Game Changer

Pair and Cast:

Park Jimin (Jimin) x Min Yoongi (Suga)

Kim Seokjin

Rated: M

Length: Chaptered

Warning:

Fiction, GS! for Yoongi and Seokjin. Inspired by Fifty Shades Trilogy.

Summary:

"Park Jimin is my wildest nightmare." -Min Yoongi- / "Min Yoongi is my game changer." -Park Jimin- / MinYoon with GS!Yoongi and slight! Other couple. Inspired by Fifty Shades Trilogy.

.

.

.

.

.

.

.

Chapter 12

"Min Yoongi, kau tidak serius, kan? Apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Hoseok seraya mencengkram bahu Yoongi.

Yoongi tersenyum kecil, "Aku ingin meminta bantuanmu."

"Aku akan melakukan apapun asalkan kau tidak memintaku membunuhmu."

Yoongi mengangguk kecil, "Sudah kuduga kau akan mengatakan itu." Yoongi menatap Hoseok, "Aku hanya ingin kau menyebarkan kabar kalau aku sudah mati."

"Hah? Kenapa? Apa kau dikejar penagih hutang? Kau bisa pinjam uang padaku."

Yoongi tertawa kecil dan menggeleng, "Tidak, aku tidak dikejar penagih hutang, aku hanya sedang hamil."

"APAAA?!" teriak Hoseok keras dan mengagetkan beberapa seagull yang berada di sekitar mereka.

"Hei, pelankan suaramu!" ujar Yoongi kesal.

"Y-Yoongi, kau.. kau hamil? Dengan siapa? Anak siapa itu?"

"Anakku."

"Iya aku tahu itu anakmu, tapi maksudku siapa pasanganmu dalam 'membuat'nya?"

"Park Jimin." sahut Yoongi ringan.

"APAAA?!"

"Aish! Jung Hoseok! Apa kau mau mengusir semua burung-burung itu?!"

Hoseok langsung menutup mulutnya, "Maaf, tapi kenapa kau tidak menemui Jimin dan membicarakan soal calon bayi kalian?"

"Karena aku tidak mau." Yoongi berujar sedih, "Aku dan Jimin tidak terikat dalam hubungan resmi, kami bahkan bukan sepasang kekasih."

Hoseok berdiri dari duduknya, "YYA! Maksudmu kau dan si Jimin ini hanya sekedar bermain-main? Atau jangan-jangan dia mempermainkanmu? Beraninya dia!"

"Tidak, tidak. Aduh, bukan itu maksudku." Yoongi menarik lengan Hoseok agar duduk kembali.

"Jadi apa?"

"Intinya, Jimin dan aku bukan sepasang kekasih dan karena itu aku tidak bisa mengatakan soal bayi ini padanya. Makanya aku memintamu untuk mengatakan kalau aku sudah mati agar tidak ada yang mencari kami."

"Kau tidak ingin memberitahu siapapun?"

"Yap,"

"Termasuk Seokjin?"

Yoongi terdiam cukup lama kemudian dia mengangguk, "Aku akan memberitahu semuanya pada Seokjin setelah bayi ini lahir."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak ingin Seokjin secara tidak sengaja membocorkan ini pada Jimin. Seokjin itu kan tidak bisa didesak dengan ancaman, aku ingin melindungi Seokjin."

Hoseok mengangguk paham, "Aku mengerti, jadi kapan aku bisa mulai mengatakan ini?"

"Sekarang," ujar Yoongi kemudian dia menghela napas pelan, "Tiga hari dari sekarang, aku akan terbang ke Jerman dan tinggal di sana, entah sampai kapan."

"Jerman? Kenapa Jerman?"

"Aku mendapatkan tawaran mengajar piano di sebuah sekolah musik di sana. Aku sudah mengatakan kalau aku akan mengambil pekerjaan itu."

"Jerman? Tapi kau tidak bisa bahasa Jerman, kan?"

Yoongi memukul bahu Hoseok gemas, "Tapi setidaknya aku bisa berbahasa Inggris. Lagipula ini sekolah musik internasional, kok. Jadi aku bisa memakai bahasa Inggris saja."

"Kau yakin tidak akan kembali ke Korea?"

Yoongi menghela napas pelan, "Entahlah, yang jelas aku ingin menjaga bayiku. Dan aku bisa menjamin masa depannya kalau aku mengambil pekerjaan di Jerman."

Hoseok mengangguk paham, "Kapan kau berangkat?"

"Tiga hari lagi, dan selama sisa hari itu, aku boleh tinggal di rumahmu, kan?"

"Aku sih tidak masalah, tapi kalau aku mengatakan kau sudah mati, Seokjin pasti akan bersikeras mengadakan pemakaman untukmu. Dan dia pasti menanyakan dimana tubuhmu."

"Katakan saja aku mati karena tenggelam di laut dan tubuhku tidak ditemukan. Dan soal upacara pemakaman ataupun surat kematian, katakan saja kau yang akan mengurusnya. Tapi yang jelas kau tidak boleh mengurus surat kematianku, nanti passportku bisa tidak berlaku."

"Iya, aku tahu itu. Jadi sampai hari keberangkatanmu kau akan tinggal di rumahku?"

"Ya, nanti kita kembali ke apartemen Seokjin untuk mengambil semua barang-barangku. Aku akan mengatakan pada Seokjin kalau aku berencana untuk menginap di rumahmu sebentar."

"Kau yakin soal rencana ini?"

"Aku yakin sekali, aku sudah memikirkannya selama berhari-hari."

Hoseok menatap Yoongi, "Yoongi, kau yakin tidak akan memberitahu soal bayi itu kepada Jimin? Dan kau yakin akan benar-benar menetap di Jerman dan tidak akan kembali?"

Yoongi terdiam cukup lama kemudian dia menoleh dan menatap Hoseok, "Saat ini, aku tidak memiliki pilihan lain kan?"

.

.

.

.

.

.

.

Tiga hari kemudian, Hoseok mengantar Yoongi ke bandara sementara barang-barang Yoongi sudah dikirim sejak kemarin, jadi saat ini Yoongi hanya membawa sebuah koper berukuran sedang bersamanya.

"Kabari aku kalau kau sudah mendarat." Hoseok berujar seraya menatap Yoongi dengan pandangan sedih.

"Pasti, aku akan terus mengabarimu." Yoongi tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Hoseok, "Ingat rahasia kita, oke?"

"Ya, setelah mengantarmu aku akan ke apartemen Seokjin untuk mengatakan kalau kau sudah mati." Hoseok menghela napas pelan, "Berjanjilah kau akan baik-baik saja."

"Aku akan baik-baik saja."

"Kabari aku tentang apapun yang terjadi padamu dan bayimu." Hoseok menghela napas pelan, "Yoongi, kenapa kita tidak menikah saja? Aku akan membiayai masa depan anakmu."

Yoongi tertawa keras, "Aku sudah bilang tidak, kan? Aku tidak mau memiliki suami gay yang sudah punya kekasih." Yoongi tersenyum lebar, "Aku akan baik-baik saja. Kau tidak perlu menikahiku karena rasa persahabatan kita."

"Ya, tapi kau teman baikku dan aku tidak rela kau pergi dari Korea seperti ini."

Yoongi melangkah maju dan bergerak memeluk Hoseok, "Kau juga teman baikku, kau adalah orang yang paling aku percaya di dunia ini. Aku sangat menyayangimu sebagai temanku, Jung Hoseok."

Hoseok membalas pelukan Yoongi dengan erat hingga tubuh Yoongi terangkat sedikit dari tanah. "Aku juga menyayangimu, Min Yoongi."

Yoongi melepaskan pelukannya dan tersenyum menatap Hoseok, "Oke, kurasa sebaiknya aku masuk dan menunggu di dalam. Ada yang ingin kulakukan sebelum aku berangkat."

Hoseok mengangguk, "Baiklah, sampai ketemu, Min Yoongi."

"Ya, tentu saja." Yoongi menarik kopernya dan berjalan masuk seraya melambai pada Hoseok. Hoseok membalas lambaian Yoongi dan akhirnya Hoseok tidak terlihat lagi karena pintu otomatis yang menutup di belakang Yoongi.

Yoongi berjalan cepat menuju ruang tunggu untuk penumpang dan duduk di salah satu kursi. Kemudian dia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Selamat siang, Nona Yoongi."

"Seungchan, sudah berapa kali kukatakan padamu untuk berhenti memakai bahasa formal padaku."

"Maaf, Yoongi."

Yoongi tersenyum puas, "Itu terdengar lebih baik. Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Apa itu?"

"Aku ingin kau bersumpah kalau kau akan menjaga rahasia ini dan tidak akan membocorkannya pada siapapun termasuk Park Jimin."

Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Seungchan menjawab, "Baiklah,"

"Aku akan pergi ke luar negeri, tepatnya Jerman dan mungkin tidak akan kembali ke Korea."

"Apa? Kenapa?" tanya Seungchan kaget.

"Karena aku harus memastikan anakku mendapat masa depan yang lebih baik dariku. Aku akan pergi dan aku ingin kau meyakinkan Jimin kalau aku sudah mati."

"K-kenapa?"

"Karena aku ingin Jimin tidak pergi mencariku. Kumohon, Seungchan."

"Tapi.."

"Seungchan, aku memberitahumu soal ini adalah karena aku sudah menganggapmu sebagai temanku. Aku ingin kau menjaga rahasia ini, kau mengerti?"

"Aku mengerti. Aku bersumpah aku tidak akan mengatakan soal ini pada siapapun."

"Terima kasih." Yoongi tersenyum kemudian dia mendengar panggilan untuk penumpang penerbangannya agar segera memasuki pesawat. "Seungchan, aku harus pergi sekarang, sampai ketemu nanti."

"Aku harap kita akan segera bertemu lagi, Yoongi-ah."

Yoongi tersenyum kecil, "Aku harap juga begitu, Seungchan."

.

.

.

.

.

.

.

Hoseok berjalan menuju pintu unit apartemen Seokjin dengan berdebar karena dia harus berusaha terlihat sangat meyakinkan agar Seokjin percaya. Dan Hoseok bukanlah orang yang pandai berbohong, duh.

Hoseok berdehem kemudian dia mengetuk pintu apartemen Seokjin dan tak lama kemudian Seokjin membuka pintunya.

"Oh, Hoseok-ah! Tidak biasanya." Seokjin tersenyum ramah, "Ayo, masuk. Tapi kurasa kau sudah tahu kalau Yoongi tidak ada di rumah, kan?"

Hoseok berjalan mengikuti Seokjin menuju ruang tengah apartemen tersebut. Seokjin mempersilahkan Hoseok untuk duduk.

"Kau ingin minum apa?" tanya Seokjin.

Hoseok menggeleng pelan, "Ada yang ingin kukatakan padamu."

Seokjin mengerutkan dahinya dan duduk di sofa di hadapan Hoseok, "Ada apa? Kenapa serius sekali?"

Hoseok mendongak menatap Seokjin dan berusaha memasang wajah sangat sedih, "Seokjin, maafkan aku.. tapi.. Yoongi tidak bisa diselamatkan."

Ada jeda cukup lama setelah Hoseok mengatakan itu hingga akhirnya Seokjin membuka suara, "Apa?! Hoseok, apa maksudmu?! Apa yang terjadi pada Yoongi?!"

Hoseok menunduk sedih, "Maafkan aku, Seokjin.."

"Jung Hoseok! Katakan padaku! Katakan apa yang terjadi pada Min Yoongi?!" mata Seokjin mulai memanas, "Yoongi baik-baik saja, kan? Iya, kan?!"

"Yoongi.. tenggelam di laut."

Seokjin terperangah, airmatanya mulai menetes. "A-apa?!"

"Dia.. tidak bisa diselamatkan. Aku juga tidak menemukan tubuhnya. Yoongi.. sudah pergi."

Seokjin menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan terisak, "Tidak, tidak mungkin. Yoongi pasti baik-baik saja. Dia tidak akan meninggalkan aku seperti ini."

"Maaf, Seokjin.."

"Hoseok, kau bercanda, kan? Iya, kan?"

Hoseok tersenyum sedih pada Seokjin, "Maaf, aku benar-benar minta maaf."

Seokjin menggeleng dan menutup wajahnya dengan tangan kemudian menangis keras, "Tidak, tidak. Yoongi.. kenapa?"

Hoseok menatap Seokjin yang terlihat begitu terpukul dengan pandangan sedih. 'Maaf, Seokjin. Kumohon maafkan Yoongi..'

.

.

.

.

.

.

.

Tiga hari berlalu sejak Hoseok mengatakan kalau Yoongi sudah pergi dan Seokjin masih belum lepas dari masa berdukanya. Dia mempercayakan semua urusan dokumen kematian Yoongi pada Hoseok karena Hoseok bilang sebaiknya Yoongi banyak beristirahat di rumahnya.

Selama tiga hari ini Namjoon juga menemaninya di rumah karena Seokjin terlihat sangat murung dan sedih.

Namjoon baru saja keluar dari kamar mandi ketika dia mendengar suara bell di apartemen Seokjin, Namjoon melirik Seokjin yang masih terlelap dan memutuskan untuk membukakan pintu.

Dan saat Namjoon membuka pintu, Namjoon melihat sosok seorang pria dengan penampilan agak berantakan dan wajah pucat serta kantung mata tebal di bawah matanya tengah menatapnya.

"Uuh.. siapa kau?" tanya Namjoon agak sangsi.

"Aku Park Jimin, apa Yoongi ada di rumah?"

Jika saja keadaan pria di hadapannya tidak begitu menyedihkan, Namjoon pasti akan tertawa melihat betapa kacaunya penampilan seorang Park Jimin yang terkenal sebagai pengusaha muda paling arogan dan tampan. Namjoon saja sampai tidak mengenalinya tadi.

"Yoongi tidak ada di rumah." Namjoon menjawab kalem.

"Dimana dia?" tanya Jimin dengan nada putus asa.

"Dia.."

"Namjoonie? Kau sedang bicara dengan siapa?"

Namjoon menoleh ke arah asal suara dan dia melihat Seokjin berjalan menghampirinya sambil menggelung rambut panjangnya.

Seokjin terhenti saat melihat Jimin, "Jimin-ssi.."

.

.

.

Seokjin meletakkan secangkir teh di depan Jimin yang duduk di sofa apartemennya kemudian dia duduk di sebelah Namjoon.

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Jimin-ssi.." ujar Seokjin memulai.

"Ada apa? Dimana Yoongi?"

Seokjin menggigit bibirnya, dia harus memberi tahu Jimin soal kenyataan yang sekarang terpampang di hadapan mereka. "Yoongi.. tidak ada di sini."

"Kemana dia? Kapan dia akan kembali? Apa aku boleh menunggunya di sini?"

Seokjin menggeleng dan terisak pelan, "Percuma saja, Jimin-ssi. Yoongi tidak akan kembali."

Jimin terdiam, dia mulai merasakan firasat buruk. "Kenapa? Apa yang terjadi pada Yoongiku?"

Seokjin terisak lagi dan Namjoon mengulurkan tangannya untuk mengelus lembut bahu Seokjin. "Dia.. dia tenggelam di laut." Seokjin menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan menangis. "Mereka tidak bisa menemukan tubuh Yoongi.."

"A-apa?!" tanya Jimin shock.

Seokjin mengusap matanya yang basah, "Hiks, Yoongi sudah pergi.."

Jimin menggeleng tidak percaya, "Kau bohong, kan?" tanyanya putus asa.

Seokjin menggeleng, "Aku tidak bohong!" Seokjin menatap Jimin, "Aku tidak berbohong padamu! Yoongi memang sudah pergi!"

Jimin menundukkan kepalanya, matanya bergerak-gerak tidak fokus. "Tidak.. Yoongiku.."

"Yoongi tidak akan kembali, Jimin-ssi. Dia tidak akan kembali."

Jimin menggeleng dan mencengkram kepalanya, 'Yoongi..'

.

.

.

.

.

.

.

Jimin melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan lunglai. Setelah kembali dari apartemen Seokjin, Jimin sangat tidak fokus, dia bahkan kagum dia masih bisa menyetir dengan selamat sampai di rumahnya.

Ucapan Seokjin soal Yoongi yang pergi meninggalkannya terus terngiang di dalam kepala Jimin.

'Yoongi tidak akan kembali, Jimin-ssi..'

'Yoongi tenggelam. Mereka tidak bisa menemukan tubuh Yoongi.'

'Yoongi sudah pergi..'

Jimin menggeleng kuat-kuat dan meremas rambutnya, "AAARRGGGHH!" teriaknya keras.

Jimin menutup wajahnya dengan tangan dan terisak pelan. Dia tidak percaya Yoongi akan pergi meninggalkannya, bahkan Jimin belum mengatakan pada Yoongi kalau dia mencintainya. Jimin mencintai Yoongi, seseorang yang benar-benar berhasil menaklukannya dan merubahnya.

Jimin jatuh terduduk di lantai dan memukul meja kaca di hadapannya. Dia merasa begitu kesakitan, tubuhnya, hatinya, jiwanya, semuanya menangis karena kepergian Yoongi yang begitu tiba-tiba. Jimin mencintai Yoongi dan dia baru menyadarinya di hari terakhir dia bertemu Yoongi, hari dimana Yoongi mengatakan kalau dia tidak mau berurusan dengan Yoongi lagi.

Airmata terus mengalir dari mata Jimin dan Jimin sama sekali tidak berusaha untuk menghapusnya. Ini adalah pertama kalinya Jimin merasa begitu hancur dan itu semua karena kebodohannya untuk tidak segera mengakui kalau dia akhirnya jatuh cinta. Jatuh cinta yang sesungguhnya.

"AAAARRGGGHHH!" Jimin berteriak lagi kemudian meninju permukaan meja yang terbuat dari kaca tebal. Dia terus meninjunya hingga perlahan kaca itu retak dan serpihannya menusuk kulit Jimin.

"Yoongi.. Yoongi.." gumam Jimin berulang-ulang sementara tangannya tidak berhenti meninju meja itu. Dia berharap rasa sakit di tangannya mampu menutupi rasa sakit dan hampa di jiwanya tapi dia tidak berhasil. Rasa sakitnya semakin jelas terasa dan Jimin hampir gila karenanya.

"AAARRGGGHHH! SIAALLL!"

PRANG

Meja kaca tebal itu pecah karena pukulan Jimin dan salah satu pecahan kaca itu menusuk lengan atas Jimin. Darah mulai mengalir tapi Jimin tidak berhenti, dia mencengkram pinggiran meja yang penuh dengan serpihan kaca hingga kedua telapak tangannya berdarah.

"Yoongi.. kenapa?"

Darah terus menetes dari tangan Jimin tapi dia tidak peduli, Jimin mulai berpikir kalau dia sebaiknya pergi menyusul Yoongi. Jimin memukul meja itu lagi hingga kulit tangannya robek karena terkena serpihan kaca.

"Tuan! Hentikan! Anda terluka!"

Suara Seungchan disusul sebuah tangan yang menariknya dari meja membuat Jimin menghentikan aksinya melukai dirinya sendiri. Dia mencengkram lengan jas Seungchan erat-erat, tidak peduli kalau nantinya darahnya akan mengotori jas milik asistennya itu.

"Yoongiku sudah pergi, Seungchan.. Yoongiku.." isak Jimin seraya mencengkram lengan jas Seungchan.

Seungchan terdiam mendengar kata-kata Jimin. Dia tahu dimana Yoongi sebenarnya, tapi dia sudah bersumpah dia tidak akan memberitahunya pada siapapun. Seungchan menunduk sedih, "Tuan Jimin.."

'Maafkan aku..'

.

.

.

.

.

.

.

Empat bulan berlalu sejak Jimin mendengar kabar mengenai kematian Yoongi dari Seokjin dan semuanya sudah berjalan seperti biasanya sejak itu. Ralat, semuanya memang seperti biasanya, tapi Jimin sudah berubah dan tidak lagi sama seperti dulu.

Sejak Jimin mendapat kabar kalau Yoongi sudah pergi, dia berubah menjadi sangat pendiam dan dingin. Dia pernah dirawat selama satu minggu di rumah sakit karena ulahnya memukuli meja hingga merobek otot lengan kanannya. Dokter mengatakan kalau Jimin tidak akan bisa beraktivitas dengan maksimal dengan menggunakan lengan kanannya seperti dulu.

Dokter melarang Jimin untuk memaksa lengan kanannya bekerja seperti melakukan bela diri yang merupakan keahliannya, atau berolahraga terlalu keras seperti angkat beban. Dokter meminta Jimin untuk tidak memforsir lengan kanannya dan hanya menggunakannya untuk kegiatan-kegiatan ringan.

Jimin menurut saja, baginya merobek ototnya tidak sebanding dengan rasa kehilangan yang dia rasakan saat mendengar kalau Yoongi sudah pergi meninggalkannya. Dan selama empat bulan ini, Jimin akhirnya mendapatkan kejelasan kalau Seungchan dan Yoongi tidak menjalin hubungan di belakangnya.

Dia tahu itu dari mulut Seungchan di bulan keempat Jimin menjadi pendiam dan murung. Seungchan memang tidak mengatakan alasannya, tapi bagi Jimin alasan pun tidak penting lagi.

Jimin melangkah keluar dari kantornya dengan Seungchan yang berjalan di belakangnya, kemudian matanya tidak sengaja tertuju pada sosok seorang pria yang sedang berjalan melintasi trotoar di depan kantornya dengan mata yang tertuju pada ponsel.

"Oh, itu.." Jimin berlari kecil menuruni tangga dan mengejar sosok pria tadi kemudian menepuk bahunya.

Sosok itu berbalik dan menatap Jimin, "Oh, anda.."

Jimin tersenyum kecil pada sosok itu, "Anda Hoseok-ssi, kan?"

.

.

.

.

.

Hoseok duduk dengan gugup di hadapan Jimin di sebuah coffee shop yang terletak di sebelah kantor Jimin.

Jimin meneguk cairan kopinya dengan tenang, "Apa kabar, Hoseok-ssi? Waktu itu pertemuan pertama kita bisa dibilang buruk, kan? Kita bahkan tidak berkenalan dengan benar."

Hoseok tertawa canggung, "Ah, tidak apa, Jimin-ssi. Aku mengerti waktu itu kau merasa cemburu karena kedekatanku dengan Yoongi."

Jimin tertawa pelan, "Ya, kau benar. Waktu itu aku benar-benar cemburu." Jimin menatap Hoseok, "Kukira kau memiliki hubungan khusus dengan Yoongi."

Hoseok tersenyum, "Aku dan Yoongi berteman baik. Dan karena kami mengenal satu sama lain dengan terlampau dekat, kami jadi tidak memiliki rasa malu lagi. Hahaha." Hoseok terkekeh pelan, "Lagipula, aku ini gay, jadi Yoongi sendiri sudah tidak sungkan lagi padaku."

"Aku tahu itu." Jimin menunduk menatap cangkirnya, "Yoongi memang memiliki kepribadian yang berbeda. Dan itu yang membuatku jatuh padanya."

"Jimin-ssi.."

Jimin menatap Hoseok, "Aku tidak pernah menyadari betapa pentingnya seorang Min Yoongi untukku sampai aku kehilangan dia. Aku benar-benar bodoh." Jimin tertawa pelan, "Benar, kan?"

Hoseok tersenyum kecil, "Kurasa nasibmu hanya sedang jelek, Jimin-ssi. Setidaknya kau pernah bersama dengan Yoongi untuk waktu yang lumayan. Yoongi pasti menyadari kalau kau jatuh padanya."

Jimin mengangguk pelan, "Yah, mungkin saja." Jimin memperbaiki posisi duduknya, "Ngomong-ngomong, Hoseok-ssi, kau mengenal Yoongi sejak lama, kan? Bisa ceritakan Yoongi adalah orang yang seperti apa?"

Hoseok tersenyum lebar, "Yoongi itu adalah seseorang yang sangat unik. Dia terlihat begitu dingin dan ketus di luar, tapi ketika kau sudah mengenalnya, kau akan menyadari kalau Yoongi sangat lembut dan peduli terhadap hal-hal kecil."

"Yoongi suka memainkan alat musik, terutama piano."

Jimin mengangkat sebelah alisnya, "Yoongi bisa bermain piano?"

Hoseok mengangguk semangat, "Yap, Yoongi suka bermain piano, dia juga suka menulis lagunya sendiri. Dulu saat aku dan Yoongi di sekolah menengah, aku suka memintanya untuk mempraktekkan lagu barunya padaku. Lagunya bagus, walaupun sebagian besar bernada sedih."

Hoseok menundukkan kepalanya, "Yoongi bilang itu karena dia merasa sedih karena setiap orang seperti salah menilainya. Mereka takut mendekati Yoongi karena Yoongi terlihat begitu ketus, bahkan mereka juga menganggap hubungan pertemanan diantara aku dan Yoongi adalah sesuatu yang menjijikkan karena aku gay."

Jimin menyimak cerita Hoseok dengan seksama, "Apalagi yang Yoongi suka?"

"Yoongi suka makanan manis, dia suka mendengarkan lagu dengan earphone. Dia suka membaca dan benci jika diganggu. Dia suka tidur siang, dia memiliki bantal kesayangan yang berwarna abu-abu. Dia benci berdansa dan dia benci mengganti warna rambut, tapi pada kenyataannya itu yang selalu dia lakukan. Dia bilang dia bosan dengan rambutnya dan dia ingin warna rambutnya beragam agar dia bisa menyamarkan kulit pucatnya." Hoseok terkekeh pelan.

Jimin tersenyum kecil, "Sepertinya kau benar-benar mengenalnya."

Hoseok mengangguk, "Yoongi suka beragam alat musik, terutama grand piano. Dulu dia memiliki sebuah grand piano berwarna putih yang sangat disukainya."

"Grand.. piano?"

Hoseok mengangguk, "Uhm! Lalu, Yoongi itu.."

Sisa hari itu dilalui Jimin dengan mendengarkan berbagai cerita Hoseok soal Yoongi dan ketika mendengarkan Hoseok bercerita, Jimin baru menyadari kalau dia nyaris tidak mengenal Yoongi.

"Terima kasih atas waktumu, Hoseok-ssi.." ujar Jimin saat Hoseok mengatakan kalau dia harus segera pulang karena kekasihnya sudah mulai menanyakan keberadaannya.

"Tentu, sama-sama." Hoseok tersenyum kemudian dia berjalan keluar dari coffee shop tersebut.

Jimin memperhatikan Hoseok yang memanggil taksi kemudian menghilang bersama taksi yang ditumpanginya. Jimin meraih ponselnya di kantung jas dan menghubungi seseorang.

"Seungchan, aku ingin kau melakukan sesuatu."

.

.

.

.

.

.

.

Hari itu Hoseok baru saja pulang dari lembur ketika tiba-tiba saja ponselnya berbunyi dengan sangat nyaring. Hoseok mengerang malas dan memutuskan untuk mengabaikan dering ponselnya, tapi karena deringan itu terus saja masuk ke telinga Hoseok, Hoseok akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Ya?" ujar Hoseok tidak jelas dengan suara serak karena mengantuk.

"Hoseok, aku sudah melahirkan."

Mata Hoseok langsung terbuka sepenuhnya, dia memeriksa caller ID dan matanya nyaris melompat keluar saat melihat nama Yoongi. "Y-Yoongi?"

Yoongi tertawa, "Kenapa suaramu kaget begitu? Kau lupa kalau aku sedang hamil dan akan melahirkan?"

"T-tapi setidaknya beritahu aku saat kau akan melahirkan, bodoh! Aku kan bisa terbang ke sana dan menemanimu!"

"Hei, mana aku tahu kapan bayiku akan keluar? Dan kau pikir aku mau menunggumu berjam-jam dari Korea ke Jerman agar kau bisa melihat usahaku saat melahirkan bayiku? Maaf saja, aku tidak mau."

Hoseok mendengus, "Kau sama sekali tidak seru. Aku ini teman baikmu yang mengetahui masalahmu, kenapa aku tidak boleh menemanimu melahirkan?"

Yoongi terkikik, "Itu karena aku tidak mau kau merepotkan dokter di sini karena kau pingsan saat melihat darah dimana-mana."

Hoseok terdiam dan bergidik pelan, "Kurasa kau benar."

Yoongi tertawa keras, "Sudah kuduga."

"Tapi, bagaimana keadaan bayimu? Apa dia sehat? Apa jenis kelaminnya?" tanya Hoseok beruntun.

"Hmm, bagaimana kalau kita melakukan video call? Aku akan menunjukkan bayiku padamu."

"Tentu." Hoseok berseru semangat kemudian dia menghubungi Yoongi dengan melakukan video call.

Hoseok tersenyum melihat Yoongi yang masih memakai pakaian pasien rumah sakit dengan wajah yang masih terlihat lelah, rambut pirang Yoongi sudah berganti warna menjadi abu-abu pudar yang terlihat cocok untuknya.

Yoongi tersenyum ke arah Hoseok dan mengarahkan kamera ke arah bayi di gendongannya, "Lihat, bayiku tampan, kan? Dia bayi laki-laki yang sehat, bahkan agak gemuk karena pipinya yang sangat chubby."

Hoseok menjerit gemas, "Astaga, dia lucu sekaliiii!"

Yoongi tertawa, "Tampan, kan?"

Hoseok tersenyum lembut menatap bayi yang sedang tertidur dalam pelukan Yoongi, "Sangat. Dan dia.."

"Mirip Jimin, aku tahu. Semua dokter di sini juga mengatakan kalau bayiku tidak mirip denganku dan mereka semua menduga kalau bayiku merupakan duplikat ayahnya dan sialnya, mereka benar."

Hoseok tersenyum miris, dia berdehem pelan untuk mencairkan situasi. "Siapa namanya?"

"Namanya.. Jaehyun. Min Jaehyun."

Hoseok kembali tersenyum sedih karena Yoongi memberi marga 'Min' untuk anaknya. Yoongi jelas tidak menganggap Jimin sebagai ayah dari bayinya.

Hoseok tertawa kecil, "Kenapa nama Korea?"

"Karena mungkin saja aku akan kembali ke Korea, kan?"

Hoseok terdiam cukup lama, "Kau yakin?"

"Tidak."

Jawaban lugas dan santai dari Yoongi kembali membuat Hoseok terdiam. "Bayimu lucu sekali, kapan-kapan aku akan ke Jerman untuk menemui Baby JaeJae secara langsung."

Yoongi tertawa kecil, "Baby JaeJae?"

"Yap, itu adalah panggilan kesayangan dariku, Uncle Hoseok yang paling tampan."

"Ya ampun, jangan membuat bayiku mengalami mimpi buruk karena mendengar kau mengatakan dirimu tampan."

"Hei! Aku memang tampan!"

Yoongi tertawa pelan, "Ya, ya.."

"Oh, apa kau sudah memberitahu Seokjin? Kau bilang kau akan menceritakannya saat kau sudah melahirkan, kan?"

Yoongi mengangguk santai, "Aku sudah memberitahunya."

"Bagaimana reaksinya?" tanya Hoseok penasaran.

"Dia mengumpatiku selama setengah jam penuh kemudian dia bilang akan mengambil penerbangan tercepat menuju Jerman. Kurasa dia akan tiba besok siang."

Hoseok meringis, "Kurasa aku bisa membayangkan wajah murka Seokjin."

Yoongi tertawa, "Dia akan menjadi sangat menyeramkan kalau marah. Oh, aku juga sudah memberitahu Seungchan soal ini."

"Seungchan? Maksudmu Seungchan asisten Jimin yang sudah menjadi temanmu itu?"

"Yap, Seungchan mengucapkan selamat dan karena dia tidak bisa mengunjungiku di sini, dia berjanji akan mengirimkan banyak hadiah untukku nanti."

Hoseok berdecak, "Hubunganmu dan Seungchan itu aneh, kau tahu? Kau putus hubungan dengan Jimin, tapi kau malah berteman baik dengan asistennya."

"Lho, kenapa? Seungchan itu teman yang baik, kok."

Hoseok memutar bola matanya, "Ya, ya. Oke, kurasa sebaiknya aku bersiap karena aku berencana untuk mengunjungi Baby JaeJae secepatnya~"

Yoongi tertawa kecil, "Aku dan bayiku akan menunggumu di sini, Hoseok."

.

.

.

.

.

.

.

_Jerman, Empat Tahun Kemudian_

"Baiklah, sekarang kita akan mulai dari baris keempat dari partitur yang kalian pegang. Samantha, kemari dan mainkan nada yang aku maksud." Yoongi memberi instruksi pada kelasnya dan setelah dia mengatakan itu, seorang gadis berambut merah berdiri dan berjalan menghampiri piano di depan kelas.

"Okay, kita mulai." Yoongi mengetuk piano saat Samantha sudah duduk di sana.

Yoongi baru saja hendak memberi aba-aba untuk Samantha ketika tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang empuk menempel di kakinya. Yoongi menunduk dan melihat putranya yang berusia empat tahun tengah mendongak menatapnya dengan wajah berbinar dan senyum lebar hingga matanya berubah menjadi garis tipis.

Yoongi tersenyum dan meraih putranya ke dalam gendongannya, Mr. Frederick memang mengizinkan Yoongi mengajar dengan Jaehyun karena Jaehyun tidak pernah nakal selama Yoongi mengajar. Lagipula semua muridnya menyukai Jaehyun karena Jaehyun sangat lucu, pipinya bulat, tubuhnya gemuk, dan mata Jaehyun akan terbentuk menjadi garis ketika dia tersenyum atau tertawa.

Bagi murid-muridnya, Jaehyun adalah bayi kecil yang lucu dan menggemaskan. Tapi bagi Yoongi, Jaehyun adalah duplikat Jimin. Jaehyun sangat mirip dengan Jimin, wajahnya, pipi gemuknya, bahkan senyuman mereka berdua pun sama. Rasanya ini seperti hukuman Tuhan karena Yoongi bersikeras menyembunyikan Jaehyun dari Jimin.

Kelas Yoongi baru saja selesai lima menit lalu dan Yoongi masih sibuk di kelasnya bersama Jaehyun yang duduk di meja guru dan sibuk dengan mainannya dan sesekali balita itu akan tertawa riang.

Yoongi tersenyum disela kegiatannya membereskan partitur di meja muridnya kemudian kegiatannya terhenti saat mendengar suara ponselnya yang berdering cukup keras.

"Mommy!" pekik Jaehyun saat ponsel Yoongi berdering.

Yoongi tertawa kecil, "Iya, Baby. Mommy kesana." Yoongi berlari kecil menghampiri ponselnya dan mengangkat panggilannya.

"Mrs. Min." ujar Yoongi.

"Yoongi-ah, apa kabar?" ujar suara di seberang sana.

Yoongi mengerutkan dahinya, suara bernada ramah ini sudah pasti milik.. "Seungchan?"

"Tepat sekali." Seungchan tertawa kecil, "Aku mengganti nomor ponselku belakangan ini dan belum sempat memberitahumu."

"Aah, benarkah?" Yoongi melirik bayinya yang sibuk bermain dan sesekali akan melonjak gembira sambil tertawa.

"Yap, bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar Jaehyunie?"

"Jaehyunie baik, dia semakin.. sehat." Yoongi berujar karena dia tidak ingin menyebut anaknya 'gemuk'.

Seungchan terkekeh, "Aku senang mendengarnya."

"Terima kasih."

"Yoongi-ah, aku ingin memberitahumu sesuatu."

"Apa itu?"

"Aku akan menikah."

Yoongi terkesiap, "Benarkah?! Selamat!" ujarnya gembira.

"Terima kasih. Dan karena itu, aku ingin bertanya padamu." Seungchan terdiam sebentar, "Apa kau mau datang ke acara pernikahanku?"

Yoongi terdiam saat mendengar pertanyaan Seungchan, jika dia kembali ke Korea, bukan suatu hal yang tidak mungkin dia akan bertemu Jimin lagi. Yoongi menatap putranya yang masih sibuk bermain, putranya berhak melihat ayahnya. Tapi Yoongi masih tidak berani menunjukkan wajahnya lagi ke depan Jimin.

Seungchan tidak mengatakan apapun saat dia sudah selesai menanyakan itu. Dia tahu Yoongi pasti bimbang.

"Entahlah, aku tidak tahu.." ujar Yoongi akhirnya setelah terdiam cukup lama.

"Tidak apa, aku mengerti. Tapi Yoongi-ah, kau ingat kan kalau kau pernah berjanji kalau kau akan datang ke acara pernikahanku?"

Yoongi menggigit bibirnya, "Aku tahu. Tapi.."

"Kau takut bertemu Tuan Jimin?"

Yoongi menghela napas pelan, "Ya.."

"Kurasa Tuan Jimin sudah memaafkanmu. Dia memang tidak melupakanmu, tapi yang jelas dia tidak akan menghajarmu kalau kau muncul di hadapannya."

Yoongi menyipitkan matanya, "Kau yakin?"

"Tentu saja." Seungchan tertawa kecil, "Acaranya seminggu lagi, kalau kau memutuskan untuk datang, aku akan mengirimkan undangannya ke hotel tempatmu menetap di Korea."

"Hmm, baiklah."

.

.

.

.

.

.

.

Yoongi menatap sebuah undangan berwarna biru muda dan broken white di hadapannya dengan pandangan nanar. Dia menghela napas pelan, dia tidak yakin apakah keputusannya untuk datang ke acara pernikahan Seungchan adalah keputusan yang tepat atau tidak. Tapi Seungchan adalah teman baiknya dan Yoongi sendiri sudah berjanji kalau dia akan datang saat Seungchan menikah.

Yoongi menggigit pinggir undangan itu kemudian menoleh menatap putranya yang tengah tertawa riang seraya menonton kartun. Putranya sudah terlihat tampan dengan tuxedo yang membalut tubuh gemuknya, sementara Yoongi sendiri sudah siap dengan gaunnya.

Walaupun sudah melahirkan, tubuh Yoongi tidak banyak berubah. Sebaliknya tubuhnya justru semakin berisi di tempat yang tepat dan tidak lagi terlalu kurus seperti dulu. Malam ini Yoongi mengenakan off-shoulder dress panjang berwarna coklat lembut dengan rambut barunya yang sekarang berwarna burgundy red yang digelung tinggi ke atas, memamerkan leher dan bahunya yang putih mulus.

Yoongi menatap putranya yang masih tertawa riang kemudian beralih lagi ke undangan di tangannya. "Oh, astaga, berhentilah menjadi pengecut, Min Yoongi. Kau sudah melarikan diri cukup lama."

Yoongi berjalan menghampiri putranya dan berjongkok di hadapannya, "JaeJae, kita akan berangkat sekarang. Apa JaeJae sudah siap?"

"Uhm! Kita akan kemana, Mom?"

Yoongi tersenyum lebar, "Kita akan menemui Uncle Seungchan."

"Uncle ChanChan?"

Yoongi mengangguk, "Yap." Jaehyun memang mengenal Seungchan karena Seungchan beberapa kali mengunjungi Jaehyun dan Yoongi di Jerman selama ini.

Jaehyun tersenyum lebar dan mengangguk, "Jaehyunie mau pergi menemui Uncle ChanChan!"

Yoongi tersenyum dan mencubit pipi gembul anaknya, "Baiklah, ayo berangkat~"

.

.

.

.

.

.

.

Ballroom tempat diselenggarakannya acara pernikahan Seungchan sudah terlihat ramai saat Yoongi dan Jaehyun tiba. Yoongi menggandeng tangan mungil dan gemuk anaknya sementara mereka menyusuri ballroom untuk mencari Seungchan dan istrinya.

Jaehyun berjalan di sebelah Yoongi dengan mata yang memperhatikan sekeliling, "Mommy, ini dimana?"

"Ini di tempat acara Uncle Seungchan. Sebentar ya, Mommy masih mencari Uncle Seungchan."

Jaehyun mengangguk paham, kemudian dia tertegun saat melihat seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut berwarna platina tengah berdiri di antara tamu pesta. "Oh, Mommy! Itu Uncle Joonie!"

Yoongi menoleh cepat saat mendengar teriakan antusias putranya dan saat dia melihat ke arah yang ditunjuk Jaehyun, Yoongi menghembuskan napas lega karena melihat kalau yang ditunjuk Jaehyun adalah Namjoon.

Yoongi berjalan menghampiri Namjoon dan Seokjin yang sudah menikah dua tahun lalu dan sudah memiliki seorang putri yang berusia satu tahun.

"Uncle Joonie!" seru Jaehyun semangat kemudian menubruk kaki Namjoon.

Namjoon menunduk, "Jaehyunie?" ujarnya kemudian menggendong Jaehyun.

"Astaga, syukurlah aku bertemu kalian." ujar Yoongi seraya menatap Namjoon yang menggendong Jaehyun dan Seokjin yang menggendong putrinya, Sheila.

"Yoongi? Kau datang?" ujar Seokjin kaget.

Yoongi mengangguk, "Aku memang tidak bisa datang ke pernikahan kalian karena saat itu Jaehyun sedang demam, tapi kali ini, aku bisa datang karena Jaehyun sedang sehat."

Seokjin menatap Jaehyun yang tengah berceloteh semangat menceritakan perjalanannya naik pesawat untuk pertama kalinya pada Namjoon. "Aku bisa melihat itu."

Jaehyun menoleh ke arah Seokjin dan menatap Baby Sheila yang berada di gendongan Seokjin. "Sheila!" pekik Jaehyun semangat.

Seokjin tersenyum, "Jaehyun semangat sekali kalau sudah bertemu Sheila. Mungkin Jaehyun ingin adik."

Yoongi memutar bola matanya, "Ya, ya.."

Namjoon menatap sekeliling ballroom, "Ramai sekali ya. Bahkan wartawan pun berdatangan."

Seokjin mengangguk, "Jelas saja, Seungchan kan asisten kepercayaan Park Jimin. Sudah pasti Park Jimin akan datang, kan? Makanya wartawan berkerumun."

Yoongi melirik Seokjin sinis, "Jangan bahas dia di depanku."

Seokjin memutar bola matanya, "Oh ayolah, Min Yoongi. Park Jimin tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan siapapun sejak kau pergi dari kehidupannya. Dan semua orang juga bertanya-tanya dimana kau berada. Waktu itu kau terkenal sekali sebagai 'kekasih Park Jimin'."

"Jangan ingatkan aku."

Seokjin berdecak, "Hei, aku hanya ingin kau bahagia. Mengurus Jaehyun memang menyenangkan, tapi apakah kau pernah berpikir bagaimana kalau Jaehyun menanyakan ayahnya? Aku tahu Jaehyun sangat iri setiap kali melihat Sheila bermain dengan Namjoon. Jaehyun pasti merindukan ayahnya."

Yoongi menggigit bibirnya, "Aku tahu."

Seokjin menggeleng frustasi kemudian dia tidak sengaja melihat sedikit kehebohan di pintu masuk ballroom. "Dan.. itu dia."

Yoongi mengerutkan dahinya tidak mengerti kemudian dia menatap ke arah yang sedang diperhatikan Seokjin dan dia melihat Park Jimin melangkah masuk ke dalam ballroom. Rambut Jimin berwarna oranye dan pria itu mengenakan setelan berwarna hitam dari atas ke bawah, dia tersenyum kecil pada para wartawan yang memotretnya dan Yoongi tidak bodoh, dia menyadari kalau Jimin datang sendirian.

Jimin berjalan melewati orang-orang dan matanya tidak sengaja menoleh ke arah Yoongi yang masih terpaku menatapnya. Jimin menghentikan langkahnya dan dia berdiri diam di posisinya. Para wartawan yang menyadari kalau Jimin berhenti pun menatap Yoongi dan semua wartawan di sana langsung terkejut.

"Itu Nona Yoongi! Kekasih Park Jimin yang menghilang!" ujar salah satu wartawan.

Yoongi tersenyum canggung, apalagi saat Jimin berjalan menghampirinya. Yoongi menggigit bibirnya gugup saat akhirnya Jimin berdiri di hadapannya.

"Yoongi.." ujar Jimin, "Apa kau.. benar-benar Yoongi?"

Yoongi mengulum bibirnya gugup, "Ya, maaf karena sudah membohongimu, Jim. Itu karena.."

"Mom, siapa dia?" tanya Jaehyun tiba-tiba seraya menatap Jimin. "Mommy, kenapa dia mirip JaeJae?"

Yoongi tersentak, dia bingung harus mengatakan apa sementara Jimin sudah mengalihkan pandangannya kepada Jaehyun. Dan wartawan di sekitar mereka sudah heboh berbisik-bisik mengenai kemiripan Jimin dan Jaehyun.

Jaehyun mengerjap saat Jimin melangkah menghampirinya yang masih berada di gendongan Namjoon, "Wah, Uncle benar-benar mirip denganku!" pekik Jaehyun semangat kemudian tertawa riang hingga matanya membentuk garis tipis.

Jimin tersenyum pada Jaehyun, "Kau.."

Namjoon berdehem, "Kurasa sebaiknya kita mencari tempat yang lebih privat. Seungchan sudah memberi isyarat pada kita untuk mengikutinya."

.

.

.

.

.

.

.

Setelah melewati sesi penjelasan yang panjang, akhirnya Yoongi bisa pulang karena Jaehyun sudah tertidur di dalam pangkuannya. Jimin hanya diam memandang Yoongi dan Jaehyun sementara Seokjin dan Namjoon menjelaskan semuanya pada Jimin.

Yoongi tidak tahu harus mengatakan apa, dia merasa bersalah, tapi dia juga senang bisa melihat Jimin lagi setelah beberapa tahun berlalu.

Namjoon menatap Yoongi yang memeluk Jaehyun yang tertidur pulas, "Yoongi, mau aku antar ke hotel?"

"Aku akan mengantar Yoongi." Jimin menyela dengan cepat bahkan sebelum Yoongi sempat menjawab pertanyaan Namjoon.

Yoongi menatap Jimin kemudian dia menghela napas pelan. Yah, sudah saatnya baginya untuk mengatakan semuanya pada Jimin.

.

.

.

"Maafkan aku, Jim." Yoongi berujar saat mereka sudah berada di dalam mobil Jimin.

Jimin tertawa miris, "Kau tahu? Aku nyaris gila saat Seokjin mengatakan kalau kau sudah mati. Aku hancur, Yoongi." Jimin menggeleng pelan, "Dan sekarang, setelah beberapa tahun berlalu, kau tiba-tiba muncul di hadapanku dengan malaikat kecil yang sangat mirip denganku."

"Jaehyun milikku."

"Dan milikku juga. Tanpa kau jelaskan sekalipun aku bisa melihat kalau Jaehyun adalah putraku. Dia benar-benar blueprint diriku."

Yoongi menggigit bibirnya dan menunduk menatap Jaehyun yang terlelap di pelukannya, "Apa kau akan mengambil Jaehyun dariku?"

"Apa? Tentu saja tidak." Jimin melirik Yoongi, "Aku memang kesal dan marah karena kau mempermainkanku dan membohongiku selama ini. Aku yang dulu pastinya akan membunuhmu, Yoongi. Tapi sekarang aku sudah berubah dan ketika melihatmu, yang ingin aku lakukan bukanlah menghajarmu. Tapi aku ingin sekali memelukmu karena akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi."

Jimin menoleh menatap Yoongi yang terperangah di sebelahnya, "Aku merindukanmu, Min Yoongi."

Yoongi tertegun tapi kemudian dia mengalihkan pandangannya pada jalan di sekitar mereka. "Hei, ini bukan jalan menuju ke hotelku."

"Memang bukan, aku membawamu ke rumahku."

"Kenapa?"

"Karena ada yang ingin kutunjukkan padamu."

.

.

.

.

Yoongi berjalan mengikuti Jimin menyusuri koridor rumah besarnya yang tidak banyak berubah setelah menidurkan Jaehyun di kamar Jimin. Yoongi tidak tahu apa kiranya yang ingin ditunjukkan Jimin padanya tapi dia berharap itu bukanlah sesuatu yang buruk.

Dahi Yoongi mengerut saat Jimin akhirnya berhenti di depan sebuah pintu. Walaupun sudah lama tidak berkeliaran di rumah Jimin, Yoongi tahu kalau pintu di depannya adalah pintu menuju 'Play Room' Jimin.

"Kau mengajakku ke 'Play Room'mu?" tanya Yoongi.

Jimin tertawa, "Aku sudah tidak memiliki 'Play Room'. Dan sebagai gantinya.." Jimin membuka pintu itu dan menyalakan lampu kemudian mempersilahkan Yoongi masuk.

Yoongi masuk dan saat dia menatap ke dalam ruangan itu, dia terperangah sepenuhnya. Ruangan itu penuh dengan foto dirinya, dan ada sebuah grand piano di sudut ruangan, tempat tidur penuh boneka Kumamon kesukaan Yoongi, bahkan ada juga boneka Kumamon besar di sudut ruangan.

"Apa ini?" ujar Yoongi tidak percaya.

"Ini.. kubuat untukmu. Waktu itu aku pernah bertanya pada Hoseok mengenai apa yang kau sukai dan aku membeli semuanya lalu kuletakkan di sini. Aku.. ingin selalu mengingatmu."

Yoongi berkeliling untuk memeriksa ruangan itu, "Kau tahu? Ini seperti kuil kecil untukku. Apa kau memujaku, Tuan Park? Ini seperti ruangan tempat pemujaan untukku darimu."

Jimin tersenyum miris, "Aku selalu memujamu." Jimin melangkah menghampiri Yoongi, "Mungkin ini memang hukuman dari Tuhan untukku karena sudah berperilaku sangat buruk sebelum aku bertemu denganmu. Tapi aku harus mengatakan ini padamu. Aku tahu mungkin aku tidak pantas dan tidak akan pernah pantas. Tapi aku mencintaimu, Min Yoongi."

Yoongi membulatkan matanya dan menatap Jimin yang tengah tersenyum lembut padanya.

Jimin menggaruk tengkuknya, "Dan karena aku terlalu mencintaimu. Aku sampai tidak bisa marah padamu karena sudah mempermainkanku dan membohongiku selama ini. Aku memaafkanmu, aku benar-benar memaafkanmu. Karena jiwaku ada padamu, aku bersyukur kau kembali karena dengan itu, aku bisa merasakan jiwaku kembali."

"Aku menyukaimu, Jim." Yoongi menatap Jimin, "Dulu.."

Jimin mengangguk paham dengan wajah sedih, "Aku tahu. Aku tahu aku tidak akan pantas untukmu. Aku bukan pria baik-baik dan aku memiliki riwayat masa lalu yang lumayan buruk." Jimin menatap Yoongi, "But, if I still in there, can we restart all of it?"

Yoongi menatap wajah Jimin yang menatapnya dengan penuh harap. Yoongi tersenyum kecil kemudian melangkah menghampiri Jimin dan menangkup wajahnya, "Kau tidak perlu bertanya soal itu. Karena kau.. selalu ada di dalam hatiku, Jimin. Tidak peduli kau adalah orang yang seperti apa, aku mencintaimu. Dulu aku memang menyukaimu, tapi sekarang, aku mencintaimu."

Jimin terdiam dengan wajah kaget. Dia hanya bisa berkedip bingung sementara Yoongi tertawa kecil. "Apa kau tidak mau menciumku?"

Jimin mengerjap kaget, "Oh ya, tentu saja." Jimin menundukkan kepalanya kemudian menempelkan bibirnya di bibir Yoongi.

Yoongi memeluk leher Jimin dan membalas ciuman Jimin dengan agresif. Jimin melepaskan ciuman mereka saat dia tidak sengaja meremas dada Yoongi karena terbawa nafsu.

"Maaf, aku.." Jimin melepaskan rengkuhannya dari tubuh Yoongi.

Yoongi tersenyum, "Tidak apa, kurasa Jaehyun sudah cukup umur untuk memiliki adik."

Jimin menatap Yoongi dengan pandangan kaget, "M-maksudmu.."

Yoongi mengelus rahang Jimin, "Tapi kalau aku mengandung adik untuk Jaehyun, kau mau bertanggung jawab, kan?"

Jimin menyeringai, "Tentu saja, Min Yoongi. Karena aku akan menikah denganmu besok."

Yoongi tersenyum kecil, "Kalau begitu, ayo buat adik untuk Jaehyun."

"Ya, dengan senang hati."

.

.

.

At first, I saw Park Jimin as my wildest nightmare. He is so evil that I'm really afraid of him. But then, I saw the other side of him and I'm falling in love. I'm in love with Park Jimin but I'm too scared of it. I always thought that Park Jimin will never love me back. But, Park Jimin loves me too. So now, Park Jimin is not my wildest nightmare. He is my wildest fantasy that become true.

.

.

.

I don't do romance.

I thought that I'm in love with my friend, Selena. But then, when I lose someone that I really love, I realized that the feeling I had for Selena is just an obsession. At first, I thought that I only obsessed with Min Yoongi. She is the first woman that reject me. I didn't know that the day when I met Min Yoongi, is the day that will change my life forever. She make me in love with her, an unquestionable love that make me falling too deep for her. I love Min Yoongi, my game changer, and also the one I love the most.

The End

.

.

.

Finish! Kkeut! End!

YEAH, FINALLYYYY!

6k+ words untuk chapter terakhir!

Jangan bilang ini kurang panjang! Pengerjaannya saja butuh waktu dua hari. Hahaha

Duh, aku senang sekali akhirnya ini selesai :')

Dan akhir ceritanya juga hepi end :')

I am so happy :')

Dan ini juga tidak ada sequelnya /kabur/

Maaf ya, habisnya kalau ada sequelnya nanti aku yang bingung karena aku sendiri sudah tak ada ide lagi untuk melanjutkan cerita ini. Jadi daripada nanti jadi aneh dan tidak jelas, lebih baik tidak usah dibuat, kan? Waktuku juga terbatas. Hehehe

.

.

.

.

P.S:

Belakangan ini aku sedang terjebak di dunia dedek-dedek unyu bernama 'Seventeen'.

Duh serius deh mereka semua lebih muda dari aku (bahkan Seungcheol ( ) yang member tertua saja lebih muda dari aku. Lol)

Tapi aku suka mereka. Hahaha

Dan aku paling suka Mingyu *-* (omg, dek, kok kamu ganteng sekali ya? Hati Noona tergerak waktu lihat kamu dek Mingyu. Hahaha)

Oke ehem!

Walaupun aku suka Mingyu, tapi untuk OTP, aku mendukung JeongCheol (Seungcheol x Jeonghan). Duh, duo 'Papa-Mama' Seventeen ini terlalu unyu, mirip sama duo 'Papa-Mama' BTS XD

Aku sedang suka-sukanya dengan Seventeen. Jadi apa ada yang bisa rekomendasi momen-momen mereka? Terutama momen 'Papa-Mama'nya Seventeen. Hehehe

.

.

.

See you in another story!

Review? ^^

.

.

.

Thanks