BAD BEHAVIOUR © Seynee

Characters © Masashi Kishimoto

Translator : Aika Harumi

Chapter 30

(lima bulan kemudian)

.

.

Jumat pagi yang begitu cerah, sekitar dua menit sebelum alarmnya berdering pada jam tujuh, Uchiha Sasuke bangun dan menemukan tempat tidur yang kosong dan kaos biru favoritnya menghilang.

Sekarang, bertentangan dengan kepercayaan populer, hal ini bukan kejadian langka. Lagipula, Sasuke memang terbiasa bangun pagi dan jam alarm peraknya tak lebih dari sebuah hiasan dari hal lainnya. Terutama tempat tidur yang kosong, seprai belum dirapikan, dan kaos favoritnya menghilang bukanlah sesuatu yang biasa. Ketika Sakura pindah dengannya ke apartemen besar namun rapi miliknya beberapa bulan lalu, Sasuke menemukan bahwa wanita itu bahkan bangun lebih awal daripada dirinya.

Melempar selimutnya, Sasuke menggeser kakinya dan melangkah ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.

Sakura sedang berada di dapur ketika Sasuke selesai, bau makanan mengkonfirmasi kecurigaannya bahkan sebelum ia melihat wanita itu. Sejak koleksi resep dari Mebuki sampai beberapa minggu lalu, wanita berambut merah muda itu menghabiskan waktu hampir satu jam di dapur setiap pagi, memasak ini dan itu. Tidak mengherankan, makanan buatannya pernah gagal dan berubah menjadi hambar tak karuan jika tidak sedikit hangus, meskipun Sasuke harus mengakui ia diam-diam menikmati melihat Sakura berkerja di sekitar dapurnya—dapur mereka, koreksi Sasuke.

"Pagi."

Mendengar sapaan ringan itu, Sakura melompat kaget, nyaris menjatuhkan spatula ke wajan di depannya. Ia berbalik, tangannya di pinggul sedangkan mata hijaunya menyipit pada Sasuke. "Sasuke! Kau mengagetkanku!"

"Kau memakai bajuku."

Memang benar. Bahkan, Sasuke cukup yakin kalau bajunya merupakan satu-satunya hal yang Sakura pakai, dan bawahannya… yah.

"Aku tahu." Sakura mengangkat bahu. "Apa? Ini nyaman."

Sasuke menuangkan segelas air untuknya. "Apa yang kau masak?"

"Nasi goring salmon."

Mengambil beberapa tegukan dengan tenang, Sasuke meletakkan gelas di meja dan menaikkan alisnya. "Tidak kah kau masak terlalu banyak untuk sarapan?"

"Aku berencana untuk memberikan beberapa pada Kakek agar ia mencobanya," jawab Sakura, dengan semangat menggunakan spatulanya untuk mengaduk nasi, "Hanya untuk meyakinkan ini terasa seperti buatan Ibu."

"Benarkah?" balas Sasuke berpura-pura bersungguh-sungguh, berusaha melawan keinginan untuk menggoda Sakura. Mebuki merupakan koki terbaik, tapi itu jelas baginya kalau Sakura mewarisi keterampilan yang bukan di bidang kuliner dari Ayahnya. Terakhir kalinya ia diundang makan di rumah Haruno, Kizashi salah mengambil gula untuk garam dengan cara yang buruk—daging Szechuan pedas dan terong mereka berubah menjadi aneh, nyaris manis memualkan. Tentu, ia memakan makanan itu dan berhasil memenangkan hati orang tua Sakura. Lagi.

Wanita berambut merah muda itu berpaling pada Sasuke cukup lama untuk mengirim pria itu tatapan tajam, meskipun sudut-sudut bibirnya berkedut curiga. "Mengejekku sekali lagi dan tak akan ada sarapan untukmu, Sasuke."

Melangkah maju untuk melingkarkan lengannya di pinggang Sakura, Sasuke menyeringai dan memberi satu kecupan malas di lekukan bahu Sakura. "Kantin di kantorku punya cukup makanan untukku selama seminggu, aku yakin."

Sakura mendengus. "Kantin di kantormu punya cukup makanan untukmu selama sebulan penuh."

"Memang," Sasuke membenarkan, melepaskan Sakura dan membiarkannya melanjutkan pekerjaannya.

Sakura mengangkat penggorengan dari kompor dan mulai mengaut nasi ke dua piring dan satu kotak makan besar, yang terakhir jelas untuk kakeknya. Saat Sasuke menuang air untuknya lagi, Sakura menaruh wajan ke wastafel dan menyerahkan nasi goring pada Sasuke sebelum mereka berdua duduk di meja makan.

"Ini hari terakhirku di perusahaan Miyazawa," ujar Sakura, menyendok sesendok penuh nasi, "Jadi aku hanya berpikir aku harus berterima kasih padanya, kau tahu. Maksudku, aku sudah mulai memanggilnya Kakek beberapa bulan terakhir dan dia sangat senang, Ibuku juga… itu membahagiakan." Ia mengendikan bahu, "Dia cukup baik, sebenarnya."

Sasuke hanya mengangguk, menyadari sepenuhnya kebenaran dari kata-kata Sakura. Ketika mereka bersama hampir setengah tahun lalu, respon yang Akihito berikan cukup baik—di mana, menjadi pendengaran Sasuke terlatih untuk bisnis, terdengar mencurigakan seperti sebuah persetujuan atau bahkan dorongan. Sejujurnya, cukup aneh melihat Akihito berinteraksi dengan Sakura seperti yang biasa dilakukan seorang Kakek dengan cucunya dalam kantor kepala Miyazawa, tapi itu telah menjawab semua pertanyaan Sasuke. Akihito benar-benar peduli pada Sakura, dan itu cukup baginya.

Percakapan mereka bergeser ke topik yang lebih santai saat mereka menyelesaikan acara makan mereka: bagaimana pencarian pekerjaan Sakura (yah, Sakura sudah mendapatkan panggilan interview rabu depan), restoran Italia baru di pusat kota yang sudah dicobanya dengan Tenten hari selasa (bakso di sana enak tapi sangat, sangat tinggi kalori), dan orangtua Sakura yang akan menginap di kota malam ini hanya untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang perlu diselesaikan.

Untuk yang terakhir, Sasuke tiba-tiba tersedak, hampir tidak dapat menyembunyikan keterkejutan di matanya. "Mereka bilang begitu padamu?" tuntut Sasuke, "Kapan?"

"Kemarin malam," jawab Sakura, rasa bingung tercetak di alisnya. "Itu aneh, sebenarnya. Otou-san mengambil cuti hari ini, dan dia tidak pernah melakukannya kecuali sesuatu yang penting terjadi, kau tahu benar pekerja keras seperti apa dirinya! Dan aku tidak bisa percaya Okaa-san menyetujuinya juga!" ia menusuk sepotong salmon, "Bagaimana menurutmu, Sasuke?"

Sial.

"Mungkin mereka hanya ingin liburan," jawab Sasuke sedatar yang ia bisa, meraih segelas jus apel di atas meja. "Atau mungkin mereka hanya ingin melihatmu."

"Hmm…" Sakura mengunyah sambil berpikir. "Aku tidak tahu. Mungkin. Kau tahu, Okaa-san berpikir untuk kembali bekerja. Untuk membantu Ojii-sama sekarang Kakek sebenarnya sudah membuat rencana serius untuk pensiun.

Sasuke tidak bisa menahan diri untuk menaikkan alisnya ketika mendengar itu. "Benarkah?" tanyanya. Mebuki, tak peduli seberapa cerdas dan ahli dia terlihat, tidak menyerang Sasuke seperti di kantor. Selain itu, sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali wanita itu berurusan dengan segala hal tentang bisnis; karena itu, agak aneh melihatnya kembali.

"Ya, tapi Kakek menentangnya, jadi aku tidak berpikir Ibu akan melakukannya."

"Masuk akal."

Sakura terlihat ragu. "Kau pikir begitu?"

Sasuke menatap Sakura. "Aku pikir bisa dibilang Kakekmu memanjakan Ibumu, Sakura. Aku rasa dia tidak menyadarinya, tapi dia melakukannya."

Bibir Sakura melengkungkan sebuah senyuman saat mata hijaunya melembut, meskipun kekhawatiran di matanya tidak hilang. "Itu benar. Aku hanya berharap tidak akan ada masalah kali ini. maksudku, tidak biasanya mereka datang ke kota hari Jumat…"

Mendorong sedikit rasa bersalah yang ia rasakan ke dalam perutnya, Sasuke mengelap mulut dengan serbet kertas. "Semua akan baik-baik saja."

Sakura tersenyum padanya. "Jika kau bilang begitu."

Mengulurkan tangan ke seberang meja untuk meremas tangan Sakura, ia mengusap ibu jarinya di buku jari Sakura dan menyeringai. "Aku bilang begitu."

o.o.o.o.o

"Ah, Sakura, Sasuke-san—senang melihat kalian."

Beberapa bulan lalu, Sasuke akan berpikir kalau menerima sapaan dari Akihito di pagi hari merupakan hal yang mustahil. Hari ini, hal itu sudah menjadi seperti rutinitas biasa sehingga ia tidak perlu memikirkannya lagi.

"Akihito-san."

Tentu, itu tidak berarti mereka membuang semua sikap formal.

"Aku membawakanmu makan siang, Kakek," Sakura melangkah dari sisi Sasuke, meletakkan kotak makan di meja, "Nasi goreng salmon. Dengan telur, kesukaanmu."

"Aku akan segera mencicipinya," ucap Akihito, ekspresi di wajahnya muram meskipun Sasuke tahu pria itu senang. CEO Miyazawa itu mengangguk pasti pada mereka dari balik mejanya beberapa saat, sebelum dia akhirnya mengambil sebuah dokumen dari rak dan menyerahkannya ke cucunya, kembali ke sikap bisnis seketika. "Itu rincian keuangan untuk proyek kita bersama Uchiha, Sakura. Pahami itu dan katakana padaku apa yang kau pikirkan," ucapnya, mengangkat tatapannya ke Sakura, "Itu akan menjadi tugas terakhirmu di perusahaan ini."

Senyum menawan mengembang di bibir Sakura saat ia memasukkan dokumen itu ke dalam tasnya. "Laksanakan!"

"Bagus." Anggung Akihito lagi, berlaih ke Sasuke. "Ah, Sasuke-san. Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita bertemu. Bagaimana kabarmu?"

"Kami membuat kemajuan yang baik," jawab Sasuke tenang, meskipun yang ingin ia lakukan sekarang adalah mengangkat alisnya. Memang benar mereka tidak bertemu cukup sering, tapi membicarakan bisnis di depan Sakura tidak akan membantu… kasusnya, meskipun Naruto menegaskan kalau ia tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Benar, Sakura sudah terlihat bingung—Sasuke harus segera menyelesaikan permainannya. "Sebenarnya, kami punya beberapa rencana untuk pertumbuhan dan pengembangan di luar Jepang."

Akihito tertawa. "Tidak buruk, tidak buruk."

Merasa lebih dari terdorong untuk kembali tertarik, Sasuke bertanya, "Kau anda sendiri?"

Sang CEO itu menyandarkan tubuh ke depan di kursinya dan menempatkan sikunya di meja, menatap mereka berdua. "Aku akan segera pensiun," ucapnya, "meskipun kau mungkin sudah mendengarnya dari Sakura. Aku tidak bisa membayangkan itu adalah sebuah kejutan. Maksudku bukan perusahaanmu, tapi—maksudku dirimu. Bagaimana kabarmu? Apa rencanamu untuk masa depan?"

Menempatkan dirinya untuk tetap tinggal dan tetap tenang, Sakura memperhatikan gurauan di depannya saat Sasuke merincikan pada Akihito tentang rencananya—yang cukup dapat ditebak, menyangkut perusahaan Uchiha. Percakapaan itu santai, jika tidak sedikit aneh. Akihito selalu merasa tertarik dengan hubungan Sakura dan Sasuke—cukup memberikan alasan untuk memberi Sakura tatapan penuh arti yang tidak benar-benar Sakura mengerti setiap kali Sakura meninggalkan kantor dengan Uchiha, tapi tidak cukup untuk berterus terang menanyakan sesuatu pada Sakura—tapi Sakura tidak pernah membayangkan dia akan bertanya pada Sasuke di suatu pagi, tiba-tiba. Mengerutkan alisnya, Sakura berusaha untuk memikirkan alasan mengapa Akihito tiba-tiba terlihat intens untuk mengenal Sasuke.

Jemari Sasuke yang menggenggam miliknya lah yang akhirnya menghancurkan pemikirannya, Sasuke segera meremas tangannya. "Tentu saja," ucap Sasuke, seringai di wajahnya penuh kemenangan, "Suatu hari, aku juga akan meminta kesediaan cucumu untuk menikah."

Pernyataan itu, diucapkan dengan santai, agak menggoda, membuat mata Sakura melebar. Keterkejutan di wajahnya begitu jelas, ia mencicit, berusaha menahan rona menyebar di pipinya.

"Ah." Akihito menaikkan alisnya melihat reaksi Sakura. "Aku tebak kau belum membicarakan ini dengannya?

Sasuke mengangkat bahu dan berbalik ke samping untuk menatap Sakura, mata obsidian berkilauan ceria, godaan saat ia bertanya, terdengar serius. "Kita bisa membeli cincin malam ini, jika kau mau?"

Usaha keras Sakura untuk menutupi ronanya gagal seketika dan ia memukul bahu Sasuke. "Sasuke!"

"Apa?"

"'Apa'?" decak Sakura dengan mata melebar, "Hanya itu yang kau katakan?... 'apa'? kau hanya—aku hanya—apa?"

Rasa senang berkedut di sudut bibirnya, dan ia menyeringai. "Jangan terlihat begitu kaget."

Mata hijau itu lebih melotot, "Jangan terlihat bergitu kaget—!"

"Ahem."

Batuk yang aneh, jelas pura-pura dari Akihito menyela Sakura dan pipinya seketika memerah, rona merah mewarnai kulit putih cerahnya saat Sakura mengingat di mana mereka berada. Melotot pada Sasuke, ia mengangkat kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya, dadanya memberat dengan disetiap tarikan napas dalam yang diambilnya.

"Sakura, ada sebuah dokumen yang aku ingin kau bawakan untukku. Itu laporan pajak tahun lalu, ada sesuatu yang ingin kuperiksa," ucap Akihito, nada tenang yang ia sampaikan pada Sakura mengatakan bahwa ia akan berpura-pura mengabaikan apa yang baru saja terjadi antara Sakura dan Sasuke, "Dokumen itu ada di berankas di kantormu. Kau tahu kuncinya."

"Oke," angguk Sakura, mengintip dari balik jemarinya, "Aku akan segera mengambilnya untukmu."

"Segera setelah Sasuke pergi," tekan sang CEO. "Hal pertama yang harus kau lakukan kembali ke kantormu."

Wanita berambut merah muda itu berdehem, menyingkirkan tangannya dari wajah, dan dengan nada paling professional yang bisa ia kerahkan, ia berucap, "Tentu."

Akihito mengangguk pada mereka dan kembali ke pekerjaan mereka. Tahu kalau ini adalah jendela kesempatan untuk melarikan diri tanpa halangan, Sakura meraih tangan Sasuke dan menyeretnya keluar dari kantor Akihito. Berdua mereka melangkah ke kantor kecilnya di ujung lorong.

"Kau seharusnya tidak melakukan itu!" ia menimpuk bahu Sasuke ketika mereka memasuki lorong kosong. Bergesas, sehingga ia berada paling tidak tiga langkah di depan Sasuke, ia berseru, "Kau bisa saja setidaknya memberitahuku jika kau—jika kau akan—!"

"Jika aku akan melamarmu?" Tanya Sasuke, tawa geli terlihat jelas di mata dan suara baritonnya.

Sakura mengangkat tangan, "Baiklah, ya!"

"Kau tidak bisa menduganya," Sasuke menaikkan alisnya dan menatap Sakura serius. "Benar?"

"Yah…" Sakura berhenti berjalan tiba-tiba membuat Sasuke hampir menabraknya, "Aku tahu, kurasa," ia mengendikkan bahu, menggigit bibirnya sebentar sebelum membalas tatapan Sasuke, kerlingan menggoda menadi dalam mata hijau cerahnya saat bibirnya melengkung, "Tapi pasti, aku akan terkejut."

"Dan aku yang akan membuatmu terkejut," balas Sasuke seraya meraih tangan Sakura. Bibirnya mengecup buku jarinya, tepat di atas jari manisnya, ciumannya begitu lembut dan polos yang membuat Sakura kembali tersipu.

"Apa kau serius?" tanyannya, menatap dasi biru kotak-kotak Sasuke, "Apa kita benar-benar akan menikah?"

Sasuke menegakkan tubuh tanpa melepaskan tangan Sakura. "Tergantung."

Sakura menaikkan tatapannya memandang Sasuke, "Pada?"

"Apa kau akan bilang ya jika aku bertanya."

Jawaban Sasuke mmebuat Sakura memutar mata. "Oh, sunggung, Sasuke."

"Yah…" Sasuke meremas jemari Sakura lembut. "Untuk pertama aku akan melakukannya dengan biasa."

Ada makna dalam ucapan Sasuke, Sakura menyadarinya saat ia membiarkan Sasuke menariknya kembali melangkah. Hubungan mereka tidak dimulai dengan cara 'biasa' saat Sasuke begitu ahli melakukannya—nyatanya, hampir semua hal tentang itu berjalan mundur kalau tidak terbalik. Mungkin ini waktunya untuk melakukannya dengan normal, tak peduli apapun itu.

"Oke," Sakura menyetujui, senyuman mengembang di bibirnya saat mereka berhenti di depan kantornya. "Kita bisa melakukannya dengan cara biasa jika kau mau. Aku akan menemuimu nanti?"

"Sampai nanti," balas Sasuke. Ia melepaskan tangan Sakura dan menyeringai. "Pakai sesuatu yang indah malam ini. Sebaiknya gaun yang kau pakai saat pernikahan sepupu Tenten."

Senyum lembut itu melebar hampir menggoda, cengiran malu. "Aku tidak bisa, aku lupa membawanya ke penjahit untuk memperbaikinya setelah kau merobeknya paksa dariku. Sobekannya cukup jelek, aku tidak bisa memperbaikinya sendiri," ucap Sakura. "Tapi aku akan memakai sesuatu yang sama indahnya, kalau tidak lebih indah."

Ketika Sasuke membalas cengirannya dengan sedikit seringaian dan mengangguk sebagai respon, ia masuk ke kantor dan menutup pintu di belakangnya. Meletakkan tasnya di kursi, ia membuka tirai, mendesah puas ketika sinar matahari mulai memenuhi ruangan. Lalu ia melangkah ke brankas di sudut kantornya dan mulai memasukkan kombinasi, dan kemudian membuka pintunya, mengira akan menemukan map tebal, map yang sama yang biasa ia susun kemarin sehingga penggantinya nanti akan lebih mudah memahaminya, tapi ia menemukan bahwa brankas itu kosong—kecuali satu hal.

Tersimpan tepat di tengah brankas ada kotak kecil yang terbuka, sebuah cincin menghadap padanya, kecil, berlian yang berkilauan membentuk garis yang mengikuti lingkarannya. Sebuah note terselip di bawah kotak itu.

Dengan tangan bergetar, ia menahan napasnya dan meraihnya.

Sakura,

Temui aku di luar.

Sasuke

o.o.o.o.o

Berdiri di luar pintu lift, Sasuke meondar-mandir, mengumpat dirinya karena begitu gelsah. Ini adalah Sakrua, demi Tuhan, ia seharusnya tidak punya alasan apapun untuk bertingkah seperti… seperti anak SMA yang mengajak seorang gadis untuk kencan pertama mereka! Ia sudah menghadapi berbagai macam rekan bisnis, kebanyakan dari mereka mengintimidasi dan menyeramkan dari Sakura, tapi Sasuke berani bersumpah bahwa ia tidak pernah—tidak pernah—merasa begitu gugup sebelumnya.

Tapi lagi, ini mungkin adalah hal terpenting yang pernah ia lakukan dalam hidupnya.

"Sasuke!"

Sakura muncul di depan Sasuke, kotak itu di tangan kanannya, sebuah note di tangan lainnya. Ia berhenti ketika mereka hanya berjarak lima kaki.

"Oh Tuhan." Ucap Sakura.

Sasuke segera berhenti mondar-mandir. "Yah?" tanyanya. Wajah Sakura memerah semerah tomat, dan Sasuke juga merasakan itu pada dirinya sendiri, ia diam-diam punya firasan kalau dirinya tidak sepenuhnya keren. "Apa aku membuatmu terkejut?"

"Oh Tuhan," ulang Sakura, mengambil langkah maju. "Oh Tuhan. Ya, kau membuatku terkejut. Aku pikir kau akan—aku tidak pernah berpikir—apakah ini alasan mengapa orangtua ku ada di kota? Apa Kakek dibalik semua ini?"

"Ya, dan ya," jawab Sasuke, menyeringai seraya mata onyx-nya bersinar, kebahagiaan menari dalam iris mereka, "Karin juga. Aku tidak tahu kunci brankas itu dan dia yang membukakannya untukku."

Sakura menaikkan alisnya.

Sasuke menghela, kemudian menambahkan, "Dan Suigetsu. Dia tidak akan membiarkan Karin sendirian bersamaku."

Beberapa saat dalam keheningan ketika tatapan Sakura jatuh pada cicin, berlian yang berkilauan terang di bawah cahaya ruangan. Rahangnya merenggang dan bibirnya terbuka, tapi tanpa suara keluar saat ia menatap benda itu, benar-benar terpaku.

"Sakura…" tatapan Sasuke melembut, ia mengambil langkah maju. Meraih kotak dan note itu dari tangan Sakura, ia mengantonginya dan mengangkat dagu Sakura sehingga dirinya bisa menatapnya, tatapan mereka terkunci. "Aku tidak punya persiapan untuk berkata-kata, dan aku tidak akan berlutut."

Ketika Sakura tidak segera memotongnya, ia melanjutkan.

"Aku tidak akan pernah menjadi seromantis Sai, dan aku mungkin tidak akan pernah mengerti dirimu seperti Tenten," ucapnya pelan, "Aku melakukan banyak hal buruk, dan… aku mungkin masih tetap melakukan banyak hal buruk di masa depan."

Sebuah tawa gugup lolos dari bibir Sakura, tapi wanita itu tersenyum.

"Dan kau… kau suka mencuri kaos kesayanganku. Kau mengisi kulkas dengan tiga keranjang es krim sampai taka da ruang untuk meletakkan daging. Kau tidak bisa berpikir tanpa kopi, dan makananmu rasanya begitu tak karuan hambar, terkadang aku berpikir ada sesuatu yang salah dengan seleramu," ia menarih napas dalam ketika mata Sakura hanya berkilauan, membiarkannya untuk melanjutkan. "Tapi… tapi kau membuatku bertahan," tambah Sasuke dengan susah payah, jelas tidak nyaman dengan apa yang dimaksudkannya, "Kau membuatku tidak waras. Kau membuatku bahagia."

Sasuke menunduk malu dan Sakura menggigit bibirnya, berusaha menahan tawanya.

"Kita akan bertengkar suatu hari, dan kita mungkin akan lebih sering saling berbeda pendapat daripada satu pendapat, tapi…" ia meraih tangan Sakura dan mengangkatnya, "Tapi aku bersedia untuk mencoba. Dan tidak ada hal lainnya," Sakura tersedak, dan Sasuke tersenyum sebentar sebelum melanjutkan, "Tidak ada hal lainnya yang aku inginkan di dunia ini selain memilikimu di sisiku. Melihatmu berkeliaran di rumah. Bangun dengan kehilangan kaos kesayanganku karena kau yang memakainya, jadi…"

Senyum Sasuke melebar saat ia meremas tangan Sakura.

"Menikahlah denganku, Haruno Sakura."

Napas Sakura tersentak saat ia menatap Sasuke dan seketika, airmata mengalir di pipinya saat bibir merah mudanya melengkung membentuk sebuah senyum cerah.

"Apa kau yakin kau ingin memakan makanan 'tidak karuan hambar' buatanku untuk sisa hidupmu?" tanyanya ragu-ragu dengan suara bergetar.

Wajah Sasuke berubah serius. "Aku akan menyatakan harapanku agar kau menjadi lebih baik suatu saat," ucapnya, "tapi untuk berjaga-jaga jika kau tidak bisa, akan selalu ada solusi."

Mata Sakura berkilauan dengan airmata yang tertahan. "Kita harus mulai mengoleksi menu."

"Aku bisa hidup dengan itu."

Senyumnya malu-malu, pipinya dipenuhi warna merah yang indah. "Kita mungkin juga harus membeli sebuah kulkas yang besar, karena aku tidak akan menyingkirkan es krimku."

Sasuke mengangguk. "Lagipula sayuran dingin tidak terasa enak."

"Aku…" Sakura menatap Sasuke melalui bulumatanya yang panjang, "Aku tidak akan mengubah kebiasaan mengopiku."

"Aku tidak memintamu melakukannya."

Sakura mengamati Sasuke cukup lama, kemudian wajahnya menyala begitu cerah membuat tatapan Sasuke melembut. "Baiklah kalau begitu," ia menarik napas dalam dan mengulurkan tangannya pada Sasuke, "Karena kau ingin ini menjadi biasa, aku rasa ini bagian di mana kau… melakukan yang harus kau lakukan."

Sasuke menyeringai penuh kemenangan dan memasangkan cincin ke jari Sakura. Tatapan Sakura jatuh pada cincin itu dan tersenyum. "Ini akan menjadi saat di mana aku terpaku karena ini begitu menakjubkan," ucap Sakura, lalu menghela napas pura-pura, mengaguminya sebelum kembali ke Sasuke, mata hijaunya melembut, "Dan ini, Uchiha Sasuke, akan menjadi begian di mana kau menciumku—agar aku tahu ini nyata."

Sasuke menangkup wajah Sakura dengan kedua tangannya dan memberikan satu kecupan di rahangnya. "Oh, ini nyata," bisiknya, bibirnya menyapu sudut mulut Sakura sebelum akhirnya menciumnya, dengan suaranya yang rendah dan serak membuat Sakura menggigil, "Ini sangat, sangat nyata."

Dan untuk satu-satunya momen mendebarkan itu, dunia hanya milik mereka.

.

.

.

The End

.

.

I know I misbehaved and you made your mistakes

And we both still got room left to grow

And though love sometimes hurts, I shall put you first

And we'll make this thing work

BAD BEHAVIOUR

.

.

That's the end! So, big thanks for you guys! Especially for all reviewers, thank you for your support.

Thank you for the readers—including silent readers, thank you for reading, for add this story into your favorite list, and also thanks for following this story.

Then, see you again in the next story!