kagamine bersaudara benar-benar bahagia melihat Neishi yang sedang menderita. Namun, Megurine tampak ketakutan melihat Neishi yang seperti itu.

"Apa yang Shion Kaito lakukan pada Neishi?" Megurine tampak berjalan mundur dan menjauh dari Neishi.

Kaito menoleh dengan wajahnya yang bangga, "Aku? Membunuhnya. Ada apa?"

"Shion Kaito tidak membunuhnya. Shion Kaito membuatnya terluka."

"Aku memang sengaja." Kaito memutar matanya, "Aku membiarkan dia menderita dan merasakan sakitnya panah keluarga Shion. Setelah itu mungkin—"

Neishi bangkit dengan tubuhnya yang terdengar aneh, suara tulang-tulang di tubuhnya terdengar dengan keras. Matanya mengeluarkan cahaya merah. Tanpa berkata apa-apa, Neishi menarik panah dari pipinya.

Semuanya terkejut.

Len tampak ketakutan, "Ayolah! Kukira kita akan benar-benar senang!"

Gakupo berdiri di depan Kaito, "Carilah tempat aman dan tembakkan panah besimu ke dadanya atau kepalanya."

Kaito menarik lengan baju Gakupo, "Bagaimana denganmu?" Mata Kaito ketakutan dan dia menyesal tidak langsung membunuh Neishi.

Gakupo menoleh dan tersenyum, "Aku akan baik-baik saja." Lalu, Gakupo mengeluarkan kalung milik Neishi, "Dan bawalah ini. Amankan dan jangan sampai hilang."

"Ini...?" Kaito tidak tahu apa yang dia pegang.

"Pergilah, Kaito." Gakupo pun maju untuk menghadapi Neishi.

Di sisi lain, Megurine juga tidak beranjak dari tempatnya, dia dan Gakupo akan mencoba menahan Neishi selama mungkin dan memberikan waktu untuk Kaito.

Rin menarik tangan Kaito, "Lebih baik kita pergi!"

Len menunjukkan jalan aman menuju hutan. "Sebelah sini!"

Kaito pun lari dan menatap Gakupo sebelum masuk ke hutan.


Gakupo mengernyit, "Kenapa kau selalu seperti ini?" Ucapnya saat dia melihat Neishi berubah menjadi Rubah Merah yang mengerikan. "Kita bisa hidup tenang dan seimbang, tapi kau selalu merasa paling penting."

"Shikitsune no Seiran, kita tidak bisa membunuh Akagitsune no Neishi." Megurine mengigatkan Gakupo karena Megurine tahu dari tatapan Gakupo, dia sudah muak dan ingin mengakhiri Neishi dengan tangannya sendiri. "Ingatlah."

"Aku tahu." Gakupo mengangkat sedikit tangan kanannya, dari tangannya keluar sebuah asap putih dan memanjang hingga asap tersebut berubah menjadi sebuah katana putih yang tembus pandang.

Megurine tersenyum, "Senang sekali Megurine bisa melihat sisi Kamui Gakupo masih ada di dalam Seiran."

Gakupo memegang erat katana miliknya dan wajahnya tampak dingin, "Aku memang Kamui Gakupo. Dan sayangnya, aku juga Shirokitsune no Seiran."

Dengan kakinya yang ringan, Gakupo mulai berlari ke arah Neishi dan menebaskan katana-nya ke kedua tangan Neishi. Sekalipun Gakupo sudah memotong keduanya, lengan Neishi kembali tumbuh dengan cepat.

Gakupo mengernyit dan meloncat ke belakang sebelum Neishi menggenggamnya dengan tangannya. Megurine melihat perkembangan Neishi sebelum menyerang, saat ini, Neishi sedang dalam kondisi 'abadi', dimana seorang youkai bisa beregenerasi dengan cepat dan sangat mustahil untuk membunuhnya, bahkan kekuatannya akan bertambah 100 kali lipat dari biasanya. Kondisi ini sangat jarang ditemui Megurine karena biasanya hanya youkai kelas atas yang bisa melakukannya. Dan kondisi ini adalah pertahanan terakhir. Kondisi yang mematikan, namun jika selesai, akan selamanya.

Megurine tidak berpikir untuk kembali ke wujud pohon akar putih, dia akan menahan Neishi dengan tubuh aslinya. Dia tidak yakin bisa menghentikan Neishi terlalu lama, namun dengan bantuan Gakupo, mungkin dia bisa melakukannya.

"Kamui Gakupo, tancapkan katana-mu ke kepala Akagitsune no Neishi. Dan Megurine akan mengunci semua titik vitalnya."

Tanpa menunggu lagi, Gakupo pun dengan senang hati menusukkan katana miliknya ke kepala Neishi yang tampak menjijikan. Untuk sesaat, Neishi berhenti meronta, namun saat dia kembali bergerak, Megurine melemparkan sekitar ratusan tali berwarna perak dan sedikit warna merah jambu yang bercahaya. Seluruh tali itu mengikat Neishi dengan kencang dan raungan mulai terdengar.

Gakupo menoleh ke arah Megurine, "Apa ini saatnya?"

Megurine masih berusaha mengekang Neishi dengan sekuat tenaga, "Panggil Shion Kaito. Megurine akan menahannya selama mungkin."

"Baiklah." Gakupo pun menghilang dari hadapan Megurine dan hendak mengejar Kaito.

"Tenanglah, Akagitsune no Neishi. Megurine tidak akan membunuh Neishi."


Kaito dan Kagamine bersaudara masih mencari tempat yang aman. Mereka bisa melihat Neishi dikekang oleh Megurine, namun karena sangat jauh, mereka tidak yakin jika Gakupo ada di tempat itu.

Tiba-tiba, Gakupo muncul di hadapan Kaito yang masih berlari. Mereka pun bertabrakan. Gakupo meraih Kaito dan merangkulnya di pelukannya. Gakupo menoleh ke arah Kagamine bersaudara. "Sudah saatnya." Lalu, Gakupo pun menghilang bersama Kaito.

Kagamine bersaudara sempat terdiam. Lalu mereka saling melirik.

"Mau terus berlari?" Tanya Len.

"Bodoh!" Rin menarik lengan saudaranya, "Ini bukan saatnya jadi pengecut! Ayo, kita kembali!"

Mereka pun hilang bagaikan angin.


Gakupo dan Kaito tiba di tempat awal. Kaito terkejut melihat kondisi Neishi, terlebih lagi melihat Megurine yang sudah tidak kuat untuk menahan Neishi.

"Shion Kaito..." suara Megurine mulai putus-putus, "...lakukanlah apa yang harus kau lakukan."

Kaito menelan ludahnya, dia mengangkat busur dan anak panahnya. Saat panah sudah siap untuk dilepaskan, Gakupo menahannya. "Tunggu." Ucapnya.

"Shirokitsune no Seiran! Ini bukan saatnya untuk melakukan hal yang lain!" Megurine tampak kewalahan dengan tali peraknya yang mulai mengendur.

"Jika kau membunuh Neishi..." Gakupo membelai pundak Kaito, lalu dia memegang kedua pundak Kaito. "...kuharap kau siap untuk kehilangan dua youkai Rubah."

Kaito tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya, kini Kaito mulai gugup dan ragu-ragu untuk menembakkan panahnya. Namun, Gakupo tersenyum.

"Lakukanlah. Dunia membutuhkanmu." Gakupo berubah menjadi asap putih bersih dan asap itu mulai mengelilingi seluruh tubuh Kaito.

Mata Kaito kini berwarna biru terang. Tubuhnya lebih sigap dan percaya diri. Dia sudah siap untuk menembakkan anak panahnya, namun, air mata mulai mengalir dari mata Kaito, "Kenapa kau melakukan ini? Apakah pengorbanan ini benar-benar sepadan pada akhirnya?" Dia mengernyit dan menggertak giginya.

Megurine kehilangan kendali, Neishi pun kembali terbebaskan. Saat Neishi berlari ke arah Kaito, Megurine terpental cukup jauh.

Neishi berlari dengan cepat ke arah Kaito dan hendak melahap seluruh tubuh dan jiwa Kaito. Namun sekitar 2 meter kemudian, Kaito memejamkan matanya yang masih mengalirkan air mata dan menembakkan anak panahnya ke arah dada Neishi.

Anak panah itu mulai mengeluarkan api dan tiba-tiba cahaya putih keluar dari anak panah tersebut. Panah itu pun menusuk dada Neishi di posisi yang tepat. Neishi berhenti di tempatnya. Dia menyusut ke wujud aslinya. Wajah Neishi penuh dengan kesakitan, dia tidak meronta, namun dia menganga dan mulai meneteskan air matanya. Lalu, air mata tersebut berubah menjadi darah dan yang juga keluar dari mulutnnya.

"Kau..." Neishi bersuara parau, "...membunuh kami berdua." Neishi mulai memipih menjadi debu, namun suaranya masih terdengar, "Kau adalah yang terburuk, Shion Kaito."

Megurine dan Kagamine bersaudara menghampiri Kaito. Len menempuk pundak Kaito dan tampak puas.

"Akhirnya! Kau telah menyelamatkan dunia, Shion Kaito!" Len tertawa.

Rin menarik Len dan mencoba membaca suasana, "Len! Hentikan!" Rin melirik Kaito, namun dia tidak tahan melihat wajah yang dibuat oleh Kaito saat ini. "Lebih baik kita bantu Megurine."

Rin dan Len menghampiri Megurine dan mencoba untuk menolongnya. Sementara Kaito terdiam, dia tidak menunjukkan wajahnya pada mereka, dia membelakangi mereka dan genggaman tangannya pada busurnya sangat erat.


Beberapa hari kemudian, Kuil Shion tampak penuh dan mereka merayakan kematian sang Rubah Merah. Kiyomi, istri Amagoto mencoba mencari suaminya yang tidak kunjung datang untuk merayakan keberhasilannya.

Kiyomi pun menemukan suaminya sedang berdiri di depan pohon sakura besar di halaman depan. "Amagoto?" Tanyanya.

Kaito membalik badannya dan tersenyum, "Ya?"

"Sedang apa kau berdiri sendirian di sini? Lebih baik kau masuk dan merayakan kemenanganmu di dalam bersama yang lainnya." Kiyomi mencoba membelai pipi Kaito.

Namun, Kaito mengelak dan menahan tangan Kiyomi, "Oh... Maaf." Kaito menurunkan tangannya. Wajah Kiyomi tampak kecewa.

"Mungkin... aku akan kembali ke dalam, jika kau butuh waktu sendirian." Ucap Kiyomi lemah.

"Tidak." Kaito mulai berjalan, "Aku akan ke ruang kerjaku dulu."

"Ba—baiklah." Kiyomi tidak tahu apa yang terjadi pada suaminya.


Di ruang kerja Amagoto, Kaito membuka catatan kepala keluarga Shion. Halaman bernama Shion Amagoto sangat bersih dan sama sekali tidak ada bekas tinta.

Kaito terkekeh, "Apa aku akan menulis pesan pada diriku di masa depan?" Kaito pun menarik kuas dan mencelupkannya ke dalam tinta, "Bodoh sekali, kenapa aku harus menuliskan catatan yang akan aku baca sendiri?"

Kaito pun menuliskan catatannya.

Tak lama kemudian, Kagamine bersaudara muncul di ruang kerja tersebut. Mereka terkejut karena melihat Kaito yang berlinangan air mata. Len yang tidak bisa bereaksi di situasi canggung, membiarkan Rin yang berbicara.

"Shion Kaito." Ucap Rin dengan tegas, "Kau sudah melaksanakan tugasmu. Saatnya kau kembali ke tempat asalmu."

Kaito tersenyum pasrah dengan air matanya yang tidak berhenti, "Masa depanku akan berubah dan mungkin aku tidak akan mengenalnya."

"Semuanya tidak berubah, kecuali kini Neishi telah mati, bukan disegel." Jawab Rin tenang.

"Ayolah, Shion Kaito." Len menghela nafasnya. "Kau tidak akan betah berada di zaman ini. Dan lagi, mereka harus tahu jika Amagoto sudah tidak ada." Len memutar matanya, "Megurine menunggu kita di halaman depan."


Kaito dan Kagamine bersaudara berjalan menuju halaman depan, di sana, Megurine berdiri di depan pohon sakura dengan senyumannya yang bangga.

"Terima kasih, Shion Kaito."

Kaito mengangkat bahunya, "Apa yang aku lakukan?"

Megurine tidak menjawab, namun dia masih tersenyum. Dia pun mengangkat satu tangannya dan Kaito mulai merasakan sebuah dorongan.

"Selamat tinggal, Shion Kaito. Apa yang Shion Kaito lakukan di dunia manusia mungkin tidak akan dikenal dan mereka akan menganggapnya sebagai Shion Amagoto, tetapi, kami para youkai akan selalu mengingat perjuanganmu."

Kaito pun hilang dari hadapan mereka. Megurine melirik ke arah Kagamine bersaudara, "Lakukanlah seperti yang Megurine katakan."

Mereka bedua pun menyatukan kekuatan mereka dan mulai merasuki pikiran semua orang yang ada di tempat ini.

Secara bersamaan, mereka bergumam, "Shion Amagoto telah mati dengan tenang di ruang kerjanya."


Kaito membuka matanya dengan tiba-tiba. Dia melihat langit-langit yang tidak asing baginya, dia sudah kembali ke masanya. Dia mulai menangis dan menutup wajahnya dengan sebelah tangannya.

Beberapa jam kemudian, terdengar suara ketukan pintu. "Kaito?" Ibu Kaito memanggil, "Kau sudah bangun?"

"Iya." Kaito pun bangkit dari kasurnya dan menghampiri cermin. Dia melihat lingkar matanya yang memerah karena menagis. "Ya Tuhan, aku terlihat bodoh."

"Bersiaplah. Perayaan Akagitsune no Neishi akan dimulai nanti malam." Suara langkah kaki ibu Kaito pun terdengar menjauh.

Kaito yang masih menatapi cermin, mengernyit dan tampak risih dengan keadaannya, "Aku sudah muak mendengar nama itu."


Kaito datang ke persiapan altar, dia melihat ayahnya sedang mengatur acara untuk upacara. Sebelum Kaito sampai ke altar, Kiyoteru menghampirinya.

"Tuan Muda Kaito, kenapa anda belum berpakaian untuk upacara?" Tanya Kiyoteru kebingungan dengan tumpukan zabuton di tangannya.

"Acaranya baru akan dimulai sekitar 2 jam lagi, Kiyoteru." Kaito tampak malas menanggapinya, "Aku tidak mau berkeliaran dengan pakaian upacara."

Kiyoteru tersenyum dengan mengangkat bahunya, "Hanya bertanya, Tuan Muda."

"Oh..." Kongon menoleh, melihat anaknya menghampirinya, "Kau ke sini untuk membantu ayah?"

Kaito mengulurkan tangannya, seperti dia hendak meminta sesuatu, "Boleh aku meminjam Catatan Kepala Keluarga Shion?"

Kongo sempat terdiam, lalu dia mengeluarkan catatan tersebut. "Kau belum bisa memilikinya, Kaito. Kenapa kau ingin meminjamnya?" Kongo pun memberikan catatan tersebut.

Kaito menerimanya dan hendak membuka halaman Shion Amagoto, "Tidak juga. Hanya memastikan."

Saat Kaito membuka halaman Shion Amagoto, dia melihat catatan miliknya sendiri.

Akagitsune no Neishi telah dikalahkan. Dia telah mati menjadi debu dan tidak akan lagi mengganggu kedamaian manusia dan youkai. Shirokitsune no Seiran telah mengalahkannya dengan bantuan dari pemuda pemberani bernama Kamui Gakupo. Aku juga membantunya, namun Seiran dan Kamui Gakupo telah melakukan pengorbanan yang besar untuk kematian Neishi.

Mereka mengorbankan nyawa mereka untuk semua ini.

- Shion Amagoto -

Kaito tersenyum lemah. Dia pun menutup catatannya dan mengembalikannya kepada ayahnya. "Kamui Gakupo..."

"Tidak ada riwayat jelasnya. Mungkin Kamui Gakupo adalah salah satu prajurit dari Amagoto." ucap Kongo.

"Tentu saja." Kaito memutar matanya, lalu dia membalik badannya dan berjalan meninggalkan altar. "Aku akan kembali jika upacaranya dimulai."


Kaito duduk di samping gerbang kuil yang menuju ke arah hutan. Dia melipat kakinya dan memeluknya sambil menatap matahari yang akan segera terbenam. Selama ini, Kaito tidak pernah merasakan kesepian seperti ini. Dia selalu senang sendirian, tetapi kini dia merasa hampa.

Dia ingat pertama kalinya bertemu dengan Gakupo di gerbang ini. Kenangan yang aneh, namun kini Kaito berharap hal itu terjadi kembali. Bermaksud untuk menahan degupan dadanya, Kaito yang memegang dadanya, merasakan sesuatu dari dalam bajunya. Saat dia membukanya, dia melihat kalung yang diberikan Gakupo sebelum dia membunuh Neishi.

Kalung yang terbuat dari benang emas dan hiasan bola kaca merah itu tampak kontras dengan keadaan langit sekarang. Matahari terbenam membuat langit berwarna jingga kemerahan. Hiasan bola kaca merah tersebut tampak hidup. Kaito pernah melihat hiasan seperti ini, seperti milik Gakupo, bukan berbentuk kalung tetapi hiasan rambut. Kaito tidak tahu apa sebenarnya benda ini, tetapi Neishi ingin sekali memiliki hiasan rambut milik Seiran, Kaito pun berpikir mungkin benda ini sangatlah penting.


Kaito terduduk hingga malam, dia tidak ingin kembali ke kuil. Dia bisa melihat keadaan di sana yang sudah ramai. Kaito hanya ingin terdiam, duduk, dan mengasihani hidupnya sendiri. Dengan kalung berhiaskan bola kaca merah di tangannya, Kaito pun mulai meneteskan air matanya yang sudah dia tahan.

"Gakupo..." Bisiknya.

Tiba-tiba, bola kaca merah tersebut menyala sedikit lebih terang dan terasa cukup panas. Kaito pun dengan refleks melepaskannya dan mengibaskan tangannya.

"Apa-apaan itu?!" Kaito mengusap tangannya yang kepanasan.

Kaito menatapi bola kaca tersebut, cahaya merahnya cukup terang dan sebuah gumpalan asap di dalamnya. Kaito tidak tahu apa yang terjadi, dan terlebih lagi, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan kalung ini. Tetapi dia berpikir, bola kaca ini bereaksi ketika dia menyebutkan nama Gakupo.

"Gakupo." Ucap Kaito lagi. Dan ternyata benar, bola kaca itu kembali bercahaya lebih terang.

Kaito tidak ingin gegabah dengan apa yang dia lakukan, tapi dia ingin sebuah jawaban, "Seiran." Bola kaca itu bercahaya lebih terang lagi, membuat gerbang kuil tampak berlampu.

Kaito berdiri dan menggenggam bola kaca tersebut. Tanpa ambil pusing, Kaito pun meremas bola kaca tersebut.

Tiba-tiba, langit malam berbubah menjadi merah kelam. Orang-orang di kuil terkejut. Kaito menutup matanya dan merasakan sebuah dorongan yang hebat. Tubuhnya terasa panas dan mungkin dia sudah tidak kuat lagi. Saat Kaito perlahan membuka matanya, di hadapannya ada seekor Rubah Merah besar.

Itu bukan Neishi, Kaito tahu, karena auranya berbeda. Rubah Merah itu tampak tenang dan mengibaskan ekor apinya. Kaito tidak bisa melihat dengan atau mendengar dengan jelas, tetapi dia tahu jika Rubah Merah itu berbicara padanya.

"...Shion Kaito...Kau...Bisa..." Rubah Merah itu terus-terusan memanggil nama Kaito.

"Apa?!" Kaito tidak mendengarnya dengan jelas karena suara gemuruh angin dan petir.

Namun, suasana tiba-tiba tenang, bahkan terlalu tenang, sunyi, tidak mengeluarkan suara apapun. Saat Kaito membuka matanya, dia tidak berada di gerbang kuil, namun dia berada di sebuah tempat luas berwarna kemerahan, tempat ini tidak berujung bagaikan ruang hampa. Rubah Merah berdiri di hadapannya.

"Kau telah membinasakan Neishi."

Kaito tampak ketakutan, "Aku... harus melakukannya..."

"Kau telah membinasakan Seiran."

Kini Kaito menangis, "Aku... maafkan aku..."

Saat Kaito mengangkat wajahnya, di samping Rubah Merah, muncul Rubah Putih. Kaito pun terkejut, "Gakupo!"

Rubah Putih itu terdiam, tidak merespon seakan-akan Kaito memanggil orang lain. Rubah Merah pun menghampiri Kaito.

"Kami bukan Neishi ataupun Seiran. Kami adalah Rubah Merah dan Rubah Putih."

Kaito sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Rubah Merah ini. Bukannya Neishi dan Seiran adalah Rubah Merah dan Rubah Putih? Pikir Kaito.

"Kau memang telah membunuh Neishi. Tetapi, jiwa Rubah Merah tidak akan pernah mati. Itupun berlaku bagi Rubah Putih."

"Ja—jadi... Siapa Neishi? Dan siapa Seiran?" Kaito kebingungan.

Rubah Putih pun akhirnya maju dan mulai berbicara, "Ribuan tahun yang lalu, jiwa Rubah Merah dan Rubah Putih tersimpan dalam dua bola kaca yang diberi mantera. Kami tidak akan pernah keluar dari sana karena ini memang tempat kami."

Rubah Merah pun meneruskan, "Kami sadar, sekalipun bola kaca kami diberi mantera, kami tidak bisa menahan kekuatan kami sendiri. Kami juga bersembunyi dari Megurine karena kami tidak tahu apa yang akan dia lakukan dengan kekuatan kami. Ternyata, Megurine sama sekali tidak memiliki niat untuk menguasai kekuatan kami."

"Berarti... Neishi dan Seiran, dulu juga seorang manusia?" tanya Kaito.

"Tidak. Kami tidak berurusan dengan manusia saat itu." ucap Rubah Putih.

"Akhirnya," Lanjut Rubah Merah, "Kami seenaknya menggunakan kekuatan kami untuk menciptakan sebuah jiwa murni. Dua jiwa murni yang kami beri nama Neishi dan Seiran."

"Neishi terbutakan oleh kekuatan." Ucap Rubah Merah, "Aku yang berada di genggaman tangannya tidak bisa melakukan apapun selain mendengar kata hatinya untuk menguasai seluruh manusia dan youkai."

"Tentu saja." Kaito berpikir, "Aku tahu Rubah Merah dan Rubah Putih harus ada, tapi..." Kaito pun teringat akan Gakupo.

"Kau bisa bertanggung jawab atas perbuatanmu, Shion Kaito." Rubah Merah menggelintirkan bola kaca merah pada Kaito.

"Eh?" Kaito kebingungan saat mengambil bola kaca tersebut, "Apa maksudmu?"

"Kau tidak membunuh Rubah Merah. Aku berdiri si sini. Tetapi..." Rubah Merah mencoba menjelaskan sesuatu. "Kau membunuh Neishi. Dan sekarang, Rubah Merah tidak memiliki jiwa yang mengendalikan kekuatannya."

"Jadilah jiwa yang menyatu dengan Rubah Merah dan kau bisa menjadi Akagitsune no Kaito." UcapRubah Putih.

"Apa?!" Kaito keberatan. Dia tahu dia membunuh Neishi, tetapi jika harus bertanggung jawab untuk menjadi Rubah Merah sangatlah mustahil. "Lalu, bagaimana dengan Rubah Putih? Kau juga akan mencari jiwa baru?"

"Shion Kaito, apa kau tahu bagaimana Rubah Merah dan Rubah Putih hidup?" tanya Rubah Putih.

"Aku..." Kaito merasa malu, "...tidak tahu."

"Kau telah membunuh jiwa Neishi, tapi tidak membunuh jiwa Seiran, yang seharusnya kami memanggilnya Shirokitsune no Gakupo."

"Itu..." Entah kenapa, Kaito merasakan sesuatu dalam hatinya, dia ingin mendengar apa yang dia inginkan.

Rubah Putih mengibaskan ekornya, "Jiwa Kamui Gakupo masih ada dalam diriku. Tetapi aturan sebagai youkai Rubah adalah mereka yang harus selalu bersama. Kini Rubah Merah tidak memiliki jiwa pengendali, maka Rubah Putih harus mencabut jiwa pengendalinya juga hingga Rubah Merah memilikinya lagi."

Kaito tersenyum namun dia terus mengeluarkan air matanya, "Jadi... jika aku menjadi Rubah Merah, Gakupo akan..."

Rubah Merah mengangguk, "Kami merasakan jiwa kalian yang selaras. Kami tidak akan sembarangan memberikan kekuatan kami. Tetapi kalian berdua berada di irama yang sama. Maka kami memutuskan untuk memilihmu sebagai jiwa pengendaliku."

Kaito pun menutup matanya dan mengangguk setuju, "Lakukanlah."


Kaito membuka matanya perlahan. Ia melihat ke sekelilingnya, dia masih berada di gerbang kuil. Kaito tahu akan sangat pegal untuk berdiri dari duduknya, namun dia berdiri dengan mudahnya.

Kaito pun mengangkat kedua tangannya, dia melihat lengan bajunya yang sangat panjang dan berwarna merah. Dia menelan ludah dan berusaha untuk tidak panik. Lalu, Kaito melihat ke arah bawah dan mengenakan baju tradisional berwarna merah. Dan juga, Kaito melihat kalung Rubah Merah menggantung di lehernya.

"Tidak mungkin." Gumamnya.

Kaito pun menoleh ke arah samping, dan di pilar gerbang kuil sebelahnya, berdiri sosok yang tidak asing di mata Kaito. Gakupo yang berbaju serba putih dan mengenakan hiasan rambutnya berdiri menyandar di pilar, menyilangkan tangannya, dia tersenyum sambil melihat penampilan Kaito.

"Kau tampak menawan." Ucap Gakupo.

Kaito pun berlari ke arah Gakupo dan memeluknya dengan erat. Gakupo tersenyum dan membalas pelukannya.

"Maafkan aku." Ucap Kaito yang menguburkan kepalanya di dada Gakupo.

"Kenapa kau meminta maaf?" Gakupo membelai kepala Kaito. "Kau telah menyelematkan kami semua." Gakupo pun mengangkat dagu Kaito.

Kaito masih menangis tersedu-sedu dengan wajahnya yang memerah dan Gakupo tidak bisa menahan dirinya melihat wajah Kaito. Gakupo pun mencium bibir Kaito dengan lembut hingga akhirnya ciuman itu semakin dalam dan mereka bisa merasakan lidah mereka satu sama lain.

Gakupo melepaskan ciumannya dan memeluk Kaito dengan erat. "Baiklah, Akagistune no Kaito. Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Kaito masih menguburkan kepalanya di dada Gakupo, "Bawa aku ke tempat yang jauh dari semua orang dan biarkan kita hidup berdua saja."

Gakupo tersenyum, mereka pun menghilang meninggalkan gerbang kuil.


THE END