Proudly present for you, all HunHan Shippers out there!
.
'Sehunnuie! Kau sedang apa?'
Seorang pemuda bertubuh mungil menghampirinya yang saat itu tengah duduk di meja belajarnya. 'Aku sedang mengerjakan makalah keuanganku. Wae?' tanyanya tanpa menoleh.
Pemuda itu duduk di atas kasurnya dan memberenggut kesal. 'Kau benar-benar membosankan. Selalu saja berkutat dengan angka-angka tak jelas itu!'
'Hmmmm, jadi aku membosankan?' Sehun membalikkan kursinya dan menatap pemuda itu dengan tatapan menggoda.
Pemuda itu tidak menjawab. Alih-alih, dia justru merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi menyamping tanpa memutus kontak mata mereka. 'Sangat membosankan!' ujarnya kemudian.
Sehun tertawa pelan. Ia beranjak dari kursi dan mendudukkan dirinya di samping pemuda itu. 'Apa itu berarti kau tidak menyukaiku lagi?'
'Siapa bilang?' Pemuda itu beringsut dari posisinya. Ia lalu merebahkan kepalanya di paha Sehun dengan manja. 'Aku hanya merindukanmu, itu saja!'
Sehun tersenyum. Tangannya bergerak auto membelai sayang rambut pemuda itu. 'Aku juga merindukanmu. Kau tahu itu, kan?'
Pemuda itu tidak menjawab. Ia menahan pergerakan tangan Sehun di rambutnya kemudian merubah posisinya menjadi duduk di hadapan Sehun. Jemari mungilnya memenjarakan tangan itu dalam genggamannya. 'Apa kau benar-benar merindukanku, Sehunnie?' Ia menatap Sehun penuh arti.
Mendapatkan tatapan seperti itu dari orang yang dikasihinya, alis Sehun mengernyit bingung. 'Tentu saja,' jawabnya seraya membalas genggaman di tangannya. 'Kau tidak percaya?'
Tautan tangan mereka terlepas sepihak. Pemuda itu tersenyum sedih, membuat jantung Sehun berdetak waspada. Ia lalu turun dari atas kasur dan perlahan mejauh dari sana dengan senyum sedih yang masih terbentuk di wajah manisnya. 'Kau berbohong, Sehunnie!' lirihnya sedih. 'Kau berbohong.'
Sehun tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak mengerti. Dia ingin menyangkal, ingin beranjak dari sana dan menahan pemuda yang bergerak semakin jauh itu agar tidak pergi. Tapi tubuhnya seolah kaku, nyaris tak bisa digerakkan. Hanya tangannya yang terulur agar bisa menggapai jemari mungil yang selalu ia genggam. Hanya matanya yang terbelalak lebar menyaksikan orang yang dikasihinya perlahan menghilang dalam kegelapan. Hanya mulutnya yang terbuka dan mengucapkan kalimat tanpa suara.
Ia merasa tubuhnya lumpuh. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Tak bisa mengucapkan apa-apa. Hanya satu kata yang -dengan susah payah- lolos dari kerongkongannya...
"Hyung!"
Sehun tersentak dari tidurnya. Ia terbangun dengan peluh yang membasahi tubuh. Jantungnya berdetak kencang seiring dengan nafas yang terengah, seperti baru saja berlari cukup jauh. Matanya berputar kesana kemari tak fokus. Mencari sesuatu, seseorang yang tadi ada di sini bersamanya. Pikirannya masih tertinggal dalam kepingan bunga tidur yang baru saja dialaminya.
"Sehun! Kau baik-baik saja?" Seraut wajah yang sarat akan kekhawatiran menyambut indra penglihatan Sehun saat ia menoleh ke sisi kanan, dalam hati berharap menemukan apa yang dicarinya. Tapi tidak. Dia yang berada di depannya saat ini bukanlah seseorang yang ingin ia kejar dalam mimpinya.
Orang itu, Luhan, menatapnya dengan kening berkerut. Masih dengan tatapan khawatir, ia lalu mengusap peluh di keningnya dengan lembut. Dan dia hanya bisa terdiam. Mata indah itu seolah menariknya dalam dan mengunci semua pergerakannya.
"Kau baik-baik saja, kan?"
Jantung Sehun mulai berdetak tenang, setenang suara lembut yang kembali mengalir dari bibir ceri Luhan. Dan itu membuatnya takut. Sangat takut.
Apa yang terjadi padanya? Mengapa ia merasa seperti ini? Dan mimpi tadi. Apa arti semua itu? Setelah sekian lama, mengapa ia kembali memimpikannya lagi? Mengapa dia berkata seperti itu padanya?
"Sehun?"
Jemari Luhan beralih mengusap pipinya kali ini. Dan untuk beberapa detik, Sehun yakin sekali kalau ia mendengar suara hatinya yang memerintah untuk tersenyum dan menggenggam jemari itu. Tapi—
'Kau berbohong, Sehunnie!'
Sehun menepis pelan tangan Luhan dan beranjak dari sana, tidak ingin membiarkan kedua mata indah itu untuk menariknya lebih dalam lagi. Bekas jemari Luhan yang tertinggal di pipinya masih terasa begitu hangat. Jantungnya pun masih berdetak dengan sangat tenang. Terlalu tenang jika mengingat bahwa dirinya baru saja memimpikan sesuatu yang sangat tidak menyenangkan.
Dan itu membuat hati kecilnya terus bertanya-tanya mengapa.
.
Don't Say Goodbye
By: 0312_luLuEXOticS
Cast: Luhan, Oh Sehun, and others
Pair: HunHan
Genre: Sad, Romance
Rate: M (meski gak yakin *nyengir)
Lenght: Multichapter
Note: Semua cast di sini, Liyya cuma pinjem namanya aja. Cerita ASLI milik Liyya. Kalau ada kesamaan dengan cerita lain, itu murni hanya sebuah kebetulan.
Warning: Romance gagal, cerita abal, ide pasaran -_- typo(s) eperiwer, feel ngawang(?)
.
.
HAPPY READING^^
.
.
Chapter 3: HIM
.
Luhan terbangun dari tidurnya saat mendengar suara pintu kamar mandi yang dibanting pelan. Ia melirik jam di atas nakas yang dengan angka 06.05 di sana dan mengernyit dalam. Ini masih terlalu pagi untuk memulai aktifitas, mengapa Sehun sudah bangun sepagi ini?
Masih dengan perasaan bingung, Luhan menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuhnya dan mulai bergerak untuk merapikan tempat tidur. Ia lalu melirik ragu pada pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Sudah lewat sepuluh menit, tapi sepertinya Sehun belum menunjukkan tanda-tanda kalau dia telah selesai di dalam sana. Luhan bahkan masih bisa mendengar suara air yang mengalir dari shower bath meski samar.
Mengedikkan bahunya pelan, ia akhirnya memberanikan diri untuk menyapanya. "Sehun, kau mau sarapan apa pagi ini?" Ia bertanya setelah mengetuk pintu beberapa kali.
Hening
Luhan mengulang pertanyaannya sekali lagi dan menunggu beberapa saat. Namun ia tetap tidak mendapatkan jawaban apa pun dari dalam selain suara titik-titik air shower yang membentur lantai keras kamar mandi. Menghembuskan nafasnya pelan, Luhan memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanannya ke dapur untuk menyiapkkan sarapan. Mengubur dalam-dalam pikiran buruk dan perasaan cemas yang sempat menyelimuti.
Sebenarnya, memasak bukanlah keahliannya. Luhan ingat sekali bagaimana dulu ia ketakutan hanya untuk menyalakan kompor. Dia takut kalau benda yang mengeluarkan api itu akan meledak tiba-tiba saat ia menyalakannya. Dia juga tidak bisa membedakan antara panci dan wajan saat itu, semuanya terlihat sama baginya. Namun seseorang di masa lalu yang ingin ia lupakan, satu dari sedikit orang yang perduli, mau berbaik hati dan mengajarinya untuk menggunakan alat-lat dapur itu.
Yah, meski bukan sesuatu yang hebat, setidaknya ia merasa sedikit berguna bagi Sehun.
"Baiklah, aku akan tiba beberapa menit lagi!"
Luhan mengecilkan api kompor begitu mendengar suara Sehun yang sepertinya tengah berbicara dengan seseorang di ponselnya. Tanpa menunggu, ia berjalan tergesa untuk menyapa pemuda tampan itu. Namun suaranya terhenti di kerongkongan saat melihat ponsel yang masih menempel di telinga Sehun. Ia mengikuti Sehun dalam diam di belakang. Memperhatikannya saat menarik jaket dari gantungan dan memakai sepatu dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Jadi ia menunggu, sampai Sehun selesai dengan urusannya dengan entah siapa pun itu yang berbicara di ponsel. Menunggu, sampai akhirnya Sehun mematikan dan memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Sehun!" panggilnya.
Untuk beberapa detik, Sehun berhenti. Jelas sekali kalau pemuda itu mendengar panggilannya barusan. Tapi dia sama sekali tidak menoleh atau pun mengatakan sesuatu. Jadi Luhan berpikir untuk mendekat.
"Sehun. Apa kau—"
Blam
Luhan berdiri kaku di tempatnya. Menelan pahit kekecewaan yang lagi-lagi ia dapatkan. Pemuda itu mengernyit dalam dan mem-pout -kan bibirnya, lalu kembali ke dapur. Ada perasaan kesal, marah, bingung, kecewa dan sedih yang bergulat di dalam dadanya, membuat kedua mata indahnya mulai terasa panas. Ada kristal bening yang mulai menganak sungai di sana. Namun dengan gerakan cepat, ia menghapusnya asal, bersamaan dengan dugaan demi dugaan yang kembali terbesit di dalam benaknya.
Apakah Sehun tengah menghindarinya? Apa dia marah padanya? Tapi mengapa? Apa ia telah melakukan kesalahan yang membuat Sehun marah padanya?
Tidak menemukan petunjuk apa pun untuk menjawab pertanyaannya sendiri, akhirnya Luhan memilih untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi dan mulai melakukan rutinitas hariannya. Dimulai dengan membersihkan makanan setengah matang di atas kompor yang tak lagi berguna. Ada perasaan sedih yang kembali menyelinap masuk saat ia membersihkan itu semua. Namun Luhan tidak membiarkan perasaan sedih itu berlama-lama di sana.
Mungkin Sehun tidak mendengar panggilannya. Dia tidak mungkin menghindarinya dengan sengaja, kan? Tidak tidak. Dia pasti hanya tengah terburu-buru.
Luhan mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri dengan berpikir demikian. Tapi, bagaimana pun ia berusaha, pikiran-pikiran negatif itu tidak pernah benar-benar bisa ia hapus begitu saja.
Apa Sehun mulai merasa terganggu dengan keberadaannya?
.
~HunHan~
.
Sehun menutup pintu apartemennya pelan. Ia melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak yang tersedia di samping pintu. Rasanya lelah sekali. Harus mengejar semua ketertinggalannya selama seminggu. Harus mendengar ceramah panjang dari dosen wali karena telah dengan sengaja absen begitu lama hingga menyebabkan kegagalan dalam beberapa mata kuliah yang ia ambil semster ini. Harus menulis begitu banyak laporan dan mengerjakan begitu banyak tugas yang menumpuk. Ditambah lagi, Lao Gao yang seolah enggan untuk membiarkannya sendirian dan selalu melayangkan komentar-komentar aneh padanya.
'Jangan sampai kau menyukai Luhan hanya karena kau melihat bayangan Baixian dalam dirinya!'
Aaaaah~ Bahkan ia bisa mendengar dengan jelas suara pria tambun itu saat ini. Ya Tuhan! Sehun benar-benar lelah, secara fisik dan juga mental.
Hhhhh, pasti akan lebih mudah jika 'dia' ada di sini menemaninya, Sehun tersenyum kecut.
Saat hendak mengistirahatkan tubuhnya di atas sofa, senyum kecut yang sempat menghiasi wajahnya pudar seketika begitu melihat Luhan yang tertidur di sana. Berganti dengan senyum tipis namun terkesan sedih. Sebuah vacum cleaner tergeletak begitu saja di dekat sofa. Sehun memperhatikan sekeliling apartemennya yang terlihat jauh lebih bersih dan rapi dari biasanya. Ada aroma harum yang menguar dan menyapa hidungnya, membuat suasana menjadi semakin terasa nyaman. Ia lalu kembali menatap Luhan dan berjongkok di depan wajahnya. Memperhatikan setiap inchi wajah pemuda manis itu dan, tanpa sadar, mulai mengaguminya.
Luhan memiliki sepasang mata yang sangat indah, paling indah menurut Sehun, yang bahkan bisa ia bayangkan bagaimana persisnya meski saat tertutup seperti ini. Bulu matanya lentik dan juga panjang, nyaris seperti seorang wanita. Sehun tersenyum sendiri saat memikirkan hal itu. Luhan pasti akan marah besar jika tahu kalau dia baru saja disamakan dengan seorang wanita, pikirnya. Dan tanpa sadar, ia mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap lembut pipi Luhan. Mengagumi indahnya paras itu.
'Apa karena Baixian?'
Kalimat yang diucapkan Lao Gao hari itu masih terus terngiang di telinganya. Dan setiap kali itu terjadi, pikirannya mulai bekerja untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu.
Mengapa dia mau menerima Luhan di apartemennya yang nyaris tak pernah terbuka untuk orang asing? Bahkan teman-temannya sekali pun jarang ia ajak kemari, jadi mengapa ada pengecualian untuk Luhan? Lebih dari itu, mengapa ia ingin sekali melindungi pemuda mungil yang bahkan ia tidak tahu dari mana asal-usul serta latar belakangnya? Mengapa dirinya mau melakukan semua itu? Apa benar hanya karena 'dia'?
"Eungh..."
Lenguhan pelan itu menyadarkan Sehun yang tengah sibuk bergelut dengan pikirannya. Ia refles menarik tangannya menjauh dari dan beralih memperhatikan wajah Luhan. Ada butir-butir keringat yang mulai terbentuk di keningnya yang berkerut tak nyaman. Seolah ada yang mengusik kedamaiannya tidurnya.
Sehun tertegun. Ini memang bukan kali pertama dia melihat Luhan yang seperti ini. Selama ini, dia tahu kalau Luhan selalu tidak tenang dalam tidurnya. Setiap malam, di tengah temaram lampu kamar, Sehun selalu melihatnya. Tapi dia tidak pernah melakukan apa-apa, tidak bisa melakukan apa-apa. Hatinya ingin melakukan sesuatu, namun tubuhnya menolak untuk bergerak. Jadi dia hanya akan melihat dari jauh, dalam kegelapan, sampai pemuda itu kembali tenang.
Apa sebenarnya yang Luhan impikan dalam tidurnya? Mengapa dia terlihat begitu gelisah dan seperti tengah ketakutan akan sesuatu?
"Luhan!"
Tidak tahu harus melakukan apa, Sehun akhirnya memutuskan untuk membangunkan pemuda itu. Ia menepuk pelan pipi Luhan beberapa kali. Mencoba menariknya dari mimpi buruk yang tengah ia alami.
"Luhan!" panggilnya lagi, sedikit lebih keras kali ini. Ia terus melakukan hal yang sama berkali-kali, sampai akhirnya Luhan terbangun dan terduduk dengan nafas tersenggal. Sehun mendudukkan tubuhnya di atas sofa yang sama dan mengusap pelan punggung Luhan. "Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
Masih dengan nafas yang sedikit tersenggal, Luhan berbalik agar bisa berhadapan langsung dengan Sehun. Ia memperhatikan wajah tampan itu beberapa saat, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini, sebelum kemudian berhambur memeluk tubuh tegap itu dengan erat tanpa berkata apa-apa.
Sedikit terkejut, Sehun membalas pelukan itu dan kembali mengusap-usap punggung Luhan. Sehun bukan tipe pria yang suka melakukan skinship dengan teman-temannya, termasuk Lao Gao. Dia hanya melakukan hal-hal intim seperti ini, menurutnya, pada orang yang ia cintai. Tapi Luhan, entahlah, sepertinya selalu ada pengecualian yang tanpa sadar ia tetapkan untuk pemuda manis itu.
Jujur saja, sebenarnya ia masih belum terbiasa dengan sikap Luhan yang acap kali berubah-ubah. Sekali waktu, pemuda itu akan terlihat malu-malu. Di waktu yang lain, dia akan terlihat seperti ketakutan, tepatnya setiap kali dia melakukan kesalahan, meski hanya kesalahan kecil. Dan di lain waktu lagi, Luhan berubah menjadi sangat manja, bahkan terkadang tak segan untuk melakukan skinship dengannya, seperti saat ini.
"Kau bermimpi buruk?" Sehun kembali bertanya. Meski dalam diam, ia bisa merasakan anggukan pelan Luhan dan kembali bertanya. "Kau ingin membaginya denganku?"
Untuk beberapa menit, Luhan memilih diam. Menimang-nimang apa yang harus dikatakannya. Dia tidak ingin mengingat kembali mimpi buruk tadi, tapi dia juga ingin mencari tahu sesuatu dari mimpi itu. Dia ingin memastikan sesuatu.
"Kau mengusirku."
"Hmm?" gumam Sehun bingung.
Luhan bergerak gelisah dalam pelukan Sehun. "Kau bilang aku bukan 'dia'. Kau juga berkata kalau aku tidak berhak berada di sini. Dan setelah itu, kau mengusirku."
Sehun sontak melepas paksa pelukan Luhan dan beralih memegang kedua pundak pemuda itu dengan sedikit kuat. Ia menatap lurus pada kedua mata rusa yang menatapnya takut, menuntun penjelasan lebih lanjut dari si pemilik mata. Apa maksud Luhan denga 'dia'? Bagaimana Luhan tahu tentangnya?
Luhan melepaskan diri dari cengkeraman tangan Sehun. Ia duduk bersandar pada sofa sembari memeluk kedua lututnya sebelum berbicara, dengan kepala yang tertunduk dalam. "Maaf," lirihnya pelan. "Hari itu, aku mendengar apa yang Lao Gao katakan. Dia bilang, aku mirip dengan seseorang. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud, tapi seseorang itu pasti bukan orang yang biasa jika ekspresinya saat melihatku sampai seperti itu," jelasnya panjang. Sedikit merasa bersalah karena telah mencuri dengar pembicaraan pribadi Sehun.
"Lalu, beberapa hari ini kau mulai bersikap aneh padaku. Kau tidak lagi menyapaku. Kau juga tidak berbicara. Setiap pagi, kau akan pergi ke kampus tanpa memakan sarapan yang aku buat untukmu. Lalu malamnya, kau selalu pulang tengah malam dan tidur di sofa ruang tamu. Kau menghindariku, Sehun. Dan aku mulai berpikiran aneh." Luhan mengatur nafas, merangkai kalimat selanjutnya dalam kepala sekaligus menunggu Sehun mengatakan sesuatu. Baru setelah ia yakin kalau Sehun masih ingin mendengar penjelasannya, ia kembali berbicara.
"Setiap hari, aku bertanya-tanya. Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah padaku? Atau kau mulai merasa terganggu dengan kehadiranku? Mungkin seharusnya aku memang tidak berada di sini. Mungkin kau mulai tidak menyukai keberadaanku di sini. Mungkin ini memang bukan tempatku. Dan masih ada banyak 'mungkin' yang terlintas di dalam benakku yang benar-benar tidak ingin kukatakan."
Keduanya terdiam cukup lama setelah penjelasan panjang itu. Luhan masih menunduk dalam, menghindari tatapan Sehun, dengan perasaan cemas. Takut-takut kalau Sehun akan marah atas kelancangannya.
Sedangkan Sehun hanya menatapnya dengan perasaan bersalah. Dia tertegun, lagi. Sebenarnya, dia sama sekali tidak bermaksud untuk menghindari Luhan. Dia hanya sedang membutuhkan sedikit waktu untuk sendiri dan memikirkan semuanya. Mengapa ia menyelamatkan Luhan dan bersikeras ingin melindungi pemuda itu meski ia sadar sepenuhnya kalau Luhan bukanlah sosok yang selama ini ia rindukan? Sehun butuh waktu untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Pertanyaan yang sama yang dilontarkan oleh sahabatnya.
Beberapa hari yang lalu, sebenarnya ia nyaris menyerah dan berhenti untuk mencari jawaban itu. Tapi kemudian Baixian muncul dalam mimpinya. Dan pertanyaan baru tercipta di benak Sehun. Mengapa dia bermimpi seperti itu? Apa maksud Baixian dengan 'berbohong'? Mengapa dia berkata seperti itu padanya?
Dia hanya butuh sedikit ruang untuk sendiri. Hanya itu saja.
"Sehun," panggil Luhan pelan. Pemuda itu tak lagi menunduk seperti tadi, namun masih tetap menghindari tatapan matanya. "Apa keberadaanku di sini mengganggumu?"
"Apa maksudmu, Luhan? Tentu saja itu tidak benar," jawab Sehun -sedikit terlalu- cepat. Luhan terlihat lega mendengar jawabannya. Tapi sesuatu masih mengganggunya. Sehun bisa melihat hal itu dengan sangat jelas hanya dari ekspresi wajah Luhan saat ini.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
Sehun mengangguk pelan saat Luhan bertanya lagi.
"Mengapa kau menyelamatkanku?"
Sehun mengernyit tak mengerti.
"Mengapa kau mengijinkanku tinggal di sini meski pun kau tidak mengenalku?"
Jantungnya memompa dua kali lebih cepat.
"Apa karena aku mirip dengan 'dia'?"
Jantungnya berdetak tak wajar. Bibirnya terbuka seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi tidak ada suara yang keluar dari sana.
Luhan menghirup nafas panjang sebelum mengangkat kepalanya dan memberanikan diri untuk menatap Sehun. "Lalu, siapa yang sebenarnya kau lihat di dalam diriku?"
Untuk sepersekian detik, ia yakin sekali kalau jantungnya berhenti berdetak. Sehun tertegun. Pertanyaan itu menancap tepat di ulu hatinya. Sekarang, bahkan Luhan pun menanyakan hal yang sama.
Luhan menggigit bibir bawahnya dan berhenti menatap Sehun. "Kau tidak perlu menjawabnya jika memang pertanyaan-pertanyaan itu mengganggumu, Sehun. Lagipula seharusnya aku memang tidak lancang dan bertanya seperti itu." Ia tersenyum tipis, berusaha meyakinkan Sehun kalau dia baik-baik saja.
"Ah~ Kau belum makan siang, kan?" Tidak ingin membuat Sehun lebih terganggu lagi, Luhan sengaja mengalihkan pembicaraan mereka. Ia menurunkan kakinya dari atas sofa, kemudian berdiri. Namun belum satu langkah kakinya bergerak, Sehun menahan pergelangan tangannya. Membuat Luhan, mau tak mau, kembali duduk di sampingnya.
"Baixian!" lirih Sehun pelan. "Namanya Baixian."
Sehun tidak tahu mengapa, tidak tahu alasannya. Kalimat itu seolah lolos dari bibirnya sebelum sempat ia cegah. Mungkin karena ia merasa tidak adil pada Luhan. Mungkin karena tatapan sarat akan kesedihan yang terpancar di kedua mata indah pemuda itu. Atau mungkin karena semua beban itu telah terlalu lama tersimpan dan terkubur dalam dirinya, hingga akhirnya memberontak ingin keluar.
Entahlah. Sehun benar-benar tidak tahu. Tapi kata demi kata, perlahan mengalir begitu saja dari bibirnya.
"Dia... tunanganku."
Luhan tertegun. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna informasi tiba-tiba itu, sampai akhirnya ia benar-benar memahami apa yang dikatakan oleh Sehun. Ia menatap Sehun dan mengamati lekat ekspresi penuh rindu di wajah tampan itu, yang -entah mengapa- membuat dada kirinya berdenyut nyeri. "Dia... pergi?" tanyanya hati-hati.
Sehun tersenyum sedih. Pandangannya kini tak lagi tertuju pada wajah manis Luhan, melainkan pintu kamar yang tak pernah terbuka di ujung ruangan. "Dia dinyatakan menghilang dalam sebuah kecelakaan setahun yang lalu." Ia mulai bercerita. "Semua orang memintaku untuk melupakan Baixian. Semua orang berkata kalu dia sudah tidak lagi di dunia ini. Bahkan polisi pun sepertinya telah menyerah untuk mencarinya. Tapi aku tidak bisa melakukan itu, Luhan. Aku tidak bisa melupakannya begitu saja. Karena jantungku masih terus berdetak sampai sekarang. Dan itu berarti Baixian masih menghirup udara yang sama di suatu tempat di luar sana," lanjutnya kemudian kembali menatap Luhan.
"Saat aku melihatmu hari itu, rasanya seperti dejavu. Untuk suatu alasan, kalian terlihat begitu mirip. Tapi untuk alasan lain, aku tahu, aku sadar kalau kau bukanlah Baixian. Kalian berdua terlihat sama, namun jelas berbeda. Dan aku benar-benar menyadari hal itu. Tapi meski pun begitu, aku tetap tidak bisa menafikan perasaan hangat dalam dadaku yang merasa seolah Baixian telah kembali. Jadi aku memutuskan untuk menolongmu dan membiarkanmu tinggal bersamaku," ungkapnya dengan tatapan bersalah. Tangannya yang sedari tadi masih mencengkeram pergelangan tangan Luhan beralih untuk menggenggam jemari pemuda manis itu.
"Maafkan aku, Luhan. Karena telah berpura-pura bersikap layaknya orang baik yang ingin menolong, padahal sebenarnya aku hanya memikirkan diriku sendiri. Karena aku telah dengan sangat egois melihat bayangan dirinya dalam dirimu." Ia menundukkan kepalanya. Tak sanggup kalau harus menatap mata Luhan lebih lama lagi. "Maafkan aku!" ujarnya lagi beberapa saat kemudian.
Luhan tak bersuara. Tak mengatakan apa pun. Tak memberikan komentar apa pun. Ia melepaskan tautan tangan mereka dan berdiri di depannya. Dan Sehun semakin tertunduk. Bersiap menerima semua kekecewaan, amarah, teriakan atau emosi apa pun yang akan Luhan berikan padanya. Tapi alih-alih itu semua, Sehun justru mendapatkan sesuatu yang paling tidak ia duga sebelumnya.
Sebuah pelukan yang begitu hangat.
"Kau pasti sangat merindukannya, kan?!" Luhan menyandarkan kepala Sehun di dadanya sembari menepuk-nepuk pelan punggung Sehun. Mencoba menyalurkan sedikit sisa kekuatan yang ia miliki pada pemuda tampan itu. "Tidak apa-apa, Sehun! Tidak apa-apa." Ia sama sekali tidak menyangka kalau ternyata Sehun yang terlihat begitu kuat selama ini, menyimpan sebuah kenangan yang begitu pahit dalam hatinya. Dan itu membuatnya merasa kasihan pada pemuda tampan itu. Meski sebenarnya kesedihan dan penderitaan yang Sehun rasakan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan semua penderitaan yang telah ia alami selama ini.
"Kau tahu? Dunia dimana aku tinggal dulu, tidak pernah ada sinar hangat mentari yang menyambutku saat aku terbangun di pagi hari. Tidak ada kicau burung yang terdengar dengan begitu merdu. Tidak ada pelangi yang terlihat begitu indah saat hujan reda. Tidak ada kerlap-kerlip bintang yang menghiasi langit kelam di malam hari. Tidak ada cahaya bulan yang menemaniku hingga aku tertidur," ucapnya lembut, masih sembari menepuk-nepuk pelan punggung Sehun. Kedua matanya menerawang jauh. "Duniaku adalah tempat yang seperti itu, Sehun."
Keduanya terdiam beberapa saat setelah itu. Luhan masih menerawang jauh, mengingat serpihan kenangan yang dengan sengaja ia kubur dalam-dalam. Kengangan-kenangan pahit yang begitu sulit untuk dilupakan.
Sedangkan Sehun larut dalam pikirannya sendiri. Ada perasaan aneh yang terbesit di saat mendengar cerita Luhan. Selama ini, dia memang tidak pernah bertanya apa pun tentang pemuda manis itu, sesuai dengan apa yang ia janjikan padanya. Dan hari ini, saat Luhan berkata seperti itu, rasa penasaran yang telah ia redam beberapa hari ini semakin bertambah.
Dunia dimana Luhan tinggal dulu, sebenarnya tempat yang seperti apa?
"Tapi sekarang tidak lagi." Tiba-tiba saja Luhan kembali bersuara. Ia sedikit menunduk dan melepaskan pelukannya untuk menangkup wajah Sehun. "Kehangatan mentari itu, kicau burung itu, pelangi itu, kerlap-kerlip bintang itu, cahaya bulan itu, sekarang aku bisa menikmati itu semua berkat dirimu, Sehun. Kau telah menyelamatkanku!" tuturnya. "Karena itulah, kau tidak perlu meminta maaf padaku, Sehun. Entah itu karena Baixian atau hanya sekedar simpati. Entah itu Luhan atau pun Baixian yang kau lihat dalam diriku, semua itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa kau telah menyelamatkanku. Apa pun alasannya, bagiku kau tetaplah malaikat yang telah menolongku, Sehun. Kau, adalah malaikat yang telah memperlihatkan sisi lain dari dunia yang aku tahu selama ini. "
Karena Sehun adalah malaikat yang memberikan sebuah kehidupan untuknya dan membuatnya merasa kalau dia memang benar-benar hidup di dunia ini, bukan hanya sekedar bertahan hidup. Dan jika memang Sehun hanya bisa melihat bayangan Baixian dalam dirinya, selama itu bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan mengurangi sedikit saja penderitaan Sehun, Luhan akan menerimanya takdir itu.
Sehun tercenung. Menatap wajah Luhan yang tersenyum cukup lama. Ia lalu melingkarkan tangan panjangnya di pinggang Luhan. Perasaan sedih, perasaan bersalah, semua bercampur dan meluap-luap di dalam dirinya. "Maafkan aku, Luhan!" Dia tetap mengucapkan kalimat itu meski Luhan berkata jangan.
Tapi di samping semua rasa bersalah itu, ada perasaan hangat luar biasa yang ia rasakan saat memeluk Luhan. Dia sendiri tidak habis pikir, bagaimana bisa tubuh yang begitu kurus dan mungil itu mampu memberikan kehangatan yang luar biasa seperti ini. Dari telinganya yang menempel di dada Luhan, ia bisa mendengarkan degup jantung pemuda itu yang seolah tengah berlomba-lomba dengan degup jantungnya sendiri.
Luhan membalas pelukan itu dan menempelkan pipinya pada rambut Sehun. Ia menutup matanya rapat-rapat. Mencoba menghadang ribuan jarum tak kasat mata yang tengah berusaha menerobos masuk dan meyerang.
Seumur hidupnya, meski ia tahu kalau itu adalah hal yang mustahil, tapi Luhan selalu bertanya-tanya tentang sesuatu yang mereka sebut 'cinta' pada dirinya sendiri. Apa itu cinta? Bagaimana rasanya mencintai seseorang? Seperti apa rasanya dicintai? Mungkinkah akan ada kesempatan untuknya bisa jatuh cinta? Apakah orang seperti dirinya layak mendapatkan cinta? Apakah dirinya pantas merasakan itu semua? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terbesit dalam hati kecilnya tanpa pernah terjawab.
Tapi hari ini, Luhan merasa kalau ia telah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya.
Sesuatu yang indah seperti 'cinta', memang diciptakan bukan untuk orang-orang yang 'hina' seperti dirinya.
.
~HunHan~
.
To be Continued
A/N:
Ampun dijeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh! Satu bulan mameeeeen! Sorry-not-sorry for the veeeeeeeeeeeeeery late update, hohohoho.
*ini HunHannya kok gitu-gitu aja ya?
*ini alurnya kok gak maju-maju ya?
*ini kok membosankan ya?
*ini kok chapnya makin aneh gaje n g ada feelnya ya?
Ya ya ya. Liyya tau, Liyya sadar, n Liyya yakin banget banyak yang berpikiran kayak begono. Tapi ya, bear with it a little more, oke?! Hehehehe
Maunya sih HunHan cepetan jadian(?), hepi2an(?) trus enak2an(?) gt yaaaaaaaaaaaaa. Tapi mau gimana donk, mereka belom kenal. Masih ada banyak rahasia demi rahasia yang disembunyikan. Belom bisa saling percaya(?), belom bisa saling terbuka.
But believe me, saat Sehun mengungkapkan siapa itu si 'dia', n saat Luhan sedikit bercerita tentang siapa dirinya tadi, something will definitely change. Hubungan mereka juga akan berubah. Karena sekarang, mereka sama-sama udah saling merasa jauh lebih nyaman dari pada sebelumnya.
Buat yang penasaran dengan kehidupan seperti apa yang dijalani oleh Luhan sebelum bertemu Sehun, upppsssi, kayaknya masih lama deh terkuaknya /ketawa nista/
Yang tanya tentang endingnya, tenang aja. Ini PASTI Happy Ending kok ;)
Last but not the last, Liyya ucapkan baaaaaaaanyak banyak terima kasih buat kamu, kamu, kamu yang udah mau baca. Terima kasih plusplus buat yang mau foll/fav. Dan terima kasih baaaaaaaaaanyak-banyak yang plusplusplusplussss buat kamu, kamu, kamu yang mau review!
Balasan Review:
Ludeer: haghaghag ini udah lebih panjang loh deeek. Nembus 4k, padahal seharusnya Cuma 3k -_- Semoga kamu g ketiduran karena bosen pas baca :(
Makasih udah ngereview^^
Ieona: Baixian belom mati atau sudah, kakak juga belom tau, dek. Tapi Sehun yakin banget kl Baixian masih hidup o_O Dan maaf, latar belakang Luhan, kakak kasih spoilernya aja dulu dikit ;)
Makasih udah ngereview^^
Guest: Baixian bisa jadi Baekhyun, bisa jadi juga orang lain #plakk XD
Makasih udah ngereview^^
Izu hn: Udah kejawabkan siapa itu Baixian? Yaps, dia tunangannya Sehun :'(
Makasih udah ngereview^^
tya721: Iyaaaa, Baixian masih menghilang statusnya. Tenang aja, nanti pasti akan ada moment HunHan yang manis kok :D
Makasih udah ngereview^^
NiaLuhannie: Aduh deeeeeeeeeek, imajinasinya kejauhan tuh. Orang ketiga pasti ada donk. Eh tapi di sini, justru Luhan yang jd orang ketiga sih *upssss ;)
Makasih udah ngereview^^
bambi: Hmmmmmm, cinta segi tiga g yaaaaa ;) hehehehehe
Makasih udah ngereview^^
ryanryu: Udah kejawab kan ya siapa Baixian? Hmmm, rencananya sih g lebih dr 15 chapter, tapi juga gaboleh kurang dr itu o_O
Makasih udah ngereview^^
Yang punya akun, bisa cek PM-nya yaa!See U, next chapter!
Salam XOXO dari Liyya