My Deadline!
Cast: Kaisoo, Yunjae and maybe other (GS)
Typo melayang dimana-mana, OOC, and once again this is genderswitch I've warn you..
DLDR
Chap 1
Beep beep beep!
Trak!
Jam weker kelima yang kutendang dalam dua bulan terakhir. Mungkin kacanya yang retak kali ini atau barangkali pecah? Aku tak peduli.
Waktu tidurku berantakan semenjak dua bulan belakangan, semenjak pihak penerbit memintaku untuk menulis kembali. Dengan segudang alasan yang kubuat akhirnya pihak penerbit setuju memundurkan jadwal deadline naskahku menjadi empat bulan. Terima kasih pada editor setiaku, Nona Lee, yang bersedia membantuku untuk memenangkan perdebatan alot tersebut. Padahal biasanya justru dia yang kerap kali menggentayangiku dengan belasan pesan singkat untuk segera menuntaskan deadline.
Para tetangga di flat kecil ini mungkin sudah biasa mendengar suara alarm nyaring dengan bunyi hantaman benda keras setelahnya. Flat sederhana yang—dengan terpaksa kubeli—memiliki dua lantai ini dimiliki oleh sepasang suami istri paruh baya, jika tak ingin kusebut kakek-nenek. Lantai pertama dihuni kakek-nenek Park beserta pemilik cafe mungil yang berada tepat di sebelah flat yang biasa kupanggil Nona Kim. Sekedar informasi, flat ini memiliki dua orang penghuni yang bermarga Kim. Kim yang tinggal di lantai bawah memiliki badan mungil dan Kim yang satunya merupakan pelatih vokal dengan badan yang cukup jenjang. Nona Kim si pelatih vokal tinggal di lantai atas, kamarnya tepat berhadapan dengan kamarku.
Semua penghuni flat telah kuberitahu sebelumnya jika aku kembali menerima job menulis satu bulan lalu. Itu artinya akan terdengar suara-suara aneh dari dalam kamar—bunyi alarm tercampak misalnya, lampu kamar yang akan sering kumatikan, tumpukan sampah dari restoran cepat saji di depan kamar, atau juga gedoran pintu maha dahsyat dari nenek Park hanya untuk memastikan aku masih hidup setelah dua hari ia tak melihatku keluar kamar.
"Nona Do, sudah waktunya kau bangun!" teriakan itu berasal dari Nona Kim si pelatih vokal— Jaejoong unnie. Semalam aku memang berpesan 'jika dalam waktu tiga puluh menit setelah bunyi benda terlempar aku belum keluar kamar, tolong bangunkan aku'. Deadlineku hampir selesai, semalaman aku berusaha tetap terjaga hanya untuk menyempurnakan tulisan sebelumnya.
Sempat kakiku tersandung koper yang entah sejak kapan berada di ruang tengah saat akan membuka pintu. "Shit!" bisa kupastikan saat ini Nona Kim berbadan jenjang itu sedang berdiri di depan kamarku, menungguku keluar.
Cklek
"Selamat pagi Nona Do Kyung Soo. Semoga kau tidak terburu-buru berjalan ke halte bus hari ini." senyum merekah di wajah wanita cantiknya yang masih dihiasi mata sedikit sembap. Kupastikan usianya tak lebih dari 25 tahun. "Yeah, terima kasih lagi untuk hari ini Nona Kim." balasku.
Setelah itu ia kembali ke kamarnya—di depan kamarku, sambil menenteng kantong belanja berwarna putih. Sudah menjadi kebiasaan seorang Kim Jae Joong untuk berbelanja tiap tiga hari sekali di pagi hari. Pagi hari—pukul berapa sekarang? Meninggalkan bunyi bedebum pada pintu, buru-buru kuraih jam weker yang kucampakkan pagi ini.
Pukul 06.14—
—oh baru saja jarum panjangnya mengarah ke 15.
"Dasar penyanyi sinting!"
Pasti semalam dia yang mengubah setting alarmku. Semalam Jaejoong dan Minseok unni—Nona Kim di lantai bawah—berkumpul di kamarku hingga cukup larut. Mereka sibuk menonton poltergeist, film hantu yang bisa membuat benda melayang-layang. Aku cukup waras mengikuti kegiatan mereka dengan deadlineku malam tadi. Aku tak tahu jika Jaejoong unni ternyata menyetel ulang alarm yang kupasang pada pukul sembilan menjadi setengah enam—dia bahkan membiarkanku tidur lebih lama hampir lima belas menit dari yang kupesankan.
Tak ada gunanya tidur lagi, sangat sulit untuk memulai tidur jika sudah terbangun. Segera kuambil handuk dan melesat ke kamar mandi. Setelah ini mungkin aku akan menerobos kamar Jaejoong unni dan meminta jatah sarapanku.
Aku, Do Kyungsoo mahasiswi tingkat akhir salah satu universitas di Korea. Dengan uang yang orangtuaku miliki mungkin bisa saja sekarang aku berada di Paris menikmati musim panas dengan tumpukan cokelat mahal atau bahkan menjadi manajer di salah satu divisi perusahaan keluarga—dengan kemungkinan terburuk aku mati muda.
Sebuah kebanggaan berharga buatku saat diterima menjadi salah satu mahasiswi. Dengan perjuangan keras aku mati-matian belajar hanya untuk mendapatkan satu buah kursi di perguruan tinggi.
Appa dengan watak kerasnya harus mengaku kalah saat mendengar anak perempuan satu-satunya ingin hidup di flat kecil. Sebenarnya appa tidak selunak itu, namun dengan segala tipu daya dan rayuan dari umma akhirnya ia mau mengalah dengan sebuah syarat. Flat yang kutempati akan dibelinya, sebagai jaminan suatu saat jika aku memberontak lagi ia akan merubuhkan flat kecil itu—percayalah itu tak akan terjadi. Awalnya kakek-nenek Park menolak untuk menjual bangunan flat mereka, namun dengan negosiasi yang cukup menguntungkan akhirnya mereka tetap menjualnya pada appa. Appa tak pernah mengambil uang biaya sewa penghuni flat pada kakek-nenek Park, hak milik memang berada di tangan appa namun kakek-nenek Park tetap memiliki hak penuh untuk biaya sewa dan segala hal tentang flat. Mungkin juga nantinya appa akan kembali menyerahkan flat sederhana ini pada kakek-nenek Park jika sudah bosan bermain-main denganku.
"Hoi, jangan kotorkan meja makanku!" tegur Jaejoong unni. Ada tetesan sup diatas meja makan vintage miliknya.
Kupasang cengiran kuda milikku.
Menu sarapan pagi ini sup jagung dengan roti bagel sekeras kayu—khas Eropa. Roti-roti itu tak akan pernah lembut jika kau tidak mencelupkannya pada minuman teh atau kopi atau pada sup.
Kuraih tisu diujung meja sambil meminum air putih. Nona Kim pemilik suara merdu itu sibuk membersihkan dapur mungil kesayangannya. Biasanya pagi seperti ini Minseok unnie juga akan bergabung untuk sarapan bersama kami. Nona Kim berbadan mungil itu bisa saja sebenarnya sarapan di cafe miliknya, namun ia lebih senang dengan sarapan buatan tangan Jaejoong unnie.
"Mana jatahku pagi ini cantik?" suara perempuan terdengar dari pintu masuk yang terbuka lebar. Minseok unni muncul tak lama kemudian dengan apron hitam khas barista miliknya. Ia sudah siap bertempur dengan butiran biji kopi rupanya
"Cafe buka awal hari ini?" tanyaku penasaran melihat penampilannya yang rapi. Minseok unni mengisi penuh mangkuk kecil ditangannya.
"Stok biji kopiku masuk pagi ini" jawabnya sambil meraih roti bagel di hadapanku. "Apa yang membuatmu terjaga sepagi ini? Kuliah pagi?" tanyanya heran setelah menyadari aku bangun lebih awal hari ini. "Seingatku tak pernah sepagi ini kau bangun?"
"Tanyakan pada penyanyi sinting di dapur apa yang telah dilakukannya pada alarmku." Minseok unnie terkekeh sesaat. Jaejoong unnie hanya menyahut 'aku dengar itu' dari dapur, ia masih sibuk dengan urusan kulkasnya.
Jam di ruang makan masih menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Biasanya cafe milik Minseok unnie akan buka pada pukul sepuluh dan antrean pelanggan telah menantinya di depan pintu.
"Pergilah ke cafe hari ini, sesekali kau butuh udara segar daripada berkutat terus dengan laptop."
"Kau membutuhkan pelayan tambahan?"
Nona Kim bertubuh mungil itu mendengus. "Jika itu yang kubutuhkan, dari dulu mungkin kalian berdua sudah kuseret ke cafe."
"Mungkin aku akan ke sana siang nanti dengan laptop." gumamku memainkan roti bagel. "Buatkan aku frappuccino, ya!"
Minseok unnie mengangguk-angguk disela sarapannya. Jaejoong unnie bergabung dengan kami di meja makan.
"Kau pergi kuliah hari ini?"
Aku menggeleng sekali. Teori kuliahku sebentar lagi selesai, khusus untuk hari ini sampai empat hari kedepan seluruh dosen pengajar kelasku tidak akan menghadiri kelas. Kesempatanku untuk cepat-cepat menyelesaikan beberapa bab tulisanku yang belum selesai dan menyerahkannya pada editor. Karena setelah bab sebelumnya selesai, aku akan disodorkan bab-bab selanjutnya hingga rampung semua tulisanku dan novel akan segera diterbitkan.
"Ja! Terima kasih sarapannya Jae unni!" barista mungil didepanku mengatupkan kedua tangannya kedepan dada. Ia telah selesai dengan sarapan ala Eropa kami pagi ini. Wanita mungil itu kemudian bergegas menuju cafenya setelah meletakkan peralatan makannya ke wastafel.
Tersisa Jae unni yang menikmati tehnya dan aku yang masih sibuk mengunyah roti bagel sarapan pagi ini. Tiba-tiba Jae unni berdiri menuju kearah ruang tengah mengambil sesuatu.
Tuk
Kulirik benda yang baru saja diletakkannya ke meja. "Mwo?"
Dengan sekali helaan napas diraihnya benda berupa kotak persegi kecil berwarna biru itu. Saat wanita berwajah lembut itu membuka kotak kecil ditangannya, saat itu pula roti bagel yang telah memasuki setengah kerongkonganku tersangkut karena terkejut. "Uhuk uhuk!" bukannya panik, Nona Kim itu justru mendiamkanku sambil tetap memegang kotak ditangannya.
"Kau tak mungkin mati hanya karena tersedak roti yang kau makan dengan sup." katanya sarkatis, sungguh wanita didepanku ini bisa jadi dewi kematian bertangan dingin seketika jika ia mau.
Semakin kumajukan bibirku kedepan, terlihat ia menarik senyum tipis. "Yunho memberiku benda ini seminggu yang lalu." jelasnya, mulutku terbuka tanpa sadar.
Segera kurebut kotak mungil dari tangan Jae unni. Kuambil cincin cartier mungil berhiaskan permata diatasnya. Kuperhatikan benar-benar tiap sisi cincin indah tersebut sampai kutemukan sebuah pahatan mungil dibalik cincin. Benar-benar mungil sampai aku harus memicingkan mata dibuatnya.
"Y-J? Yunho Jaejoong?" tanyaku memastikan. Sebagai jawaban Jae unni hanya tersenyum tipis setelahnya kemudian menyesap teh paginya.
"Waktunya hanya satu bulan sampai aku benar-benar memberinya jawaban."
"Masih tersisa tiga minggu lagi, oh ayolah Nona Kim yang terhormat, mengapa sulit sekali mengatakan iya pada calon suami-mu itu?" kataku frustasi. Kenapa pasangan—yang selalu membuat iri tiap orang yang melihatnya—ini masih memusingkan urusan pernikahan? Pihak keluarga telah setuju, aku yakin bahkan bila Jae unni meminta menikah lusa pun Yunho oppa akan menyanggupi. Jangan lupakan fakta kalau Yunho-si-kaya-raya itu merupakan kandidat utama CEO perusahaannya. Dengan jabatannya yang tinggi bukan hal sulit menciptakan pernikahan impian tiap wanita dengan persiapan waktu yang singkat. Oh, uang mengendalikan segalanya.
"Bagaimana jika setelah menikah aku harus pindah dari flat ini?" tanya Nona Kim didepanku. "Aku bisa mengunjungimu atau kau yang mengunjungiku." jawabku cepat.
Pertanyaan bodoh—
"Apa setelah aku pindah ke Jepang semuanya terlihat mudah hanya untuk sekedar berkunjung ke flat ini?"
—oke, itu bukan pertanyaan bodoh sama sekali.
"M-mwo? Kau akan pindah ke Jepang?!"
"Jika Yunho telah resmi dengan gelar CEO-nya dan kami menikah, sesegera mungkin kami akan pindah ke Jepang." Jae unni menghela napas lagi. Oh Nona Kim-ku sayang, ternyata selama satu minggu ini kau telah berpikir keras sampai sup jagungmu terasa sedikit lebih asin.
"Kalau begitu biar aku yang menabung untuk pergi ke Jepang." ujarku memecah suasana hening diantara kami. Jae unni terkekeh geli mendengar kata-kataku.
"Jangan berlagak kau ini anak orang miskin Nona Do." tangannya bergerak meninju kecil lenganku setelahnya kami tertawa bersama. "Kau penghuni terakhir flat yang kuberitahu, untuk sekedar info."
Secepat kilat kuraih roti didepanku dan kupukuli badannya menggunakan roti bagel yang masih utuh. Apa karena aku seorang magnae di flat ini jadi aku selalu mendapat info belakangan?
Jae unni berbalik menyerangku dengan roti bagel lainnya. Sial, pukulan terakhirnya telak mengenai kepalaku. "Dasar shinigami berkedok wanita cantik!" gerutuku.
"Kenapa aku yang harus terakhir mendapat kabar? Kenapa tidak kakek dan nenek saja atau Minseok unni saja yang terakhir. Mereka tinggal di lantai bawah, oh ayolah." kesalku sambil mengusap-usap kepala yang masih sakit.
"Siapa suruh sibuk dengan tulisanmu padahal aku dan Minseok asyik bicara." wanita itu dengan elegan meminum airnya. Aku tahu alasan mata sembapnya pagi ini.
"Kau menangis bersama Minseok unni semalam?" Jae unni mengangguk. "Kau tidak sedih jika aku pindah ke Jepang?"
"Heol, haruskah aku berbohong?" sinisku. "Begitu kau pindah ke Jepang nanti, saat itu juga novelku akan melejit sukses dan mendapatkan banyak uang. Aku akan segera mengetuk apartemen mewahmu!"
Kami benar-benar tertawa setelahnya. Mengingat Yunho-si-kaya-raya itu sangat murah hati, rasanya tak mungkin ia membiarkan adik iparnya ini kesusahan menabung demi sebuah tiket ke Jepang. Semenjak memutuskan pindah ke flat dan menjadikan seluruh orang di flat mungil ini sebagai keluarga, otomatis seluruh kerabat terdekat anggota flat juga menjadi keluargaku. Aku merasa nyaman sejauh ini.
Greb
Jae unni meraihku dalam pelukan gusar namun hangat miliknya. "Aku menyayangi kalian semua, Nona Do."
Kekehanku tak terelakkan, "Nado uri babo unni, nado saranghae." balasku.
Hari beranjak siang. Matahari semakin meninggi saat kuputuskan untuk menjemur pakaian. Sengatan matahari siang ini hangat, tak menyengat seperti biasa.
Setelah menyapa nenek Park yang sedang membuat kimchi bersama bibi sebelah flat kami dan sedikit mengacaukan pekerjaan mereka, aku segera bersiap menuju cafe milik Minseok unni di bawah. Tak sabar untuk segera menikmati waffle dan frappuccino buatannya.
To: Nona Kim-2
'sisakan aku tempat seperti biasa.' Send.
Kukirimi ia pesan singkat untuk membooking tempat. Di sudut cafe yang hangat dengan lampu kecil diatasnya.
Ponselku bergetar tak lama kemudian.
From: Nona Kim-2
'aing.'
"Mwoya? Kenapa sok imut sekali!" protesku saat membaca balasan darinya. Cih, tanpa membalas dengan penuh aegyo pun dia sudah terlahir dengan bakat alami menjadi wanita imut.
Dengan segera kukemasi peralatan tempurku sianbg ini. Laptop, ponsel, charger, dan sebuah buku catatan untuk berjaga-jaga jika aku menemui ide ditengah jalan. Kuraih hoodie hitam dibalik selimut kemudian memakainya dan mengikat rambutku asal. "Yosh!"
Bukanlah hal aneh menemuiku berada di cafe milik Minseok unni dengan tampang anak yang sehabis diusir orangtuanya dari rumah. Dengan sliper andalanku dan hoodie sedikit kebesaran telah menjadi pandangan biasa bagi Minseok unni dan beberapa karyawan cafenya. Duduk di sudut paling hangat cafe dan menghabiskan waktu sampai cafe hampir tutup menjadi hal rutin yang biasa kulakukan beberapa minggu sekali.
Kling!
"Selamat da—" suara milik Baekhyun terpotong begitu tahu aku yang membuka pintu cafe. Wajahnya berubah datar tanpa senyuman, ia buru-buru mendekatiku. "Ya! Sudah kuperingatkan berkali-kali, berpakaianlah dengan wajar jika keluar flat-mu!" suaranya berdesis penuh ancaman alih-alih tangannya justru menggeretku ke tempat duduk pesananku beberapa menit yang lalu.
"Aku berpakaian Byun, tidakkah kau lihat aku berbusana tidak telanjang?" jawabku polos.
"Apa hoodie bututmu itu pernah kau cuci? Apa rambut panjangmu itu pernah kau keramas? Apa silper kumal dari hotel tiga minggu yang lalu itu ada pesediaan revilnya?" cerocosnya panjang lebar. "Jangan-jangan kau belum mandi?"
Plak!
"Jangan sembarangan Nona Byun. Urusi saja pekerjaanmu sebelum kuadukan pada Minseok unni." kutinggalkan Baekhyun dengan wajah manyunnya ke meja kasir untuk memesan.
Antrian tak sepanjang biasanya. Hanya ada seorang namja berkemeja rapi didepanku, memesan americano sepertinya? Kulambaikan tanganku ke arah Minseok unni yang berdiri dibelakang meja kasir, ia membalas dengan senyum hamsternya.
"Ja, terimakasih banyak, silahkan datang kembali." kata Minseok unni begitu laki-laki didepanku selesai dengan pesanannya. Laki-laki berkemeja abu-abu itu menggumamkan kata seperti 'terima kasih' atau 'terimakasih nuna' sepertinya. Aku tak begitu mendengarnya bicara.
Ia berbalik badan, namun lenganku berbenturan dengan lengan namja tadi. Sama-sama menggumamkan 'mian' laki-laki itu tetap berjalan ke pintu keluar sedangkan aku masih sedikit membungkukkan badan hingga suara bel terdengar.
"Sampai kapan kau akan membungkuk?" seruan Minseok unni menyadarkanku, akhirnya dengan sedikit cengiran aku maju dan menyebutkan pesanan. Sembari menunggunya meracik minumanku, iseng aku bertanya padanya. "Laki-laki tadi memanggilmu nuna?" hanya disambut gumaman Minseok unni. Karena kesal kulempari ia dengan sedotan minuman.
"Ya, Do Kyungsoo!" geramnya. Aku tertawa terbahak-bahak. "Jangan acuhkan aku jika aku berbicara."
"Hm, wae? Dia memang memanggilku nuna." jawab Minseok unni malas-malasan.
"Adikmu?"
"Pelanggan tetap, jadwalnya rutin kemari tiap minggu dan pesanannya selalu americano. Aku terlalu hapal dengan anak itu." Minseok unni memutar mata.
"Kau tertarik padanya?" otak jahilku kembali aktif. Kuraih frappuccino yang telah selesai dibuatnya.
Mata Minseok unni membesar. "Aku suka padanya? Huh, aku masih betah kencan dengan ribuan biji kopi."
Giliran aku yang memutar mata. Nona Kim si mungil dengan ribuan biji kopinya yang seakan memiliki jenis kelamin pria. Kuserahkan lembaran uang padanya. "Jangan lupa waffle karamelku." pesanku sebelum berlalu kembali ke tempat duduk.
Sekarang waktunya untuk kembali fokus mengerjakan bab-bab novel yang belum rampung. Suasana cafe tidak begitu ramai menjadikan perasaanku sedikit rileks siang ini. Kupasang headphone agar tak terganggu suara-suara ribut meskipun itu lagu yang diputar cafe.
Ponselku bergetar saat layar laptop menyala. Satu pesan singkat. Kubuka dan kubaca dengan seksama isinya. Tak lama cairan frappuccino yang kupinum mendadak ingin keluar kembali dari tenggorokan. Tidak tahukah kalian tersedak juga dapat menyebabkan kematian?
Terberkatilah umma dengan pesan singkatnya. Kututup kembali laptop yang telah kunyalakan, memasukkan buku catatan kedalam tas dan menentengnya beserta minumanku kembali ke flat.
"Kyung, wafflemu!" Baekhyun berteriak saat melihatku buru-buru keluar cafe.
"Tolong antarkan nanti ke kamarku!" kubalas teriakannya sambil berlari kecil kearah flat. Sial!
Dari mana aku harus mulai membersihkan kamar! Mimpi buruk siang hariku dimulai...
From: Umma
'umma sedang dalam perjalanan menuju flatmu.'
.
.
tbc
Annyeeeeoooong! Anggaplah ini sebagai FF debut (lagi) saya. Setelah berseliweran dan review ff orang sana sini dengan atau tanpa akun ff, akhirnya memberanikan diri lagi buat nulis *koprol*
Sibuknya jadi mahasiswa (ini dibuat kayak beneran sibuk aja) bikin bingung bagi waktu antara tulisan dan tulisan tugas(?) so, kalo udah baca monggo direview kalo ada yang mau PM berbagi pengalaman seputar ff atau sekedar curcol dipersilahkan.
I'm not really sure about the next chapter, tergantung review, waktu dan mood *bakarauthor* jika banyak yang berkenan I'll make sure ASAP (kabut?) untuk lanjut chapter selanjutnya
Lop yu pulll~~
SARANGHAJA!
