Princess of Death Forest

Romance, Misteri

SasufemNaru, ItachiFemKyuu, dan Pair pendukung lainnya.

M for violence. T+

Sinopsis:

Kehidupan Naruto yang tenang terusik oleh kedatangan Sasuke, pangeran bungsu kerajaan Ame yang terpaksa ia selamatkan karena permintaan Mori, dewa penjaga hutan kematian. Dendam, mimpi buruk dan kebencian yang telah ia pendam selama ini pun turut bangkit. Kebencian dan cinta, manakah yang akan ia pilih?

Warning : Naruto is female. Naruto cewek. Tidak ada yaoi atau yuri di sini. Gaje mungkin saja. typo juga. Kata-kata yang kurang jelas, penjelasan sedikit atau yang lainnya.

Naruto bangun pada dini hari, tepat sebelum matahari mengintip di balik bukit. Gadis itu meregangkan tubuhnya sejenak sembari mengamati kamarnya yang gelap gulita. Mendesah pelan, Naruto akhirnya memutuskan untuk beranjak dari kasurnya. Ia tidak boleh bermalas-malasan. Banyak yang harus ia lakukan pagi ini.

Dengan cepat, ia membasuh mukanya dengan sebaskom air yang sudah ia siapkan dan mengambil tombak, keranjang besar yang berisi dua potong roti dengan selai berry liar yang ia petik dua hari lalu, tali rotan dan sebilah pisau tajam yang mengkilat.

Hari ini, persediaan makanannya hampir habis padahal musim gugur berakhir dua minggu lagi. Ia harus berburu dan mengumpulkan banyak makanan untuk menghadapi musim dingin yang ganas. Hidup sendirian di tengah hutan kematian yang sepi membuatnya tidak bisa mengharapkan adanya pertolongan kalau saja ia kelaparan nantinya.

Naruto membuka handle pintunya dan langsung disambut oleh hawa dingin yang menembus jaket kulitnya. Embun pagi terlihat masih tebal, membuat siapapun akan sangat kebingungan untuk melangkah. Untung saja ia sudah hidup di sini ketika ia masih kecil sehingga embun tebal seperti ini bukanlah hal yang sulit. Mengeratkan jaket kulitnya yang terbuat dari kulit beruang, ia pun melangkah kakinya.

Naruto berjalan selama hampir sepuluh menit sebelum telinganya mendengar suara gemericik air. Tersenyum senang, Naruto melangkahkan kakinya riang dan menemukannya. Sungai itu kecil dengan aliran airnya yang tenang. Meskipun embun masih menutupi sungai itu, tapi Naruto bisa melihat kumpulan ikan yang berenang di sana. Cukup banyak sehingga ia tidak perlu menghawatirkan perutnya selama musim dingin berlangsung.

Tidak ingin menunggu lama, Naruto dengan cekatan menggabungkan pisau dan tongkat miliknya. Hidup selama 10 tahun di hutan kematian dan hanya mengandalkan ikan sebagai makanan utamanya membuatnya sangat hebat dalam berburu. Matanya menajam, membidik seekor ikan yang berenang menjauh dari kawanannya dan wuss ikan itu sudah menancap dan mati di tombak Naruto.

Hampir dari tengah hari, ikan yang dikumpulkan Naruto sudah begitu banyak. Hampir mencapai garis bibir keranjang yang ia bawa. Mendesah lelah, Naruto memutuskan untuk pulang ke rumahnya yang nyaman. Ia harus membersihkan ikan itu dan mengasapinya supaya bisa bertahan lama. Namun, suara teriakan dan lengkingan menghentikan niatnya.

Wajahnya berkerut tidak senang meskipun ia tidak bisa menghentikan rasa penasaran dalam benaknya. Sudah lama sekali tidak ada manusia lain yang datang ke hutan kematian. Rumor tentang makhluk menyeramkan dan banyaknya perampok, membuat siapapun tidak berani melangkahkan kaki mereka. Kalaupun ada, mereka biasanya berangkat dalam kelompok yang besar dengan pengawalan yang ketat oleh prajurit pilihan kerajaan.

Didorong oleh rasa penasaran, Naruto akhirnya memutuskan untuk menunda kepulangannya. Dengan langkah kaki yang ringan, ia meloncat dari dahan satu ke dahan yang lain seperti tupai. Ia tidak membutuhkan waktu lama. Hanya dalam waktu satu menit, Naruto sudah berhenti di dahan yang cukup tinggi. Mata birunya yang jernih memperhatikan seorang pemuda yang mengenakan kimono terindah yang sangat indah. Kimono itu berwarna putih dengan jalinan emas yang begitu indah di kerah dan pinggir lengannya. Sebuah busur, beberapa panah tersampir di balik punggungnya, dan pedang hitam tergantung manis di pinggangnya.

Pemuda itu pasti orang yang sangat kaya atau seorang pangeran, tebak Naruto kagum. Pemuda itu tampak begitu tenang, berdiri tegak dengan dagu yang ia angkat tinggi. Membuat Naruto mengernyitkan dahi. Pemuda itu terlihat jelas sedang menantang gerombolan itu untuk menyerangnya, sebuah sikap yang sama sekali tidak relevan dengan keadaannya saat ini.

Tersenyum kecil, Naruto menepuk kimono lusuhnya dan duduk dengan kaki menjuntai. Ia memutuskan untuk diam sejenak dan berharap pemuda sombong itu memberikan tontonan menarik baginya.

Setelah lama saling mengamati, akhirnya ketua perampok itu maju ke depan. Sebuah pedang dengan gagang berbentuk naga mengkilat di samping pinggangnya. Ia sejenak membiarkan burung hutan berkicau sebelum akhirnya berseru dengan suara serak yang dalam, "Selamat siang, Yang Mulia". Suara itu terdengar begitu sopan, layaknya suara pelayan kepada majikannya. Bahkan Naruto hampir berfikir jika pria itu menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk berlatih mengucapkan kata itu dengan fasih.

Namun, pemuda itu tampak tidak peduli. ia hanya menatap ketua perampok itu dengan tatapan dingin dan menusuk kemudian mendengus geli. Seolah-olah mengejek pria itu. Cukup membuat Naruto tersenyum tertarik karena bagaimanapun Naruto mengenal kelompok perampok tersebut. Ia pernah bermain dengan kelompok itu dulu, menebas habis tubuh mereka dan meninggalkan ketuanya dalam keadaan hidup. Well, meskipun pria itu akhirnya mati juga dan digantikan oleh orang lain yang hampir mirip dengannya.

Pria itu tersenyum, tampak tidak terganggu dengan ulah mangsanya yang kurang ajar. Ia membiarkan bibir hitamnya melebar, mengukir senyum sinis. Pemuda ini pastilah pemuda bangsawan yang sombong. Jenis manusia yang tidak pernah melihat kekerasan dalam hidupnya dan ia akan dengan senang hati –tentu saja- mengajarinya.

"Saya benar-benar meminta maaf telah mengganggu perjalanan anda, Tuan," pria itu sekali lagi tersenyum, "tapi kami kehabisan uang. Jadi Saya berharap Tuan bersedia untuk memberikan kami sedikit uang yang Tuan miliki" ucapnya dengan suara yang jelas-jelas dibuat sememelas mungkin. Seorang anak kecil pun pasti akan mengetahuinya.

Pemuda itu tetap diam, tapi matanya menajam dan Naruto melihat sinar kejam yang terbersit di mata pemuda itu. "Aku tidak tahu jika kalian begitu tidak berguna sampai harus meminta uang pada orang lain" komentarnya pedas, membuat pria itu terkejut. Tidak ada seorang pun yang berani mengatakan hal itu kepadanya, seorang ketua perampok yang sudah menghabisi puluhan orang.

Bibir tebalnya menipis. Wajahnya yang tirus terlihat begitu menakutkan. Namun, ia sama sekali tidak melirik pedangnya. "Tuan mungkin tidak tahu, tapi sebaiknya Tuan menuruti keinginan kami sebelum anda kehilangan kepala Tuan" ancamnya yang langsung dibalas dengan dengusan geli.

Pemuda itu menaikkan alisnya. "Menuruti keinginan kalian?" ia membeo, membiarkan bibirnya memperlihatkan senyum meremehkan. "Aku lebih baik mati daripada harus menuruti kemauan sampah tidak berguna seperti kalian"

Perkataan itu dengan cepat menyulut api amarah di antara mereka. Bagaikan api yang dituangi bensin. Kemudian salah seorang diantara mereka melangkah maju. Matanya yang hitam mengkilat tajam. Bibirnya mendesis, "Bangsawan busuk sepertimu selalu membuatku muak. Padahal kalian tidak lebih dari pengecut yang berlindung di balik tembok kerajaan" ucapnya setengah berteriak. Nafasnya naik turun tidak beraturan. Pria itu sangat benci diejek dan seluruh anggota kelompok itu sama sekali tidak berniat untuk mencegah pria itu.

Mereka hanya terdiam dengan aura membunuh yang semakin terasa. Mendesah pelan, ketua perampok akhirnya berjalan dan menepuk bahu temannya itu. Kemudian ia mengalihkan tatapannya ke pemuda itu. Hah, ia sebenarnya tidak menyukai kekerasan. Ia biasanya lebih suka bernegosiasi. Permainan tanpa kekerasan. Namun, pemuda itu menantangnya dan ia bukanlah pria yang menolak tantangan.

"Serang" hanya dengan kata itu, anak buahnya yang sejak tadi menjadi penonton langsung mengeluarkan senjata mereka. Mereka mulai memutari pemuda itu dan menyerang secara bergiliran. Sementara pemuda itu melawannya dengan tenang dan tidak tergoyahkan. Ia mengayunkan pedangnya dengan lihai, seolah-olah pedangnya itu adalah bagian dari tubuhnya sendiri.

Namun, pemuda itu terlalu naïf sedangkan perampok di depannya begitu ahli dalam bertarung dan menggunakan segala cara untuk menjatuhkan lawannya. Naruto menyipitkan matanya ketika salah seorang dari mereka dengan lihai meniupkan abu di depan wajah pemuda malang itu sementara tiga lainnya dengan kecepatan cepat menancapkan pedang mereka ke tubuhnya.

Sontak, suara kulit yang terkoyak dan teriakan kemenangan bergema di dalam hutan kematian yang sepi. Mengejutkan burung dan rusa yang berada tidak jauh dari sana.

Mengerang pelan, pemuda itu berusaha bangkit tapi kembali tertunduk ketika rasa sakit menghantamnya. Lebih sakit setiap detiknya dan dalam sekian detik, ia akhirnya menyadari jika pedang mereka bukanlah pedang biasa. Mereka pasti sudah mengoleskan racun di sana.

Mendesis pelan, pemuda itu mengangkat wajahnya dan menatap mereka marah. "Kalian…"

Pria itu tersenyum penuh kemenangan. "Sepertinya Tuan Muda kita tidak sekuat yang kita kira" ucapnya dengan nada bangga yang langsung disambut dengan teriakan anggotanya. Pria itu mengangkat tangannya dan mereka kembali terdiam. "Sekarang, anda mengerti bukan?"

Wajah pemuda itu mengeras. Mata hitamnya menajam, berharap ia bisa membunuh mereka semua dengan tatapannya. Namun, pria itu hanya menaikkan alisnya dan terkekeh geli. "Sepertinya anda memang tidak mengerti" putusnya yang kemudian membalikkan tubuhnya dan menatap salah seorang anak buahnya yang memang sejak tadi terdiam di dekat kuda mereka. Satunya-satunya anggota wanita dikelompoknya. "Tayuya, apa kau ingin mendapatkan kehormatan hari ini?" tanyanya yang langsung dibalas dengan tatapan terkejut Tayuya.

Mengerang kesal, Tayuya memutuskan untuk menerimanya meskipun dalam hati ia menggerutu. Dengan langkah pelan, gadis itu mendekati pemuda malang yang kini tengah setengah duduk dengan tangan kanannya memegang perutnya yang terluka. Kimono putih miliknya kini terlihat buruk dengan sobekan dan darah. Bau anyir tercium sampai di tempatnya berdiri. Pemuda itu terlihat begitu menyedihkan.

Namun, entah mengapa ia tetap merasa tertarik padanya. Daripada membunuhnya, Tayuya lebih suka menggiringnya ke altar dan bercinta dengannya sepanjang hidupnya. Membina hidup bahagia dan jika beruntung mereka akan dikaruniai anak kecil berkulit putih, rambut merah dan bermata hitam. Pasti akan begitu manis. Dan bayangan akan indahnya masa depannya bersama pemuda itu membuatnya tidak bisa menghentikan sebuah senyuman lebar terukir di bibirnya.

Tayuya menatap pemuda itu lekat, menyimpan wajah penuh amarah —yang entah mengapa membuatnya semakin tertarik—itu lekat-lekat ke dalam memorinya. "Siapa namamu?" pertanyaan itu meluncur dengan mulusnya dari bibirnya tanpa bisa ia tahan. Rasa penasaran dan tertariknya membuatnya nekat. Sukses membuat semua orang di sana terkesiap, tidak mempercayai pendengaran mereka termasuk pemuda itu.

Pemuda itu mengerutkan dahinya. ia hampir mengira jika ia terlalu lelah sampai Tayuya kembali mengulangi pertanyaannya untuk kedua kalinya. "Siapa namamu?" Ada nada tidak sabar pada suaranya ketika ia mengucapkannya.

Kerutan di dahi pemuda itu semakin dalam. Ia mulai berfikir jika menanyakan nama sebelum membunuh seseorang adalah tradisi para perampok dan ia tentu saja tidak akan menuruti keinginan mereka. Jika hari ini ia ditakdirkan mati di tangan mereka, ia akan memastikan kalau ia akan mati dengan harga diri. Dengan ketenangan yang sama, ia mengangkat wajahnya dan menatap Tayuya tajam, "Untuk alasan apa aku harus memberitahukan namaku pada sampah sepertimu?" tanyanya dengan tenang. Tidak memperdulikan wajah Tayuya yang shock dan mengeras.

PLAK!

Tayuya tanpa sadar mengayunkan tangannya ke wajah porselen pemuda itu, menambah luka yang sudah ada. Ia mendesis, tidak percaya bahwa ia bisa begitu terluka hanya karena ucapan pemuda itu terhadapnya. Padahal, ia sudah sering mendengar kata-kata yang lebih menyakitkan dan ia biasanya juga tidak pernah terlalu memusingkannya.

Tapi, mengapa ia sampai begitu sedih?

Tayuya tanpa sadar terdiam. Otaknya sibuk mencari jawaban atas pertanyaan itu. Namun, ketua mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu Tayuya. Menggeram kesal, pria itu berjalan dengan cepat dan sebelum Tayuya sadari, pemuda itu terlempar keras, menabrak batang pohon besar yang berada di belakangnya.

"Argh!" tidak tahan dengan rasa pusing dan perih di sekujur tubuhnya, pemuda itu akhirnya membiarkan erangan kesakitan keluar dari bibirnya yang pucat. Tanpa diberitahupun, ia sudah pasti akan mati sebentar lagi. Tersenyum pahit, pemuda itu membiarkan tubuhnya merosot ke tanah. Tubuhnya terasa berat dan ia merasakan dingin di sekujur tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan, Sakon?" Tayuya bertanya setengah membentak. Entah mengapa, ia tidak menyukai tindakan kasar ketua mereka itu. Sejak ketua perampok mereka terdahulu meninggal yang tidak lain kembarannya sendiri, Sakon tidak pernah melakukan kekerasan dalam tindakannya. Ia tipe orang yang suka bernegosiasi. Ia hanya akan melakukan kekerasan jika diperlukan. Itupun bukan dia yang melakukannya.

"Apa yang aku lakukan katamu?" Sakon berteriak kesal. matanya melotot dengan giginya yang bergemeretuk. "Menurutmu apa, hah? Seharusnya aku yang mengatakan hal itu padamu. Apa yang sedang kau lakukan, Tayuya?" Sakon maju dan menendang perut pemuda itu tanpa ampun. Kemudian ia berbalik dan menatap Tayuya. Tatapannya tajam dan menyelidik. "Kau jatuh cinta padanya, Tayuya?" tanyanya mendesis yang langsung disambut dengan tatapan tajam Tayuya.

Namun, ia tahu jika hipotesisnya benar. Tayuya menyukai pemuda bangsawan busuk yang sombong. Tayuyanya yang cantik dan beringas telah menjadi jinak sekarang karena pemuda tengik itu. Bibirnya hitamnya menipis. Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat hatinya terasa panas dan hancur. Gadis itu miliknya. Hanya miliknya.

Didorong rasa benci, Sakon kembali menendang pemuda itu. Namun ketika ia akan menendang untuk kedua kalinya, Tayuya muncul di depannya. Menariknya menjauh dari tubuh pemuda itu yang sudah tidak sadarkan diri.

"Hentikan, bodoh. Apa yang terjadi padamu?"

"Kenapa kau menghentikanku?"

"Karena kau sudah gila, bodoh" Tayuya mengerang kesal. nafasnya tersengal. "Lihat, dia sudah mati. Tidak ada gunanya kita menyiksa orang yang sudah mati. Apa kau ingin mengulangi kejadian yang terjadi pada Ukon?" ucap Tayuya dengan telunjuknya mengarah ke sosok tubuh yang tidak bergerak sedikitpun. Darah segar menggenang di bawah tubuhnya. Sangat banyak dan terus mengalir tanpa henti.

Menghela nafas berat, Sakon mengendurkan genggamannya. Pundaknya mulai berubah santai. "Kau benar" ucapnya lega entah mengapa.

Tayuya tersenyum tipis. Senyuman yang hanya ia perlihatkan pada beberapa orang saja. "Ayo pulang" ajaknya yang langsung dibalas dengan anggukan. Meninggalkan tubuh pemuda malang itu di sana. Tubuh itu sudah menjadi mayat dan sama sekali tidak menarik bagi mereka lagi. Hanya Tayuyalah yang menatapnya sebentar dengan tatapan sedih sebelum memutuskan untuk naik kuda hitam kecoklatannya dan mengejar kelompoknya yang lebih dahulu berangkat.

Setelah kepergian mereka, Naruto pun turun dari tempat duduknya di atas dahan. Mata birunya tidak pernah lepas dari sosok tubuh yang tertunduk kaku. Ia tidak mati, ucapnya dalam hati. Mereka mungkin sudah mengira dia mati mengingat darah dan luka yang telah ia terima, tapi Naruto sangat yakin pemuda itu tidak mati.

Well, setidaknya belum.

Naruto menyeringai senang. Sudah lama sekali ia tidak melihat pemuda sepertinya. Pemuda sombong yang memiliki harga diri tinggi tapi bodoh. Manusia biasa pasti tidak akan berfikir dua kali untuk menyerah. Namun, pemuda itu malah menantang gerombolan pencuri itu yang tentu saja lebih hebat dan licik dibandingkan dirinya.

"Dasar manusia bodoh" ejeknya. Dengan tenang ia melangkah dan duduk di samping pemuda itu. Mata birunya memandang pemuda itu dengan tertarik. Setelah dilihat dari dekat, ternyata pemuda itu memiliki rambut raven yang indah meskipun ia tidak mengerti mengapa pemuda itu menata rambutnya menyerupai pantat bebek.

Selain rambut raven yang unik, pemuda itu juga memiliki hidung mancung dan bulu mata yang panjang. Pakaiannya masih terlihat indah di mata Naruto meskipun di beberapa bagian sobek dan penuh dengan darah yang sudah mengering. Ada sebuah simbol mirip kipas di dada bagian kiri dan lengan kanan yang kemungkinan besar sebagai lambang klan ia berasal.

Matahari sudah meninggi. Namun, hutan kematian masih gelap. Hanya ada beberapa cahaya yang berhasil masuk menorobos hutan itu dan tiba-tiba saja, Naruto teringat dengan ikan buruannya. Jika ia tidak cepat, maka hewan lain yang akan memakan semua hasil buruannya.

Mendesah berat, ia kemudian berdiri. Mata birunya melirik pemuda malang itu dengan ekor matanya sebelum menghilang di tengah rimbunnya pepohonan. Meninggalkan pemuda itu di sana, menunggu kematian menjemputnya tak lama lagi atau serigala hutan yang akan menjemputnya nanti malam.

Naruto tidak perduli yang mana yang akan terjadi. Baginya, seperti inilah kehidupan di dunia ini. Takdir itu kejam dan ia sudah mengetahui sejak dulu.

Matahari yang terik kini berubah menjadi lebih bersahabat. Langit biru yang selalu menampilkan kepolosan dunia kini berubah menjadi jingga kemerahan. Naruto menyeka keringatnya. Mata birunya memandang hasil pekerjaannya dengan puas.

Seharian ini, ia berhasil mendapatkan 4 ekor rusa, dua keranjang ikan, dan beberapa obat-obatan kering. Kayu kering sudah memenuhi gudangnya, memastikan bahwa ia tidak akan kedinginan pada musim dingin ini.

"Naruto" suara itu dalam, mengagetkan dirinya. Seorang pemuda dengan mata coklat dan kulit putih tiba-tiba muncul tidak jauh darinya. Pemuda itu duduk di atas kayu bakar miliknya. Lebih tepatnya melayang. Mata pemuda itu terlihat murung.

"Mori-san, berhentilah datang secara tiba-tiba" sungut Naruto kesal.

Pemuda itu tersenyum. Sama sekali tidak terpengaruh dengan kekesalan Naruto. "Naruto-kun, bolehkah aku meminta tolong padamu?"

Naruto mengerutkan dahinya. Mereka sudah berteman 10 tahun lamanya, dan Mori biasanya hanya akan datang jika ada pekerjaan yang harus dikerjakan Naruto untuknya. Itupun tanpa meminta. Intinya, ia tipe dewa yang suka menyuruh orang lain dengan imbalan yang pantas.

"Apa?" tanya Naruto penasaran.

Mori tersenyum. "Pemuda yang menjadi korban 4 sound itu namanya Sasuke. Uchiha Sasuke" Mori menahan ucapannya sejenak, melirik Naruto yang menatapnya bingung. "Aku ingin kau menyelamatkannya, Naruto"

Naruto mengerutkan dahinya. Baginya, membunuh seseorang begitu mudah tapi menyelamatkan? Ia tidak ingin pesimis, tapi ia tidak pernah melakukannya ke orang lain. Terlebih lagi, pemuda itu sudah benar-benar sekarat. Mungkin saja sekarang pemuda itu sudah menjadi mayat, siap untuk disantap serigala lapar nanti malam.

"Kau bisa. Ia masih hidup, kalau kau ingin mengetahuinya"

Naruto menatap Mori dengan tatapan menyelidik. Ia sudah lama berteman dengan Mori, dewa pelindung hutan kematian. Dan pemuda itu pasti mengeluarkan salah satu trik sihirnya. Ia menyedekapkan kedua tangannya, "Mengapa kau menginginkan aku untuk menyelamatkannya?" tanyanya menyelidik.

"Mengapa?" Mori tersenyum, "Tentu saja karena semua orang di dunia ini pantas hidup. Mereka pantas mendapatkan kesempatan kedua, bukan?"

Naruto mendengus. "Di dunia ini, manusia mati setiap satu detiknya. Kemarin, sepasang kekasih meninggal di tempat itu. bukankah wajar jika satu orang lagi mati. Aku rasa dunia tidak akan murung hanya dengan kematian satu orang"

Mori tersenyum, lagi. Naruto tampak dingin dan menakutkan. "Aku tahu kau masih sedih, Naruto. Tapi alam memiliki caranya sendiri untuk mengatur takdir dan aku pikir, dia harus mendapatkan kesempatan kedua. Seperti kau dan ibumu." Jelasnya dengan nada tenang. Ia tidak ingin gadis itu mengartikan ucapannya dengan yang lain.

Hening sejenak. Naruto mengatupkan bibirnya meski matanya menyala. Ia tidak ingin membahas masa lalunya yang kelam sekarang. Setelah terdiam beberapa menit, akhirnya Naruto menyerah. "Aku mengerti"

Mori tersenyum. "Dia ada di sana. Sebentar lagi gelap. Kau tahu artinya, bukan?"

Naruto mendengus. Matanya menatap Mori kesal. Demi Tuhan. Ia sudah hidup di hutan kematian lebih dari 10 tahun. Dengan langkah lebar, ia keluar dari rumahnya dan berlari dengan kecepatan tinggi, menembus pepohonan besar yang hampir membentuk dinding yang kokoh.

Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, Naruto sudah mendarat di sebuah dahan rendah. Pemuda yang bernama Sasuke itu masih di sana dengan tubuh yang penuh dengan luka. Beberapa bunga merah bermekaran di sekitar tubuhnya, dan ia sangat tahu siapa yang menumbuhkannya.

Mori tersenyum di sampingnya. Bunga kehidupan adalah bunga yang sangat langka. Bunga ini adalah bunga yang hanya tumbuh di taman milik dewa kehidupan dan hanya beberapa dewa saja yang diizinkan untuk memilikinya. "Bukankah dia tampan?" bisik Mori tiba-tiba membuat Naruto memutar bola matanya.

"Jangan selingkuh, Mori" tegurnya yang hanya dibalas dengan cengiran tanpa dosa Mori. Kalau tidak salah, tahun depan Mori akan menikah dengan salah seorang putri dewa kehidupan yang cantik tetapi pencemburu.

Dengan tenang, Naruto berdiri di depan pemuda yang bernama Sasuke itu. Ia masih belum percaya jika Mori memintanya untuk menyembuhkan pemuda sombong ini. Terlebih lagi, Mori dengan mudahnya memberikan salah satu pusaka berharganya yang ia terima dari dewa kehidupan.

"Naruto!" suara Mori dibelakangnya tampak tidak sabaran. Ia mengerutkan dahinya, merasa terganggu sebelum akhirnya ia menyadarinya. Matahari sudah turun sepenuhnya dan ia bisa merasakan beberapa gerombolan serigala lapar sudah bergerak. Akan merepotkan jika ia harus membunuh mereka semua nantinya.

Mendesah pelan, Naruto akhirnya memejamkan matanya. Tak lama, tempat itu dipenuhi oleh cahaya kuning keemasan yang datang dari segala arah. Cahaya itu bergerak pelan memasuki tubuh Naruto dan bergerak menyelimuti seluruh tubuhnya. Beberapa cahaya bergerak membentuk ekor di belakang tubuhnya. Terus membentuk, memanjang dan bertambah sampai berjumlah sembilan ekor.

Warna emas itu menyala, begitu terang. Menghangatkan hutan kematian yang muram. Naruto kemudian membuka matanya yang kini berubah menjadi orange menyala. Dengan ekornya yang panjang, ia mengangkat Sasuke begitu mudah, mendekatkan tubuh dingin itu pada dirinya. Pendar cahaya mulai menyelimuti pemuda itu, bersinar dan dalam waktu singkat semua luka di tubuhnya menghilang. Menyisakan pendar kecil mirip kunang-kunang di sekitar mereka.

Ketika ia pertama kali membuka matanya, hal yang pertama yang ditangkap matanya adalah sesosok gadis berambut pirang dengan mata biru besar tengah menatapnya dengan tatapan polos. Ia mengerjap, hampir berteriak keras dan memundurkan tubuhnya sejauh yang ia bisa kalau saja ia tidak menyadari jika hal itu akan berimbas pada turunnya harga dirinya yang tinggi.

Gadis itu tetap menatapnya dan kemudian tersenyum tipis. "Akhirnya kau bangun juga" ucapnya lega. Ia kemudian beranjak dari tempatnya dan menghilang di balik pintu kayu dengan begitu cepatnya. Mendesah lega, ia kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. Dirabanya seluruh tubuhnya hanya untuk menemukan fakta bahwa seluruh luka di tubuhnya sudah sembuh sepenuhnya. Bahkan, ia tidak melihat luka gores sedikitpun di tubuhnya.

Kriet!

Suara pintu yang dibuka langsung mengalihkan tatapannya. Naruto kembali membawa nampan berisi tiga potong roti, sepiring sup ikan yang mengepul dan susu hangat. "Kau pasti lapar. Makanlah" ucapnya sembari meletakkan nampan berisi makanan itu di atas pangkuan pemuda itu.

Namun, pemuda itu sama sekali tidak melirik makanannya sama sekali. Ia hanya menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa Naruto artikan. "Kau tidak menyukainya?" tanya Naruto pada akhirnya. Merasa jengah dengan sikap pemuda itu.

Pemuda itu hanya mengerutkan dahinya sebagai jawaban. "Sudah berapa lama aku pingsan?" tanyanya nyaris berbisik, mengalihkan pembicaraan. Ia kemudian menatap Naruto dengan tatapan menyelidik. "Siapa kau? Ini… dimana?" ia terus bertanya, tanpa memperdulikan apakah Naruto akan menjawab pertanyaannya atau tidak. "Dan bagaimana aku bisa sembuh? Bukankah seharusnya aku mati?"

Naruto yang mendengar rentetan pertanyaan itu hanya terdiam dengan matanya yang menatap pemuda itu tanpa minat. "Tentu, seharusnya kau memang mati. Tapi aku berbaik hati untuk menolongmu dan menyembuhkanmu"

Sasuke mengerutkan dahinya, sedikit tersinggung. "Kenapa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja, membuat Naruto menghentikan niatnya untuk keluar dari kamar itu. Mata birunya menatap Sasuke dengan tatapan bingung. Seolah-olah pertanyaan itu sangatlah sulit untuk dijawabnya.

Naruto mengerutkan dahinya, memilih kata-kata yang akan ia keluarkan. Namun, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.

Sasuke mengerang. Ia tidak suka menunggu. "Apakah kamu teman gerombolan perampok itu?" tanyanya lagi yang langsung dibalas oleh pelototan tajam Naruto.

"Tidak" bantahnya cepat. "Lagipula, jika aku salah seorang dari mereka, akan kupastikan kau mati dicabik serigala hutan sebelum pergi" ia melirik Sasuke yang terdiam dengan rahang yang mengeras. Kemudian ia tersenyum senang. Entah mengapa ia menikmati wajah Sasuke yang marah. "Cepatlah makan. Dan tenang saja, aku tidak menaruh sesuatu yang berbahaya di sana, jika kau ingin tahu" ucapnya tenang yang kemudian menghilang dari balik pintu dengan suara bedebam yang keras.

Setelah kepergian Naruto, Sasuke masih tetap tidak menyentuh makananya meskipun perutnya sudah meneriakinya. Ribuan pertanyaan menyerbunya tanpa ampun. Mendesah berat, ia memutuskan untuk beranjak dari ranjang keras itu. Matanya yang hitam menatap seluruh sudut kamar itu dengan seksama dan menemukan jika kamar yang ia tempati sekarang terlalu sederhana. Kamar itu hanya memiliki ranjang keras, nakas bobrok dan meja kecil tempat Naruto meletakkan lilin.

Ada jendela kusam di sana, tepat di samping meja tempat lilin diletakkan. Kaca jendela itu terlihat menghitam, sama sekali belum dibersihkan. Mungkin gadis itu terlalu malas untuk membersihkannya, pikir Sasuke. Tertarik, Sasuke memberanikan dirinya untuk mendekat, membersihkan sedikit debu dengan ujung jarinya dan melongok. Namun, yang ia lihat hanyalah hutan yang gelap, tanpa cahaya.

Sempurna.

Sasuke mengerang kesal. Firasatnya buruk dan ia bagaimanapun juga harus segera keluar dari rumah ini.

Wo takaku noboru hikaru

Wakitachi taru omo hi

Mamoru beki yu no michi yo

Shi na hasasu sora wo aoi

Suna kaze ara koto mo

Hikari ni wa – Naruto Shippuden 4 The Lost Tower

Sasuke terdiam sejenak. Ada perasaan aneh di dalam hatinya yang menyuruhnya untuk keluar dari kamar itu dan sebelum ia menyadari apa yang telah ia lakukan, ia sudah berada di depan pintu, memutar handle pintu dan memperhatikan Naruto yang duduk menyamping dengan alat musik di tangannya.

Gadis itu tampak hanyut dengan lagunya sendiri sehingga ia tidak menyadari Sasuke yang berdiri tidak jauh darinya. Memperhatikannya.

Sagi kokoru koko no hi yo hana ni ma ichira.
Rasen ni tsutayu hikari,
Ryu no te wo tatsu niwa e,
Ari shi hi no omo kage yo,
To wa no uta wo kokoro tsunaii.

Te na, na wa, na to uto mo,
Moe sagaru mane no hi yo yami wugi girisa ga.

Ro takaku noboru hikari,
Nakaru ru toki kioku,
Ayumubeki ikiru michi wo,
Yume ni ikiru sora o aogi.

Plok. Plok.

Naruto tersentak kaget. Matanya dengan cepat menoleh kearah Sasuke yang kini berdiri bersandar. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sedikit kesal.

Sasuke mengedikkan bahunya, acuh. "Melihatmu bernyanyi, tentu saja." jawabnya. Matanya menatap lurus alat musik Naruto. "Mainkan lagi" ucapnya yang lebih terdengar sebagai perintah dibandingkan permintaan. Membuat kerutan di dahi Naruto semakin dalam.

"Apa?"

"Mainkan lagi" ulang Sasuke jengah. Apakah gadis ini memiliki masalah pada pendengarannya?

Naruto mendengus. Ia menggantung kecapinya di samping perapian. Mata birunya menatap Sasuke seksama. "Tidak" tolaknya tegas. Tidak memperdulikan wajah Sasuke yang tersinggung. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Dengan tenang, ia masuk ke dalam kamar lain dan keluar dengan membawa sepiring roti isi daging salmon yang telah diawetkan dan secangkir teh hijau.

Ia melirik Sasuke dan mengedikkan bahunya, memerintahkan Sasuke untuk duduk di samping kursi yang tadi ia duduki. Namun, pemuda itu tetap di sana. Membuat Naruto harus menahan nafsu membunuhnya. Demi Tuhan. Ia baru kali ini bertemu dengan pemuda sombong seperti ini. Kalau saja ia tidak berjanji pada Mori untuk menjaganya, bisa ia pastikan jika pemuda itu akan langsung mati di tangannya.

Menghirup nafas panjang, ia akhirnya memilih untuk duduk di kursinya. "Aku tahu kau lapar. Duduklah. Bukankah aku sudah bilang kalau tidak ada racun di dalam makananmu?"

Sasuke tetap diam. Sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. "Sudah berapa lama aku pingsan?" tanyanya kembali mengalihkan pembicaraan.

Naruto mendesah. "Aku tidak akan menjawabnya sebelum kau duduk di sini dan memakan makananmu" ucap Naruto sembari menyedekapkan kedua tangannya. Mata birunya menatap tepat di mata Sasuke, menantangnya.

Setelah beradu pandang beberapa menit, akhirnya Sasuke mengaku kalah. Dengan langkah tertahan, ia duduk di kursi sebelah Naruto. Kursi itu keras, sama sekali tidak empuk. Bantalannya hanya berupa bantal yang sudah lama sekali dipakai sehingga terasa seperti duduk di atas batu.

"Makanlah." Naruto menyodorkan piring itu dan Sasuke menerimanya dengan kernyitan di dahinya. Ia tidak pernah memakan makanan seperti ini dalam hidupnya. Membuatnya menatap Naruto lagi dengan kernyitan aneh di wajahnya. Dengan enggan ia menggigit roti itu dan sejenak terpukau akan rasanya yang nikmat. Ia tidak tahu bagaimana caranya gadis asing itu membuatnya, tapi ia benar-benar menyukainya. Hanya dalam waktu beberapa menit, 3 roti isi itu habis dilahapnya.

Melihat hal itu, Naruto tersenyum. "Sepertinya kau menyukainya" komentarnya tenang yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Sasuke. Namun, Naruto sama sekali tidak takut. Bahkan, ia mulai berfikir jika Sasuke terlihat lebih menggemaskan ketika marah.

Berdehem pelan, Sasuke berusaha duduk dengan tenang di kursi itu meskipun ia tetap merasakan tidak nyaman. "Jadi, Ini dimana dan bagaimana kau bisa membawaku ke sini?"

Naruto terdiam. Ia meraih buku yang berada di bawah kursi sebelum menjawab, "Ini di rumahku dan bagaimana aku membawamu ke sini?" Naruto menghentikan ucapannya. Ia tampak berfikir. "Well, anggap saja aku menemukanmu sekarat dan memutuskan untuk mengobatimu."

"Berapa lama aku pingsan?"

"Tidak lama. Hanya beberapa jam"

"Beberapa jam?" Sasuke mengerutkan dahinya ketika mendengar informasi Naruto. Ia tanpa sadar memperhatikan tubuhnya. Ia sangat yakin tadi tubuhnya penuh dengan luka lebam dan sayatan. "Apa yang telah kau lakukan pada tubuhku dan dimana semua barangku?" tanya Sasuke dengan tatapan menyelidik. Tidak mungkin tubuhnya bisa sembuh dengan begitu cepat. bahkan Tsunade —Kepala Rumah Sakit kerajaan— tidak bisa menyembuhkan lukanya dengan begitu cepat.

Naruto mendengus. "Jangan salah sangka. Aku hanya memberikanmu beberapa obat langka tadi. Jadi berterimakasihlah padaku". Ia kemudian bangkit dan merengangkan tubuhnya nyaman. Tidak memperdulikan Sasuke yang masih kebingungan. "Sudah malam. Kau bisa tidur di kamar yang tadi. Kalau kau ingin bertanya lagi, kita bisa melakukannya besok setelah sarapan" setelah mengatakan hal itu, Naruto kemudian beranjak dan menghilang di balik pintu kayu, meninggalkan Sasuke yang masih dihantui oleh ribuan pertanyaan.

To be continued

Hay minna.

Ini fict baru Zie. Fict yang bertema sedikit dark dan misteri. Tapi fict yang ini tidak terlalu berbelit-belit seperti fict Topeng. Zie menghindari adanya salah sangka dan ketidak pahaman jalan cerita seperti yang terjadi di fict Topeng.

Zie hanya terpaku pada masa lalu Naruto yang kelam dan alasan mengapa Naruto memiliki sifat dingin dan mengapa Naruto hidup di hutan kematian.

Intinya fict ini lebih kearah konflik batin dan sedikit konflik tubuh nantinya.

Zie berniat untuk mengupdate fict ini seminggu sekali mengingat desember Zie sudah harus UAS dan kebetulan laptop Zie tidak akan dibawa ke kampong halaman.

Untuk fict Topeng minggu ini selesai.

Yah, semoga aja fict ini gak akan tersendat seperti fict Zie yang lain. Amin.

Oke, mohon dukungannya dan masukan. Review, follow dan favorite akan Zie tunggu!