You Are Mine

Sequel from : A Little Piece of Heaven

Disclaimer : Masashi Kishimoto. Pairing : NaruSaku-ever. Warning : Rated T-M (for language, lime, etc). Family. Hurt/comfort. Romance. (maybe)

OOC. AU. Typos. Mainstream theme.

Story by Hikari Cherry Blossom24

.

.

.

Don't like? DON'T READ!

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Enjoy It!

"Aku menyukaimu. Ahh, tidak! Lebih tepatnya, aku mencintaimu.."

Seseorang mengatakan hal tersebut dengan wajah datar— juga nada datar.

Gerakan Naruto saat hendak menyuap roti lapis terhenti, kala pernyataan yang sama seperti biasa kembali terungkap secara langsung dihadapannya. Roti utuh dalam genggaman tangannya ia letakan kembali diatas piring, ia lalu segera meneguk susu hangat sebagai ganti dari roti yang tak jadi ia makan.

Sakura duduk diseberang Naruto, sembari terus memerhatikan gerakan sang adik yang hanya diam tanpa menjawab pernyataan cinta darinya.

"Aku juga tidak tahu kenapa bisa jadi seperti ini. Tapi, inilah kenyataannya..."

"..." Naruto masih diam. Hanya mata biru tajamnya saja yang bergerak, itu-pun karena melirik alorji bermerk yang melingkari bagian pergelangan tangannya.

Jarum pendek menunjuk tepat diangka tujuh, dan jarum panjang menunjuk diangka enam kurang dari tiga puluh menit. Jarum merah terus berputar, mengelilingi setiap angka yang terdapat dibalik kaca jam tangan bertali hitam kulit tersebut.

Srekk!

"Kau baru boleh berangkat sekolah, setelah kau menghabiskan rotimu.."

Naruto mengurungkan niatnya untuk berdiri. Ia kembali duduk, lalu menatap sang kakak dengan tatapan datar. "Aku tak bisa makan dengan tenang, bila kau terus mengatakan hal yang menjijikan itu.." Ucapnya dengan suara dingin, namun terdengar tajam dan menusuk ditelinga Sakura.

Penolakan secara— diam itu terasa bagaikan seperti menampar perempuan itu..

"Baiklah.. aku akan diam untuk sementara." Sakura duduk dengan tenang. Tatapanya lurus ke depan, memerhatikan wajah tampan Naruto yang tak pernah lepas dari raut dingin.

Sama seperti dirinya...

Menghembuskan nafas jenuh, kemudian Naruto segera melahap roti yang disajikan oleh Sakura untuk sarapan paginya. Ia mengunyah makanan di dalam mulutnya dengan pelan. Bibirnya tetap terkatup, hingga tak terdengar suara kecapnya saat sedang mengunyah.

Perhatian Sakura teralihkan dari Naruto, tatkala ia mendengar suara pintu yang dibuka dengan tergesa. Suara berisik itu berasal dari kamar atas, tepatnya dari kamar tidur Minato.

Kali ini giliran suara langkah tergesa yang terdengar. Seperti suara tumit highless, yang tengah menapaki anak tangga.

Naruto hanya diam tanpa ingin tahu siapa orang tersebut. Berbeda dengan Sakura. Jade terang miliknya bergerak, bergulir mengikuti kemana langkah tuju seorang wanita yang sedang menuruni tangga.

"Ya Tuhan.. kenapa aku bisa bangun sampai kesiangan sih..." Wanita berambut merah itu menggerutu ditengah langkah cepatnya. Sebuah mantel hitam tertanggal di pergelangan kurusnya, dan tas mini black juga ikut tertanggal disana.

Naruto masih diam ditempatnya, tanpa bergerak. Ia terus memakan roti ditangannya, dan sesekali meneguk susu saat merasa roti kunyahannya tersangkut ditenggorokan.

Wanita asing itu tiba dilantai bawah. Jemari lentiknya menyisiri rambut merahnya yang tumbuh panjang, sambil berjalan menuju kearah dapur.

Sakura menggeram. Tangannya terkepal erat, namun ia masih bisa menyembunyikan amarahnya dibalik wajah datarnya.

Wanita berpakaian sexy itu berdiri di dekat Naruto. "Selamat pagi, Nona pink dan Tuan pirang.." Ia menyapa, lalu meneguk susu milik Naruto tanpa merasa— sadar diri bahwa dirinya adalah orang asing yang dibawa pulang oleh Minato untuk menjadi teman tidur.

Itu-pun hanya satu malam...

Melihat kelancangan wanita itu, membuat Sakura bergerak dalam duduknya, berdiri hendak memaki orang asing tersebut. Naruto segera menahan Sakura, namun hanya dengan tatapan saja. Perempuan muda itu mendengus muak, sebelum kemudian ia menuruti isyarat Naruto untuk kembali duduk dan menenangkan diri.

Sakura membuang muka, melihat kearah lain. Sejujurnya, ia tak senang dengan kehadiran wanita itu. Apa lagi dengan kelancangannya, asal meminum susu yang sengaja ia buatkan untuk Naruto— seorang.

Wanita pekerja malam itu melirik Naruto. 'Tampan' Batinnya. Ia meletakan kembali gelas susu ditangannya, dan hanya menyisakan setengah dari susu putih yang ia teguk.

"Pirang.." Naruto menoleh keasal suara panggilan tersebut. "Namaku Sara.. siapa nama-mu ?" Tangan putih mulusnya tersodor.

"..." Menganggapnya hanya seperti angin berlalu, Naruto kembali menggigit rotinya. Ia tahu dan sadar, bahwa perlakuan dinginnya membuat wanita bernama Sara itu mendesah kecewa.

Sakura menggeram, namun ia tetap bertahan demi menaati perintah Naruto.

Merasa tak mendapat respons, dengan beraninya Sara meraih tangan Naruto. Sakura yang menyadarinya langsung melihat ke depan meja. Matanya melotot lebar, namun Sara tak menyadari tatapan membunuh dibelakangnya.

"Jangan terlalu cuek.." Tukas wanita itu, seraya menampilkan senyum centil. Kala mata Sara bergerak, tanpa sengaja ia melihat kearah jam tangan Naruto, yang kala itu juga mengejutkan dirinya.

Hampir jam delapan pas.

Sara melepaskan tangan lebar Naruto, membuat luapan emosi Sakura reda. "Ahh! Sudah saatnya aku untuk pergi.." Ujar wanita itu, bergumam sendirian.

Belum lama Sakura tenggelam dalam ketenangannya, emosinya tersulut kembali, ketika netranya mendapati bibir berlipstik Sara yang sedikit— memudar mengecup sebelah pipi Naruto.

Bersamaan dengan menggebrak meja, Sakura berdiri dari duduk gusarnya.

Sara bergegas pergi, meninggalkan ruang dapur bersama dengan Naruto yang nampak biasa saja setelah ia beri sebuah ciuman selamat pagi. Ia melenggang pergi, tanpa menghirani caci dan makian yang terlontar dari mulut Sakura.

"Dasar wanita brengsek! Tak cukupkah kau memiliki Ayahku, sampai kau menginginkan adikku juga.." Suara perempuan yang masih perawan itu sedikit meninggi, namun hanya terdengar samar ditelinga saat mendengarkan dari ruang depan rumah.

Terdengar suara debaman pintu dari arah depan, pertanda Sara sudah keluar.

"Dasar pelacur murahan! Brengsek! Sialan! Bajingan biadab!"

Naruto melirikan netra tajamnya keatas, diam sambil memerhatikan Sakura yang masih terus mencercakan kata-kata hina dan kotor kepada Sara yang sudah jauh dari kediaman mereka.

"Akan kubunuh wanita itu, jika dia masih berani datang kesini lagi.." Sakura berdesis tajam. Ia kembali duduk, lalu menunduk sambil memijit pelipisnya yang mendadak terasa— pusing.

Naruto menggeser kursi. "Aku pergi !" Ia berpamit kepada Sakura dengan kalimat singkat dan datar.

Perempuan itu menengadah. "Hati-hati..." Balasnya, kali ini menggunakan suara pelan yang juga terdengar datar seperti Naruto.

Tak menjawab, pemuda berusia delapan belas tahun itu langsung melenggang pergi. Ia melangkah tanpa menoleh, meninggalkan Sakura yang terus menatap punggung lebarnya hingga jauh.

Satu hembusan nafas terlepas...

"Aku tidak akan pernah membiarkanmu sampai jatuh ke tangan wanita lain selain diriku.." Sakura mengecam, mengucapkan sumpah. Ia tak peduli.. persetan dengan semunya.

Naruto miliknya...

Hanya miliknya seorang...

Camkan itu!

'Kau milikku.'

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Sakura tertegun. Matanya mengerjap, bibirnya terbuka kecil. Terdengar helaan nafas darinya, membuat seorang lelaki yang seumuran dengan dirinya mengerutkan dahi.

"Aku sudah memiliki seseorang yang sangat berharga dalam hidupku. Aku mencintai dia, dan aku sangat menyayangi dia melebihi rasa sayangku pada nyawaku sendiri..."

Sasori tak menahan tangan Sakura, manakala dia menariknya dari genggaman tangannya. Ia hanya diam, sembari menunduk kecil dihadapan perempuan yang berbadan sedang-sedang saja itu, tak terlalu jauh beda dengan ukuran tinggi badannya.

"Siapa laki-laki itu? Apa mungkin dia Sasuke ?" Sasori menuding Sakura. Rasanya sesak dan sangat menyakitkan, saat ia mendengar pernyataan jujur yang terungkap secara langsung dari mulut wanita yang berhasil mencuri hatinya.

"Bukan Sasuke, karena aku tak pernah menyukainya.." Sakura menjeda kalimatnya untuk sesaat. "..dia bukan mahasiswa dari University ini, dia sosok yang jauh dari lingkungan kita." Imbuhnya lagi.

Sasori memejamkan mata. "Lalu, dia menuntut ilmu di perguruan mana ?" Tanyanya kemudian, seraya memasang wajah tak senang diparas imutnya.

"Untuk apa kau tahu. Apapun yang aku lakukan, itu semua tidak ada urusannya denganmu.." Sakura menjauh dari hadapan Sasori. "Jangan ikut campur dalam kehidupanku. Kau dan aku, kita berdua tak mempunyai hubungan apa-apa. Jadi, menjauhlah dari kehidupan pribadiku.."

Sasori nampak terhenyak dengan ucapan Sakura...

"Jika kau ingin kita masih berteman, maka sebaiknya jagalah sikapmu padaku mulai dari sekarang.." Sarkas perempuan itu datar, dan dengan wajah dinginnya.

"Baiklah.. akan aku penuhi semua permintaanmu itu.." Lelaki berwajah imut itu mengangguk pelan. "Tapi, aku mau melakukan itu semua bukan berarti aku sudah menyerah."

Sakura menengadah— tak begitu tinggi. "Jangan pernah menyalahkan diriku, bila suatu saat nanti kau akan tersakiti lebih dari ini..."

"Biarlah.. aku tak peduli." Usai menjawab dengan penuh rasa percaya dirinya, Sasori berbalik kemudian meninggalkan Sakura di taman belakang kampus sendirian.

Sasori berlalu, punggungnya terlihat semakin mengecil akibat jaraknya yang sudah terpaut jauh dari Sakura.

"Seberapa besar-pun perjuanganmu, semuanya hanya akan menjadi sia-sia. Percuma kau berjuang keras, karena hatiku sudah dimiliki seutuhnya oleh adikku..."

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Pintu rumah terbuka, lalu muncul sosok Naruto yang sedang berjalan masuk ke dalam. Sesekali terdengar helaan nafas darinya, pertanda bahwa ia merasa sangat lelah sehabis menyelesaikan pertandingan basket selama seharian penuh.

Lelah juga dengan batin...

Lelah karena memikirkan masalah keluarganya...

"Menjijikan! Berani sekali wanita pelacurmu itu mencium putraku.."

Langkah Naruto terhenti, tepat saat ia tiba disalah satu pintu ruang pertemuan penting. Seperti.. untuk menyelesaikan masalah dengan rekan kerja di kantor, atau bisa juga dijadikan tempat untuk Minato dan Kushina saling berdebat panjang.

"Jangan membesarkan masalah sesepele ini !"

Terdengar suara Minato, yang agak meningkat.

"Ini tak hanya masalah sepele! Dia itu wanita murahan! Aku tak suka dengan kelancanganya, yang sudah dengan berani menyentuhkan bibir kotornya dikulit bersih putraku!"

Kali ini giliran Kushina. Suaranya terdengar tak kalah tingkat dari Minato. Lebih tepatnya, mereka berbicara dengan ketinggian suara yang setara.

"Kushina! Jangan memancingku."

"Kau yang memulainya duluan, Minato !"

Tangan Naruto terkepal— erat. Matanya terpejam, lalu nafasnya berhembus pelan. "Sial! Dia mengadukannya kepada Ibu.." Gumamnya halus. Menghela nafas jenuh, sudah lelah ia menghadapi kakaknya yang sangat keras kepala.

"Sudahlah, aku lelah berdebat denganmu terus."

"Jangan pergi sebelum masalah ini selesai !"

"Kau selesaikanlah sendiri. Ini masalahmu, bukan masalahku."

"Minato !"

"..."

Tak ada sahutan yang terdengar dari dalam sana...

Cklekk!

Tatkala pintu ruang tersebut dibuka, cepat-cepat Naruto kembali pada posisi tenangnya. Ia berdiri disana, sambil memasang wajah tanpa ekspresi. Matanya melirik kearah pintu, melirik sosok pria setengah baya disana.

Minato tersentak, begitu ia mendapati Naruto sedang berdiri di dekat pintu. "Naruto.." Respons-nya terhadap sang putra pirang.

"Jangan lagi membawa para wanitamu ke rumah ini, jika memang kau ingin hidup dalam ketenangan." Pria setengah baya itu terhenyak. Tatapan Naruto tak dapat ia mengerti, karena selalu terlihat datar dan dingin.

"Tak jadi masalah untukku, bila mereka menyukaimu.."

"..." Naruto diam tak menjawab.

"Tenang saja, kita tidak akan berbagi..." Minato mendekati Naruto. Tangannya memegang bahu pemuda itu, ia lalu tersenyum. "Kau akan memiliki mereka tanpa mendapat gangguan dariku. Kau bebas, aku bebas.. kita berdua bebas mau melakukan apapun." Lanjut pria setengah baya itu kemudian.

Naruto mengeratkan pegangan tangannya pada satu tali tas gendong yang tersangkut dipunggung bagian kanannya.

"Aku tak sebebas seperti yang kau fikirkan.." Dan setelahnya, pria muda itu berlalu begitu saja, membuat pegangan pada bahunya terlepas.

Kepala Minato bergerak, mengikuti kemana arah langkah Naruto menuju. "Siapa yang mengekangnya ?" Blue safir miliknya mendapati kekosongan, tatkala sosok Naruto hilang dalam hitungan terakhir anak tangga.

Disisi lain...

Sakura Namikaze, terlihat sedang berdiri dibalik dinding, tepatnya di dinding yang terdapat dalam bawah tangga menuju lantai dua.

"Lakukanlah, jika kau ingin melihatku menjadi pembunuh berdarah dingin.."

Ditengah berkata sarkatis, perempuan itu menajamkan tatapan, yang bisa membuat seseorang bergidik saat melihat pancaran membunuh dari sepasang zambrut berkilat miliknya.

"Kau hanya milikku... Naruto."

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Nampan yang berisikan segelas coklat panas dan sepiring biskuit coklat, tersaji diatas meja papan. Si penyaji menunjukan senyum manis, lalu kembali berdiri setelah tadi membungkuk.

"Kau sangat giat belajar yah.." Ditengah mengatakan hal tersebut, kedua mata perempuan itu terpejam dengan seulas senyum yang merekah semakin lebar.

"..." Naruto diam tak mengubris. Jari-jemari panjangnya sibuk bekerja, terus mengetik keyboard laptop tanpa sedikit-pun membuka celah dibelahan bibirnya yang tipis.

"Pantas saja kau pintar.."

"..." Pemuda pirang itu masih diam ditengah kesibukan belajarnya.

Sakura maju selangkah, agar ia berada semakin dekat dengan Naruto. "Hey, Naruto...!" Ia panggil nama sang adik, menggunakan suara halus.

"Hn." Tanggap pemuda itu dingin. Tatapan tajamnya tak teralihkan dari layar datar laptop, dan mengabaikan keberadaan Sakura didekatnya.

"Apa kau punya pacar ?"

Gerakan jari tengah Naruto saat hendak menyentuh keyboard di huruf A, terhenti seketika. Ia terdiam, sembari mengerjap. Mencerna pertanyaan yang terlontar padanya, namun tetap saja tak melepaskan raut dingin dari ekspresi datarnya.

"Punya ataupun tidak, itu semua tak ada urusannya denganmu.."

Kini Sakura memasang wajah datarnya. Ia benci, dan ia merasa sakit saat mendengar jawaban acuh tersebut, yang keluar secara langsung dari mulut lelaki yang amat ia cintai dalam hidupnya.

"Jangan menjalin hubungan dengan wanita lain.." Lagi-lagi sentuhan jari tangan Naruto terhadap keyboard pada setiap angka, terhenti kembali. "Karena itu bisa menyakiti perasaanku..."

Kalimat lirih Sakura jeda sejenak, mencari kesempatan untuk mengisi paru-parunya dengan udara...

"Tolong.. biarkan rasa cintaku terus mengalir seperti ini. Mengalir seperti arus air yang tak pernah berhenti, sampai akhirnya kau mau mengatakan perasaanmu yang sesungguhnya kepadaku."

Naruto menoleh, melihat kearah Sakura. "Aku lelah, dan aku mau tidur sekarang.." Ia menggeser kursi. Keluar dari celah meja, lalu segera berjalan menghampiri letak ranjang.

Sakura tahu.. Naruto beralasan lelah dan ingin tidur, itu dia lakukan hanya untuk menghindari dirinya...

"Aku tahu.. aku tahu, Naruto.."

Perempuan pink itu masih berdiri didekat meja belajar yang telah ditinggal pergi oleh pemililiknya...

Naruto menaikan kedua kakinya keatas ranjang. Badan tingginya berbaring, kemudian memunggungi Sakura sambil berselimut sampai batas dibagian rusuk dibawah dada.

"Kau juga mencintaiku.. Jangan menyangkal, karena aku sudah terlanjur mengetahui semua tentang dirimu..."

Punggung lebar disana tak bergerak.

Air mata menggenang dipelupuk Sakura. Cepat-cepat tangan kurusnya terangkat, kemudian langsung menyeka mata berairnya secara kasar.

Ia tak mau sampai terlihat lemah dan rapuh di depan lelaki yang amat ia puja dan ia cintai...

"S–selamat malam..." Usai menuntaskan kalimat bergetarnya, Sakura segera berlari meninggalkan kamar Naruto. Liquidnya jatuh berhamburan, suara isak tangisnya ia tahan, ia redam dalam bekapan tangan kecilnya.

Lima jemari kokoh itu mencengkram erat selimut yang membungkus tubuh si empunya. Kusut bekas cengkraman tertinggal disana, lalu terdengar suara nafas tertahan.

"Maafkan aku, Sakura..."

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Kelopak mata Naruto terbuka kedua-duanya, kala itu juga langsung memancarkan kilau tajamnya. Ia terdiam ditengah berbaring, sembari terus menatap datar sosok wanita yang kini tengah mengecup— lama permukaan bibirnya.

Helaian merah muda milik sang wanita berguguran, dan berguna untuk menutup wajah dua saudara tersebut...

'Pintar sekali dia..' Naruto membatin. Terselip sedikit— kekaguman dalam dirinya, mengingat kehebatan Sakura yang terkadang di pagi-pagi buta sudah berada di dalam kamarnya untuk membangunkan dirinya

Hampir setiap hari dia melakukan hal konyol itu...

Sakura menyelinap masuk ke dalam kamar Naruto, dengan alasan untuk membangunkan sang adik. Selalu, dan selalu menggunakan cara yang sama. Dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir merah Naruro, dan terkadang ia melumatnya dengan hisapan lembut.

Sakura melepaskan bibir Naruto, tatkala menyadari sepasang kelopak putih tersebut sudah terbuka sepenuhnya. Ia menegakan badan, kemudian menampilkan segaris senyum manis.

"Selamat pagi, sayang..."

Usai menyibak selimut dari tubuhnya, Naruto segera bangun.

"Cukup! Hentikan penyelinapan konyolmu ini, aku bisa bangun sendiri tanpa repot-repot kau bangunkan." Tuntut pria itu langsung, namun tetap tak memudarkan senyum yang tersungging di wajah cantik Sakura.

Perempuan itu sudah kebal dengan semua kata-kata tajam yang terlontar kepadanya. Ia bahkan sudah menganggapnya sebagai makanan pedas untuknya sehari-hari.

"Kau sering bangun agak siang jika aku tak datang membangunkanmu.."

Naruto menoleh ke samping, melihat ke tempat Sakura berdiri. "Aku selalu bangun di jam tujuh pas. Aku tahu, kau sengaja membangunkanku di pagi-pagi buta, agar kau bisa menciumku." Paparnya datar.

Naruto tahu.. Naruto kenal.. Dan Naruto juga sudah hafal betul dengan Namikaze sulung yang satu itu. Dia yang kerap datang ke kamarnya di pagi-pagi buta, beralasan untuk membangunkan dirinya yang sebenarnya adalah hanya untuk memberinya sebuah ciuman selamat pagi dibagian bibir.

"Hanya cara itu yang bisa aku lakukan, jika tidak kau pasti akan menolakku.." Sakura berkata santai. Ia malah berani membalas tatapan Naruto, tak takut membalas tatapan datar— namun tajam yang terpancar jelas dari sepasang blue safir disana.

Naruto segera berdiri dengan cepat. Lengan kurus Sakura ia cekal, kemudian mendekatkan perempuan itu padanya.

"Dengar, Sakura! Kau itu kakakku, kau darah dagingku, kau adalah satu-satunya saudara kandung yang aku miliki. Jadi tolong, kumohon.. hentikan sikap bodohmu ini. Aku lelah, aku jenuh, aku muak terus-terusan menghadapi sifat keras kepalamu ini.."

Sakura mendongak tinggi— keatas, demi bisa melihat wajah tampan Naruto yang terpaut dekat dengannya. "Apapun itu alasanya, aku tak peduli.. dan tak akan pernah mau peduli! Kau harus mengerti akan hal itu." Sahutnya santai, lalu menyeringai.

Naruro melepaskan cekalannya dari lengan Sakura. Rambut pirang kusutnya ia acak, hingga membuatnya semakin bertambah kusut. "Jangan bodoh, Sakura..." Lirihnya.

Sakura tak lagi menyeringai, namun ia malah menggantikan seringainya dengan senyum penuh kepuasan.

"Kenapa Naruto? Apa kau menyerah? Kau sudah membuang jauh-jauh ke-tsundreanmu? Dan kau sudah mengakui persaanmu yang sebenarnya kepadaku?"

Naruto menghela nafas. "Sudahlah. Cepat, siapkan sarapan pagi untukku !" Ia kemudian bergegas menghampiri letak kamar mandi pribadinya. Meninggalkan Sakura tanpa meladeni ketidak— warasannya, dan ia lebih memilih mandi untuk menyegarkan badan dan fikiran.

"Sebelum itu, kau mau aku buatkan sarapan apa ?"

Naruto menutup pintu kamar mandi yang telah ia masuki. "Apa saja !" Sahutan dari dalam sana terdengar redam ditelinga Sakura.

"Akan aku buatkan ramen kuah kari dan jeruk peras saja.."

"..." Tak ada— lagi sahutan yang terdengar dari dalam kamar mandi tersebut.

Sakura tertawa pelan. Dan setelahnya, ia bergegas pergi meninggalkan kamar Naruto. Melenggang anggun, sembari tak luput dari garis senyum yang bertengger di paras berserinya.

Surai pirang lembut milik Naruto jatuh berguguran, kuyup terkena siraman air dari atas kepalanya. Pergelangan kokohnya tertahan di dinding basah kamar mandi, serta tak menghentikan guguran air yang terus mengguyur seluruh badan putihnya.

Kepala pria itu menunduk, menatap lantai marmer yang digenangi air...

"Mau sampai kapan aku sanggup bertahan..." Aliran air menjatuhi bibirnya yang terbuka. "Aku takut khilaf.. takut lepas kendali.. takut menyakiti dia.. takut melukai dia.. takut sampai merusak dirinya.." Ia menengadah sambil terpejam, membiarkan tetesan air deras mengguyur wajah tampannya.

'Kami-sama.. tolong beri jalan yang terbaik untuk kami berdua.'

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Setelah sekian lama tahun demi tahun berlalu, tak tahu setan apa yang merasuki seisi rumah Namikaze. Disana, diruang makan. Terlihat sekumpulan keluarga Namikaze, yang sedang duduk saling berhadapan di depan sajian sarapan pagi.

Kushina duduk disebelah Naruto, berhadapan dengan Sakura. Minato duduk disebelah Sakura, berhadapan dengan Naruto...

Keempatnya terjebak dalam keheningan. Mereka mengunyah masing-masing roti yang telah disajikan, tanpa ada satu-pun yang bersuara.

Kushina menelan roti kunyahannya. "Sakura, apa perlu Ibu kerjakan satu pelayan lagi untuk menggantikanmu masak dan menyediakan makanan tanpa harus merepotkanmu setiap hari..." Ia meneguk air putih, kemudian melanjutkan lagi makannya.

Sakura menggeleng. "Tak perlu Ibu. Aku bisa mengerjakan pekerjaan dapur sendirian.. lagi pula, hanya aku sendiri yang tahu menu makanan kesukaan Naruto, dan menu makanan yang paling Naruto hindari." Mata hijaunya melirik tempat sang adik berada.

Nampak disana, Naruto menyeruput ramen dalam diam...

"Memasakan makanan untuk Naruto adalah tugasku yang paling utama.." Imbuh wanita pinky itu— lagi, seraya tersenyum hingga mata bulatnya sedikit menyipit karena rekahan senyumnya yang kian melebar.

Tangan Minato terjulur, lalu menyentuh puncak kepala Sakura. "Putriku yang pintar.." Pujinya, merasa bangga terhadap sang putri yang masih tersenyum lebar sebagai tanggapan darinya.

Gelas yang berisi sari jeruk peras terangkat dari tempatnya. Naruto meneguknya dengan cepat, hingga terdengar tergesa ditelinga orang disekitarnya. Kursi yang menjadi tempatnya duduk bergesar. "Aku pergi." Pamitnya terhadap semua, lantas segera keluar dari celah meja.

"Sayang, perlu Ibu antar ?"

Naruto melirik keberadaan Kushina. "Aku bukan anak kecil lagi !" Ujarnya dingin. Kushina hanya tersenyum— kecut, dan membiarkan Naruto berlalu meninggalkan ruang makan.

Sosok Naruto lenyap, begitu dia sudah keluar melalui pintu dapur...

"Sepertinya dia sangat menbenciku.."

Minato menengadah, menatap Kushina yang tengah menundukan kepala. "Naruto bukan membencimu, tapi dia hanya benci dengan sifatmu. Itu saja.."

Iris violet milik Kushina bergerak, melirik Minato. "Kau seharusnya sadar diri! Tak hanya aku yang dia benci, tetapi juga dirimu.." Tukasnya, sedikit menggunakan— nada kasar.

Kemuakan mulai dirasakan oleh Sakura...

"Itu karena kau juga !" Minato membalas perkataan Kushina, juga dengan nada kasar. Bahkan lebih kasar lagi.

Satu tarikan nafas Sakura lepaskan secara perlahan. Ia berusaha menahan diri, menahan gejolak amarah yang mulai menyelimuti dirinya.

"Kau juga bersalah atas semua kebencian Naruto.."

Perdebatan sengit antara Suami dan Istri mulai terjadi— lagi...

"Awal perkaranya adalah kau, Kushina !" Minato menyangkal— ngotot, tak membiarkan dirinya bersalah sendirian dalam masalah keluarga mereka.

"Jangan terus menyalah—"

Srekkk!

Suara geseran kursi menghentikan kalimat Kushina...

Sakura berdiri, kemudian bergegas pergi meninggalkan ruang dapur yang terasa mulai memanas. Ia berlalu, tanpa sedikit-pun melihat wajah kedua orang tuanya. Kesenyepan terjadi, tatkala Sakura berjalan menjauh.

Minato bersiap untuk berdiri. Namun sebelum itu, ia menyempatkan diri untuk menuding Kushina lebih dulu. "Ini salahmu! Kau suka marah-marah tanpa memikirkan situasi disekitarmu.." Dan setelahnya, pria setengah baya itu melenggang begitu saja.

Alih-alih mau menjawab, sedangkan respons singkat saja tak ada ditunjukan oleh Kushina.

"Dasar pria sialan!"

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Manakala Naruto hendak melihat kearah lain, secara mendadak pandangannya terhenti di depan gerbang Konoha Senior High School. Kedua alisnya saling bertaut— tipis, mengamati sesosok perempuan berbadan langsing yang nampak sedang berjalan masuk menuju halaman sekolah.

Tanpa menjelasinya lagi-pun, Naruto sudah tahu siapa perempuan disana...

Kakak perempuannya, Sakura Namikaze...

Terdengar suara tawa cekikikan centil dari arah belakang Naruto. Suara tawa khas para wanita itu terdengar kian mendekat ditelinga Naruto. Ia bahkan dapat merasakan, gerombolan para gadis KSHS tersebut telah tiba disampingnya berdiri.

"Naruto memang tampan, tak salah bila ada banyak wanita yang jatuh cinta kepadanya.." Salah satu gadis dari kedua gadis lainnya bersuara usai tertawa cekikikan.

"Kau benar, Tenten.." Suara lembut menyahut. Si pemiliknya adalah seorang gadis bersurai indigo, dan bermata putih tanpa— pupil.

'Kesempatan..' Naruto membatin. Ada sesuatu yang tengah ia rencanakan, sesuatu yang mungkin akan membuat Sakura mau melepaskan dirinya.

Atau mungkin, bisa saja tidak...

Lengan kecil milik salah satu seorang gadis berkuncir tinggi, tercekal dalam gesitnya tangkapan tangan Naruto. Membuat langkah ketiga gadis tersebut berhenti secara mendadak, mengikuti satu teman mereka yang tercegat.

Gadis bermata indah dengan warna biru aquamarine itu menengadah, menoleh kearah si penahan lengan. "Naruto.." Respons-nya kaget saat mengetahui siapa orang yang kini tengah menahan lengannya.

"..." Tidak ada jawaban, yang ada Naruto malah menyentak lengan Ino hingga tubuh depan mereka saling bertabrakan, kemudian terhimpit rapat.

Dua teman Ino lainnya terbelalak kaget, —beserta Ino juga. Ia melotot lebar, diam membatu disela merasakan lumatan mendadak terhadap bibirnya.

Terlalu cepat untuk melumat...

Berulang kali kelopak lentik Ino mengerjap. Bersuara di dalam hati, dan terus meracau disela mencerna baik-baik kejadian yang ia alami disiang hari ini.

'Kami-sama.. ini mimpi atau nyata..'

Hati gadis cantik itu bertanya-tanya. Detak jantungnya bersuara, hingga debaran kerasnya terdengar sampai keluar...

'Kalau ini hanya mimpi, tolong.. jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini.'

Naruto menarik pinggul Ino, mendesak badan ramping gadis itu dengan dirinya. Kedua teman Ino lainnya merona pekat menyaksikan adegan mereka, bahkan ada siswa lain yang sampai berani mengambil gambar mereka yang sedang berciuman ditengah halaman sekolah.

Tidak ada moment yang terlewatkan...

Ciuman Naruto kian dalam— menuntut, menyesap bibir mungil Ino bersama emosinya yang tengah meluap. Ia melumatnya secara kasar, memberi sensasi letupan dasyat dalam hati Ino.

'Maaf.. maafkan aku, Sakura...'

Hati pemuda itu menjerit keras...

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Langkah Sakura terhenti secara tiba-tiba. Garis senyum manis di bibirnya pudar kala itu juga, dan kedua matanya membulat. Ia berdiri membatu, menyaksikan adegan— menyakitkan yang tersiar secara langsung di depan matanya.

Rasanya sesak dan sakit di dalam hati, ketika melihat lelaki yang sangat dicintai sedang mencium bibir wanita lain...

Air mata menumpuk, bahkan mulai berjatuhan membasahi pipi Sakura. Rasanya sakit.. sangat sakit, rasa sesak juga ia rasakan. Rasa perihnya begitu ketara, hingga nafasnya tercekat ditenggorokan.

Sekotak bekal dalam pegangan Sakura jatuh— terhempas hingga terbuka lalu menghamburkan semua isi di dalamnya. Kedua tangannya membekap mulut, menahan isak tangisnya. Kaki kurusnya melangkah mundur— menjauhi halaman.

Ia tak sanggup...

Sakura berbalik, kemudian ia segera berlari keluar melalui gerbang KSHS...

Ia tak dapat lagi membendung suara tangis pilunya. Maka.. biarkanlah ia menumpahkan uraian air matanya. Biarkan ia melepaskan jerit tangisnya, dan tolong biarkan hatinya menjerit dalam kepiluan.

Hatinya menolak keras...

Menolak untuk mengatakan, apa yang ia alami pada hari ini bukanlah kenyataan. Namun, hanyalah sekedar mimpi belaka...

Tapi sayang.. perjalanan hidupnya bukan seperti kisah kartun disney, dimana hari buruk yang hanya akan menjadi mimpi— bunga dalam tidur. Tak bisa lagi ia menyangkalnya, bahwa kejadian hari ini bukan mimpi, melainkan kenyataan dalam terjaganya disiang hari.

Netra tajam milik Naruto tak lagi mendapati sosok sang kakak berada disana. Pinggang kecil Ino ia lepaskan, lalu jarak antara mereka ia ciptakan.

Ino melepaskan tumpuan telapak tangannya dari dada bidang Naruto. Kepala pirang pucatnya menengadah, mempertemukan iris aquamarine miliknya dengan sepasang blue safir— kepucatan milik pemuda dihadapannya.

Lelaki berbadan tinggi itu menghela nafas— pendek. "Terimakasih..." Ucapnya pelan, terhadap Ino yang hanya mengangguk tak mengerti dengan wajah memerah.

Ditengah menahan rasa malu dan rona merah— pekat di wajahnya, Ino segera kembali ke tempat dua sahabat karibnya berada dengan wajah tak kalah blushing darinya. Kuluman senyum tertahan dibelahan bibir mungilnya, ia lalu menjauh dari tempat sang pencuri ciuman pertamanya berdiri.

Naruto membenarkan letak seragamnya. Ia kemudian bergegas pergi, melangkah pelan menuju tempat dimana hilangnya sosok Sakura.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Kedua pasang kaki yang terbalut oleh sepatu hitam mengkilap itu nampak berdiri di depan tempat bekal, tepat dihadapan kotak yang kini terbaring kearah samping dan menumpahkan isi makanan di dalamnya.

Naruto membungkuk, mengambil tempat bekal makanan tersebut. Tutupnya ia pasangkan kembali, lantas ia pegang dalam genggaman lebarnya.

"Jadi, jauh-jauh dia datang kesini hanya demi mengantariku bekal untuk makan siang..." Genggaman Naruto mengerat, hingga berhasil melepaskan tutup dari mulut tempat bekal tersebut. "Dasar wanita bodoh.." Rautnya terpasang kusut, bertekuk dan saling menautkan kedua alis tipisnya.

Ia menyesal...

Sangat menyesal...

Setetes air jatuh dari atas, lalu pecah berhambur tatkala mendarat dilantai pijakan kaki umum.

Air hujan turun setetes demi tetes, kemudian menderas setelah beberapa detik berlalu...

Serakan nasi kepal dan dua buah telur gulung bersayur, terpisah menjadi pecahan-pecahan akibat tersiram air dari tangisan langit mendung. Bahkan, percikan air yang menghujami seluruh badan Naruto diabaikan begitu saja olehnya.

Kota Konoha di hujani oleh tangisan alam, serta hembusan angin sejuk tak lelah menerpa pepohonan...

Hati dua insan yang saling mencintai di gelapi oleh kegundahan. Alam ikut menangis, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang terikat dalam hubungan terlarang.

Cinta terlarang yang tumbuh diantara dua bersaudara...

Sang kakak begitu mencintai si adik...

Si adik yang nampak begitu enggan untuk membalas perasaan tulus dari sang kakak. Perasaan si adik terlalu tertutup, hingga tak ada satu-pun orang yang bisa membaca isi hatinya...

Sakura tahu, bahwa perasaan Naruto terhadapnya sama dengan perasaannya sendiri. Namun untuk masalah sepasang kakak dan adik tersebut kali ini, ialah ego dan gengsi yang menjadi penghalang cinta mereka berdua.

Harga diri Naruto dijunjung terlalu tinggi, hingga cintanya sulit untuk digapai...

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

To Be Continue...

.

.

.

Okay.. sesuai janji.. Fic nista ini hanya akan menjadi Two-shot, dan akan langsung END Se'updatenya chap 2 nanti...

Moga hurt-nya kerasa.. malau masih belum kerasa juga.. yg punya golok, tolong pinjamin ane -_- ane pinjam sebentar, untuk memberesi tumbuhan semak blukar yg tumbuh dibelakang rumah ane :V

Gk salah, 'kan? Ane minjam golok untuk nebas?

*Jawaban Anda ada di kotak Review...*

Next Chap...

o.O.o

"Atas dasar apa kalian sampai melakukan dosa sebesar ini.."

"Berdasarkan cinta."