Proudly present for you, all HunHan Shippers out there!

.

Drap drap drap drap

Suara langkah kaki terdengar bersahut-sahutan. Membelah keheningan malam sebuah wilayah sepi di sudut kota Beijing. Seorang namja dengan rambut merah muda dan tinggi badan tak seberapa terlihat tengah berlari sekuat tenaganya. Memaksa kedua kaki kurusnya untuk tetap bergerak meski dia hampir tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Di belakangnya, beberapa pria ber-jas hitam mengejarnya dengan tenaga penuh, sesekali memanggil dan memaki si pemuda yang mereka kejar.

"Hosh hosh hosh!"

Pemuda berambut merah muda itu terus berlari dengan gesit mencoba menghindari pria-pria yang mengejarnya. Ini kesempatannya. Dia tidak boleh tertangkap oleh mereka dan kembali ke 'neraka' itu. Dia harus berhasil.

Deru nafas namja itu semakin tak beraturan. Tubuhnya terasa begitu lelah. Entah sudah berapa jauh dia berlari. Entah sudah berapa lama. Namun pria-pria ber-jas hitam itu masih terlihat di belakangnya dan mengejarnya tanpa kenal lelah. Sedangkan tubuhnya sudah hampir menyerah. Beruntung tubuhnya terbilang mungil untuk ukuran seorang pria, jadi dia bisa dengan mudah bergerak bahkan di tempat-tempat sempit sekali pun. Meski sampai saat ini, ia belum juga berhasil bersembunyi dari mereka. Tapi dia berhasil menciptakan jarak yang cukup di antara mereka.

Saat melihat tikungan tajam di ujung jalan, namja itu merasa kalau itu adalah keberuntungannya. Dengan segenap sisa tenaga yang ia miliki, namja itu mempercepat laju larinya. Berbelok di tikungan jalan tersebut dan segera mencari tempat untuk bersembunyi. Dia merasa sangat beruntung saat melihat tong sampah besar yang berada di depan sebuah bangunan tua yang terlihat sangat sepi.

Hanya ini satu-satunya harapan yang ia punya.

"Brengsek! Kejar dia! Jangan sampai kita kehilangan jejaknya!" salah satu pria berjas itu bersuara. Dan dia tahu kalau itu adalah suara pemimpin mereka. "Cari di setiap tempat! Kita harus menemukannya segera, atau 'Bos' pasti akan marah besar!"

Dug dug dug dug dug

Suara langkah kaki itu terdengar sangat mengerikan di telinganya. Berlomba dengan suara detak jantungnya yang berpacu tak kalah cepat. Sepertinya mereka sudah semakin dekat ke arahnya. Dengan cepat, namja itu mengangkat kedua tangannya untuk menutupi mulut dan hidungnya. Tidak boleh ada suara. Bahkan mereka tidak boleh mendengar deru nafasnya, atau segala upayanya akan menjadi sia-sia.

Tubuh yang lemah, kaki yang lelah, dan pasokan udara yang tak seberapa. Semakin lama, tenaganya semakin terkuras habis. Matanya mulai terpejam. Tubuhnya telah sampai pada titik akhir. Dan dia sudah tidak bisa mempertahankan kesadarannya lagi.

Mungkin, memang dia tidak ditakdirkan untuk keluar dari 'neraka' itu. Mungkin, memang takdirnya menjalani hidup yang terhina seperti itu. Atau mungkin, akan ada keajaiban dari Tuhan dengan sisa kasih sayang yang Dia miliki untuknya. Pemuda itu sudah pasrah. Apa pun yang terjadi, dia akan menerimanya. Dan jika pun ia benar-benar tertangkap dan harus kembali ke 'sana', ini akan menjadi usaha terakhirnya untuk kabur dari 'tempat itu'.

Tidak akan adalagi usaha kabur dengan akhir yang menyedihkan.

Ini benar-benar yang terakhir.


.

Don't Say Goodbye

By: 0312_luLuEXOticS

Cast: Luhan, Oh Sehun, and others

Pair: HunHan

Genre: Sad, Romance

Rate: M (meski gak yakin *nyengir)

Lenght: Multichapter

Note: Semua cast di sini, Liyya cuma pinjem namanya aja. Cerita ASLI milik Liyya. Kalau ada kesamaan dengan cerita lain, itu murni hanya sebuah kebetulan.

Warning: Romance gagal, cerita abal, ide pasaran -_- typo(s) eperiwer, feel ngawang(?)

.

.

HAPPY READING^^

.

.


Chapter 1: Who are You?


Biip biip biiip

Sehun menggeliat di atas kasurnya saat suara alarm yang berasal dari nakas tempat tidur berbunyi. Memaksa kedua matanya untuk terbuka. Perlahan, ia mengucek kedua matanya dan bangun dari posisi tidurnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam dan beberapa persen kesadaran, ia mengulurkan tangannya dan mengambil ponselnya dari atas nakas. Mematikan suara alarm yang terdengar begitu mengganggu di telinga.

"Hoaaam!"

Pemuda dengan wajah tampan itu menguap beberapa kali. Membiarkan sisa-sisa rasa kantuk yang masih menyelimutinya hilang perlahan. Ia kemudian beranjak dari atas kasur dan mulai membuka jendela kamar. Mempersilahkan udara segar pagi hari masuk dan menyegarkan udara di dalam kamar. Puas merasakan semua kesegaran itu, Sehun beranjak menuju ke kamar mandi. Menghabiskan tiga puluh menit untuk membersihkan diri sebelum akhirnya keluar dari sana dengan wajah yang terlihat lebih hidup.

Beep beep beep

Ponsel di atas nakas tempat tidurnya berbunyi. Pemuda itu beranjak dari depan cermin untuk memeriksa siapa yang telah mengirim pesan padanya sepagi ini.

From: Lao Gao
Shi Xhun! Sebentar lagi anak-anak klub akan pergi ke galeri. Kau tidak lupa, kan?

Pemuda bernama Sehun itu mengetikkan 'ya' singkat sebagai balasan, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku. Pandangannya tertuju pada sebuah figura di atas nakas, membuat sebuah senyum sedih terbentuk di wajah tampannya. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil figura tersebut dan membelai sayang foto di dalamnya.

"Hyung! Bagaimana kabarmu hari ini? Kau baik-baik saja, kan? Aku pasti akan segera menemukanmu, Hyung!" ujarnya pelan. Mengucapkan kalimat yang sama yang terus ia ucapkan selama beberapa bulan terakhir.

Rutinitas pagi. Selalu diawali dengan penyesalannya karena masih belum bisa menemukan dimana keberadaan orang terkasihnya itu. Tiga ratus empat puluh tujuh hari, dan bahkan polisi masih belum mendapatkan apa-apa. Lalu apa yang bisa ia lakukan?

Beep beep beep

Lamunan Sehun buyar begitu ponsel di sakunya berbunyi. Pelan-pelan, ia meletakkan kembali figura di tangan ke atas nakas dan mengambil ponselnya. Sehun segera menerima panggilan itu dan keluar dari kamarnya.

"Hmmmm?!" sapanya.

"Kau sudah bangun? Sudah sarapan?" tanya wanita di seberang telepon.

Sehun tersenyum dan menggeleng pelan, namun saat ia menyadari kalau lawan bicaranya tidak bisa melihatnya, ia menjawab. "Aku baru selesai mandi dan baru akan sarapan. Tapi kau meneleponku," ujarnya. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dapur, mengaktifkan mode speaker dan beralih menuju kulkas. "Apa ada sesuatu?"

"Apa kau baik-baik saja?" alih-alih menjawab, wanita itu justru mengajukan pertanyaan. "Apa sudah ada kabar dari kepolisian?"

Pemuda dengan postur tubuh cukup tinggi itu menghela nafas. Kedua tangan bertumpu di ujung meja dengan mata yang terpejam. Merasakan letupan-letupan sakit yang mulai menjalari tubuhnya hanya dari pertanyaan sederhana itu.

Kotak susu yang baru saja ia ambil dari dalam kulkas terabaikan begitu saja di atas meja. Begitu juga dengan kotak sereal dan yogurt kesukaannya.

"Jadi mereka masih belum mendapatkan informasi apa-apa?" suara wanita itu kembali terdengar dari speaker ponselnya.

Sehun membuka kedua matanya, mengambil ponsel yang sebelumnya tergeletak manis di atas meja dan mematikan mode speaker. "Apa kau melakukan panggilan internasional sepagi ini hanya untuk menanyakan hal itu, Eomma?"

"Sehun-ah. Kau tahu itu tidak benar, sayang. Eomma mengkhawatirkanmu, karena itulah Eomma menelepon."

"Apa yang harus dikhawatirkan, Eomma? Aku sudah dewasa dan aku baik-baik saja di sini!"

"Tapi kau masih memikirkannya. Iya kan?"

Sehun terdiam.

"Berapa kali harus Eomma katakan, sayang? Kau harus melupakannya. Ini sudah hampir setahun, Sehun. Apalagi yang kau harapkan? Bahkan polisi mungkin sudah berhenti mencari."

Sehun masih terdiam.

"Semua sudah terjadi, Sehun. Dan kau harus menerima kenyataan itu. Memang tidak mudah, tapi setidaknya kau harus berusaha. Bahkan orang tua—"

"Eomma!" Sehun cepat-cepat memotong kalimat yang baru saja akan diucapkan oleh sang ibu. "Aku harus pergi sekarang, kalau tidak aku akan ketinggalan kereta. Aku menyayangimu. Bye!"

Dengan itu, ia memutuskan sambungan telepon. Dia tidak ingin mendengarnya lagi. Hal yang sama hampir setiap hari. Mengapa tidak ada yang mau mengerti? Mengapa mereka tidak bisa mengerti dirinya? Apakah melupakan seseorang yang sangat dicintai itu bisa semudah membalikkan telapak tangan? Mengapa mereka bisa dengan mudah menyuruhnya untuk melupakan segalanya?

Sehun mendengus kesal. Niatanya untuk menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kampus sudah musnah. Ia hanya meneguk segelas air putih untuk meredam emosinya. Setelah itu, Sehun mengambil tas ransel yang selalu ia bawa dan segera meninggalkan apartemennya. Ia tidak berbohong saat berkata kalau dia akan ketinggalan kereta jika tidak segera berangkat.

.

~HunHan~

.

'Apa kau benar-benar tidak bisa menunda perjalanan ini, Hyung? Projekku akan berakhir hanya dua hari lagi, dan setelah itu kita bisa pergi bersama!'

'Aku tidak bisa melakukan itu, Sehunnie. Jiang Wen sudah membayar semua akomodasi untukku dalam perjalanan ini.'

'Kita bisa mengganti uangnya!'

'Jadi semua masalah akan selesai dengan uang?'

'...'

'Ayolah, jangan marah. Atau aku tidak akan bisa merasa nyaman di sana nanti jika kau seperti ini.'

'Kalau begitu jangan pergi, Hyung!'

'Haiisssh. Sebenarnya ada apa sih? Ini bukan pertama kalinya aku pergi pariwisata bersama teman-temanku, kan? Biasanya kau tidak seperti ini?'

'...'

'Sehunnie, ada apa?'

'...'

'Sehun!'

'Entahlah, Hyung. Tapi firasatku tidak bagus. Jadi bisakah kau membatalkan ini semua, Hyung? Untukku?'

'Kau tidak percaya padaku?'

'Bukan itu masalahnya, Hyung. Tapi—'

'Aku mencintaimu, Sehunnie!'

'Hyung—'

.

"Wu Shi Xhun! Di sini kau rupanya!"

Teriakan cukup keras itu menghentak Sehun dari lamunanya. Jantungnya berdegup keras, bukan karena terkejut saat mendengar teriakan familiar itu, melainkan alasan lain. Pembicaraannya dengan sang ibu pagi tadi membuat Sehun kembali mengingat kejadian hari itu. Dan untuk yang ke sekian kalinya, ia menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya dia bisa menahannya agar tidak pergi. Seandainya...

"Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kau malah di sini!" suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Sehun yang memang belum sepenuhnya pulih dari lamunannya hanya diam tak menanggapi. "Kau sedang apa?"

Tiba-tiba saja, sahabatnya, sudah berdiri di sampingnya. "Kau tahu? Anak-anak akan pergi ke klub malam sepulang dari galeri." Dan tanpa menunggu jawaban darinya, Lao Gao, sahabatnya, mulai bercerita dengan antusias. Sehun mendengarkan dengan setengah hati. Dia hapal betul dengan ekspresi wajah Lao Gao yang seperti itu. Temannya ini memang selalu suka dengan klub malam. Apalagi jika itu dipadu dengan...

"Mei Ling bilang, dia akan membawa beberapa teman satu kos-nya untuk dikenalkan dengan kita. Kau akan ikut, kan?"

Gadis-gadis cantik.

Tipikal Lao Gao. Sangat mudah ditebak.

"Hei! Shi Xhun! Kau dengar tidak?" Pria bertubuh sedikit tambun itu menepuk pelan pundak Sehun.

"Iya aku dengar!" jawab Sehun malas tanpa menatap sahabatnya itu. Mahasiswa jurusan keuangan yang sedang menginjak semester lima itu lebih memilih untuk bergelut dengan nominal-nominal angka di layar laptopnya.

"Lalu?" Lao Gao kembali mendesak.

"Lalu apa?"

Mahasiswa berpipi chubby itu memutar bola matanya kesal. Mengambil keuntungan dari tubuhnya yang tambun, ia memutar kursi tempat Sehun duduk agar berhadapan dengannya. Mengabaikan protesan dan teriakan kesal sahabatnya.

"Earth to Shi Xhun!" pekik Lao Gao tepat di depan wajah Sehun. "Apa kau masih tinggal di bumi? Aku mengajakmu untuk bertemu dengan wanita-wanita cantik di klub nanti malam, dan ini reaksimu?!"

"Tsk!" Sehun menepis kasar wajah bulat Lao Gao dan kembali membenarkan letak tempat duduknya. "Kau lupa kalau aku tidak tertarik pada makhluk dengan rambut panjang dan dada besar!" Ia kembali berkutat dengan laptopnya.

Aaaaahhh~ Lao Gao mengangguk bodoh. Sehun bukan pecinta wanita seperti dirinya, bagaimana dia bisa lupa itu?! Tak pernah lagi melihat sosok mungil yang biasanya selalu ada di samping Sehun selama beberapa bulan ini, membuatnya nyaris lupa akan fakta itu. Meski sebenarnya, itulah alasan mengapa dia selalu gigih mengajak Sehun untuk ikut dengannya.

Untuk melupakan sesuatu yang seharusnya sudah ia lupakan sejak lama.

"Kalau begitu, aku akan meminta Mai Ling untuk membawa teman prianya juga. Bagaimana? Kau mau ikut, kan?"

Sehun kembali menoleh pada sahabatnya. Menatapnya dengan tatapan final yang bisa langsung dipahami oleh Lao Gao. Itu berarti, Sehun tidak mau. "Oke oke! Kau tidak mau ikut, kan? Aku mengerti. Jadi tidak perlu menatapku seperti itu," ujar Lao Gao pasrah dan mulai mengoceh. "Aku kan hanya mengajak. Apa salahnya jika aku ingin bersenang-senang dengan sahabatku sendiri. Aku hanya ingin melihatmu senang. Aku hanya ingin berbagi kesenangan denganmu. Dan—"

"Haiissh! Baiklah, aku akan ikut!"

Pria chubby itu tersenyum miring. "Kau benar-benar ikut?"

"Katakan saja dimana kita bertemu nanti, dan cepat pergi dari sini. Kau membuat konsentrasiku buyar dengan semua ocehanmu yang tak berujung itu!"

"Call! Kita bertemu di sini jam enam sore, oke!"

Sehun menangkupkan wajahnya begitu sahabatnya itu tak terlihat lagi. Bukan dia tidak tahu mengapa sahabatnya itu sangat ingin ia ikut berpartisipasi dalam setiap acara yang dia buat bersama dengan teman-teman wanitanya. Bukan tanpa alasan juga ia selalu menolak setiap kali dia mengajaknya. Dan Sehun sangat yakin kalau Lao Gao tahu alasannya.

Tapi ucapan ibunya di telepon pagi ini terus terngiang di telinganya.

Haruskah ia melupakannya?

Benarkah ini saatnya untuk menyerah?

Satu tahun. Hanya segitukah ia bertahan?

Kedua mata sipit Sehun menangkap secarik kertas yang di tinggalkan oleh Lao Gao tadi. Ia membuka dan membaca isi kertas itu.

Hhhhh. Mungkin, klub malam tidaklah seburuk yang ia kira.

.

~HunHan~

.

"Eunghh..."

Pemuda berambut merah muda itu melenguh pelan saat kesadarannya mulai kembali. Kepalanya terasa begitu nyeri. Tangan, kaki, seluruh tubuhnya sakit. Kedua matanya berat, nyaris tak bisa terbuka.

Tidak seperti sebelumnya yang terasa begitu sepi, kali ini ia bisa mendengar suara deru mobil dan dan juga suara-suara orang yang sedang berbincang di luar sana. Sudah berapa lama ia berada di sini? Apa mereka sudah pergi?

Ingin sekali rasanya ia keluar dari sana dan mencaritahu sendiri jawaban dari pertanyaannya. Tapi nyalinya ciut. Setelah semua usahanya, dia tidak boleh gegabah. Satu saja kesalahan kecil, dan semua akan sia-sia. Dia tidak berani melakukannya. Bahkan untuk membuka mata sekali pun, ia tidak berani.

Bagaimana jika mereka masih di sana dan masih terus mencarinya?

Dia tidak tahu sudah berapa lama ia bersembunyi di sana. Tidak tahu, seberapa lama lagi ia bisa bertahan di tempat persembunyiannya ini. Kesadaran yang kembali beberapa detik lalu, perlahan mulai beranjak pergi. Meninggalkan tubuh penuh lukanya di dalam ruangan sempit tempat ia berlindung itu.

Srett

Ia bisa merasakan sinar cahaya dari balik kelopak matanya yang tertutup rapat. Itu berarti seseorang telah datang ke tempat persembunyiannya. Tapi siapa? Apakah orang-orang itu? Apakah dia akan kembali lagi ke sana?

Takut. Tiba-tiba ia merasa sangat takut. Membayangkan harus kembali ke tempat itu lagi, membuat tubuhnya bergetar takut. Tanpa sadar, air matanya mulai mengalir. Dan bayang-banyang mengerikan itu mulai muncul satu per satu di dalam benaknya.

Tapi kemudian...

"Hyung?"

Kedua matanya masih terpejam. Tapi ia bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Dan dia yakin sekali kalau itu bukan mereka. Suara itu begitu lembut. Begitu sedih. Dan tidak mungkin mereka memiliki suara seperti itu.

"H-Hyung?!"

Suara itu kembali terdengar. Hyung? Siapa Hyung? Apa itu Hyung? Apa orang itu memanggilnya? Apa orang itu akan menolongnya? Apa itu berarti dia akan selamat?

Dia ingin sekali membuka matanya dan melihat siapa orang itu, yang akan menyelamatkannya. Tapi kesadarannya semakin menipis. Bahkan untuk menggerakkan tubuhnya pun ia sudah tidak bisa lagi. Lalu sepasang tangan, yang terasa begitu hangat, menangkup wajahnya. Menyalurkan kehangatan pada tubuhnya yang menggigil kedinginan. Dan detik berikutnya, ia merasakan tubuhnya seolah melayang di udara. Dalam dekapan hangat sang penolong. Dan dalam kesadaran yang semakin menipis, terbesit sebuah janji dalam hatinya.

Siapapun itu. Malaikat penolongnya. Dia berjanji akan melakukan apapun untuk orang itu. Apapun untuk membalas kebaikannya.

.

~HunHan~

.

Suara musik yang menghentak keras. Cahaya remang-remang. Lampu diskotik yang berkelap-kelip. Bau alkohol dimana-mana. Aroma sengak dari parfum-parfum murahan yang berasal dari para wanita penggoda yang bekerja di sana. Dia benar-benar tidak suka tempat ini.

Sehun tidak tahu mengapa dia dengan begitu bodohnya menerima ajakan Lao Gao untuk pergi ke tempat seperti ini. Niatnya ingin mengusir semua rasa stres yang telah menumpuk di bahunya. Namun yang ia dapatkan justru sebaliknya.

Belum lagi Mai Ling yang sedari tadi terlihat, dengan sangat jelas, sedang berusaha untuk mendekatinya. Wanita itu terus saja menawarkan minuman berakohol itu padanya. Dia juga tak lelah mengajaknya untuk turun ke lantai dansa dan menari dengannya.

Ya Tuhan!

Merasa sudah tidak tahan lagi, Sehun memutuskan untuk keluar dari sana. Tidak perlu memberitahu Lao Gao karena temannya itu sudah mabuk berat dan tengah bercumbu panas dengan salah satu teman yang dibawa Mai Ling di atas sofa.

Sehun beranjak dari tempatnya duduk. Berjalan melewati lantai dansa dan menembus segerombolan orang yang tengah meliuk-liukkan badannya dengan liar. Uurrggh! Dia benci harus bertabrakan dengan orang-orang yang penuh dengan bau alkohol itu. Apalagi bau itu kini menempel di tubuhnya. Karena bahkan setelah ia berada di luar sekalipun, dia masih bisa mencium bau itu dengan sangat jelas.

Tes tes tes

Cuaca kota Beijing akhir-akhir ini memang tidak bisa diprediksi. Beberapa saat yang lalu langit masih terlihat cerah dengan bintang-bintang yang bertabur indah. Dan sekarang, rintik-rintik tipis mulai membasahi kemeja birunya.

"Ah sial!" umpat Sehun pelan. Tanpa aba-aba, ia mulai berlari. Mencari tempat untuk berteduh, karena dia masih enggan untuk kembali ke rumah se'sore' ini. Kaki jenjangnya melangkah cepat, seiring dengan gerimis yang mulai berubah menjadi hujan. Dan tujuannya terhenti di depan sebuah kafe yang sangat familiar.

'Sehunnie! Belikan aku Vanilla Latte di kafe itu. Mereka bilang, minuman di sana benar-benar yang terbaik!'

Sepotong kenangan itu terlintas tanpa permisi di benaknya. Menyalurkan perasaan rindu yang memang tak pernah hilang ke dalam kalbu. Meski ragu, ia tetap masuk ke kedai itu. Beberapa pelayan terlihat terkejut saat ia datang. Karena dia memang tidak pernah lagi kemari semenjak hari itu. Salah satu dari mereka menanyakan kabarnya. Dan dia hanya bisa memberikan senyum terbaiknya sebagai balasan.

Sehun memesan secangkir Americano hangat, mengingat cuaca di luar yang begitu dingin. Sembari menunggu minumannya dipersiapkan, ia menatap ke luar jendela. Rintik hujan yang sempat melebat kembali menjadi gerimis tipis. Sehun tersenyum tipis. Bahkan hujan terlihat seperti tengah mempermainkannya.

Begitu mendapatkan minumannya, Sehun memutuskan untuk meminumnya sambil berjalan-jalan sebentar. Entah angin apa yang berbisik, biasanya ia tidak begitu suka melakukan hal ini. Berjalan tak tentu arah di tengah kota, di malam hari, dan itu pun sendirian. Itu benar-benar bukan gaya seorang Sehun. Tapi hari ini, Sehun ingin melakukannya. Membiarkan kakinya menuntun kemana dia ingin melangkah.

Beep beep beep

Langkah Sehun terhenti saat ponsel di sakunya berteriak nyaring. Nama Lao Gao terpampang manis di layar, dan Sehun segera menerima panggilan itu.

"Oi, Shi Xhun! Kau di mana? Mengapa kau pergi begitu saja? Kau bahkan tidak mengatakan apa-apa padaku. Apa kau tahu kalau Mai Ling terus berteriak seperti orang gila karena mencarimu kemana-mana?! Kau membuatku khawatir!"

Sehun menjauhkan ponsel itu dari telinganya begitu alunan merdu suara sahabatnya terdengar. Jika itu orang lain, Sehun pasti sudah menghapus nomer orang itu dari daftar kontak di ponselnya karena merasa terganggu. Tapi Lao Gao bukanlah orang lain. Dia adalah sahabat dekat dan juga saudara baginya. Dan pria itu hanya sedikit terlalu mengkhawatirkannya. "Apa kau pikir aku ini anak SD? Tenang saja, aku sudah di rumah sekarang," bohongnya.

"Benarkah? Kau tidak berbohong, kan? Ya sudah kalau begitu."

Saat sambungan telepon terputus, Sehun baru sempat memperhatikan sekelilingnya. Tempat dimana ia berpijak saat ini terasa asing baginya. Keadaan sekitar tidak terlalu ramai. Meski beberapa kendaraan sempat terlihat, sepertinya tempat ini cukup jauh dari keramaian kota.

Sehun mengedikkan bahu. Ia kemudian memeriksa jam di ponselnya dan mendelik kaget saat melihat angka 10.07 di sana. Sepertinya ia sempat kehilangan kesadarannya saat berjalan-jalan tak tentu arah tadi. Tanpa mengulur waktu lagi, Sehun berbalik. Ia berniat untuk menghentikan sebuah taksi saat menyadari cup kosong bekas Americano tadi masih di tangannya.

Meski Sehun bukan seseorang yang menomorsatukan kebersihan, tapi dia cukup tahu diri untuk tidak membuang sampah sembarangan saat di sana sudah tersedia sebuah tempat sampah yang cukup besar. Untungnya tempat sampah itu berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Kalau tidak, Sehun pasti lebih memilih untuk membawa pulang cup kosong itu dan membuangnya di tong sampah depan rumahnya.

Srett

Sehun membuka tutup tempat sampah berukuran sedang yang terbuat dari atom itu. Sebenarnya lebih terlihat seperti drum plastik dari pada tong sampah. Membuatnya mengernyit heran karena masih saja ada yang menggunakan drum plastik seperti ini sebagai tempat sampah saat pemerintah jelas sudah menyediakan yang lebih layak. Bahkan tempat sampah di depan rumahnya jauh lebih bagus dari ini.

Cup kosong di tangannya nyaris terlepas, namun sesuatu membekukan seluruh pergerakan Sehun.

Apa itu... manusia?

Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah rambut merah muda yang dimiliki oleh sosok, yang sepertinya memang manusia, itu. Bukan hal aneh memang jika banyak pemuda-pemudi yang suka mewarnai rambut mereka. Tapi merah muda? Ini pertama kalinya bagi Sehun. Saat merasa yakin kalau itu memang manusia, Sehun bergerak mendekat untuk melihat wajahnya.

Mungkin efek cahaya yang sangat minim di sekitar sini. Mungkin juga otaknya mulai tak waras karena pengaruh alkohol dari klub malam yang ia kunjungi tadi. Atau memang rasa rindu yang terlalu lama terpendam. Tapi sosok itu terlihat begitu mirip dengan dia. Dan Sehun tidak bisa menghentikan lidahnya yang mulai bekerja tanpa perintah.

"Hyung?"

Sosok itu terlihat melenguh pelan. Mungkin kesakitan, karena Sehun bisa melihat dengan jelas beberapa memar di lengan dan juga wajahnya meski dalam pencahayaan yang amat minim. Ada rasa rindu yang tiba-tiba saja menyeruak memenuhi seluruh rongga dan persendian tubuhnya. Ada rasa sedih yang tiba-tiba saja menelusup ke dalam relung hatinya.

"H-Hyung?!"

Sehun mengulurkan kedua tangannya, yang tiba-tiba saja bergetar, untuk menangkup wajah pemuda itu. Dingin sekali. Pipinya merona sangat merah, dan bibirnya terlihat membiru. Berapa lama dia berada di dalam sana?

Masih dengan mindset bahwa sosok itu adalah dia yang selama ini dicarinya, Sehun segera membawa tubuh mungil itu dari sana. Ia cepat menghentikan taksi, yang untungnya melintas tepat pada waktunya, dan menyebutkan alamat gedung apartemennya.

.

~HunHan~

.

Sehun bukanlah mahasiswa kedokteran. Dia sama sekali tidak tahu-menahu hal-hal yang berbau medis dan bagaimana caranya merawat seseorang. Tapi Sehun kenal seseorang yang kuliah di jurusan itu. Tentu saja Sehun cukup pintar untuk tidak menyebutkan kalau dia baru saja menemukan seseorang di dalam tong sampah, atau Lao Gao akan menjadikan itu headline news di kampusnya besok. Dia hanya mengatakan kalau tetangga di samping apartemennya sedang sakit, dan , seperti biasa, Lao Gao langsung percaya.

Dengan cekatan, Sehun menyeka lengan dan wajah pemuda itu menggunakan handuk basah. Sekedar menghilangkan kotoran yang menempel di tubuhnya. Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di benak Sehun saat itu.

Siapa dia? Mengapa ada begitu banyak memar di tubuhnya? Mengapa dia bisa ada di sana? Apakah dia sedang bersembunyi? Tapi dari siapa? Apa ada yang sedang mengejarnya? Tapi siapa?

Usai mengganti kompres untuk yang kesekian kalinya, Sehun duduk dengan melipat lututnya di atas lantai di samping kasur. Pandangan matanya tak pernah lepas dari pemuda berwajah manis itu. Untuk sebuah alasan yang sangat egois, wajah dan postur tubuh itu terlihat sangat mirip dengan dia.

Tapi mungkinkah?

Satu tahun sudah berlalu tanpa kabar sama sekali. Dia bahkan nyaris akan menyerah. Lalu pemuda ini tiba-tiba muncul begitu saja? Apa mereka orang yang sama? Sehun sering melihat kejadian seperti ini di drama yang selau ia tonton dengannya dulu. Saat si pemeran utama menghilang dan kembali dengan wajah yang berbeda namun feel yang familiar. Tapi di kehidupan nyata. Apa itu mungkin?

Hhhh. Sehun menggeleng pelan. Ia menepuk kepalanya sendiri dengan kepalan tangannya cukup kuat. Apa yang kau pikirkan, Oh Sehun?! Sadarlah! Mana mungkin mereka orang yang sama?!

Sehun tahu itu. Namun tetap saja, hati kecilnya menaruh harapan besar. Bahwa pemuda ini memang dia. Bolehkah Sehun berharap seperti itu?

Malam itu, Sehun tidak tidur di kamarnya. Dia bahkan tidak tidur sama sekali. Takut, jika ia membuka kedua matanya esok hari, semua ini hanya bagian dari mimpi dan harapannya. Jadi, ia hanya duduk menunggu di samping pemuda itu. Menunggu pagi menjelang. Menunggu jawaban atas rentetan pertanyaan yang terbesit. Menunggu pemuda itu sadar dan membuka kedua matanya.

"Eunghh..."

Sehun tersentak mendengar lenguhan pelan yang keluar dari bibir yang mulai terlihat warnanya itu. Ia mendekat. Namun tidak ada tanda-tanda kalau pemuda itu akan membuka matanya. Jadi Sehun melakukan apa yang telah dilakukannya sepanjang malam. Memeriksa suhu tubuh pemuda mungil itu, dan mengganti kompresnya.

"Eungh..."

Lenguhan itu kembali terdengar. Dan kedua kelopak mata yang telah terpejam entah berapa lama itu mulai terbuka. Tepat saat Sehun mengambil kompres di dahinya. Dan ketika kedua mata mereka bertemu, dia tertegun. Terpana.

Kenyataannya, pemuda ini memang bukan bukan dia. Karena yang ada di depannya saat ini adalah seorang pemuda asing yang memiliki sepasang mata paling indah yang pernah ia lihat. Sehun bersumpah, dia belum pernah melihat sepasang mata yang seindah ini sebelumnya.

Kedua mata indah itu mengerjap beberapa kali. Sehun bisa melihat ekspresi bingung di sana. Yang kemudian berubah menjadi ketakutan, seperti mata seekor rusa kecil yang sedang terpojok di antara segerombolan serigala.

Mungkin itu suaranya. Atau mungkin itu suara pemuda itu. Atau bisa jadi mereka sama-sama menanyakan hal itu. Karena yang Sehun dengar saat itu adalah pertanyaan yang sama namun dalam bahasa yang berbeda.

"Kau... siapa?"

.

~HunHan~

.

.


To be Continued


A/N:

Yo Yo Maaaaaaaaaaaaaaaan! And Woman too!

Maaf, lagi-lagi Liyya nyampah di ffn dengan ff yang tidak jelas mau dibawa kemana ini. Mungkin ada yang gak suka sama Liyya, n ngerasa eneg karena masih saja muncul di jagat screenplays, jadi sebelumnya Liyya jelasin dulu. Meski sebenarnya di summary udah jelas banget. Liyya coba-coba nih ceritanya, ikutan GA yang diadakan OA HunHan Indonesia (di Line), dan salah satu persyaratan adalah post di ffn.

So, here I am #nyengir

Waktu sedang baca beberapa scene, mungkin ada yang familiar? Apalagi yang suka sama lagu-lagu mellow ne, pasti langsung ketebak. Ya kan?

YAPS! Ff ini tuh terlahir karena Don't Say Goodbye-nya Davichi. Bisa dibilang, hmmmmm, terinspirasi? Sejenis itu lah. Tapi tentu saja dengan cerita dan akhir yang berbeda dumz. Maunya sih dibuat lebih tragis dari yang di MV, tapi thanks to Owner yang sepertinya anti banget sama sad end, jadi Liyya harus memikirkan end yang baru sebagai gantinya.

Dan Oh My God!
Apa ada yang memperhatikan ratingnya?
YES! Ini adalah ff rated M (yang bener-bener rated M) PERDANA buat Liyya! *istighfar banyak2
Gak tau mau diapakan itu nanti M nya. Because honestly, Liyya gak bisa, gak kuat, gak sanggup, gak kuku(?) kalau harus bikin adegan begituan!

So, support(?) me? Because I really really reaaaaaaaaaaaaaaaaaaly need it!

Liyya ucapkan baaaaaaaanyak banyak terima kasih buat kamu, kamu, kamu yang udah mau baca. Terima kasih plusplus buat yang mau foll/fav. Dan terima kasih baaaaaaaaaanyak banyak yang plusplusplusplussss buat kamu, kamu, kamu yang mau review!^^

See U, next chapter!

Salam XOXO dari Liyya^^