Aomine mengumpat kesal sambil berjalan. Hawa dingin yang berhembus dari mulutnya sudah diisi oleh umpatan umpatan kesal. Jujur, sekarang dia melupakan nafsu makannya lagi. Wajah yang ingin Aomine lupakan, lalu muncul kembali di saat yang sangat tidak elit. Aomine menghantam kakinya ke arah trotoar keras sehingga menghasilkan bunyi dentruman keras. Cepat cepat dia menghidupkan ponselnya dan segera menelepon supirnya untuk mengantarnya pulang.

"Moshi - moshi, Aomine-sama,"

"Cepat jemput aku disini,"

"Disini mana, tuan?"

"Gunakan GPS-mu, bodoh dan aku memberimu waktu 10 menit untuk datang kemari," umpatnya kasar.

"Siap,"

Aomine menutup teleponnya san bernafas gusar. Hatinya terasa tidak tenang sejak bertemu dengan manusia bermarga Oda tersebut. Aomine berkali kali mengertakkan giginya keras untuk menahan rasa geram. Dia memasukkan kedua tangannya kedalam kedua saku celananya kasar dan memandang ke langit. Tak lama kemudian, mobil sedan hitam pekat berhenti tepat di depan Aomine. Tanpa berpikir panjang, dia langsung membuka mobil dan menhempaskan bokongnya ke tempat duduk sofa dengan kasar.

"Destinasi anda?" tanya Tanaka-san berusaha bersikap professional dan merendam rasa takut kepada putra sulung keluarga Aomine. Jarang jarang memang Aomine Daiki bersikap aggresif, tetapi hari ini baru pertama kalinya Tanaka-san melihat bahwa Daiki badmood super.

"Kemana saja!" jawab Aomine kasar sambil memandangi jalanan kota Tokyo melalui kaca jendela mobil. Pikirannya kacau. Bagaimana dia bisa muncul? Itu yang kini berputar putar di kepala Aomine.

Tanaka-san yang mendengar tuannya berbicara, langsung mengendarai mobil untuk kembali pulang ke kediaman Aomine. Selama perjalanan, tidak ada yang membuka suara. Hanya suara nafas Aomine dan umpatan umpatan pelan tak terdengar yang memenuhi mobil. Tanaka membawa mobilnya kembali ke kompleks Rakuzan. Tanaka memarkirkan mobil di depan rumah keluarga Aomine dan membuka kan pintu. Daiki keluar dengan kasar. Pagar mewah yang memang sudah terbuka pun di masuki oleh Aomine. Maid yang melihat tuannya marah langsung buru buru membukakan pintu tanpa disuruh suru, daripada di pecat.

Aomine berjalan cepat ke arah dapur. Dibukanya pintu kulkas dengan kasar untuk mengambil air. Dia menuangkan air dalam ceret ke gelas dan meneguknya hingga habis dengan cepat.

"Sialan!" gumamnya pelan.

.

.

.

"So with this conclusion, I may say that telework benefit both employers and employees but in my opinion employers benefits more," tutup Kise dengan hasil persentasinya di depan kelas. Dosen di sebelahnya hanya menggaguk angguk dan memberikan nilai A untuk Kise. Kise pun di persilahkan duduk di tempatnya.

Karena sudah waktunya, para mahasiswa diizinkan pulang. Kise membawa tasnya dan berjalan menuju pintu keluar. Waktu menunjukan pukul 7 tepat. Kise berjalan menuju kereta api. Dia men-scan kartu miliknya dan masuk. Kise mengecek telepon gengam sambil menunggu kereta api tiba. Setelah beberapa menit menunggu. Kise naik ke dalam kereta api. Berhubung karena anak sekolah sudah pulang, Kise mendapati kereta api itu tidk terlalu banyak orang. Kise duduk di salah satu kursi dan kemudian mengecek telepon gengamya lagi.

Saat Kise sedang mengutak atik ponselnya, seseorang duduk disebelahnya dengan kasar dan merangkulnya. Kise sontak terkejut dan menoleh ke arah orang itu merangkulnya.

"Kau?"

.

.

.

The Color of Green

Kuroko no Basuke Fujimaki Tadatoshi

AoKise

Romance, Drama, Family, Bit Humor

Warning: Fanfic gaje, anti mainstream, BL, AU

Chapter 6

You again!

.

.

.

"Hoy, Kise kau dimana!?"

"Apasih, Aominecchi? Kau bawel banget!"

"Ini sudah jam berapa? Cepat pulang?"

"Sebentar loh aku lag—" tiba tiba ponsel kise direbut oleh pemuda rambut cokelat tersebut. loh, bagaimana mereka bisa bersama? Silah baca sekilas info dibawah.

Flashback

"Kau siapa?" tanya Kise sambil menatap pemuda berambut cokelat itu heran.

"HEEH!? KAU GAK KENAL AKU?" ucap laki laki yang entah terlupakan oleh Kise terkejut. Ingin sekali dia mengorek apa yang ada di otak kering milik si pirang.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" balasnya dengan wajah polos tak menentu. Memang pepatah mengatakan blonde is stupid benar adanya. Nah! Buktinya.

"Ah! Lupakan! Kau pasti ingat wajahku," desaknya.

"Maaf tetapi saya tidak ingat," balas Kise cuek.

"Cih! Dasar manusia idiot," ucap brunette tersebut.

"Hei! Siapa yang kau sebut idiot? Kau yang seenaknya datang datang sok kenal!" protes Kise.

"Aku adalah orang yang pernah bersama-mu di bus kemarin!" akhirnya Oda Fujimaki-nama orang tersebut-menghentikan teka teki anehnya yang tidak akan pernah bisa dijawab oleh si pirang bodoh itu. oh ya! Nanti tolong ingatkan penulis agar minta maaf sama Kise.

Kise menatap orang itu sambil berpikir. Kepalanya asik mengorek memori yang terselubung tentang orang tersebut. Setelah sekitar 10 menit kemudian, Kise berhasil menemukan wajahnya.

"Ah! Ya… anda Oidin Fujisan?" tanya Kise untuk memastikan.

"Oda Fujimaki!" semburnya.

"sou ka no?" tanya Kise polos.

"Hah!? Aku heran mengapa si hitam itu bisa menyukai mu," desah Oda.

"Aomine-san kah?" tumben otak Kise langsung berputar kencang. Baru isi paket yah? Oda tidak menjawab. Dia hanya diam sambil memandangi lantai kereta api Tokyo. Kise yang melihat situasi yang super awkward itu, memnutuskan untuk diam dan tidak mengatakan apa apa. Keheningan meliputi, satu per satu orang keluar dan masuk.

"Minta ponselmu,"ucap Oda tiba tiba.

"Huh!? Untuk apa?" bentakknya sambil mejauhkan tas miliknya dari pemuda cokelat itu.

"Sudah kemarikan saja," ucap Fujimaki sedikit mendesak.

Kise ragu ragu akan memerikan ponselnya. Tetapi entah kenapa dia percaya pada orang asing tersbeut yang baru saja dikenal sejak kemarin. Lalu, Kise mendengar bahwa tujuannya sudah di umumkan oleh pihak kereta api.

"Ayo kita keluar sama sama," ucap Oda. Kise heran, tetapi dia memutuskan untuk tidak bertanya. Mereka berdua keluar dari kereta api. Oda mengembalikan ponsel Kise. Tak lama kemudian, ponsel Kise berbunyi.

Calling…
Aomine Daiki (crazy asshole)

Flashback off

Kise merebut kembali ponselnya yang sempat di ambil oleh pemuda menyebalkan itu.

"Hallo Aomine-san, ada apa memanggilku?" pertanyaan yang sama yang Kise lontarkan lantaran sempat di putus oleh setan penggangu.

"Siapa dia?" tanya suara berat nan serius dari seberang telepon. kontan Kise merinding luar dalam.

"Hehe… Aomine-san ja—"

"Jawab aku Kise!" suara Aomine mulai terdengar marah.

"Hehe.. Daikicchi dia adalah.. um….—" Kise mulai merasakan arwah aneh yang membuat bulu kuduknya merinding. Kise terdiam sebentar. Di seberang telepon, terdengar suara hembusan kasar. Kise tidak pernah mendengar dia semarah itu. tangan Kise terasa gemetaran.

Melihat peristiwa ini, Oda merasa gusar. Dia kembali merebut telepon berwarna kuning itu dari tangan si pirang ini.

"Oda Fujimaki, yo!" ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.

.

.

.

Kise berjalan dengan jaket cokelat muda miliknya. Nafasnya mengeluarkan hawa putih akibat dari dinginnya udara pada malam tersebut. Langkah kakinya sengaja di perlambat. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia berhenti melangkah membiarkan orang orang di sekitarnya berjalan melewatinya, matanya menatap kosong ke arah depan. Dia semakin mempererat gengaman tangan pada tas cokelat tua miliknya. Seseorang yang menabrak bahunya lah yang menyadarkan dirinya kembali ke realitas. Kise mengeleng geleng kepalanya kuat sambil di tepis jauh jauh pemikiran anehnya.

Tak tahu sejak kapan dia sangat sensitif terhadap majikannya. Toh mereka tak punya hubungan apa apa lebih dari tuan dan budak. Kise mempercepat langkah kakinya menuju stasiun kereta api selanjutnya. Penghangat di stasiun Japan Railway menyelubungi badannya. Dia mengeluarkan kartu pasmo dan mengarahkannya ke mesin sensor hingga pintu didepan membuka pertanda pengizinan masuk. Kise berjalan menuruni eskalator dan menuju ke garis hijau. Tak lama berdiri, pengumuman kereta api sudah datang. Kise masuk ke dalam dan duduk di salah satu kursi. Kereta api berjalan hingga destinasi Kise sampai.

Kise berjalan keluar dari stasiun dan tiba tiba poselnya berdering. Dia membuka tasnya dan berusaha mencari benda berbentuk persegi tersebut. Dia melihat orang itu meneleponnya lagi. Buru buru ia menggeser lampu hijau pada ponselnya pertanda penerimaan panggilan.

"Moshi-mo—" belum sempat Kise menyelesaikan kalimatnya, sudah buru buru di potong oleh sang pelaku seberang telepon.

"Kau dimana sekarang!?" suara seberang telepon yang rendah nan seksi memenuhi salah satu indra Kise, tetapi pada saat yang sama dia mulai ketakutan.

"Di depan stasiun JR" ucap Kise ragu ragu.

"Tunggu di tempatmu, aku akan menjemputmu,"

PIIP

Ketika hubungan diputuskan,Kise membeku di tempat. A-apa? Apa dia tak salah dengar? Kise seketika parno akut. Tetapi dia memilih untuk tetap tenang. Kise sangat menyesal bertemu dengan mereka berdua. Harusnya hidupnya tenang bersama Kuroko, trus malah muncul 2 cowok ini yang memperumit hidupnya.

Tak lama kemudian, mobil sedan berwarna biru berhenti di depannya. Aomine membuka kaca jendela mobil dan berkata"Oi! Masuklah!" . Tanpa memberikan komentar seperti biasanya, Kise membuka pintu belakang dan masuk. Kise duduk manis menunggu mobil berjalan. Tetapi Aomine tetap tidak menjalankan mobilnya. Selang 5 menit, Kise masih bingung.

"Oi! Aku bukan supirmu!" bentak Aomine kesal. Kise memukul jidatnya hingga merah lalu buru buru keluar dari mobil dan pindah ke bangku depan sebelah kursi supir. Setelah pintu di tutup, Aomine baru menjalankan mobilnya. Kise ingin bermaksud untuk membuka membicaraan tetapi raut wajah Aomine yang kelihatan Be-Te membuat kedua katub bibirnya menutup kembali. Kise kembali menatap jalanan Tokyo di depannya, sesekali melirik Aomine yang nampak serem banget!

Sampai setengah jalan, Aomine memberhentikan mobilnya di tepi jalan dan diam. Kise tak berani bergerak, dia masih sangat mencintai nyawanya.

"Kenapa?" suara berat khas Aomine Daiki memecah keheningan.

"Hah!?" sentak Kise refleks lalu buru buru menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Apa dia melakukan sesuatu padamu?" tanya Aomine sedikit melembut.

"Um… Fujimaki-san? Oh tidak hahaha…" balas Kise dengan humor super nge-krik alias garing dengan harapan bisa sedikit lebih hangat percakapannya. Oh! Ayolah di luar sudah sangat dingin dan kau mau mencoba mendinginkan suasana?

Aomine menghela nafas lalu kepalanya menghadap ke arah Kise. Kise merasakan sesuatu yang mengganjal. Entah apalah itu, yang jelas kini dia sedang terpesona dengan wajah majikannya. Aomine kemudian menggengam tangannya. Kupu kupu kini terbang kian kemari di perut Kise yang menimbulkan sensasi menggelitik.

"Lain kali, jangan membuatku khawatir lagi," ucap Aomine pelan. Ekspresi wajahnya melembut. Perlahan tangan kekar milik Aomine naik ke wajah Kise.

BLUSHH

Wajah Kise kini hanya panas yang terasa walaupun hanya lampu jalanan malam saja sebagai pencahayaan mereka. Tangan Aomine mengelus wajahnya dengan pandangan teduh.

"Hm.. bahkan menyentuhmu saja kau sudah merah," Aomine tertawa kecil. Kise tidak bisa berkata apa apa. Jantungnya kini berdetak sangat sangat cepat. Perlahan Aomine mendekatkan wajahnya. Semakin dekat ….dan semakin dekat.

TINGTINGTING…..TINGTINGTING

Ponsel Aomine mengeluarkan suara. Dia mendecih keras lalu mengeluarkan ponselnya dengan kasar. Aomine menatap layar ponsel cukup lama lalu kembali mendesah keras, meninggalkan Kise yang masih panas panas di sebelahnya.

"Moshi-moshi," ucap Aomine kasar.

"Apa? Wanita itu sudah pulang?" sentak si hitam itu. Kise yang sembari tadi berpanas panas kayak scene di shoujo manga seketika tertarik kembali ke habitat dimana seharusnya dia berada.

"B-baiklah, aku akan pulang ke rumah sekarang," ucap Aomine. Wajahnya terlihat senang. Lalu dia mematikan sambungan telepon.

Aomine mengendarai mobil dengan santai tetapi lebih cepat daripada sebelumnya. Mobil tersebut memasuki kawasan kompleks Rakuzan. Dengan beberapa belokan, mereka sampai di depan rumah keluarga Aomine. Satpam membukakan pintu pertanda izin mobil masuk. Dia memasukkan mobilnya ke garasi dan buru buru membuka pintu.

Kise mengikutinya dari belakang, hingga sampai ke pintu depan. Pintu mewah tersebut dibuka oleh Aomine. Kise mengintip dari belakang. Sekilas dia melihat seorang wanita yang terlihat cukup muda berpakaian hitam dengan beberapa koper yang berdiri manis. Aomine buru buru membuka sepatunya dan menutup pintu meninggalkan Kise di luar sendirian. Kise menghela nafas lalu berjalan memutar di pintu belakang.

Kise sedikit meringgis ketika menyentuh knop pintu belakang. Dinginnya musim salju memang membuat knop pintu yang terbuat dari besi itu membeku dinginnya. Berbeda dengan pintu depan yang ada penghangat otomatis pada knopnya. Kise mengosok tangannya keras keras hingga panas lalu cepat cepat memegang knop pintu dan memutarnya. Kise masuk ke dalam lalu menutupnya dengan cepat. Beruntung di ruangan mereka terdapat penghangat walaupun tidak terlalu berefek tetapi tetap saja masih hangat apabila dirasakan. Kise memutar pengunci pintu dari dalam dan kemudian berjalan ke arah kamarnya. Sesampainya di kamar yang sangat minimalis, dia melihat ibunya menyetrika baju dalam keadaan mata setengah terpejam. Kise menatap kasihan terhadap ibunya lalu dia datang menhampiri ibunya sambil menutup pintu dibelakangnya. Dia lalu menyiapkan futon serta alat istirahat.

"Sudahlah Ibu, tidurlah." Perintah Kise sambil menyentuh pundah ibunya. Tsujin melihat anaknya menatapnya dan kemudian menghela nafas panjang.

Kamulah tidur duluan, ibu masih ada pekerjaan yang belum selesai

Kini giliran Kise yang menghela nafas. Ibunya ini kadang memang sangat keras kepala.

"Ibu, berhentilah ibu sudah sangat lelah, biarkan ini aku saja yang kerjain," desak Kise halus. Tsujin kembali menatap putra semata wayangnya ini. Dia kemudian menggaguk pasrah dan berdiri.

Kamu yakin dengan ini semua?

"Affirmatif 100 persen," ucap Kise sambil mengancungkan jempol sebagai tanda oke. Tsujin kemudian menggaguk dan merebahkan diri di atas futon yang sudah Kise susun. Kini Kise yang beralih menjadi penyetrika. Tak lama kemudian, sudah terdengan dengkuran halus milik ibunya tanda sudah terbuai di alam mimpi.

Kise menempati posisi ibunya tadi dan mulai mengosok pakaian yang tadinya sempat tertunda. Dia melipat semua pakaian hingga baskom sudah menjadi kosong. Kise meregangkan tubuhnya, kemudian berjalan menuju toilet khusus yang terletak persis di depan pintu kamar mereka. Kise mengganti baju dengan piyama kuning. Dia kemudian membasuh wajahnya sambil memperhatikan wajahnya pada cermin. Wajah Kise memerah mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Kedua tangannya menepuk tepuk kedua pipinya demi menghilangkan rasa malunya.

"Bagaimana ini!?" gumamnya dalam hati.

.

.

.

Aomine senang sekali. Pasalnya dia mendapat kabar bahwa ibunya baru saja pulang dari Amerika jam beberapa menit yang lalu. Aomine yang tadinya marah marah gak jelas, kini senyum sumirgah menempel jelas di wajahnya. Dia tak sabar ingin cepat cepat sampai di rumah. Aomine mengendarai mobilnya cepat, tetapi tidak kebut kebutan kayak anak jalanan. Dia buru buru sampai di rumah dan meninggalkan mobil. Aomine berlari kecil mencapai pintu depan, dia segera memutar knop pintu depan. Aomine melepas sepatunya sembarang dan berjalan cepat menuju wanita berbaju hitam dengan koper di sebelahnya.

"Okaerinasai," bisik Aomine sambil memeluk wanita itu.

"Ohoho, Daiki-kun… tadaima," ucap wanita itu sambil tertawa kecil. Wanita itu memeluk kembali putra tertuanya.

"Ibu lama sekali pulang," ucap Daiki sembil memangut. Aneh memang bila mengingat Daiki yang notabone berwajah sangar menjadi mangut mangut gak jelas. Kise pasti akan menertawakan anak itu bila dia disini sekarang. Ngomong ngomong tetang Kise, Daiki hampir melupakannya. Daiki meninggalkannya di mobil. Tapi apa harus Daiki kembali ke mobilnya hanya untuk menjemputnya. Kurasa itu tidak perlu. Toh Kise bisa kembali sendiri, bukan?

Daiki melepaskan pelukan ibunya.

"Oh sudah hampir 3 bulan ibu pergi, kau sudah semakin besar saja,"

Daiki memutar bola matanya. "Aku sudah 19 tahun ibu, aku mungkin tak bertambah besar lagi. Lagipula bila aku bertambah besar, bagaimana nanti ibu akan memeluk anakmu jika begini saja ibu sudah jinjit setinggi tingginya."

Wanita berusia 42 tahun itu tertawa, terlihat samar kerutan di wajahnya.

"Mana Sacchan?" tanya Maria-ibu Daiki-.

"Entahlah," balas Daiki tidak perduli. Ibunya memukul pelan lengan anaknya.

"Jangan begitu,walau bagaimanapun dia adalah adikmu," nasehat ibunya. Daiki memutar mata jengah. Dia langsung berbalik ke arah tangga sambil mengangkat koper ibunya.

"Ibu pasti capek, istirahatlah sekarang."

Maria tersenyum. Tangannya di kibas mengisyaratkan bahwa pelayannya boleh pergi karena Daiki yang akan menggangkat tas berserta koper miliknya menuju lantai kedua. Saat Daiki sudah tidak terlihat di balik tangga, tiba tiba pintu terbuka menampilkan wajah perempuan bersurai pink cerah.

"Ibuuuuu!" Satsuki langsung menerkam ibundanya dan memeluknya erat. Lalu terjadilah gosip cengkrama selama ber jam jam antara ibu dan anak.

.

.

.

Oda dengan setelan casual berjalan menuju hotel Red Queen. Kaki panjangnya melangkah melewati satpam yang membungkuk hormat kepalanya. Oda datang ke resepsionis.

"Dimana orang tua itu?" tanyanya dengan sedikit nada ketus.

"Kebetulan tuan Direktur sedang berada di kantornya," ucap resepsionis itu dengan tenang. Oda mengecek jam tangannya.

10.55 PM

Oda mendecih. Untuk apa orang tua itu bekerja sampai larut malam sekali, pikirnya. Karena oda sangat membenci orang tua itu serta pekerjaan dan perusahaan terkutuk ini. Oda berjalan ke lift khusus yang beada di belakang resepsionis. Oda menggesekkan kartu sehingga pintu lift terbuka. Dia memudian menempelkan jempolnya pada fingerprint scanner yang tertempel di dinding lift dan menekan tombol 30. Pintu lift menutup dan membawa orang yang di dalamnya menuju ke lantai 30. Oda langsung melangkah keluar menuju kantor direktur utama. Tanpa mengetuk pintu, Oda langsung mendorong pintu kayu itu dengan kasar. Fujimaki Kotaro—ayah Oda—tidak memperdulikan orang yang sudah dengan lancangnya masuk ke kantornya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu seolah dia sudah bisa menebak siapa orang yang masuk itu.

"Darimana saja kau?" tanya pria berusia 50-an tahun itu tanpa menoleh dari dokumen dokumen yang bertumpuk itu. Oda tetap diam. Pria tua itu membolak balik sehingga hanya suara kertas yang memenuhi ruangan tersebut.

Kotaro kemudian mendongakkan kepalanya lalu bersender di kursi kerjanya sambil menghela nafas.

"Kau tahu sudah berapa perbuatan onar yang telah kau lakukan?" tanya Kotaro sambil menatap putranya intens. Oda tetap tidak memberikan balasan kata kata kepada orang itu. "Aku sudah lelah terus terusan mengurusmu," ucap Kotaro dengan memberikan tekanan pada setiap kata katanya.

Oda mendecih. "Kau? Mengurusku? Sejak kapan?"

Kotaro memincingkan matanya lalu mendesah berat, terlihat jelas beberapa keriput di wajahnya. "Tidak bisakah kita menjadi sepasang Ayah-anak yang rukun, aku sudah lelah dengan pekerjaanku dan kau jangan menambah bebanku lagi,"

"Oh jadi kau menggangap aku sebagai beban selama ini? Mengapa kau tidak buang aku saja dari dulu!?" ketus Oda.

"Tidak biasakah kau sedikit sopan pada ayahmu?" ucap Kotaro tenang ,berusaha menahan emosi yang sejak tadi sudah meluap luap.

Oda mendecih untuk ke dua kalinya. "Siapa yang kau sebut ayah!?" kali ini dia membesarkan volumenya. "Kau bahkan tidak mengurusku sejak kecil, bagaimana kau bisa memanggilmu ayah!? Hah!? Jawab aku!" Oda membuat ekspresi yang sulit diartikan.

"Tutup mulutmu!" kini ayahnya sudah tidak tahan. "Tidak bisakah kau seharusnya merasa malu!? Aku yang sudah berusaha membersihkan namamu dari catatan kriminal polisi! Tidak bisakah kau menghargai itu!?" bentak Kotaro seiring dengan bertambahnya volume suara sehingga ruangan itu di penuhi suara jeritan. Jeritan itu tidak membuat suasana mendingan, malah putranya kini juga sama marahnya dengan sang ayah.

Oda tertawa mengejek. "Untuk apa kau membersihkan namaku!? Kau melakukan ini hanya kepentingan pekerjaan dan perusahaan terkutuk ini !" teriak Oda tak kalah sengit. Dia ingin mengeluarkan unek unek segala macam tetek bengeknya. Kotaro tidak mengeluarkan suara.

"Dan kau masih sempat mengurus wanita jalang itu dibanding aku," tambahnya.

"KEPARAT KAU!"

BUGH

Pukulan melayang ke hidungnya hingga mengerluarkan darah. Oda meludah ke sembarang arah, ludah berserta percikan darah menghantam lantai marmer kantor ayahnya. Kotaro bernafas tersengal sengal upaya menahan amarah yang memuncak. Oda kembali tertawa puas.

"Kau bahkan memukulku hanya untuk membela wanitamu itu," ejek Oda tenang. Ayahnya semakin murka. Ia hendak melayangkan tinjunya namun tiba tiba Oda menggangkat kepalanya dan menatap ayahnya dengan tatapan menantang. Ayahnya melototkan matanya expresi kesal bercampur kaget.

"Silahkan saja! Pukul aku sampai mati!" tantang Oda. Ayahnya mengepalkan tangannya dan kemudian menghela nafas. Fujimaki Kotaro duduk kembali ke kursinya, diam demi menetralkan detak jantungnya yang sendari bertengkar dengan putranya berdetak dengan keras dan cepat.

"Sudah lah, Oda. Aku malas berdebat untuk yang lebih jauh lagi denganmu," ucap Kotaro tenang. Dia sudah lelah. Setiap hari selalu saja begini. "Katakan apa maumu sekarang?" ucap Kotaro asal.

Oda tertawa kecil lalu diam. wajah tampannya kini dihiasi oleh hidung yang sedikit lembam—karena pukulan ayahnya itu boleh diakui sangat kuat—dan bibir yang sedikit sobek yang kini mengerluarkan darah segar. Kotaro semakin tidak mengerti ekspresinya.

"Aku… ingin ibu kembali,"


HOLAAA kembali lagi bersama sayaaaaa...

yah seperti yang anda ketahui... saia sudah merasa agak sedikit bosan sama cerita ini.

terasa gak sih hehehe...

yodaaaa segini aje dari saya

Jaa Nee