Pair: Naruto-Hinata

Rate: T-M (jaga-jaga)

Genre: Romance & hurt, drama

NARUTO © MASASHI KISHIMOTO

WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)

Because I Love You Mickey_Miki

.

Request from Umul 866

.

Mohon maaf jika ada kesamaan ide cerita.

.

DLDR

.

ENJOY THIS

.

.

.

Wanita itu terus berlari. bulir keringatnya semakin banyak mengalir melalui pori-pori. Dia tidak peduli pada penampilannya yang berantakan, baju yang robek sana-sini hingga menampilkan beberapa bagian tubuhnya juga luka memar yang sangat jelas tergurat di tubuhnya. Tak peduli pada pergelangan kakinya yang kian membengkak, berdarah bahkan semakin nyeri. Dia terus berlari, semua ini untuk keselamatannya. Dia harus menajauh dari pria asing yang tiba-tiba menyerangnya.

Hosh... Hosh... Hosh...

Dengan nafas ringkih wanita itu berhenti, menyanggah punggungnya pada tembok gang. Dia membungkuk, memeriksa kakinya yang semakin nyeri juga luka-luka yang tergurat di beberapa bagian tubuhnya. "Sakit sekali." Lirihnya sambil mengelus-elus pergelangan kaki yang kian membengkak.

Dia menoleh kanan kiri mencari jalan lain untuk berlari, namun tak ada. Dia sudah tersudut, di depannya adalah jalan buntu, tak mungkin juga dia memanjat dinding itu. Sejenak di pejamkan matanya, menenangkan degupan jantungnya yang semakin menggila. Mungkin ada jalan lain yang bisa dia gunakan.

Namun beberapa kalipun dicari, tetap tidak ada. Di depannya hanya ada tembok tua yang berdiri menjulang menutupi jalannya dengan lumut yang tumbuh dibeberapa bagian. Di samping kanan maupun kiri juga sama saja, hanya tembok bangunan gedung-gedung tua yang sudah tak terpakai.

Tubuhnya meluruh, jatuh ke tanah. Air mata mengalir tanpa diperintahkan. Segala rasa dan emosi bercampur. Dan Hinata baru merasakan apa yang namanya ketakutan. "Apa yang harus ku lakukan sekarang?" lirihnya bersamaan dengan rasa sesak yang kian menghimpit.

.

.

Tap..

Tap..

Tap..

Derap langkah itu terdengar jelas di tengah kesunyian. Jantung Hinata seakan ingin berlari dari tubuhnya. Pandangannya terus mengamati satu-satunya jalan menuju arahnya. Tubuhnya makin erat memeluk lutut dengan air matanya yang kian meluap jatuh dan membasahi tanah.

Bulan semakin terang bersinar ketika awan-awan kelabu pergi, semakin menerangi tempat Hinata. Sepertinya hari ini benar-benar hari buruknya, bahkan alam pun tidak mendukung dia untuk bersembunyi.

Rentetan kejadian sebelum kejadian ini pun terngiang di kepalanya. Ketika dia sudah menyelesaikan pekerjaannya dan rekan kerjanya meminta tolong padanya karena dia harus segera pulang. Kerja sampai larut malam dan melupakan rumahnya hingga berakhir seperti ini. dikejar oleh orang yang tidak dia kenal yang berusaha melecehkannya.

Seharusnya dia menolak permintaan itu, seharusnya ia langsung pulang, seharusnya sekarang ia telah tidur lelap di atas tempat tidurnya. Seharusnya tidak ada kata menyesal untuknya sekarang dan menikmati waktu istirahatnya.

Dan tentu saja penyesalan selalu ada di akhir cerita, bukan?

"Kau disini rupanya?"

DEG

Suara itu, suara yang bagaiakan melodi kematian yang memanggilnya. Mencoba menariknya ke dalam dunia kosong dan menyesakkan. Meretakkan seluruh bagian tubuhnya, hingga tak menyisakan apapun.

Tubuh Hinata semakin gematar, otaknya tak dapat lagi berfikir seiring dengan langkah laki-laki itu kian mendekat. Dia hanya mampu mendongak, menatap takut laki-laki besar dengan masker yang mentupi wajahnya.

"Ku mohon jangan mendekat!" Suaranya lirih nyaris tak terdengar. Namun tak digubirs oleh laki-laki itu yang semakin mendekat. Hinata semakin merapatkan dirinya di tembok gang tempatnya meringkuk, tak bisa lagi lari karena seluruh tubuhnya gemetar dan kesakitan.

"Aku tidak bisa. Aku harus melakukan ini. Aku minta maaf, hanya inilah satu-satunya cara." Laki-laki itu berucap lirih hingga tak didengar oleh Hinata. Pancaran matanya juga menampilkan kesakitan yang sama seperti gadis itu.

...

Pagi menjelang, seberkas sinar memasuki sebuah ruangan di mana di atas tempat tidur seorang gadis─ah, tepatnya seorang wanita tengah tertidur dengan mata bengkak yang kentara. Yah, sudah sebulan ini wanita itu terus melakukan hal yang sama. Menangis ketika malam datang, mengingat kembali apa yang sudah dialami sebulan yang lalu. Harta satu-satunya yang paling berharga dalam hidupnya harus terenggut paksa oleh seorang pria yang tidak dia kenal.

Pria kejam dengan topeng hitam yang menutupi wajahnya, tak ada celah untuk melihat ciri-ciri laki-laki tersebut ketika menyetubuhinya, tak ada bukti untuk menjobloskan laki-laki itu ke penjara. Dan itu benar-benar membuatnya sangat frustasi. Tetapi apa yang harus dia lakukan? Tidak mungkin dia melakukan hal yang sangat tabu dan paling dibenci oleh penciptanya, kan─ dengan bunuh diri?

Entah kesalahan apa yang pernah dia lakukan pada pria itu, hingga melakukan semua ini padanya. Dia tidak mempunyai orang terdekat di dunia ini, tidak punya keluarga, apalagi teman. Tetapi kenapa? Selama ini dia selalu melakukan yang terbaik agar tak ada seorang pun yang membencinya apalagi menganggapnya sebagai musuh, tetapi kenapa? Apa yang pernah dia lakukan sampai kejadian naas itu terjadi padanya?

Hinata masih terlelap di atas ranjang, tak memedulikan sinar mentari yang menggodanya untuk membuka mata. Dia malah berdoa semoga dia tidak pernah bangun dari tidurnya, dengan begitu dia tidak akan pernah lagi mengingat kejadian itu.

Namun sayang, sinar matahari itu bukannya pergi malah semakin meningkatkan intensitas cahayanya dan membuat sang empu mau tak mau membuka kelopak matanya dan menampilkan sepasang mata bulan yang sayu. Tidak lama air mata mulai mengalir melewati pipinya ketika rentetan peristiwa malam itu kembali hadir dalam benak. Isakan tangisnya terdengar. Semakin keras hingga membuat siapapun yang mendengarnya merasakan perih dan rasa iba.

Kalau saja saat itu ia tak berbuat baik dan menolak permintaan rekan kerja part time-nya. Kalau saja saat itu ia peka dalam menyimpulkan kejanggalan hatinya. Dan kalau saja…dia tidak pernah bekerja di sana. Kalau saja seperti itu, hidupnya tak akan pernah berakhir seperti ini.

Tetapi semuanya sudah terjadi.

Sudah hampir seminggu dia tak masuk kampus apalagi pergi ke tempat kerja part time-nya. Sejak dia mengetahui kenyataan bahwa ia tak lagi sendiri di dunia ini. di dalam tubuhnya sekarang sudah hadir sesosok manusia yang masih belum sempurna, hasil dari kebejatan pria itu.

Dan sekarang dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan.

.

.

.

Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan dipintu menyadarkannya. Lekas-lekas dia menyeka dan bergegas membasuh wajah. Entah siapa yang mendatanginya pagi-pagi begini?

Ceklek

Seorang pria tinggi dengan badan tegap tengah berdiri di depan rumahnya sekarang. Dia mengenal pria itu namun tidak terlalu dekat walau mereka sekelas, namun interaksi mereka hanya bisa dihitung jari. Dia adalah idola kaum hawa kampusnya, tidak hanya tampan, kaya, dia juga sangat cerdas bahkan sangat baik pada siapapun. Dia selalu tersenyum ramah pada orang, termasuk kepada Hinata dan itu pula yang membuat Hinata diam-diam mengaguminya. Tetapi apa yang membuat laki-laki itu mendatanginya? Apakah dia sudah membuat masalah?

"Ma...maaf─"

"Ah... aku minta maaf pagi-pagi sudah datang ke sini." Ucap laki-laki itu.

"Ti...tidak apa-apa." Jawab Hinata serak. Ada sedikit ketakutan dalam dirinya ketika melihat laki-laki itu. Bukan karena dia yang membuat Hinata seperti itu, tetapi─mungkin karena masih ada rasa trauma ketika melihat seorang pria─karena kejadian itu. "A...ada apa kau kemari?"

"Ini─" laki-laki itu menyerahkan selembar kertas padanya, "Kita diberi tugas oleh pak Izumo untuk menyelesaikan, tetapi kau tidak datang selama seminggu dan aku─ akhirnya aku mendatangimu. Maaf kalau membuatmu tidak nyaman."

Hinata menggeleng pelan. "Seharusnya aku yang berterima kasih padamu karena membawakan ini untukku. Ja...jadi kapan kita mengerjakan ini."

"Kalau kau sudah lebih sehat."

"Baiklah. Terima kasih, Uzumaki-san"

"Cukup memanggilku Naruto, Hinata. Kau seperti memanggil ayahku."

"I...iya."

"Kalau begitu aku permisi. Semoga kau cepat sembuh, Hinata."

Hinata menutup pintunya. Tubuhnya kemudian meluruh ke lantai, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya antara takut dan gugup ketika memandang laki-laki itu.

...

Keesokan harinya Hinata memberanikan diri untuk ke kampus untuk kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Memang masih ada rasa takut ketika bertemu dengan orang-orang terlebih itu adalah kaum laki-laki namun dia berusaha menekannya. Dia tidak akan mungkin seperti itu seterusnya, ada kehidupan lain yang sekarang berada di dalam tubuhnya. dan tubuhnya sekarang bukan cuman miliknya seorang. Walau janin itu adalah hasil dari kekejaman orang lain, tetapi dia memiliki kewajiban untuk melindunginya.

Hinata menegang ketika melihat orang-orang memandangnya. Bukan pandangan biasa yang dia dapatkan dulu─ sebelum seminggu yang lalu─ tetapi pandangan merendahkan seperti memandang kotoran busuk di jalan. Apa yang membuat mereka memandangnya seperti itu? Sebenarnya apa yang sudah terjadi saat dia tidak masuk kampus?

Puk

Hinata tersentak, terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya. "Hinata, kau kenapa?" Tanya orang itu. Suara bariton khas seorang lelaki masuk ke dalam indra pendengarannya. Suara yang sudah dikenalnya bahkan sudah dia tanam dalam kepalanya.

Hinata berbalik menatap orang itu, "Na..Naruto-san."

"Ah... Maaf membuatmu terkejut. Dari tadi kau kupanggil, tetapi kau malah mengabaikanku. Kau sedari tadi hanya diam. Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu?"

Hinata menggeleng pelan sambil menunduk. Entah dia ingin bertanya tentang pandangan itu, tetapi dia ragu─bukan lebih tepatnya takut. Dia takut mendengar jawaban yang akan membuat batinnya semakin teriris luka lagipula Naruto bukanlah tempat yang biasa dia gunakan untuk mengadu ataupun bertanya dan laki-laki itu juga bukanlah orang terdekatnya dan mana mungkin laki-laki itu sadar tentang pandangan merendahkan yang ia terima itu.

"Tidak usah dipikirkan pandangan mereka. Mereka tidak tahu apa-apa tentangmu." Kata Naruto seolah membaca pikiran Hinata. Dia pun sadar dengan pandangan merendahkan yang mereka berikan pada gadis di hadapannya itu. Dan Naruto benar-benar tak suka dengan cara mereka. Seolah merekalah yang bersih tak memiliki keburukan apapun.

"Ma...maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Naruto-san." Kata Hinata menatap mata Naruto. Walau sedikit takut juga gugup.

"Ikut aku. Aku akan menceritakan semuanya." Naruto meraih tangan Hinata dan membawanya di taman belakang kampus, tempat biasa yang Hinata datangi untuk mengerjakan tugas kuliah maupun melepas penat atau bersantai. Mereka duduk di kursi yang terletak di bawah pohon yang rindang. Siang yang terik tidak jadi masalah bagi mereka berdua karena udara yang menerpa mereka jadi terasa lebih mendamaikan.

"Hinata, sebelum aku menjelaskan apa yang terjadi. Aku ingin bertanya sesuatu."

Hinata hanya mengangguk pelan. Sesungguhnya hatinya saat ini tengah resah. Dia takut mendengar apa yang akan Naruto katakan padanya, dia seolah tahu kalimat-kalimat yang akan dilontarkan Naruto─dan itu akan membuatnya semakin terpuruk.

"Apakah benar kau sedang mengandung?"

Dan pertanyaan itu sukses membuatnya terdiam, terpekur memikirkan semua itu. Mata bulannya menatap kosong penuh rasa tidak percaya dan keterkejutan yang tak mampu digambarkan oleh kata. Bagaimana mungkin Naruto tahu dengan kondisinya ini? Bukankah dia tidak pernah bercerita pada siapapun?

Naruto menatap iba Hinata. "Jadi itu benar, yah?" Ucapnya sendu seolah tahu bagaimana perasaan gadis itu sekarang.

Naruto menghela nafas sejenak lalu melanjutkan perkataannya. "Seminggu yang lalu, ada anak kampus yang mendapati alat test pack di toilet wanita dan tepat saat itu kaulah yang terakhir keluar dari toilet itu."

Hinata memejamkan mata. Air mata sudah mengaliri pipinya menetes dan membasahi baju kaos putih yang dia kenakan. Yah, dia ingat saat itu, ketika dia ingin membuktikan perasaan ganjil yang dia rasakan dan tanpa pikir dua kali dia kemudian membuktikannya di toilet kampus. Dan setelah mendapatkan kebenaran, dia berlari tanpa membawa alat tes pack itu.

Sekarang apa yang harus dia lakukan? Tidak cukupkah dengan kehilangan keperawananya, hamil di luar nikah dengan seorang biadab yang tidak dia kenal, kenapa ditambah dengan mereka semua yang memandang dirinya rendah?

"Katakan, Hinata. Siapa ayah dari bayi itu?" Tanya Naruto sedikit memaksa.

Hinata sekali lagi menggeleng. Sekarang dia pasrah. Pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya.

"A...apakah kau─"

"Aku tidak tahu, Naruto. Aku diperkosa oleh orang yang tak ku ketahui. Aku tidak tahu siapa dia."

"Kalau begitu biarkan aku yang bertanggung jawab." Ucapnya lantang dan tegas tak ada keraguan saat mengucapkan itu. Seolah Naruto sudah memikirkannya beberapa kali.

TBC

a/n : Entah hanya perasaanku atau memang cerita ini seperti sudah ada yang buat, tapi bukan berarti dengan urutan kata atau kalimatnya sama karena ini asli dari karanganku sendiri. Maksudku ide cerita ini sepertinya sudah ada.

well, kritik dan saran yah kalau bisa :-)