Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi


"Sakit… dadaku terasa sakit… ada apa ini…? Kenapa dadaku begitu sakit? Kenapa di mulutku terasa bau anyir…?" terjatuh berlutut Furihata merenggut kaos di bagian dadanya yang terasa terbakar, terbatuk beberapa kali, menambah bau anyir dimulutnya, dan nafasnya mulai tidak beraturan.

Mata coklatnya yang mulai berkabut tetap ia usahakan terfokus pada lelaki di depannya, memperhatikan gelagat pemuda itu yang kembali bersiap menarik pelatuk dan menaikkan moncong pistolnya sedikit. Deru nafas Furihata semakin menggebu dan mulai bersuara aneh sedangkan brownies-nya terbelalak ketika menyadari target yang dituju pemuda itu, kepalanya.

"Aku… aku akan mati di sini?!" pikirnya ketakutan, sakit di dadanya makin lama semakin terasa membakar sedangkan tubuhnya sendiri tidak bisa ia gerakkan, terpaku. Dan ketika jari kecoklatan itu bergerak menarik pelatuk, Furihata hanya bisa menggigit bibir sembari memejamkan mata dengan tubuh yang bergetar hebat.

"…Ta… Furihata…" sayup-sayup terdengar suara dan tidak lama, sepasang tangan menggoncang bahunya.

"Oi, Furi!" teriak Fukuda di depan wajahnya, berhasil menariknya kembali dari alam bawah sadar.

Adrenali yang masih berpacu membuatnya sulit mengontrol tubuhnya, mulutnya membuka dan tertutup mencoba menghirup udara dengan putus asa, bola matanya bergerak liar, dan detak jantungnya berdegup sangat cepat, memukul tulang rusuknya dengan keras.

"Furihata, coba tatap mataku," bersamaan, dua belah tangan menangkup wajahnya dan membawanya menghadap dua pasang kelereng hitam pekat milik Izuki, ada sesuatu di sana yang seakan membuatnya terhisap ke dalam.

"…Senpai…?"

"Sekarang coba kau tarik nafas perlahan," Furihata menarik nafasnya perlahan sesuai apa yang diintruksikan dan dia bisa merasakan debaran jantungnya yang mulai mereda dan pikirannya yang menjernih.

"Kau sudah tenang sekarang? Kau kenapa sebenarnya?" Tanya Izuki sembari mengelus punggung Furihata yang masih bergetar walau pun hanya sedikit.

Furihata yang tidak sanggup berucap terlihat linglung meraba dadanya lalu menoleh ke arah jendela lebar yang tadi ada seorang pemuda berdiri di sana.

"Ini aneh, seingatku waktu Furihata memasuki ruangan ini lampunya masih menyala tapi kenapa sekarang padam, ya?" ucap Fukuda bingung, matanya bergulir menatap ruangan yang kini terlihat suram akibat tidak ada pencahayaan lampu.

Izuki yang mengerti dengan keadaan Furihata, berinisiatif mengalungkan tangan pemuda itu ke lehernya bersiap memangkunya berdiri. "Ayo pergi dari sini, Kawahara sudah menemukan buku jurnalnya. Fukuda bantu aku memangku Furihata."

"Ah, baik senpai," ujar Fukuda yang bergegas ke samping Furihata dan mengalungan lengan Furihata ke bahunya.

Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan ruang gudang itu, Furihata menolehkan kepalanya untuk terakhir kali kearah jendela lebar tadi dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok yang sangat familiar baginya berdiri di sana, tepat di mana ia melihat pemuda bersurai biru malam tadi berdiri.

Ia tidak mungkin salah mengenali surai merahnya yang bergradasi, alis uniknya yang bercabang, dan iris marun itu… tapi dari pada itu Furihata lebih terkejut lagi ketika mendapati penampilan pemuda itu, ada luka seperti tembakan peluru di bagian dahi dan dadanya, mengotori yukata dan haori yang ia pakai.

Wajahnya hampir seluruhnya ditutupi oleh darah dari luka yang menganga di dahi, mulutnya yang meneteskan darah terkatup rapat. Sesaat sebelum pintu gudang terayun menutup Furihata dapat melihat ekspresi pemuda itu yang menggambarkan kemarahan dan kesedihan.

Sesampainya di kamarnya, Furihata mendapati semua teman-temannya sudah berkumpul di sekitar tempat tidur, di atas kasur terlihat Riko sedang terbaring tidak sadarkan diri sedangkan di sebelahnya ada Hyuga yang terduduk lemas bersandarkan kepala ranjang.

"Loh, kapten sama kantouku kenapa?" Tanya Fukuda bingung begitu melihat kondisi Riko dan Hyuga.

"Aida-san tadi mengalami kerasukan dan sepertinya Hyuga-san yang menjadi sandarannya ikut di serap energinya, ngomong-ngomong Furihata kenapa?"

"Entahlah, tadi kami memutuskan berpencar memeriksa ruangan, dan ketika kami mulai memasuki ruangan masing-masing tidak lama Yuri-san muncul dan memberitahukan kami kalau Kawahara sudah menemukan bukunya."

"Setelahnya kami bergegas pergi ke gudang menemui Furihata, tapi ketika kami sudah sampai di sana, keadaan Furihata sudah seperti ini," ujar Fukuda melanjutkan.

"Gudang? Yang kalian maksud itu gudang di bagian atas bukan?"

"Memangnya ada apa, Ogiwara?"

"Kalau tidak salah saat bangunan ini di bangun, 80% material yang di pakai untuk gudang di sana adalah bagian material dari bekas gudang terdahulu, dan katanya di gudang itulah terjadi banyak aktivitas gaib itu sebabnya bila malam menjelang tidak ada yang berani memasukinya," jelas Shigehiro.

"Jadi gudang itu angker?!" Tanya Fukuda terkesiap.

"Yah, bisa dikatakan begitu," menatap Furihata yang mendudukkan diri di samping tempat tidur dibantu oleh Izuki dengan tatapan penasaran, Shigehiro pun kembali bertanya.

"Lalu Furihata, apa yang sudah kau lihat di sana?"

Furihata tidak langsung menjawab dan malah terdiam merenung, "…Aku melihat seorang— tidak, dua orang pemuda. Yang satunya bersurai biru gelap, berkulit kecoklatan, dan memakai yukata biru malam dengan obi hitam, dan dia… membawa sebuah senjata api di tangannya," di situ semua orang yang ada di ruangan —kecuali Shigehiro— terkesiap ngeri.

"Sen-senjata api?!" gagap Koganei ngeri.

"La-lalu… apa yang dilakukannya padamu?!" tanya Tsuchida.

Furihata menunduk memperhatikan dada sebelah kirinya yang beberapa menit tadi terasa sakit dan merabanya, lalu mendongak sembari berujar, "Kupikir tadi ia sudah menembakku," dan teman-temannya serempak menahan nafas.

"Sensasi sakit di dada dan bau amis yang kentara di mulut, pengalaman tadi terasa begitu nyata, kupikir tadi aku akan benar-benar tewas di sana." Lanjut Furihata lagi.

Terdiam di tempatnya dengan tangan memangku dagu, Shigehiro lalu berujar, "Sepertinya kau mengalami residual energy dari tempat itu."

"Residu… apa?" gumam Hyuga tidak mengerti.

"Residual energy, yaitu suatu rekaman sebuah kejadian traumatis dari masa lalu yang terekam oleh benda mati di sekitar kejadian tersebut entah itu pohon, tanah, kayu atau semacamnya. Dan bila ada seseorang yang peka terhadap hal berbau supernatural, maka benda mati itu dapat mengirimkan sugesti ke otak dan menampakkan kejadian yang pernah terjadi di tempat itu."

Menatap Furihata, Shigehiro lalu menambahkan, "Sepertinya kau termasuk orang yang peka terhadap hal-hal tersebut dan lagi, sampai merasakan secara psikis, kau pasti sudah terlalu dalam memasuki alam bawah sadarmu tanpa kau sadari, itu sebabnya kau merasakan seperti tertembak walaupun itu hanya sugesti palsu yang di kirimkan ke otak. Jujur saja ini baru kali pertama aku mendengarkan ada orang yang mengalaminya secara psikis."

Menangkap sesuatu yang janggal, Kiyoshi pun bertanya, "Sebentar, maksudmu selain Furihata, ada orang lain yang mengalami kejadian ini?"

Shigehiro mengangguk mengiyakan, "Tentu saja, beberapa pelayan muda yang baru masuk ke mansion ini dan beberapa tamu yang menginap di sini juga pernah mengalaminya tapi tidak ada dari mereka yang mengatakan kalau mereka mengalami gejala yang dialami Furihata. Kebanyakan dari mereka hanya mengatakan melihat pemuda biru yang menatap benci kearah mereka atau pemuda merah yang wajahnya berlumur—"

"Kagami-san…" sela Furihata.

"Huh?"

"Pemuda merah itu adalah Kagami-san," di situ serempak semua teman-temannya menatapnya dengan mata terbelalak, Shigehiro sendiri yang mendengarkan pernyataannya terkesiap selama beberapa detik sebelum wajahnya berubah keekspresi serius.

"Begitu… berarti bisa di asumsikan kalau tempat itu mencoba memberitahukan pada kita tentang kejadian pembunuhan Kagami-san, dan perasaan tertembak yang dialami Furihata tadi kemungkinan adalah kondisi Kagami-san ketika meregang nyawa," jelas Shigehiro.

Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam menyambut keheningan, ketika tidak ada diantara mereka yang berniat mengangkat suara, semuanya bagai terhanyut dengan pikiran mereka masing-masing.

Furihata terduduk merenungkan kejadian tadi, entah kenapa ia merasa mengenali pemuda biru yang di temuinya tadi, kalau dipikir-pikir bukankah ia mirip bocah bersurai biru yang muncul di mimpinya? Bocah itu memang hanya muncul sekali di mimpinya jadi ia tidak tahu bagaimana penampilannya ketika remaja.

Tapi bila pemuda yang ia lihat di gudang itu benar bocah yang ada di mimpinya, itu berarti Kagami dibunuh oleh sahabatnya sendiri, memikirkannya saja membuatnya merasa prihatin. Ia tidak tahu konflik apa yang terjadi di antara mereka berdua, tapi bukankah menyedihkan dua sahabat saling membunuh.

"Oh ya, sebelumnya aku minta maaf soal ini," ujar Kiyoshi memecah keheningan, ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah amplop kecil berwarna coklat di sana, dan menyerahkan pada Shigehiro.

"Riko menemukan ini di dalam sebuah lukisan di kamar atas sebelum ia kerasukan, maaf kami terpaksa menguraikan ikatan benangnya. Sepertinya surat ini dari Tetsuya-san untuk Satsuki-san, di surat itu juga ada darah Satsuki-san. Saat Satsuki-san merasuki Riko, ia meminta kita untuk melenyapkan surat itu," ujar Kiyoshi.

"Begitu, baiklah nanti kami akan membakar surat ini dan mengadakan upacara untuk mengistirahatkan arwahnya, terima kasih sudah menemukan surat ini Kiyoshi-san. Kalau boleh tahu di lukisan mana kau menemukan surat ini?"

"Di salah satu kamar keluarga, di dalam lukisan bunga sakura."

Shigehiro terkesiap, "Oh! Yang berada di kamar ibuku itu? Sudah kuduga ada yang aneh dengan lukisan itu, sebagian orang yang tinggal di sini selalu merasa terpikat dengan lukisan itu tapi aku pribadi malah merasa tidak nyaman berada di dekat benda itu."

"Benarkah? …mungkin karena itu perasaanku jadi tidak enak ketika memasuki ruangan itu," aku Kiyoshi.

"Wow, tanpa di duga salah satu masalah sudah di pecahkan," komentar Koganei.

"Oh ya, tentang buku jurnal itu, apa kalian sudah menemukan petunjuk?" Tanya Izuki.

Kawahara menggeleng lemah, "Tidak ada petunjuk, buku ini hanya berisi keseharian Tetsuya-san semasa hidupnya, sebagiannya memang ada yang menyangkut tentang Kagami-san, tapi hampir seluruhnya hanya berisi bagaimana mereka melewatkan hari mereka bersama."

"Dan jujur saja, semakin aku membacanya aku semakin merasa frustasi ketika mengingat akhir kisah mereka," aku Tsuchida sembari melipat tangannya dengan alis berkerut.

"Bisa aku melihatnya?" ujar Izuki sembari mengadahkan tangannya.

Begitu buku itu berpindah ketangan Izuki, Furihata yang duduk di sampingnya bergeser merapat dan melongokkan kepalanya ikut membaca tiap bait kata yang tertulis di atas kertas yang menguning karena termakan usia itu dengan teliti, sampai satu huruf kanji tertangkap matanya.

"Eh! Tunggu," sentak Furihata yang lalu memincingkan matanya ke arah buku itu seakan berusaha memastikan sesuatu.

"Ada apa Furihata?"

"Awal karakter kanji di nama belakang Kagami-san ini menggunakan karakter api?"

"Ah ya, nama marganya memang menggunakan karakter api dan dewa, memangnya kenapa?"

Tanpa menjawab pertanyaan Shigehiro, Furihata malah menoleh kearah Fukuda dan balik bertanya, "Kau masih ingat batu dengan ukiran api yang kau temukan di atas gunung saat kita bermain game polisi dan pencuri?"

"Hm? Batu itu? Tentu saja ingat, memangnya kena— oh! Jangan bilang…"

Furihata mengangguk sebagai afirmasi, "Kemungkinan jasad Kagami-san berada di sekitar situ."

"Eh! Di atas gunung?!" sentak Koganei.

"Kau yakin Furihata?!" Tanya Tsuchida.

"Err… ti-tidak juga sih, sebenarnya aku hanya menebaknya saja," ujar Furihata sembari menggaruk pipinya canggung.

Terdiam merenung dengan tangan memangku dagu, Shigehiro pun berujar, "Kalau di pikirkan baik-baik, kemungkinannya bisa jadi seperti itu. Mungkin alasan kenapa mayatnya tidak bisa di temukan karena mereka tidak pernah berpikir kalau mayatnya akan di kubur di atas gunung, dan lagi…"

Jeda sebentar Shigehiro menatap anak-anak Seirin dengan pandangan bingung yang jenaka, "Kalian bermain game polisi dan perampok di atas gunung?"

"Oi! Kenapa perkataanmu malah menyerempet," protes Hyuga gemas, seluruh tubuhnya yang terasa lemas terlupakan untuk sesaat.

Izuki tersenyum lemah sembari mengedikkan bahunya, "Sebenarnya tidak bisa di bilang bermain game juga sih."

Menghela nafas lelah Hyuga lalu melanjutkan, "Mengetahui tabiat kantouku, dia pasti hanya membuat alasan agar kami lebih termotivasi untuk latihan," kelereng hijau keabuannya melirik gadis yang masih tidak sadarkan diri di sampingnya, sedangkan anak-anak kelas dua yang lain terlihat memandang kearah lain dengan ekspresi aneh tergambar di wajah mereka.

"Eh?! Jadi yang semalam itu juga latihan?!" sentak trio FukuKawaFuri sebagai anak kelas satu yang masih belum tahu apa-apa dengan tabiat sang pelatih mereka.

Di benak Shigehiro, ia berpikir kalau berlatih di tim Seirin pastilah sangat melelahkan.

"Jadi Fukuda, apa kau masih ingat dimana letaknya batu itu berada?" tanya Izuki mengembalikan topik pembicaraan.

"A… maaf senpai, karena di temukannya juga tidak disengaja aku jadi tidak terlalu ingat letaknya di mana, yang pasti batu itu letaknya jauh di atas gunung, soalnya aku ingat kami berusaha lari sejauh mungkin ke atas gunung untuk bersembunyi dari kalian," jawab Fukuda.

"Begitu, yah… apa boleh buat."

"Kalau begitu bagaimana kalau besok kita mencari batu itu?" usul Shigehiro.

"Tentu, ada atau tidaknya tidak masalah, yang penting kita sudah berusaha mencari, 'kan?" ujar Hyuga sembari mengangguk menyetujui.

"Sudah diputuskan! Ayo kita beristirahat dulu, nanti setelah sarapan kita berkumpul di halaman untuk rencana selanjutnya," ujar Kiyoshi final sembari mengalungkan tangan Hyuga kelehernya, membantu pemuda itu berjalan.

"Oh ya, Fukuda dan Furihata untuk sementara tidur di kamar lain dulu, biarkan untuk malam ini kantouku dan yuri-san tidur di sini," ujar Hyuga.

"Ha'i senpai!" sahut Fukuda sembari mengalungkan tangan Furihata kelehernya. Bagai di aba-aba, begitu Hyuga dan Kiyoshi keluar, yang lainnya pergi menyusul meninggalkan kamar.


Keesokan harinya, hari yang cerah menyambut mereka, aroma embun pagi yang menyegarkan, burung-burung berkicau riang di balik hutan, sinar matahari yang muncul di sebelah timur bersinar cerah menyelimuti bumi dengan kehangatannya yang menenangkan, secerah senyuman lebar dari gadis bersurai kecoklatan yang dengan gagahnya berdiri di hadapan para anak lelaki yang memandanginya dengan keringat besar di kepala.

"Anokantouku, apa tidak sebaiknya kau beristirahat saja di kamarmu?" saran sang kapten Seirin canggung.

Padahal baru tadi subuh mereka semua melihat gadis itu pingsan di gendongan Kiyoshi tapi sekarang gadis itu malah berdiri di hadapan mereka dengan senyuman lebar di wajah, seakan mengatakan :

'Ayo kita pergi berburu!'

"Aku tidak apa-apa Hyuga-kun, tenang saja! Lagi pula penjelajahan ini kedengarannya menyenangkan," ujar sang gadis riang.

'Kita di sini bukannya menjelajahi hutan untuk berburu binatang liar, kantouku' ujar Hyuga dalam hati. tidak berniat untuk berdebat lebih jauh, Hyuga hanya bisa menghela nafas pasrah dan membiarkan gadis itu bertindak sesukanya

"Baiklah, sekarang kita akan menyusun rencana. Sehubung daerah pencariannya ini adalah gunung, sebaiknya kita membagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah 4 orang agar menghindari kecelakaan di hutan nantinya," ujar Hyuga.

"Ada baiknya, Fukuda-kun, Kawahara-kun, dan Furihata-kun berada di tim berbeda, bagaimana pun juga merekalah yang pernah melihat batu itu," usul Riko.

Mengangguk menyetujui perkataan Riko, Hyuga lalu berujar, "Oke, ayo semua berkumpul, kita akan mengundi siapa yang masuk di tim Fukuda terlebih dahulu."

Setelahnya, terbentuklah 3 kelompok yang masing-masingnya terdiri dari 4 orang yang nantinya akan berpencar ke arah yang berbeda, beberapa orang footman akan berjaga di halaman mansion jadi bila ada yang menemukan batunya mereka tidak perlu lagi keliling hutan untuk mencari tim lain hanya untuk memberikan kabar, beberapanya lagi ikut kedalam pencarian.

"Ah!" pekik Riko ketika kakinya tidak sengaja terpeleset bebatuan kecil yang langsung berguling jatuh ketika ia injak, beruntung ada Izuki di sampingnya yang langsung dengan sigap menangkapnya.

"Kau tidak apa-apa kantouku?" ujar Izuki khawatir.

"Ah ha'i, aku baik-baik saja Izuki-kun, terima kasih," sahut Riko yang lalu menegakkan tubuhnya, tangan di letakkan di pinggang, lalu menghembuskan nafas, berusaha mengusir rasa lelah di tubuh.

Izuki lalu mengedarkan pandangannya ke area hutan di sekeliling, "Sudah diduga ini akan sulit, bagaimana kita bisa mencari sebuah batu di seluruh penjuru gunung? Padahal sudah sejauh ini tapi kita belum bisa menemukan apa pun."

"Jangan-jangan bukan di daerah sini," ujar Riko yang masih tersengal-sengal.

Menghela nafas sejenak Shigehiro memperhatikan teman-temannya yang sudah Nampak kelelahan, "Huuf… bagaimana kalau kita istirahat dulu, lagi pula akan berbahaya kalau mendaki gunung dengan keadaan lelah seperti ini."

"…Sou ne… ya sudah kita istirahat dulu di sini," sahut Riko sembari menundukkan diri di sebatang pohon.

Mengikuti sang gadis, ketiga pemuda yang bersamanya serempak mendudukkan diri di sekitar Riko membentuk pola lingkaran kecil.

Sembari memijit kakinya yang pegal, Riko pun membuka percakapan, "Furihata-kun, apa ada petunjuk lain selain ukiran api di batu itu? Seperti benda di sekitarnya mungkin,"

"Umm… oh! Kalau tidak salah ada dua pohon yang saling melilit satu sama lain di dekat batu itu, aku ingat sekali waktu itu kami menggunakan dahannya yang rimbun sebagai tempat berteduh,"

"Hutan ini memiliki pohon-pohon yang rindang dan banyak tumbuh berdekatan jadi pohon seperti itu banyak ditemukan di sini, kau lihat di sana," menunjuk arah depan, "Di sana," menunjuk arah samping kirinya, "Lalu di sana juga ada," menunjuk arah serong kanannya.

"Mereka memiliki bentuk yang hampir serupakan?" lanjut Shigehiro.

Menolehkan kepalanya ke masing-masing arah yang di tunjukkan Shigehiro, lalu mendesah kecewa, Furihata menganggukan kepalanya lemas kemudian, "Ah… benar juga, jadi itu tidak bisa dijadikan petunjuk juga, ya?"

"Hm… lalu bagaimana sekarang? Kalau seperti ini terus kita tidak akan pernah menemukannya," ucap Riko sembari melipat tangannya.

Di dalam kebimbangan keempatnya terdiam, terhayut ke dalam pikiran mereka masing-masing. Untuk beberapa saat hening menyelimuti ketika dengan tiba-tiba sehembus angin menghempas ke wajah Furihata, membawakan hawa ganjil yang langsung membuat perasaannya tidak nyaman. Furihata terkejap ketika ia merasa mendengar sebuah suara dari kejauhan.

'Grek… grek… grek…'

Tersentak, tanpa sadar Furihata berdiri dari duduknya, dengan alis berkerut matanya mengedarkan pandangan ke segala penjuru hutan. Melihat gelagat Furihata yang tidak biasa, Riko pun ikut berdiri, "Ada apa Furihata-kun?"

"Apa kalian mendengar itu?" sahut Furihata lirih dengan mata terfokus kedepan.

"Mendengar apa?"

Tanpa menghiraukan pertanyaan Riko, Furihata perlahan berjalan menuruni gunung mengikuti arah sumber suara yang baru saja ia dengar.

Tepat sepuluh langkah ia ambil keadaan hutan tiba-tiba berubah, langit di atasnya tiba-tiba menggelap, matahari yang tadinya bersinar cerah berubah menjadi penampakan rembulan penuh, sinarnya yang berhasil menerobos lebatnya dahan perpohonan merajam jalanan setapak tempat ia berdiri dan di sanalah ia melihat sosok yang baru-baru ini ia temui.

Dia tidak mungkin salah mengenali kulit kecoklatan itu dan surai navy-nya yang mencolok, namun ada beberapa perbedaan yang Furihata tangkap dari pemuda navy itu. Penampilan pemuda itu tampak berantakan, dan ada beberapa bercak darah di bagian samping kanannya, terlihat pemuda itu sedang menarik sebuah gerobak menaiki gunung.

"Orang itu…" bisik Furihata terpaku. Manik kuacinya tetap terpaut ke arah pemuda navy itu yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Furihata tidak bisa memastikan bagaimana ekspresi yang terpahat di wajah pemuda navy itu karena pemuda itu terus menundukkan kepalanya, tapi Furihata bisa memastikan kalau pemuda itu tidak menyadari keberadaannya, atau memang keberadaanya sendiri tidak dianggap ada.

Riko yang dari tadi berada di belakangnya, merasa semakin kebingungan melihat tingkah Furihata, berjalan maju sembari mengangkat tangannya bermaksud meraih bahu pemuda itu, gadis itu pun berujar pelan, "Hei, Furihata-ku—" namun aksinya di hentikan oleh Shigehiro yang keburu menahan bahunya dari belakang.

"Ogiwara-kun…"

Menggelengkan kepala, Shigehiro lalu berkata, "Tidak apa, kita perhatikan dulu apa yang selanjutnya terjadi," baru Shigehiro menyelesaikan perkataannya, Furihata tiba-tiba berteriak dan tanpa aba-aba berlari kesamping membelah hutan.

"Hei! Tunggu dulu!" seru Furihata ketika di pandangannya, pemuda navy itu tiba-tiba berbelok ke samping tepat satu meter dari tempatnya berdiri.

"Eh! Tunggu Furihata-kun! Bahaya kalau pergi ke dalam hutan seorang diri!" seru Riko yang buru-buru mengikuti Furihata dari belakang diikuti yang lainnya.

Seperti tidak mendengar teguran dari Riko, Furihata tetap berusaha berlari mengejar sosok pemuda yang ia lihat tadi. Tidak peduli apa yang ada di depan tetap ia terobos, matanya hanya tertuju pada sosok pemuda di depannya yang tidak kunjung bisa ia kejar. Sampai pada akhirnya ia tiba di sebuah tempat kecil di mana perpohonan rindang mengelilingi.

Di depannya pemuda navy itu meletakkan gerobaknya, memperlihatkan isinya yang berupa sesosok jasad yang ia kenali sebagai Kagami, di sana juga terdapat sebuah cangkul dan sepasang alat ukir, di situ Furihata tertegun memperhatikan bagaimana pemuda navy itu berjalan ke samping gerobak untuk mengambil sebuah cangkul, lalu menghampiri ke sebuah batu besar dan mulai mencangkul tanah di dekatnya.

Sampai di situ tiba-tiba sebuah tarikan kuat datang di bahunya membuatnya terpaksa berbalik ke samping, dan untuk kepersekian detik itu Furihata merasa seolah terenggut dari sesuatu mengakibatkan denyutan kuat di kepalanya.

Segera setelah Furihata benar-benar keluar dari trance-nya, yang pertama kali ia dapati adalah langit kembali terang dengan sinar matahari tepat menerpa wajahnya dan wajah Riko yang menatap murka berada di depannya.

"Furihata-kun! Sebenarnya apa yang kau pikirkan?! Sudah kubilang 'kan kita tidak boleh terpencar satu sama lain?!"

Dengan perasaan masih linglung, matanya menoleh kekanan dan kekiri, pikirannya seakan mengoleksi dengan lamban segala informasi yang baru saja terjadi, dan lalu matanya kembali tertuju ke arah batu besar yang ia lihat tadi.

"…Tu…" gumamnya lirih.

"Huh?"

"Batu itu…" ucapnya sembari menunjuk ke arah batu yang tadinya terlihat penampakkan pemuda navy.

Menangkap maksud Furihata, dengan sigap Shigehiro berlari menghampiri batu yang ditunjuk Furihata dan memeriksanya, "Ah! Ada, ukiran apinya benar-benar ada di sini!" seru Shigehiro. Riko dan Izuki yang mendengar pernyatannya langsung bergegas menghampiri batu itu, ikut memeriksa kebenaranannya.

"Woa… aku tidak percaya kita benar-benar menemukannya," ucap Izuki.

Menoleh kearah Furihata yang berjalan ke arahnya, Riko pun berujar dengan wajah bingung, "Furihata-kun, bagaimana bisa kau tahu tempatnya?"

Tidak tahu bagaimana harus menjawab, Furihata menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari berujar ragu, "Entahlah tadi seingatku aku hanya mengejar sosok pemuda biru sampai ke sini."

Menangkap implikasi yang Furihata coba katakan, Riko pun menganggukkan kepalanya mengerti, "Begitu…"

Riko lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya sebelum kemudian berujar, "Aku baru ingat kalian pernah mengatakan kalau kalian menemukan batu ini ketika bermain polisi dan perampok bukan? Itu berarti kita seharusnya mencari ketempat tersembunyi di dalam hutan ini."

"Itu sebabnya kita tidak pernah menemukannya, ya? Karena kita sudah salah jalan dari awal karena hanya mengikuti jalanan setapak," timpal Izuki.

Mengangguk mengiyakan Riko lalu berujar, "Jadi, yang perlu kita lakukan sekarang hanya memberi tahukan yang lainnya kalau kita sudah menemukan batunya. Biar aku dan Izuki-kun yang turun, kalian berdua tunggulah di sini sampai yang lainnya datang, oke?"

"Ha'i" dengan sebuah anggukkan Riko dan Izuki pun beranjak pergi meninggalkan keduanya.

Selepas kepergian Riko dan Izuki, Shigehiro menoleh ke arah Furihata sembari tersenyum tulus, tangannya bergerak menepuk bahu Furihata pelan, "Terima kasih atas kerja kerasnya, Furihata," ucapnya.

"Ha'i…" sahut Furihata balas tersenyum sembari mengangguk. Ia lalu menoleh kembali ke arah ukiran kanji di batu itu, ekpresinya berubah bingung.

"Tapi aku masih tidak mengerti, kalau ia sampai sejauh ini menyembunyikan mayatnya, kenapa si pembunuh dengan sengaja mengukirkan inisial Kagami-san di batu ini?" ujarnya kemudian.

Menyusuri garis kanji di batu itu, Shigehiro pun bergumam lirih, "Mungkin sebenarnya ia juga menginginkan seseorang menemukan mayat Kagami-san, tapi tidak terlalu cepat untuk di temukan dalam waktu dekat." Furihata menganggukan kepalanya menyetujui perkataan Shigehiro.

Hening sejenak Furihata lalu menolehkan kepalanya ke samping menatap wajah Shigehiro, lalu berpikir, "Ah… kalau kembali di perhatikan, wajahnya memang agak mirip dengan Kagami-san…" di situ Furihata lalu mengerutkan keningnya sembari menundukkan kepala.

"Siapa sangka setelah beberapa abad terlewati, satu dari keturunan Kuroko malah mirip dengan Kagami-san, berbicara tentang ironi…" pikirnya lagi sembari menghela nafas.

"Ada apa Furihata?" Tanya Shigehiro ketika melihat gelagat orang di sampingnya.

"A-ah, tidak apa-apa kok! Aku hanya kepikiran kenapa kamu bisa tahu banyak soal hal-hal berbau mistis, ya?"

"Oh itu, yah… dulu setelah mendengarkan cerita mengenai Tetsuya-san dan Kagami-san aku langsung bertekat untuk membantu memecahkan masalah mereka, dari situlah aku sering mengumpulkan informasi tentang dunia lain dari internet dan setiap liburan musim panas aku menghabiskan waktuku berkeliling mansion untuk mencari jejak yang mungkin masih tersisa, walaupun pada akhirnya aku selalu menemukan jalan buntu."

Mendengus, Shigehiro lalu menambahkan, "Yah… kalau dilihat dari kejadian hari ini aku jadi tahu kenapa."

"Oh, jadi di situ juga kau menemukan buku jurnal milik Tetsuya-san, ya?"

"Kalau itu sebenarnya aku mendapatkannya dari Shirogane-san, katanya sih itu buku satu-satunya yang tersisa soalnya katanya dulu saat Tetsuya-san dan Satsuki-san di pindahkan ke Kyoto, semua barang Tetsuya-san yang menyangkut tentang Kagami-san dimusnahkan, bersyukur kakek buyut Shirogane-san berhasil menyelamatkan salah satu buku jurnalnya."

"Sepertinya buku itu rencananya akan di serahkan pada Kagami-san bila Kagami-san muncul kembali, tapi setelah Kagami-san diketahui sudah meninggal, kakek buyut Shirogane-san memutuskan menyimpannya sebagai momento. Saat aku mengatakan akan mencari cara untuk memulangkan arwah mereka Shirogane-san menyerahkanku buku itu yang diharapkan bisa dijadikan petunjuk," lanjutnya

"Begitu…"

Setelahnya hening menyelimuti sampai terdengar seruan dari kejauhan, terlihat Fukuda tengah berlari menaiki bukit menghampiri mereka sembari melambaikan tangan, di belakangnya Hyuga, Kiyoshi, Tsuchida, dan beberapa footman ikut berlari bersamanya, "Oi! Furi, Ogiwara!"

"Fukuda!" sahut Furihata ikut melambaikan tangan kearah yang lain.

Tak lama, para footman mulai menggali tanah tepat di depan ukiran kanji di batu itu, para anak-anak Seirin plus Shigehiro yang berkumpul tidak jauh dari tempat itu ikut memperhatikan proses penggalian.

Tidak sampai satu meter, salah satu footman tiba-tiba berseru ketika merasakan cangkulnya mengenai sesuatu, "Ah!"

"Ada apa?" Tanya Shirogane yang mengawasi penggalian itu.

"Sa-saya menemukan sebuah tulang Shirogane-san!" mendengar pernyataan footman itu para anak-anak Seirin berlomba melongokkan kepala mereka penasaran.

"Woa… beneran ada!" ujar Koganei antara takjub dan ngeri, tangan berpegangan erat di baju Mitobe dan kepala di longokkan.

"Coba gali lagi, apakah ada sisa tulang yang lain, juga berhati-hatilah jangan sampai kalian merusak tulangnya,"

"Ha'i"

"Bagus kita menemukannya sekarang," gumam Kiyoshi dengan tangan memangku dagu.

"Eh?" seru Kawahara sembari melemparkan pandangan bingung ke arah Kiyoshi yang ada di sampingnya.

"Di setiap tahunnya gunung ini pasti akan terjadi erupsi dan mungkin saja beberapa tahun lagi tanah di sekitar sini akan terkikis hingga tulang-tulang itu muncul ke permukaan," jelas Kiyoshi sembari melipat tangannya.

Riko yang berada di sampingnya mengangguk mengiyakan, lalu menambahkan, "Kalau sudah begitu pasti akan susah menemukannya, apa lagi kalau ada hewan yang mengambil tulang-tulangnya."

"Mungkin alasan Tetsuya-san memperlihatkan mimpi-mimpi itu juga karena ia tahu kalau kalian tanpa sengaja sudah menemukan tempat mayat Kagami-san terkubur," ujar Shigehiro.

"Umm… bisa jadi seperti itu," ujar Fukuda menyetujui.

Dari arah samping, Shirogane berjalan menghampiri gerombolan anak-anak Seirin plus Shigehiro lalu membunggukkan badan, "Saya sebagai perwakilan keluarga Kuroko mengucapkan terima kasih atas kesediaan anda semua yang sudah membantu kami menemukan jasad Kagami-dono, dengan ini beban yang dipikul keluarga ini selama berpuluh tahun dapat terangkat."

"Em-mm, kami juga tidak berbuat banyak kok, dari awal Ogiwara-kunlah yang mengajukan pencarian ini, tanpa ia juga kami tidak akan pernah tahu kalau kami bisa menemukannya," ujar Riko sembari menoleh ke arah Ogiwara yang berdiri di serong kirinya.

Menoleh ke arah sang tuan muda, Shirogane lalu tersenyum tulus sembari berucap, "Shigehiro-dono, anda sudah berkerja keras. Saya yakin, Tetsuya-sama juga sangat berterima kasih atas usaha yang anda buat ini."

Menggaruk kepalanya tersipu, Shigehiro pun menyahut dengan tergagap, "U-um… yah… bukan apa-apa kok, lagi pula aku juga tidak mungkin menemukannya kalau tidak ada bantuan dari teman-teman," usai mengatakannya Shigehiro lalu melemparkan senyuman ke arah anak-anak Seirin yang dibalas tersenyum padanya.

Tersenyum lembut melihat interaksi yang terjadi di depannya, Shirogane merasa bersyukur bahwa dari kejadian ini sang tuan juga bisa menemukan teman.

Menolehkan kepalanya kembali kearah para footman yang melakukan penggalian, pria paruh baya itu pun berujar, "Setelah semua tulangnya ditemukan, kami akan mengusahakan agar jasad Kagami-dono di kuburkan bersebelahan dengan Tetsuya-sama, dengan begitu setidaknya kami bisa membayar apa yang sudah kami lakukan di masa lampau,"

Mengangguk menyetujui, Shigehiro pun berujar, "Yah… sebaiknya begitu."


Setelah penggalian yang tidak terlalu sulit, tulang kerangka berserta sehelai yukata usang berhasil di kumpulkan tanpa ada yang hilang. Upacara pemakaman dilakukan di siang itu juga bersamaan dengan upacara untuk mengistirahatkan arwah Satsuki.

Malam menjelang, Furihata dan kedua sahabatnya berjalan menyusuri lorong menuju kamar mereka, berniat beristirahat lebih awal setelah pencarian yang melelahkan tadi siang.

Ketika mereka melalui sebuah jendela yang menghadap taman, Furihata tiba-tiba menghentikan langkahnya dan malah merubah haluan mendekati jendela itu membuat kedua temannya yang berada di belakangnya saling berpandangan bingung.

"Ada apa, Furi?" Tanya Fukuda yang melangkah maju mendekatinya.

Terdiam beberapa saat, Furihata lalu menempelkan tangannya ke kaca jendela, sembari berucap lirih, "Biasanya Tetsuya-san akan muncul di jam-jam ini."

Ikut melongokkan kepalanya, Kawahara pun bertanya penasaran, "Benarkah? Memangnya di mana biasanya ia berdiri?"

"Di sana, di pojok kiri dekat hutan, tepat menghadap serumpunan mawar merah darah," tunjuk Furihata.

"Tapi aku tidak melihatnya, apa itu artinya dia benar-benar sudah berpulang, ya?"

"Semoga saja begitu, dia sudah terlalu lama menunggu di dunia ini. Yang bisa kita harapkan sekarang setelah di temukannya jasad Kagami-san hanyalah ia bisa beristirahat dengan tenang di tempatnya."

Furihata menundukkan kepalanya, ekspresi prihatin tergambar jelas di wajahnya, "Kalian tahu, dari semalam aku terus kepikiran tentang kejadian yang menimpa Tetsuya-san dan Kagami-san ini, aku tahu kalau tidak benar melakukan bunuh diri hanya karena merasa hancur dan depresi, tapi aku juga tidak bisa menyalahkan tindakannya begitu saja, bagaimanapun kehilangan seseorang yang kau cintai memang menyakitkan apa lagi kalau kau baru mengetahuinya setelah beberapa tahun kematiannya."

Memandang wajah frustasi temannya, Fukuda hanya bisa menghela nafas sembari mengedikkan bahu, "Yah… kehilangan seseorang yang kau cintai memang menyakitkan, tapi akan lebih bijak kalau kau mencoba mengikhlaskannya dan melanjutkan hidup, memang terdengar tidak berperasaan tapi paling tidak dengan begitu orang yang kau sayangi akan selalu hidup di dalam kenanganmu dari pada membuatnya menghilang terbawa mati bersamamu."

Mendengar pernyataan dari Fukuda, kedua temannya serempak melemparkan pandangan tak percaya ke arahnya, membuat si pemuda bersurai hitam kecoklatan itu risih, "Kenapa kalian memandangiku begitu?"

"Err… iyya…"

"Kami hanya tidak menyangka kata-kata itu bisa keluar dari mulutmu."

"Huh?!"

"…Yah… tapi perkataan Fukuda ada benarnya juga, bahwa orang yang sudah meninggal pun akan tetap terasa hidup selama ada yang mengenangnya. Sekarang aku hanya bisa bersyukur karena pada akhirnya Tetsuya-san menemukan ketenangannya di alam sana," ujar Furihata sembari tersenyum menatap langit malam yang bertabur bintang diatasnya di ikuti ke dua temannya.

Dari luar jendela, angin berhembus menerbangkan dua kelopak mawar merah darah ke atas langit, menari-nari di udara lalu menghilang terbawa angin di kegelapan malam.

Owari


Omake

Kagami case:

Sehari sebelum malam yang di janjikan…

"Oi, Kagami," panggil sebuah suara berat di sampingnya, menoleh, Kagami menemukan Aomine tengah berjalan sembari melambaikan tangan ke arahnya.

"Nannda yo," ujar Kagami jutek.

"Bisa ikut aku sebentar? Aku membutuhkan bantuanmu,"

"Kau lihat sendirikan aku lagi sibuk, cari orang lain saja untuk dimintai bantun sana!"

"Ayolah Kagami, masa kau tidak mau membantu temanmu ini. Aku tidak bisa meminta bantuan Midorima karena dia lagi sibuk dengan urusannya sendiri dengan gadis dari keluarga Takao itu, Kise sibuk membantu Satsuki, Murasakibara? Aku tidak yakin ia mau keluar dari sarangnya," Ujar Aomine sembari membuat gesture ke arah Murasakibara di pojok toko sedang melayani pelanggan sambil memakan kuenya sendiri.

Kagami cemberut, "Hanya pada saat kau membutuhkan bantuanku saja kau menganggapku sebagai temanmu,"

"Jangan begitulah Kagami, kapan aku tidak menganggapmu sebagai teman," ujar Aomine nyengir lebar sambil menepuk-nepuk bahu Kagami keras.

Menyingkirkan tangan Aomine dari bahunya, Kagami pun menggerutu sembari melepaskan celemek yang ia pakai, "Tch! Iya, iya, aku akan bantu, tunggu sebentar," lalu pergi menemui Murasakibara.

Dari kejauhan Aomine bisa melihat Kagami sedang berbicara kepada Murasakibara.

"Hei, bisakah kau menjaga toko seorang diri? Aomine membutuhkan bantuanku melakukan sesuatu."

"Eh~ menyusahkan sekali, kenapa tidak orang lain saja yang dipintai bantuan."

"Yang lainnya sibuk, aku juga tidak akan lama kok tenang saja," menepuk punggung Murasakibara ia pun berlalu, berjalan kembali menghampiri Aomine, "Ayo."

Sampai di pintu keluar Kagami kembali menoleh kearah Murasakibara, lalu berpesan, "Oh, dan jangan memakan kue di dalam lemari display saat aku dan Tatsuya tidak ada. Aku pergi dulu."

"Ciao!" pamit Aomine sembari nyengir kearah Murasakibara, membuat wajah tertekuk Murasakibara menjadi berkali lipat.

Tiba di kediaman keluarga Kuroko, Aomine dan Kagami yang masuk lewat pintu dapur berjalan mengendap-endap.

"Oi Aomine! Kenapa kita ke sini?! Kau tahu sendiri 'kan kalau aku tidak diperbolehkan masuk ke tempat ini?!" seru Kagami sembari mengedarkan pandangan kalau-kalau ada wali Kuroko yang melihat mereka masuk.

"Sudah tidak perlu khawatir, semua orang sedang di sibukkan dengan persiapan perjamuan untuk besok malam," usai mengatakan itu tiba-tiba saja ada sebuah suara menegur mereka dari belakang.

"Maaf…" sekejap Aomine dan Kagami terpaku di tempat sebelum kemudian berbalik menghadap si penegur, mendapati seorang gadis pelayan berpakaian kimono berwarna biru muda dengan obi biru tua, di tangan gadis itu terdapat tumpukkan mangkuk porselin hias bersih yang nampaknya akan di pergunakan untuk acara besok malam.

"O-oh! Ac-chan, apa kabar."

"Aomine-dono, ettoh… bukannya Kagami-dono tidak di perbolehkan masuk ke sini?" gadis pelayan itu berbisik takut-takut sesekali melempar pandangan ke arah Kagami yang balik menatapnya canggung.

"Dia di sini untuk membantuku melakukan sesuatu."

"Tapi…"

"Tenang saja, kami akan usahakan agar tidak ketahuan kok."

"…Ya sudah, berhati-hatilah kalau begitu, saya permisi dulu," usai mengatakan itu gadis pelayan itu akhirnya mengudurkan diri, berjalan sembari sedikit menundukkan kepala di ikuti kelereng royal blue milik Aomine yang memperhatikannya berjalan menjauh.

Kagami yang melihatnya hanya melemparkan pandangan mencela ke arah Aomine, "Kearah mana matamu tadi saat sedang berbicara dengannya, Aomine?"

Terkesiap, Aomine berdehem lalu menggaruk belakang kepalanya salah tingkah, "A-aku tidak mengerti maksudmu, ngomong-ngomong ayo kita lanjutkan, perjalanan kita masih jauh" ujarnya sembari beranjak dari tempatnya berdiri.

Kagami tetap melemparkan pandangan mencelanya sembari berjalan mengikuti Aomine dari belakang.

Setelah melewati lorong dan beberapa sekat, Aomine dan Kagami tiba di sebuah pintu gudang yang tempatnya berada di ujung pojok mansion. Karena semua pelayan sedang sibuk mengatur ruang makan dan beberapanya sibuk di dapur, lorong di sekitar mereka pun lenggang tanpa ada seorang pun berlalu lalang.

"Oi, untuk apa kita ke sini?" ujar Kagami bingung.

Tanpa menjawab terlebih dahulu, Aomine menggeser pintu gudang hingga terbuka lebar, "Ada yang aku butuhkan dari tempat ini," ujarnya sembari menyingkir dari kusen pintu seakan mempersilahkan Kagami masuk terlebih dahulu.

Menangkap gesture itu, Kagami hanya menaikkan satu alis bercabangnya, entah perasaannya saja atau sikap Aomine agak berubah namun ia tidak memberikan komentar apa-apa. Tanpa ada rasa curiga, Kagami masuk ke ruangan itu diikuti Aomine yang langsung menggeser pintu gudang menutup.

"Lalu, apa yang kau butuhkan di sini Aomine?" Tanya Kagami sembari mengedarkan pandangan, meneliti isi gudang.

Lama menunggu jawaban, Kagami lalu berbalik dengan kerutan di dahi, "Oi Aomine, kubilang ap—" di situ Kagami sekejap terdiam ketika melihat ekspresi Aomine yang tiba-tiba berubah serius.

"Aku tahu rencana kalian berdua, kau berniat membawa lari Tetsu dan menggagalkan rencana perjodohan ini bukan? Apa kau tidak pernah berpikir bagaimana nasibnya nanti bila hidup bersamamu?"

"…Darimana kau mengetahuinya."

"Kau tidak perlu tahu darimana aku mendapatkan informasi itu, yang jelas batalkan rencana kalian dan biarkan Tetsu menikah dengan Satsuki!"

"Yang kulakukan hanyalah menuruti kemauannya, Kuroko berhak mendapatkan kebebasannya bukannya terkekang oleh kehendak orang lain."

"Kau naïf Kagami! Cobalah kau memikirkan posisi Tetsu bila ia tetap bersamamu, dia akan kehilangan semua yang sudah ia miliki,"

"Kau… apa kau serius berpikir hal itulah yang di butuhkan Kuroko? Yang ia butuhkan hanyalah kebahagiaan bukannya harta dan kekuasaan!"

"Apa yang bisa membuatnya bahagia kalau begitu? Membuatnya dibuang keluarganya sendiri seperti yang keluargamu lakukan terhadapmu?! Lagi pula apa yang bisa kau berikan padanya, kau bahkan hidup menumpang di tempat kakak sepupumu,"

"Aku memang tidak mempunyai harta yang cukup, tapi aku akan memastikan kalau Kuroko bisa berbahagia bersamaku,"

"Lalu bagaimana dengan Satsuki? Apakah kalian tidak mempertimbangkan perasaannya bila perjodohan ini batal?"

"Kau pikir perjodohan ini akan membuatnya bahagia? Pernikahan yang hanya didasari cinta sebelah pihak, kau hanya akan menyiksanya bila membiarkan perjodohan ini terjadi,"

"Jangan terlalu yakin! Seiring berjalannya waktu perasaan seseorang pun bisa berubah, dan kalau saja kau bisa menghilang dari kehidupannya…" bersamaan dengan ucapannya, tangannya bergerak menyusup kedalam haori-nya, mengeluarkan sebuah benda yang ia sembunyikan di sana.

"Maka Tetsu bisa dengan mudah menerima Satsuki." Tanpa menunggu reaksi Kagami terlebih dahulu, Aomine buru-buru menarik pelatuk.

'DORRR!'

"Akh!" dalam keterkejutannya Kagami memekik tertahan, kakinya tiba-tiba tidak mampu menahan berat tubuhnya dan ia terjatuh berlutut.

Terbatuk mengeluarkan darah, Kagami menekan luka tembak di dadanya dengan tangan sembari merintih kesakitan, marunnya menatap Aomine dengan pandangan tidak percaya, "…Aomine… kau…"

"Pada akhirnya kita memang tidak akan pernah saling memahami," menaikkan moncong pistolnya sedikit, Aomine kembali berujar untuk terakhir kali.

"Selamat tinggal… Kagami."

Untuk keseperkian detik, waktu seakan berjalan sangat lambat ketika jemari kecoklatan itu menarik pelatuknya, begitu lambat hingga benaknya sempat memutar kembali semua kejadian yang sudah pernah ia lalui.

Pertemuan pertamanya dengan Kuroko…

Genggaman tangannya yang hangat…

Senyuman lembutnya…

Pernyataan cintanya yang mendadak…

Ciuman pertama mereka di balik rerumpunan mawar…

Ah… bahkan sampai akhirpun di benaknya hanya ada Kuroko…

"Karena itulah, aku ingin Kagami-kun membawaku pergi."oh ya…padahal ia masih ada janji dengannya…

"Maaf… Kuroko, sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku…"

Marunnya yang mulai berkabut tetap ia fokuskan ke arah pemuda di depannya, mulutnya yang meneteskan darah terbuka, memanggil dengan lirih nama sang terkasih, "…Tetsu…ya…"

'DORRR!'


Udara dingin berhembus menerbangkan surai raven milik seorang pria yang tengah berdiri terpekur di depan gekkan, tangan tersimpan di dalam lengan yukata dan mata menatap lurus ke depan. Dari belakang seorang pemuda bersurai ungu berjalan mendekat, menyampirkan sehelai haori ke bahu pria itu lalu memeluknya dari belakang.

"Tat-chin, apa sebaiknya kau menunggu Kaga-chin di dalam saja? Sudah beberapa malam ini kau menunggu di luar, nanti kalau Tat-chin sakit bagaimana?" bujuk si surai ungu.

"Aku ingin menunggunya di luar saja Atsushi, aku ingin melihat Taiga pulang secepat yang kubisa," sahut si raven.

"Tapi Kalau kau seperti ini terus, Tat-chin bisa sakit loh."

"Sebentar saja, kumohon. Biarkan aku menunggunya sebentar lagi saja,"

"…Kalau begitu, aku akan ikut menunggu Kaga-chin di sini,"

"Maaf sudah bersikap egois, Atsushi."

"Tidak apa-apa, Tat-chin. Aku mengerti perasaanmu."

Hening sesaat, Himuro mencengkram lengan haori Murasakibara sembari menundukkan kepalanya dalam, hingga matanya tertutupi surai raven-nya lalu bergumam lirih, "…Na, Atsushi…"

Mengeratkan pelukannya pada si raven, pemuda violet itu pun berkata, "Tidak, Tat-chin tidak perlu mengatakannya. Kaga-chin pasti pulang kok! Dia pasti kembali jadi Tat-chin tenang saja."

"…Benar juga… tentu saja…" lirih Himuro sembari tersenyum lemah segaris airmata mengalir membasahi pipinya.

Kala itu, di bawah pekatnya langit malam, dua orang dengan setia menunggu ke datangannya kembali.


"Maaf Akashicchi… gara-gara aku… gara-gara aku menceritakan tentang Kagamicchi, Kurokocchi jadi…"

"Sudah, kau tidak perlu menyalahkan dirimu, yang sudah ya sudah, aku tidak mau mendebatkannya lagi,"

"Tapi…"

"Kau tidak salah, Ryouta. Jika aku di posisimu, aku juga akan melakukan hal yang sama. Kita berdua tahu, dari kita berempat cuma cinta mereka saja yang terbalas satu sama lain, tentu kita menginginkan kalau Tetsuya mengetahui kejadian sebenarnya. Yang aku sesalkan adalah Tetsuya mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya. Lagi pula aku tahu, menceritakan kejadian itu juga membuka luka lama untukmu,"

Tersenyum pahit, Kise menatap batu nisan Kuroko sebelum berujar, "Jika aku punya keberanian seperti Kurokocchi, apa aku juga bisa menyusul Aominecchi, ya?"

Mendongakkan kepala menatap si surai emas, Akashi lalu menutup matanya sembari menghela nafas, "Ada kalanya rasa takut berbuat sesuatu itu bijak, selama kau tahu jika hal yang akan kau lakukan itu akan berakibat fatal. Setidaknya, hiduplah selama yang kau bisa untuk mereka bertiga, Ryouta." Usai mengatakan itu, Akashi lalu membalikkan badan dan mulai melangkah pergi.

Kise mengadahkan kepala menatap langit biru di atasnya, angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan. Terpekur sesaat pemuda pirang itu menutup matanya sembari berbalik mengambil langkah mengikuti Akashi, meninggalkan tempat peristirahatan terakhir orang yang mereka sayangi di belakang.


Waai~ akhirnya tamat \(^0^)/

Agak gak nyangka juga bisa menamatkan ini fic, perasaan baru kemarin-kemarin Ferl kepikiran buat nyerah dan men-discontinue fic ini karena mentok di tengah jalan selama berminggu-minggu, tapi alhamdullillah gak jadi dan Ferl akhirnya bisa menamatkannya :D.

Minna-san maaf sudah menunggu lama, sempat mentok di tengah jalan pas bagian mereka berada di hutan tidak tahu mereka harus berbuat apa di sana, dan butuh berhari-hari Ferl baru dapat ide buat kelanjutannya.

Dan Ferl tahu ada plot hole di endingnya yang seharusnya masih bisa ditambahkan tapi karena Ferl berusaha mempertahankan pesan dari cerita ini Ferl terpaksa memotongnya dan memindahkannya ke draf lain, walaupun sebenarnya hanya berupa beberapa paragraph saja.

Dan selamat bagi kalian yang tebakkannya benar :D

Ngomong-ngomong jika ada yang nanya siapa gadis pelayan yang bernama Ac-chan itu, ia adalah Atsuko Kikuchi. Dia gadis yang ditolong Akashi saat ia tidak sengaja menjatuhkan handuk di season 3 episode 13.

Lalu lost In The Trace ini sebenarnya diambil dari Kagami yang menghilang dengan meninggalkan satu jejak yaitu haori-nya. Lalu subtitlenya yang terakhirnya sendiri A Trace To Go Home, diambil dari ditemukanya jejak-jejak yang berawal dari sosok bayangan di jendela atas sampai merunjuk tempat Kagami di kubur.

Balesan review :

Wako :

hehehe… maaf udah berhenti di tengah jalan, dan maaf juga baru bisa update sekarang :D

Terima kasih sudah mau review, nanti mampir lagi ya XD

Henry :

1. Terima kasih atas concret-nya, henry-san Ferl bakal perbaiki nanti :D

2. Ah! Iya maaf kayaknya itu typo hehehe… (=.=)? Terima kasih udah nge-notice Ferl bener-bener tidak sadar udah salah ngetik sampai henry-san nge notice-nya.

3. Umm… sebenarnya nggak bisa di sebut plot tersembunyi juga sih, soalnya headcanon ini berdasarkan alternative major yang keberadaannya memang dibutuhkan tapi tidak terlalu penting-penting amat. Cerita ini sendiri bersoal seputar kehidupan Kuroko dengan konflik keluarga Kuroko sendiri, dan walaupun keluarga Akashi dan Kuroko masih satu keluarga tapi politik keluarga Akashi sudah out of concern dari politik yang dihadapi keluarga Kuroko.

Jadi satu-satunya jendela yang bisa memperlihatkan keluarga Akashi sendiri hanyalah Akashi seorang, entah itu dari gerak-geriknya ataupun perkataannya.

Sekali lagi terima kasih udah mau review nanti mampir lagi, ya? :D

Bagi yang punya akun bakalan Ferl balas pakai pm

Sekali lagi terima kasih pada silence reader dan reviewer yang udah mengikuti fic Ferl ini dari awal sampai akhir kalau tidak ada kalian Ferl gak mungkin bisa sampai sejauh ini, arigatou! (^0^)/

Oh ya, Tet-can selamat ulang tahun~ dan bagi kalian juga yang berulang tahun hari ini (^v^)/

Sayonara~

Sampai berjumpa lagi~

(malah nyanyi #dilempar sendal)