Unpredictable
Naruto©Masashi Kishimoto
SasuSaku slight InoSaku - AU - Islamic Content - Bahasa Non Baku - Fluff
.
.
.
.
.
.
.
Haruno Sakura, gadis berusia 21 tahun yang berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta dan merangkap sebagai karyawan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan. Wajahnya lumayan cantik, kulitnya putih mulus, dan juga cerdas. Matanya yang hijau bening adalah poin penting yang menambah kecantikannya. Terlebih dengan pakaian muslimah yang dikenakannya, serta pengetahuan agama yang lumayan bagus, yang bukan hanya terucap secara lisan tetapi ia tunjukkan melalui tindakan. Dan juga kenyataan bahwa selama ini ia sama sekali belum pernah berpacaran. Sungguh calon istri yang ideal.
Namun sampai saat ini, ia sama sekali belum berpikir untuk menikah. Kecuali jika ada pemuda sholeh yang melamarnya. Ia tentunya tidak akan menolak. Tetapi fokusnya saat ini adalah kuliah dan juga pekerjaannya. Dan juga memperdalam ilmu agama. Ia berpikir bahwa masih banyak yang belum ia ketahui tentang agamanya. Karenanya ia terus belajar dan belajar.
Sakura memiliki seorang sahabat yang benar-benar ia sayangi. Tetapi bukan berarti ia tak memiliki teman. Ia memiliki banyak teman dan ia menyayangi mereka semua. Namun yang paling dekat dengannya hanyalah satu orang. Yaitu Ino, temen sekantornya.
Sakura dan Ino sangat dekat. Hubungan mereka sudah seperti saudara. Mereka saling menyayangi satu sama lain meskipun terkadang mereka bertengkar. Tetapi itu tidak membuat mereka menjauh. Mereka malah semakin dekat. Namun berbeda dengan Sakura, Ino sedikit lebih modis.
Gadis itu pun menutup auratnya. Namun sebatas menggunakan khimar dan masih menggunakan celana panjang. Bahkan terkadang menggunakan kaos ketat. Namun bukan berarti Ino tidak mengerti. Ia hanya belum siap jika harus mengenakan pakaian syar'i seperti yang dikenakan oleh Sakura. Tetapi secara bertahap ia berubah. Setidaknya ia sudah bisa mengenakan pakaian syar'i pada momen-momen tertentu, seperti menghadiri kajian, tentunya.
Jika Sakura sama sekali masih polos tentang laki-laki, Ino jauh lebih berpengalaman. Gadis itu sering berganti-ganti pacar, meskipun itu saat ia masih sekolah. Dan Ino lah yang memberi pelajaran khusus pada Sakura yang awam tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Gadis itulah yang menjadi tempat curhat Sakura ketika ditakair oleh laki-laki. Yang tentunya berakhir dengan digodanya Sakura secara habis-habisan oleh Ino.
Suatu ketika mereka pernah pergi ke sebuah kajian dengan tema tentang jodoh. Keduanya sama-sama mendengarkan, kemudian setelah selesai, mereka berbincang, berdiskusi.
"Jadi … kalau tiba-tiba kamu ketemu jodoh di jalan, gimana, Ra? Terima atau tolak?" tanya Ino memecah keheningan. Sakura menoleh ke arahnya, terlihat berpikir. Kemudian Ino kembali berkata, "Kamu 'kan takut sama laki-laki."
Kali ini Sakura benar-benar terlihat berpikir. Ino menerka-nerka bahwa sahabatnya itu sedang membayangkan. Ya, satu fakta yang tak diketahui orang lain selain dirinya tentang Sakura adalah kenyataan bahwa Sakura takut pada laki-laki. Bukan berarti ia takut berinteraksi pada laki-laki, tetapi lebih kepada hubungan dengan laki-laki. Ino tak terlalu mengerti. Hanya saja Sakura memang selalu menghindari hal itu. Padahal lumayan banyak laki-laki yang tertarik padanya dan berniat menjadikannya istri. Meskipun para laki-laki itu belum mengungkapkan secara verbal. Tetapi bahasa tubuh mereka yang berbicara. Ino selalu menangkap sinyal itu, yang tentunya tak pernah disadari oleh Sakura, kecuali jika ia yang bercerita.
"Entahlah, No. Bingung. Dan gak kebayang. Haha," jawab Sakura. Ino nyaris menepuk jidatnya karena jawaban dari sahabatnya itu sudah ia prediksi sebelumnya, yang tak disangka akan benar-benar dikatakan oleh Sakura.
"Sudah kuduga," desah Ino. Sakura tertawa. Mereka berjalan beriringan menuju halte untuk menuju rumah mereka.
"Kalau kamu gimana, No? Terima atau tolak?" tanya Sakura mengulang pertanyaan Ino. Gadis yang mengenakan khimar berwarna biru itu terdiam sejenak.
"Kalau dia beneran serius, aku gak akan nolak," jawab Ino. Sakura terdiam. "Eh tapi, aku harus kenal orangnya dulu," lanjut Ino menambahkan. Sakura tersenyum sambil memandang mobil yang berlalu-lalang dihadapannya.
"Perkenalan itu … penting, ya?" Tanya Sakura mengambang.
"Ya iyalah!"
"Islam mengatur itu. Pacaran juga gak ada. Adanya ta'aruf," jelas Sakura.
"Kamu percaya sama ta'aruf?" tanya Ino. "Kita kenal gak lama sama calon kita terus nikah gitu aja," lanjut Ino.
"Allah Maha Tahu," jawab Sakura. Ino menoleh ke arahnya, menatap penuh tanya. "Karena itu kan, No. Selama kita dalam proses berta'aruf, kita harus sholat Istikharah, memohon petunjuk sama Allah supaya ditunjukkan mana yang benar-benar terbaik," lanjut Sakura. Ino terdiam.
"Islam itu indah. Segala sesuatunya sudah diatur. Gak ada yang terlewat satupun disitu. Dan yang pastinya, Allah selalu mengiringi langkah kita. Pun sama dengan ta'aruf. Insya Allah itulah yang terbaik. Selama kita berada di jalan yang benar, Allah pun akan meridhoi kita." Sakura kembali menjelaskan. Ino tersenyum.
"Yaudah. Kamu ta'aruf sana!" gurau Ino. "Kan udah banyak tuh yang ngantri," lanjut Ino sambil tertawa. Sakura menatapnya sebal.
"Hadeeeh. Gak usah dibahas yang itu," balas Sakura. Ino kembali tertawa melihat mood sahabatnya yang tiba-tiba berubah buruk jika membahas hal itu. "Entar, kalau ketemu di jalan sama cowok ganteng terus tiba-tiba ngelamar aku, baru deh aku terima. Hahaha," canda Sakura. Ino membulatkan mata Sakura, terkejut.
"Awas, loh! Nanti benar-benar kejadian!"
"Biarin. Asal cowoknya sholeh, aku gak nolak. Haha."
Dan obrolan mereka terhenti ketika bus yang mereka tunggu sudah datang. Keduanya duduk bersama, terdiam, tanpa satupun obrolan yang berarti. Ino bahkan sudah tertidur karena kelelahan. Sakura hanya memandangi jalanan melalui kaca bus. Pikirannya menerawang jauh, memikirkan segala perkataan Ino.
Ia tak pernah jatuh cinta. Tetapi ia pernah sekali dekat dengan laki-laki. Hubungan mereka bukan hubungan seperti pasangan kekasih. Sakura hanya menganggapnya teman, tidak lebih. Namun lelaki itu berpikir lain. Segala macam tingkah Sakura dan juga perhatian yang Sakura berikan kepada lelaki itu disalahartikan. Lelaki itu berpikir bahwa Sakura mencintainya. Dan tanpa dasar apapun, lelaki itu menolaknya, terang-terangan, mengatakan hal yang menyakitkan pada Sakura. Secara tak langsung lelaki itu mengatakan bahwa Sakura adalah perempuan rendahan yang tak ada bedanya dengan perempuan lain yang suka mengejar laki-laki. Padahal Sakura sama sekali tak seperti itu. Sekali lagi, Sakura sangat polos tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Ia sama sekali tak mengerti hubungan seperti itu. Sikapnya pada lelaki itu pun sama seperti sikapnya kepada teman-temannya yang tentunya perempuan. Dan lelaki itu menyalahartikannya.
Itu sudah lama berlalu. Namun cukup membuat Sakura sedikit trauma. Ia menjadi pribadi yang tidak ingin dekat dengan laki-laki dan menjalin hubungan. Ia takut kejadian itu akan terulang kembali. Karenanya ia menghindari hal tersebut. Dan hal itulah yang selama ia sembunyikan dari Ino.
Sekitar dua jam perjalanan mereka dan kini mereka sudah sampai di tempat tujuan. Adzan Ashar sudah menggema.
"Sholat dulu, yuk!" ajak Sakura.
"Aku duluan deh, Ra. Kakak aku udah nungguin di tempat biasa," tolak Ino. Gadis itu memang selalu dijemput oleh kakaknya setiap kali pulang dari bepergian. Namun kakaknya memang tidak menjemput di tempat mereka turun. Ino harus kembali naik kendaraan umum untuk menuju tempat kakaknya menjemput.
"Beneran gak mau sholat dulu?" tanya Sakura memastikan.
"Nanti aja deh Ra," tolak Ino sekali lagi sambil memasang senyuman semanis mungkin.
"Yakin? Udah jam setengah lima nih." Sekali lagi Sakura bertanya. Ino menggeleng sambil memamerkan deretan gigi putihnya, nyengir.
Sakura menarik napasnya pelan.
"Ya gak apa-apa sih. Itu pilihan, No. Tapi kan kita gak tau apa abis detik ini kita masih hidup atau nggak." Kali ini Sakura tersenyum. Ino terdiam, mencerna ucapan Sakura.
"Aku sih gak mau mati dalam keadaan belum sholat," lanjut Sakura yang masih tersenyum sambil bersiap pergi menuju masjid terdekat. Ino mematung di tempatnya.
"SAKURAAAA!" teriak Ino geram. Ia tersadar akan ucapan Sakura setelah gadis muda itu meninggalkannya. Ino berlari mengejar Sakura.
"Hahaha. Ikut juga nih sholatnya?" tanya Sakura yang terdengar meledek Ino. Ya, kini Ino sudah berjalan di samping Sakura, ikut ke masjid.
"Diem deh kamu! Nyebelin!"
"Ya bener dong. Kan ajal bisa dateng kapan aja."
"Iya, iya. Kamu bener. Puas?"
"Puas banget. Hahaha."
Mereka berdua kemudian sholat, berjamaah. Karena sudah jam setengah lima, orang yang berada di masjid hanya ada beberapa. Ada pula yang tertidur di sana.
Sakura menjadi imam sementara Ino menjadi makmumnya. Mereka berdua sholat dengan khusyuk. Selang beberapa menit kemudian, mereka pun selesai. Sakura keluar terlebih dahulu untuk memakai sepatu sementara Ino masih merapikan khimarnya.
Gadis berkerudung hijau tosca itu pun memakai sepatunya. Di sampingnya ada seorang lelaki yang tak terlalu diperhatikannya. Namun setelahnya, matanya menangkap sebuah dompet yang tergeletak tepat di depannya. Mungkin tak sengaja terjatuh saat lelaki itu memakai sepatu.
Sakura mengambil dompet tersebut dan mengejar lelaki tersebut. Agak sedikit kebingungan karena ia tak menemukan lelaki itu. Hingga akhirnya matanya menangkap segerombolan lelaki yang sedang berbincang di pos polisi dekat masjid tempatnya tadi sholat. Berniat menghampiri namun ia tak tau wajah lelaki yang kehilangan dompetnya tadi. Ia merutuk dalam hati karena tak memperhatikan orang di sekitarnya. Ingatkan ia untuk lebih peka pada lingkungan di sekitarnya.
"Nyari apaan, Sas?" tanya seorang lelaki berambut hitam klimis pada lelaki berambut raven berkemeja biru muda tersebut yang terlihat kebingungan sambil merogoh saku celananya.
"Dompetku kemana, ya?" gumamnya sambil merogoh saku celananya. Tak ada.
"Ketinggalan kali. Tadi terakhir kemana emang?" Seorang lelaki berambut kuning bertanya. Lelaki berambut raven tersebut mengingat-ingat. Dan bingo! Masjid. Ya. Tadi ketika ia sholat, dompetnya masih ada. Aa, pasti ketinggalan di sana.
Dari kejauhan, Sakura masih berdiri memandangi para lelaki tersebut. Matanya menatap curiga lelaki berambut raven tersebut. Jangan-jangan lelaki itu yang kehilangan dompetnya, pikir Sakura menarik kesimpulan. Ia menggenggam erat dompet tersebut, menarik napas pelan kemudian memantapkan langkahnya menuju lelaki tersebut.
"Mudah-mudahan emang cowok itu yang kehilangan dompetnya. Aamiin." Doa Sakura dalam hati. Karena jika salah, itu akan sangat memalukannya.
Sementara lelaki itu hendak berbalik menuju masjid, Sakura menghampirinya. Lelaki itu tak memperhatikan. Tak juga menyangka bahwa yang dituju oleh Sakura adalah dirinya. Karenanya ia hanya berpapasan. Sakura membalik badannya kembali dan memanggil lelaki yang sudah berjalan beberapa langkah darinya.
"Mas!" panggilnya. Lelaki itu menoleh ketika melihat tak ada orang lain disana selain dirinya. Dipandanginya seorang perempuan berpakaian syar'i dengan masker hitam yang menutupi sebagian wajah perempuan itu.
"Ini dompetnya, bukan?" tanya Sakura sambil menyodorkan dompet hitam tersebut pada sang lelaki. Lelaki itu mengambilnya, mengamatinya sekilas.
"Iya. Ini dompet saya," jawabnya.
"Coba di cek dulu. Takutnya ada yang hilang. Tadi ketinggalan di masjid," terang Sakura. Lelaki itu menuruti sarannya. Semuanya lengkap.
"Gak ada yang hilang. Terima kasih, ya."
"Sama-sama," jawab Sakura yang kemudian berlalu dari lelaki itu. Ia kembali menuju masjid karena Ino masih di sana.
"Kamu darimana aja, sih, Ra? Aku dari tadi nyariin kamu," sungut Ino sebal.
"Ngasih dompet ke Mas-Mas disana itu," jawab Sakura yang malah membuat Ino bingung.
"Udah. Gak usah dipikirin. Pulang, yuk!" ajak Sakura. Ino yang masih bingung hanya menurut kala tangannya setengah ditarik Sakura. Keduanya menuju pintu keluar masjid. Disana lelaki yang dompetnya baru saja dikembalikan oleh Sakura menatapnya dengan tatapan yang tak diartikan. Namun Sakura tak sadar. Ia tak ambil pusing. Gadis itu malah berjalan melewati lelaki itu.
"Mbak!" Lelaki itu bersuara. Sakura dan Ino saling memandang kemudian menoleh kanan dan kiri. Tak ada perempuan lain selain mereka berdua. Berbicara lewat tatapan mata, keduanya menoleh berbarengan. Lelaki itu menghampiri mereka berdua.
"Ada apaan, Mas?" tanya Ino dengan nada jutek.
"Boleh minta alamatnya?" Mengabaikan pertanyaan Ino, lelaki itu bertanya pada Sakura. Baik Sakura maupun Ino terkejut. Mereka berpikir lelaki ini salah bertanya.
"Buat apaan, ya?" tanya Sakura bingung. Tatapan matanya benar-benar polos. Ino menatap sahabatnya kesal. Orang gak kenal aja diladenin.
"Gak usah diladenin, Ra!" Ino menarik tangan Sakura dan membawanya pergi.
"Mbak, tunggu sebentar!" teriak lelaki itu.
"No, itu orang nyeremin," ujar Sakura parno.
"Ya makanya gak usah diladenin." Keduanya berlari. Namun kalah cepat dengan lelaki yang mengejar mereka. Lelaki itu bahkan sudah berada di depan mereka. Sakura dan Ino terlihat ketakutan.
"Eh, itu kan, Sasuke. Ngapain dia disana?" tunjuk seorang berambut kuning ketika melihat lelaki raven sedang mencegat dua orang gadis tak berdosa.
"Tadi katanya kehilangan dompet." Lelaki berambut klimis berbicara. Keduanya seakan paham. Mereka menghampiri lelaki bernama Sasuke tersebut.
"Hei Sasuke! Udah ketemu dompetnya?" Lelaki berambut klimis bertanya.
"Saya minta alamatnya, Mbak." Mengabaikan pertanyaan temannya, Sasuke kembali berbicara pada Sakura. Ino menatap lelaki itu galak. Kemudian menatap Sakura dengan tatapan 'jangan kasih.'
"Memangnya buat apa?" tanya Sakura. Kali ini suaranya terdengar tegas. Nyaris marah jika lelaki itu menyadarinya. Kedua teman Sasuke memandang mereka bingung. Ino menatap Sakura tajam. Dan lelaki itu pun ditatapnya tak kalah tajam. Namun sekali lagi, ia tak peduli.
Lelaki itu tersenyum. Lalu menjawab, "Buat ketemu ayah kamu."
Sakura terkejut. Ino melotot. Kedua teman Sasuke pun menampilkan ekspresi yang sama.
"Mau apa ketemu ayah saya?" Dan kali ini suara Sakura terdengar benar-benar marah. Namun tetap tenang dengan wajah datar.
"Mau ngelamar kamu," jawab lelaki itu sambil tersenyum.
"HAH!?"
.
.
.
.
.
(Maybe) END
.
.
Thank you for reading :)