Terima kasih kepada a1y-puff yang lagi-lagi kami minta untuk menjadi beta reader. Juga kepada para pembaca yang setia menantikan chapter kedua ini. Selamat membaca! :D

Disclaimer ada di chapter satu. :)


Chapter 2

Daiki menyeret kedua kakinya, merasa pundaknya seakan sedang membawa beban berkilo-kilo. Dia mendaki tangga menuju kamar apartemennya, tak memedulikan bunyi derit lantai kayu yang sudah hampir keropos. Cahaya lampu kuning yang temaram menambah suasana suram yang mengelilingi apartemen ini.

Dulu, ada kalanya Daiki merasa bangga akan apartemennya. Tempat yang sangat homey—tempat dia dapat bersantai dan menikmati hampir seluruh hari liburnya dengan mendekam di dalam kamar. Sekarang, Daiki hanya ingin cepat-cepat menyentuh futon dan tak memedulikan apa pun di dunia ini lagi.

"Oh, Aomine-san, selamat malam."

Daiki memelankan langkah, menggeretakkan gigi. Yamazaki Nanako, ibu-ibu cerewet yang selalu ingin tahu masalah seluruh penghuni apartemen ini. Dia berjalan ke arah Daiki dengan senyuman yang membuat Daiki ingin melempar telur busuk. Ah, kenapa Daiki harus bertemu dengannya sekarang?

"Malam," jawab Daiki asal.

Nanako tersenyum ramah ke Daiki. Dulu, saat Hazuki masih tinggal di tempat Daiki dan saat mood Daiki tidak seburuk sekarang, Daiki selalu berusaha bersikap sopan ke tetangga-tetangganya. Sekarang, dia tidak yakin dia bisa. Karena itulah, Daiki segera merogoh kunci pintu depan apartemen dari kantung celananya, berharap Nanako membaca sikap Daiki yang terburu-buru dan tidak mengajaknya mengobrol panjang.

"Aomine-san akhir-akhir ini sering pulang malam. Kemarin hari pengumpulan sampah, lho, sepertinya Aomine-san lupa karena sibuk bekerja," kata Nanako yang kini sudah berdiri di dekat Daiki.

Daiki menyunggingkan sebuah senyum tipis yang tidak mencapai matanya. "Ah iya, aku lupa," katanya. "Tapi akhir-akhir ini aku tidak banyak di rumah, jadi tidak banyak sampah."

Daiki tidak menemukan kuncinya di kantung celana, sehingga dia beralih untuk merogoh tas messenger kecil yang dia bawa. Tas itu hanya berisi seragam kotor yang sudah dipakai seharian. Sial. Dimana kunci itu dia taruh. Biasanya di saat-saat seperti ini, ketika Daiki kesulitan menemukan kuncinya, Hazuki selalu tahu dia sudah di depan pintu rumah dan membukakan pintu untuk Daiki. Daiki sering mencandai Hazuki seperti anjing yang tahu tuannya sudah sampai rumah. Candaan itu selalu membuat Hazuki marah dan melempar sesuatu ke kepala Daiki.

Lihat saja, lain kali kubiarkan kautidur di luar, kata Hazuki, tapi tetap saja keesokan harinya dia membukakan pintu untuk Daiki.

Memikirkan Hazuki membuat kepala Daiki semakin kusut. Argh.

"Oh ya, sudah lama kami tidak melihat Hazuki-kun. Biasanya kalian agak berisik di malam hari, tapi akhir-akhir ini sepi sekali. Ke mana dia?"

Entah apa salah Daiki. Dia berharap poker face yang sering diejek Satsuki saat mereka bermain kartu berguna saat ini. "Hazuki sudah tidak tinggal di sini lagi."

Mata Nanako melebar. "Lho, kenapa dia tiba-tiba pergi tanpa kabar?"

Sesuatu meremas dada Daiki. Sesungguhnya, dia juga ingin tahu kenapa Hazuki pergi. "Keluarga Hazuki sedang membutuhkannya. Dia dipanggil pulang mendadak," bohongnya.

"Oh, sayang sekali. Padahal waktu itu dia sempat minta diajari cara memasak nikujaga kalau Akiyama-san yang di lantai tiga sudah sempat. Dia baru saja kembali dari Akita. Tadinya aku ingin memberi tahu dia."

Daiki menyunggingkan senyum. Jarinya sudah menyentuh kunci yang terselip di antara lipatan-lipatan baju yang dia masukkan dengan asal sepulang shift. "Aku akan menyampaikannya ke Hazuki bila dia menghubungiku nanti. Kalau tidak ada apa-apa lagi, aku duluan."

Nanako mengangguk. Daiki berbalik badan dan buru-buru memutar kunci pintu. Hidupnya di apartemen ini akan lebih mudah bila dia tidak membuat hubungannya dengan tetangga memburuk. Sudah cukup dia dibuntuti gosip dan orang-orang yang langsung berhenti berbicara ketika dia memasuki ruangan di tempat kerjanya selama beberapa bulan ini. Kalau bisa, Daiki ingin mendapatkan kedamaian di lingkungan rumahnya. Namun kadang interaksi-interaksi kecil seperti ini menghabiskan energinya lebih dari apa pun.

Setelah dia menutup pintu, Daiki menaruh kuncinya di atas meja konsol yang juga berfungsi sebagai lemari sepatu. Daiki tidak pernah memakai lemari itu. Dia selalu dengan cuek melepas sepatunya di foyer apartemen, membiarkan mereka tergeletak di sana sampai Hazuki memarahi Daiki. Hazuki selalu mengatakan dia bukan ibu Daiki, tapi dia tetap melakukan hal-hal kecil seperti membereskan sepatu Daiki dan menghangatkan nasi untuknya. Setelah dia pergi, barulah Daiki tahu betapa hal-hal kecil itu sebenarnya membuat hidup Daiki jauh lebih berarti.

Selain hal-hal kecil yang ia lakukan untuk Daiki, ada satu lagi tentang Hazuki yang selalu tertinggal dalam benak Daiki. Pandangan mata Hazuki yang penuh kekaguman, seakan Daiki adalah makhluk terhebat yang pernah dia temui.

Ya, tentu saja mereka sering bertengkar. Hal-hal kecil yang dibesar-besarkan selayaknya pasangan biasa. Namun, apa pun yang Daiki lakukan, Hazuki akan memaafkannya dan memandangnya dengan senyuman yang meneriakkan kasih sayang—dan sempat membuat Daiki jengah. Ia tercekik dan sulit bernapas ketika hidup dalam perhatian Hazuki. Hingga suatu hari perhatian itu hilang, kandas bersama pandangan kecewa dan sudut-sudut bibir yang tertarik ke bawah. Mata Hazuki menyiratkan bahwa delusi apa pun yang selama ini Hazuki lihat pada diri Daiki, kesempurnaan itu telah runtuh.

Dan, bagai menabur garam pada luka, bayang-bayang Kise selalu hadir. Dia ada di balik pandangan kagum Hazuki sebagai anak SMP yang baru mengenal basket. Yang lebih parah, dia adalah pemilik pertama dari ekspresi kekecewaan yang ditujukan pada Daiki.

Daiki tahu dia telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Baik pada Hazuki, maupun Kise.

Ada yang bilang semakin seseorang ingin melupakan sesuatu, semakin dia terbayang tentang hal yang ingin dilupakannya. Daiki mengacak rambut dan meninggalkan foyer apartemen.

Tempat yang disewanya dua tahun lalu, saat dia mulai berencana tinggal bersama dengan Hazuki, bukan tempat yang mewah. Apartemen Daiki sudah berdiri sejak periode Showa, dan usia bangunan inilah yang membuat Daiki mampu menyewanya. Walau sudah tua, tempat Daiki lumayan luas untuk ukuran apartemen satu kamar. Dapur yang berada bersebelahan dengan foyer berfungsi ganda sebagai ruang cuci dan tempat masak. Pintu menuju kamar mandi pun ada di sana. Ruang tamunya yang beralas tatami cukup untuk satu buah kotatsu di tengah ruang, sebuah televisi, dan satu daybed bekas yang dia beli di bazar lingkungan tahun lalu.

Daiki melewati semua itu dan langsung masuk ke kamar. Futon yang digelarnya sejak dua hari lalu masih berada di posisi sama, seperti saat Daiki meninggalkannya tadi pagi. Dia mengempas badan ke atas futonnya. Lelah yang terakumulasi seharian memuncak dan Daiki menghela napas dalam.

Daiki tidak sadar dirinya sudah tertidur sampai suara bel membangunkannya. Dia mengerjap, memandang langit-langit berbercak kuning untuk beberapa saat.

"Aomine-kun, buka pintumu. Aku tahu kau sudah pulang," panggil sebuah suara familier. Tetsu?

Daiki menggosok wajah dengan telapak tangannya dan bangkit berdiri. Persendiannya berbunyi. Tidur tidak menyegarkan Daiki, malah membuat badannya semakin terasa berat. Dengan langkah tertatih, dia berjalan ke pintu depan.

"Aomine-kun," panggil Tetsu lagi, diikuti dengan dering bel.

"Iya, iya. Berisik. Aku sudah dengar."

"Oh, syukurlah kau benar-benar sudah pulang."

Daiki memutar bolamatanya. Pintu terbuka dan Tetsu menatapnya lurus. "Kau ini benar-benar," kata Daiki. "Kalau aku tidak di rumah, bisa-bisa tetanggaku keluar dan memarahimu."

"Tapi ternyata kau ada di rumah, kan. Momoi-san memintaku mengecek apa kau masih hidup," kata Tetsu.

Satsuki…. Daiki seharusnya sudah mengira. Satsuki dan Tetsu memang tidak pernah membiarkan Daiki sendirian, terutama setelah mereka tahu Daiki semakin terpuruk belakangan ini. Tetsu rutin menelepon, dan Satsuki mendatangi apartemennya. Daiki teringat ketika Hazuki pergi dari hidup Daiki. Tetsu dan Satsuki menyeretnya pergi minum-minum di bar sampai pagi, setia mendengarkan celotehan Daiki, meskipun tak satu pun dari mereka yang mengatakan hal jelek tentang Hazuki. Malam itu, sakit hati ditukar dengan sakit kepala dan mual. Namun, keesokannya, tidak ada yang bisa mencegah rasa sakit untuk muncul kembali di dalam dada Daiki.

"Cih. Aku bukan anak kecil," kata Daiki.

"Memang bukan, tapi sikapmu yang kadang-kadang seperti anak kecil. Kau sudah makan?" Tetsu mengangkat bungkusan plastik yang ditentengnya sedari tadi. Logo huruf kanji kios bento di depan stasiun tercetak di plastik.

Daiki mengerutkan dahi. "Satsuki yang menyuruhmu beli makanan juga?"

Tetsu melihat Daiki dengan pandangan yang memberi tahu Daiki bahwa dia tidak mau menjawab pertanyaan Daiki, karena pertanyaannya tidak perlu dijawab. "Sudah, yuk masuk," katanya sambil mendorong Daiki dan melewatinya.

Daiki menutup pintu depan. Tetsu melangkah masuk ke dalam dan menaruh belanjaannya di atas kotatsu, kemudian pergi ke dapur dan mulai menyiapkan alat makan, seakan dia adalah pemilik rumah. Daiki tidak berkomentar apa-apa. Dia berjalan ke arah kotatsu dan duduk di depan meja itu. Perutnya berbunyi melihat nasi tempura di dalam kotak. Sial. Ternyata dia memang lapar.

"Kalau kau bisa menjaga diri sendiri, Momoi-san tidak akan memintaku mengurusimu." Tetsu menaruh segelas air putih di depan Daiki dan mengeluarkan kotak bento dari plastik.

"Aku bisa mengurusi diri sendiri," kata Daiki.

"Ya, memang, tapi akhir-akhir ini memangnya kau mengurusi diri sendiri?" Tetsu duduk di seberang Daiki dan menatap Daiki tajam.

Daiki tidak bisa menjawab apa-apa. Tetsu sudah masuk ke dapur dan dia pasti melihat tumpukan Styrofoam mi instan bekas, piring, beserta gelas kotor yang menggunung di sana. Selain itu, baju-baju kotor dan benda-benda lain berserakan di lantai apartemen. Daiki bukannya malas. Hanya saja, saat ini dia tidak punya energi untuk mengurusi hal sehari-hari seperti itu. Sepulang kerja, Daiki hanya punya cadangan tenaga untuk mandi, menyeruput mi instan, dan tidur.

Tetsu menghela napas. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Daiki menelan ludah. "Ya," katanya. "Aku tidak apa-apa."

Tetsu menatapnya untuk beberapa saat lagi, kemudian dia tampak seperti sudah menemukan sesuatu di wajah Daiki. Tetsu mengetatkan bibir dan memindahkan pandangannya ke kotak bento. Dia mematahkan sumpit kayunya menjadi dua bagian dan mulai makan.

Kini giliran Daiki yang memerhatikan Tetsu, tapi Tetsu tidak bertemu mata dengannya lagi ataupun berkata apa-apa. Daiki tidak tahu harus berpikir apa. Tetsu memang dari dulu bukan seseorang yang mudah dibaca Daiki, tapi dia yakin kebalikannya tidak berlaku untuk Tetsu. Dia bisa membaca Daiki seperti buku. Daiki mematahkan sumpitnya sendiri dan mulai makan juga.

Malam itu, ketika Daiki sudah mandi dan mereka sedang duduk menonton variety show yang isinya penuh dengan omong kosong, Tetsu mendadak bertanya pada Daiki, "Jadi, kau benar-benar mencintainya?"

Pertanyaan itu datang tidak terduga. Dada Daiki kembali merasa sakit. Sudah berapa lama Hazuki pergi? Kenapa dia tidak bisa juga menghapus Hazuki dari dalam dirinya?

Daiki mencubit batang hidungnya. Dia benar-benar lelah. "Ya. Ya, aku mencintai Hazuki," jawabnya jujur.

Andai dia mengatakan itu ketika Hazuki masih ada untuk mendengarnya.

.

Keadaan bar hari itu lebih ramai dari biasanya. Alunan musik blues mengudara, dan mata Daiki terpatri pada sosok yang terpantul pada cermin dekorasi di dinding. Kise tertawa dengan sekelompok laki-laki dan perempuan, gerombolan yang belum pernah Daiki jumpai sebelumnya. Dua orang wanita berpakaian minim terlihat merangkul satu sama lain, tapi Daiki tebak, wajah dan suara Kiselah yang memenuhi pandangan dan pendengaran mereka. Kise memiringkan kepala sedikit, mendengarkan celotehan salah seorang dari mereka. Dia terlihat penuh perhatian. Daiki mendengus. Berpura-pura tertarik dan selalu bersikap ramah adalah kemampuan yang sudah Kise kuasai sejak SMP.

Sepasang lelaki bertubuh besar berdiri dari tempat mereka duduk di tengah ruangan, dan menutupi refleksi tubuh Kise secara sempurna. Aomine berdecak. Dia menenggak birnya, lalu berdiri untuk mencari posisi pengamatan yang baru. Namun sentuhan lembut di lengan kirinya membuatnya nyaris tersedak.

"Kau sendirian?" tanya seorang laki-laki dengan rambut dicat pirang dan diikat ke belakang. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Daiki, tapi lebih gempal. Senyumnya menegaskan garis rahang yang kuat dan mata yang ramah. "Mungkin kita bisa minum bersama?"

Daiki menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aah. Tidak, aku…."

"Hmm, kemejamu bagus." Laki-laki itu melirik kemeja hitam Daiki, yang sejujurnya, sudah sedikit belel. "Hei, apa kau perenang?"

Daiki mengernyit. Dari mana hipotesis itu datang? "Bukan."

"Oh, dari tubuhmu, aku bisa melihat kalau kau adalah olahragawan. Dan kulitmu terbakar matahari," kata laki-laki itu dengan kedipan sebelah mata. "Hot."

Daiki meringis dalam hati. Sepertinya lawan bicara Daiki sudah terlalu banyak minum bir. Rayuannya adalah salah satu rayuan terburuk yang pernah Daiki dengar.

"Tidak, aku bukan perenang. Dan thanks, tapi aku tidak berminat dengan apa pun yang akan kauusulkan, jadi…."

"Oh, ayolah, jangan kaku begitu. Kau selalu sendirian, dan semua orang di sini sudah penasaran denganmu."

"Sudah kubilang, aku tak tertarik."

"Tapi kau rutin ke sini, kan? Kalau ini adalah yang pertama bagimu, kita bisa pelan-pelan," kata lelaki itu tanpa menyerah. Dia menyentuh pergelangan tangan Daiki, dan membuat Daiki ingin menjedotkan kepalanya ke dahi orang itu.

Entah Kise ada di mana, dan kini Daiki justru harus berhadapan dengan perayu gila!

"Hei, siapa namamu?" tanya lelaki itu. "Aku Mi—"

"Mikoto-san!" Suara ceria yang sangat Daiki kenal datang dari balik lelaki itu—Mikoto. Benar saja, tak lama kemudian Kise menangkupkan tangannya di bahu Mikoto dan memandangnya dengan tatapan sayu. "Sudah lama kita tak bertemu."

"Oh, Kise-kun! Ah, kau semakin tampan saja," ujar Mikoto. Dia melirik Daiki yang terlampau terkejut, lalu dengan sengaja meraba kedua lengan Kise yang terbungkus kemeja abu-abu. "Kau... semakin seksi."

"Terima ka—"

Suara Kise terpotong oleh bibir Mikoto yang kini menempel di bibirnya. Daiki membelalak. Tangan Kise mematung di kedua sisinya, dan wajahnya tampak tak kalah terkejut. Namun tak berapa lama, Kise menggerakkan bibirnya, dan menempatkan jemarinya di pinggul Mikoto. Ciuman itu pun semakin dalam, semakin tidak pantas. Emosi membumbung dalam diri Daiki. Apa-apaan ini?

"Hei!" Daiki akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Bergetar, penuh kemarahan. "Apa yang—"

"Oh, Aomine," Kise berkata tak jauh dari bibir Mikoto yang kini berusaha mengatur napasnya. Mata Kise menyipit, dan bibirnya tertarik ke satu sisi, membentuk seringai yang merendahkan. "Sedang apa kau di gay bar? Kukira kautakut tertular virus gay."

Aomine menahan napas. Seringai di wajah Kise tergantikan oleh tatapan dingin, dan Mikoto yang bereaksi dari informasi baru yang didapatnya dari Kise, kini terlihat seakan ingin menonjok Daiki. Dia menghadap Daiki dan jari-jarinya mengepal. Daiki mengetatkan postur badannya, secara spontan merespon agresi Mikoto. Namun, sebelum Mikoto bergerak lebih jauh, Kise mengamit tangan Mikoto, mencium buku-buku jarinya, lalu menariknya menjauhi Daiki.

"Ada banyak yang bisa kita lakukan selain menurusi Aomine," kata Kise lembut pada Mikoto. Mikoto tampak ingin membantah, tapi setelah Kise mengusap punggung tangannya, dia setuju. Dengan perlakuan yang berbeda drastis dengan sebelumnya, dia membuang muka dari Daiki dan berjalan mengikuti Kise.

Daiki hanya bisa menatap hingga, lagi-lagi, Kise hilang ditelan keramaian.

"Sial!" Daiki meninju meja bar. Gelas-gelas bir bergetar, dan beberapa tamu yang duduk di dekat Daiki melotot terkejut.

"Aku turut berduka," kata Takahashi yang tiba-tiba muncul. "Tapi kumohon untuk tidak melampiaskan emosimu di sini, Aomine-san."

Daiki menggeretakkan gigi. "Tinggalkan aku."

Takahashi menghela napas. "Sepertinya, kau memang sudah ditinggalkan."

Daiki memilih untuk angkat kaki sebelum dia menghancurkan seisi bar.

.

Keesokan harinya, Daiki kembali ke bar dengan resolusi baru. Dia menghabiskan malam sebelumnya hampir gila mengulang-ulang adegan Kise dan Mikoto berciuman mesra. Ditambah, kata-kata yang keluar dari mulut Kise sebelum mereka berpisah….

Kukira kautakut tertular virus gay.

Amarah Daiki memang memuncak ketika dia berada di bar. Namun, setelah Daiki pulang dan punya waktu untuk mendinginkan kepala, kata-kata itu membuat sesuatu di dalam perut Daiki bergejolak. Tentu saja. Tentu saja Kise tidak semudah itu memaafkan Daiki. Apa yang Daiki harapkan? Apakah dia berharap Kise akan tersenyum sumringah begitu melihat Daiki? Kembali menatap Daiki dengan mata yang memancarkan kekaguman?

Setelah berjam-jam gelisah di futon-nya, Daiki sampai pada sebuah kesimpulan. Dia perlu meminta maaf. Satu hal yang dia pelajari setelah kepergian Hazuki, terkadang kata-kata yang selama ini Daiki anggap tidak penting—karena dia lebih suka bertindak daripada memberi janji-janji—perlu diucapkan karena tidak selamanya orang lain mengerti isi kepala Daiki. Daiki sudah kehilangan Hazuki. Dia tidak bisa memperbaiki hal itu. Namun, Kise…, Kise yang kini muncul kembali dalam hidup Daiki…, Daiki berhutang maaf pada Kise. Hutang itu sudah dia simpan sejak kebodohannya yang tiada tara menyakiti Kise dahulu.

Urusan Kise akan memaafkan Daiki atau tidak, itu adalah konsekuensi yang harus Daiki terima.

"Aomine-san," sapa Takahashi begitu Daiki duduk di hadapannya.

"Hei," balas Daiki dengan canggung. Perasaan bersalah karena telah menghardik Takahashi semalam menghampiri Daiki. Takahashi hanya melakukan tugasnya. Daiki selalu diam-diam menertawakan tamu-tamu yang mencoba mencari masalah di bar, yang kemudian diantar secara sopan ke pintu keluar oleh dua orang petugas keamanan. Tentu saja itu semua adalah hasil kerja Takahashi yang seakan menyihir petugas-petugas itu keluar dengan tombol sinyal dari balik meja. Daiki tidak tahu apa reaksinya bila Takahashi melakukan hal yang sama padanya. Untunglah kemarin Daiki memilih angkat kaki.

"Kau sudah terlihat lebih tenang," kata Takahashi.

Daiki tersenyum pahit. "Ya. Setelah kupikir-pikir, aku tidak punya alasan untuk marah."

"Hmm? Menurutku kaupunya alasan bagus untuk marah."

"Kalau kau tahu ceritanya, yang ada kau akan marah kepadaku juga."

"Oh, ya?" Takahashi menaruh segelas bir di depan Daiki. Dia memajukan badan dan menyenderkan siku ke atas meja bar, seakan menunggu Daiki untuk melanjutkan kisahnya. Namun, Daiki menolak untuk membuka mulut kembali. Takahashi mendesah. "Aomine-san, selama aku bekerja di sini, baru kali ini aku melihat Kise-kun seperti itu. Anak itu biasanya selalu ramah pada siapa pun. Memang dia bisa sedikit angkuh, tapi reaksinya padamu itu... tidak biasa."

"Kise dan aku…," Daiki memulai. Dia meneguk bir dan menurunkan gelasnya kembali dengan kasar. "Aku melakukan hal bodoh saat terakhir kali kami bertemu."

"Tapi hari ini kau tetap kembali ke sini lagi meskipun setelah kejadian kemarin?"

"Aku ingin mengajaknya bicara," kata Daiki, dan dengan jujur dia menambahkan, "Aku ingin meminta maaf. Seharusnya itu yang dari awal kulakukan, tapi karena terlalu pengecut, aku hanya memandangnya diam-diam selama ini."

"Aomine-san, seperti yang sudah kuberitahu beberapa waktu lalu, Kise-kun sudah punya orang yang spesial. Mungkin lebih baik kau melupakan dia," ujar Takahashi.

"Takahashi, apa maksudmu? Aku—"

"Hei, mungkin aku salah, tapi kulihat dari caramu mengamati Kise-kun selama ini, kau masih menyimpan perasaan untuknya, bukan?"

Daiki mengerjap. Dia dan Kise—mereka tidak pernah memiliki hubungan spesial. Apa yang Daiki rasakan pada Kise sangat berbeda dengan perasaannya pada Hazuki. Namun, apakah memang selama ini hanya Daiki yang terlalu bodoh untuk menyadari motivasinya sendiri setiap kali dia melangkah masuk ke bar ini?

Takahashi memandang Daiki dengan simpatik. "Aomine-san, kalau kau memang hanya ingin mengajak Kise-kun untuk bicara, kau beruntung hari ini. Tuh." Dia menjentikkan kepala ke arah sudut ruangan bar.

Daiki berbalik badan. Dilihatnya sosok Kise yang sekilas tidak Daiki kenali karena sudut yang dia pilih hampir tidak mendapat penerangan. Dia berdiri dengan punggung menempel ke dinding dan tangan dilipat di depan dada. Dan yang lebih penting, dia sedang sendiri. Sesuatu yang sangat jarang terjadi.

"Kuperhitungkan kaupunya sekitar setengah jam dengan Kise-kun sebelum dia datang," kata Takahashi dari belakangnya.

"Dia?" ulang Daiki.

"Ya. Dia, maksudku orang yang spesial untuk Kise-kun."

Daiki mengepal tinjunya. Orang yang spesial untuk Kise? Persetan dengan orang itu. Daiki bangkit dari kursinya dan berjalan ke tempat Kise.

Kise menyadari kehadiran Daiki jauh sebelum Daiki sampai ke sisinya. Dia hanya menatap Daiki, raut wajahnya tak berubah. Alih-alih membuatnya percaya diri, amarah Daiki buyar ketika berhadapan dengan mata Kise yang dingin. Dia teringat kembali dengan tujuan awalnya datang ke bar hari ini, dan kini Daiki justru harus memaksa kakinya melangkah, melawan hasratnya untuk ambil langkah seribu.

Sejak kapan Aomine Daiki takut menghadapi Kise Ryouta? Heh, jika Tetsu tahu, dia pasti tidak akan bosan menggunakan fakta ini untuk menggoda Daiki.

Daiki menghentikan langkahnya tepat di hadapan Kise. Dia menelan ludah, lalu dengan berlagak tenang, dia menyandarkan diri pada dinding di sebelah Kise. Suara dentuman musik membuat kepala Daiki sedikit berputar. Bahu Daiki tak bersentuhan dengan bahu Kise, tapi Daiki merasakan panas dari sana. Seluruh tubuh Daiki kelewat sadar akan sosok Kise, meskipun mungkin Kise bahkan tak sudi berada di tempat yang sama dengan Daiki.

"Aku… ingin bicara," kata Daiki.

"Sayang sekali, aku sudah ada janji," jawab Kise. Suaranya terdengar tenang, seakan ejekannya pada Daiki kemarin malam tidak pernah ada.

"Aku tidak peduli. Kita harus bicara, Kise."

Kise tertawa kecil. "Tidak peduli?"

"Ah." Daiki tersadar. "Bukan, maksudku…."

Kise menghela napas. Dia lalu tersenyum, memandang Daiki dengan wajah yang sangat tidak Daiki kenal. Ke mana perginya keceriaan yang seakan meledak-ledak itu? Ke mana perginya sosok yang penuh energi itu? Yang ada di hadapannya adalah Kise Ryouta yang selalu dia pandangi dari jauh—yang berwajah tenang, dewasa, dan seakan tak punya masalah. Yang membuat Daiki merasa mual adalah… ia bahkan tidak tahu apakah ini memang Kise yang sesungguhnya, ataukah Daiki pun kini telah menjadi satu di antara orang-orang yang hanya diperkenankan melihat topeng yang Kise kenakan.

"Kise," Daiki mencoba kembali, memaksa diri untuk mengeluarkan satu kata itu, kata yang seharusnya dia ucapkan bertahun-tahun lalu. Kata yang mungkin bisa merubah semuanya—

"Aomine?"

Daiki tersentak. Dia mengatupkan mulut, dan membelalak pada sosok yang tiba-tiba saja sudah hadir di hadapan Daiki dan Kise. Sejak kapan dia….

"Akashicchi," Kise menyambutnya, menunjukkan senyuman kecil yang tampak gugup.

"Ini kejutan, Ryouta," kata Akashi tanpa mengalihkan pandangan dari Daiki. "Apa kabar, Aomine?"

"Uh... Akashi. Jadi orang yang sudah janjian dengan Kise…."

…orang yang spesial untuk Kise-kun.

"Ryouta, tolong belikan minuman," kata Akashi.

Kise tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi Akashi menyentuh pergelangan tangannya. Kise menoleh dan bertemu pandang dengan Akashi. Sebuah komunikasi non-verbal terjadi antara mereka. Daiki merasa sesuatu dalam dadanya mengetat. Akashi dan Kise?

Akhirnya Kise hanya melirik Daiki sekilas, sebelum beranjak pergi ke arah bar. Akashi memperlebar senyumnya, memperlihatkan jelas bagaimana waktu membuat garis-garis wajah dan tubuhnya tumbuh semakin elegan. "Apa kabar, Aomine?"

"Oh, tidak ada yang spesial," kata Daiki. Otaknya tak berhenti bertanya-tanya, tak berhenti berputar. Bukankah Kise memutuskan kontak dengan semua anggota generasi keajaiban? Lalu, mengapa dia tampak dekat dengan Akashi? Dan sepanjang pengetahuan Daiki, jika Akashi memanggilnya dengan sebutan 'Aomine', maka dia adalah Akashi yang sesunguhnya. Namun, mengapa Akashi memanggil Kise dengan 'Ryouta'?

"Yang ingin kutanyakan," kata Akashi, "adalah mengapa kau ada di sini?"

"Apa?"

"Apa kauingin aku mengulang pertanyaanku?"

Daiki mengepalkan tangan. "Kau sendiri? Mengapa kau ada di sini?"

"Tentu saja untuk bertemu Ryouta. Aku selalu bersamanya di waktu yang sama setiap minggu."

Daiki terdiam sejenak. Sebelumnya Daiki sudah pernah datang di hari Rabu, tapi saat itu dia kemalaman akibat harus menyelesaikan laporan patroli. Jadi malam itu dia tak berhasil menemui Kise... karena Kise ternyata sudah pergi bersama Akashi?

"Kise.., dia selalu bersama bermacam-macam laki-laki dan perempuan," kata Daiki.

"Aku tahu," jawab Akashi dengan anggukan kecil. "Itu tidak masalah. Dia hanya bermain-main dengan mereka."

"Akashi, kau—"

"Ryouta tidak demikian denganku. Apa pun yang terjadi, dia akan selalu kembali padaku," sambung Akashi. "Kuharap kau tahu maksudku."

Sesuatu yang jelek mulai mengaduk-ngaduk dada Daiki. Dia menggeretakkan gigi. "Apa maksudmu? Apa kaupikir kau itu spesial?"

"Aomine, biar kutanya sekali lagi. Apa yang kaulakukan di sini, setelah apa yang kaulakukan pada Ryouta dulu?"

Daiki menahan napas. Akashi tahu. Kise menceritakannya pada Akashi.

"A-aku ingin menemui teman lama."

"Teman?" Akashi tertawa. Mengejek, mencemooh, menusuk Daiki tepat pada tempat yang sakit.

"Akashicchi," Kise memanggil, membawa dua gelas martini di tangannya. Dia berdiri terlalu dekat dengan Akashi, memosisikan diri dengan jelas bahwa, hei, tidak ada tempat untuk Daiki.

"Terima kasih, Ryouta." Akashi mengambil segelas martini, lalu mengaitkan jemarinya yang sebelah lagi pada lengan Kise. "Sudah waktunya."

"Ah, kaubenar," kata Kise. Dia menyesap martini, lalu melemparkan senyum pada Daiki yang masih tak sanggup berkata-kata. "Sudah kubilang, kan, kalau aku ada janji. Sampai jumpa, Aomine."

Daiki membuka mulut untuk bersuara, tapi lidahnya kelu saat dia menangkap pandangan sinis yang dilontarkan Akashi padanya.

Kuharap kau tahu maksudku.

Sialnya, Daiki paham benar apa maksudnya.

Untuk kesekian kalinya, malam itu Daiki ditinggalkan Kise. Seorang diri, seperti lelaki dungu.

Daiki sudah menyiapkan diri untuk menghadapi segala skenario buruk yang bisa terjadi dalam pembicaraannya dengan Kise. Akan tetapi, melihat Kise dan Akashi meninggalkan bar… Daiki lagi-lagi merasakan hal yang sama dengan ketika dia melihat punggung Hazuki menghilang di balik pintu apartemen mereka.

Namun, kali ini Daiki tak menyangkali kebodohannya.

To be Continued


Terima kasih sudah membaca chapter 2 ini. Hehe … kasihan, ya, Daiki. Namun di chapter selanjutnya, akan ada lebih banyak perkembangan antara hubungan dua tokoh utama kita. Nantikan, ya. :)

Seperti biasa, komentar, kesan dan pesan, kritik membangun, sampai kata mutiara, kami tunggu via review. Guest review juga kami terima. Selengkapnya, kunjungi profil kami, ya. Terima kasih. :)