Terima kasih banyak kepada a1y-puff, yang kami pekerjakan sebagai beta, karena masukan dan sarannyalah kami merasa fik ini menjadi lebih baik. Segala kesalahan dan cacat yang tertinggal adalah murni kelalaian kami.

Terima kasih juga kepada Vivien, artist dari kover cantik yang menjadi inspirasi kami. Kunjungi dia di pixiv (id: 13752468), and give her some love, guys!

Disclaimer: Kuroko no Basuke adalah milik Tadatoshi Fujimaki. Fanfiksi ini ditulis hanya untuk kesenangan; kami tidak bermaksud melanggar hak cipta maupun mengambil keuntungan materi.


Chapter 1

Daiki menenggak beberapa sentimeter terakhir bir yang tersisa di gelasnya, lalu memanggil bartender dengan sebuah isyarat lambaian tangan. Jika dia benar-benar akan melakukan ini, dia perlu lebih dari segelas bir. Bukan untuk memberikan dia keberanian. Bukan. Satu hal yang Daiki punya, bahkan ketika dunia yang dia kenal sedang runtuh di sekitarnya, adalah bravado—keberanian untuk bertindak tanpa berpikir panjang. Yang dia butuhkan saat ini adalah alkohol untuk membuat indranya kelu dan menghilangkan perasaan tidak enak yang menggerogotinya.

Bartender mengangkat gelas Daiki dari meja bar dan menaruh satu gelas baru.

"Ada yang bisa kubantu lagi?" katanya sembari bersandar ke meja bar dan menangkap mata Daiki.

Daiki menggeleng, tapi pandangannya jatuh ke sebuah tag kecil yang tersemat di vest bartender itu. Takahashi Ren.

"Hei," kata bartender itu—Takahashi—lagi. Daiki kembali memandang wajahnya. "Aku belum pernah melihatmu di sekitar sini sebelumnya. Pertama kali?"

Daiki mengerjap pelan. Dia memerhatikan Takahashi dengan lebih saksama. Perawakan tinggi, kurus, dan rambut bercat merah. Wajah bersih dengan mata yang ramah. Sebuah senyum menarik bibir Daiki. Kenapa tidak?

"Ya. Aku jarang mengunjungi tempat seperti ini."

"Oh, ya? Duduk manis saja di sana. Laki-laki sepertimu pasti akan dihampiri orang dalam waktu tidak lama."

"Sayang sekali, aku sudah hampir setengah jam di sini dan hanya kau yang mengajakku bicara."

Takahashi tertawa kecil. "Kau wajah baru di sini, mereka masih waspada. Soalnya kaupunya aura laki-laki straight dengan," Takahashi mengayunkan tangan ke atas dan ke bawah, mengindikasi penampilan Daiki, "kostum yang kaupakai. Dan pandangan matamu yang dari tadi seakan mau membunuh orang."

Daiki menaut alis. Dia menurunkan pandangan ke baju yang dipakainya. Kemeja hitam dan celana jeans kasual. Apa yang salah?

"Haha. Aku bercanda. Tidak ada yang aneh dengan penampilanmu. Hanya kalau boleh saran, kau jauh lebih atraktif kalau sedang tidak mendelik ke gelas bir sepanjang malam."

Daiki kembali melihat Takahashi. Dia memang benar-benar sudah lama tidak mengunjungi tempat seperti ini. Terakhir kali ada laki-laki yang main mata dengannya terang-terangan, laki-laki itu akhirnya tinggal bersama dengan Daiki selama hampir dua tahun.

"Hei, hei, tuh, kan. Kau lagi-lagi melakukannya," kata Takahashi.

Daiki mengangkat bahu. "Aku dilahirkan dengan wajah begini."

"Bullshit," kata Takahashi. "Kau harus belajar untuk lebih santai. Ah," mata Takahashi menangkap panggilan tamu baru di bar itu, "oke aku harus balik kerja."

Daiki mengangguk.

"Sampai nanti." Takahashi memberinya senyum dan berbalik badan, menghampiri tamu yang memanggilnya.

Kembali sendiri, Daiki menyesap alkohol di gelasnya. Takahashi benar. Dia datang ke tempat ini untuk melupakan hal-hal yang sedang terjadi dalam hidupnya. Percuma saja kalau dia tidak bisa lebih santai dan membuka diri. Dengan resolusi baru, dia berbalik badan di kursi bar, menyenderkan punggung ke meja konter.

Bar ini tersembunyi di salah satu sudut Ni-choume. Tidak terlalu terkenal, tapi untuk kalangan tertentu, tempat ini punya arti khusus. Pengunjung tempat ini kebanyakan adalah laki-laki. Mereka memasang postur, tertawa, dan bermain mata satu dengan lainnya.

Terus terang, Daiki tidak familiar dengan konsep one night stand yang sepertinya umum di tempat ini. Untuk itulah dia butuh alkohol. Hubungan pertamanya dengan laki-laki bertahan selama dua tahun. Selepas itu, dia seperti manusia limbung yang mengapung di laut bebas.

Daiki melempar pandangan ke sekujur ruang. Menyurvei situasi. Ruangan ini tidak terlalu besar, dilengkapi meja-meja tinggi yang tersebar di tengah dan sofa yang menempel di sepanjang dinding. Satu sisi dinding habis untuk bar berukuran besar dan bar stool yang bisa menampung setidaknya dua puluh orang. Lampu remang-remang dan dekor dominan cermin memberi ilusi ruangan ini jauh lebih luas. Suara gaduh percakapan dan musik lounge pelan menjalar di udara.

Kalau dipikir-pikir, Daiki punya tipe yang dia sukai. Dia selalu menoleh ketika berpapasan di jalan dengan laki-laki berambut pirang dan tinggi, bertubuh kurus, tapi tidak terlihat lemah. Apalagi bila orang itu memiliki wajah yang bertulang pipi tinggi. Dan, di tempat itu, ada satu orang yang menarik perhatian Daiki. Seorang laki-laki di kursi sofa.

Rambut pirang berkilat sesaat di bawah lampu sorot LED. Laki-laki itu duduk dengan dua orang laki-laki lain. Pembawaannya santai, dan dilihat dari perhatian kedua laki-laki yang sedang bersamanya, dia adalah hadiah utama malam itu bagi mereka. Siapa pun yang bisa memenangkan perhatiannya. Suara tawa familier samar-samar sampai ke telinga Daiki.

Butuh sekitar satu menit untuk Daiki memasang potongan-potongan puzzle tersebut dan membentuk gambar yang sempurna. Satu menit yang dirasanya memalukan, karena laki-laki di sofa itu adalah bintang utama dari separuh mimpi tidak senonoh yang menghantuinya dulu: Kise Ryouta.

Daiki menelan ludah, tak melepaskan pandangan dari sosok Kise, dan perasaan lain menghantamnya. Kise tersenyum pada laki-laki di sebelah kanannya, memperlihatkan telinga kiri yang masih berhias anting seperti dulu. Rambutnya pendek, tak mencapai batas kerah kemeja biru laut. Wajahnya pun masih seperti dulu, tampan layaknya seorang model dan idola remaja. Hanya saja, ada kedewasaan yang tidak Daiki kenal di sana. Jantung Daiki berdebar, membuatnya semakin sadar akan rasa tak enak yang semakin lama semakin tak bisa dia abaikan.

Musim semi tujuh tahun yang lalu. Suara yang bergetar, air mata, dan penyesalan. Kebodohan Daiki yang tanpa batas.

Laki-laki di sebelah kiri berbisik di telinga Kise, tangannya menyentuh bahu Kise dengan santai. Namun Kise menggerakkan bahunya dengan halus, melepaskan diri dari pegangan laki-laki itu. Senyumnya tetap tenang, percaya diri, luwes—seakan mengejek Daiki yang mematung seperti orang dungu. Padahal, Kise tak menyadari kehadiran Daiki. Dia terlalu sibuk menebar pesona pada para pengejarnya.

"Hei."

Daiki tersentak. Seorang laki-laki bertulang rahang tegas dengan rambut disisir ke belakang tersenyum sembari mengangkat gelas birnya. Tubuhnya terbalut jas abu-abu, dan dasi berwarna senada dipasang longgar pada kerahnya. Tipikal pekerja kantoran yang memilih untuk pergi minum-minum daripada harus langsung pulang. Daiki tercenung, membutuhkan waktu beberapa detik untuk menyadari kalau pria yang entah sejak kapan duduk di sampingnya ini sedang mencoba menarik perhatiannya.

"Hei," kata Daiki. Dia meraih gelas bir miliknya tanpa melepaskan punggung dari konter.

"Kau sendirian?"

"Menurutmu?" Daiki tertawa pahit. Matanya tanpa sadar sudah beralih pada sosok Kise kembali. Kise yang kini tengah bercerita dengan seru pada kedua pengagumnya. Tangannya bergerak seiring kata-katanya, dan walau Daiki tak bisa mendengar dengan jelas, dia bisa membayangkan topik-topik yang bisa membuat Kise bersemangat. Basket, modeling, karaoke….

"Kau juga mengincarnya?"

Daiki tersadarkan kembali. Dia menenggak isi gelasnya, sebelum akhirnya dia bisa mencerna kata-kata laki-laki di sebelahnya. "Juga?"

Laki-laki itu mengangkat sebelah bahunya. "Dia cukup sering kemari. Kau tidak lihat begitu banyak yang meliriknya dalam ruangan ini?"

Daiki mendengus secara otomatis. "Yah, dia memang selalu menjadi pusat perhatian."

"Aah. Kau mengenalnya?"

Daiki terdiam. Di seberang ruangan, Kise memperlihatkan ekspresi tenang dan dewasa itu lagi, kini mendengarkan cerita lawan bicaranya dengan tatapan teduh. Daiki mendorong bagian dalam pipi kirinya dengan lidah, menautkan alis. Lalu, dengan berat hati berhasil bergumam, "Tidak."

Laki-laki di sebelah Daiki memang cukup tampan. Mungkin jika di kesempatan lain, Daiki tidak akan berpikir dua kali untuk balas menarik perhatiannya. Namun sekarang, hanya Kise Ryouta yang berhasil menyedot perhatiannya. Dia tak begitu peduli bahkan ketika laki-laki itu bangkit dari kursi, meninggalkan Daiki untuk kembali sendiri.

.

Jam sepuluh pagi di kawasan perbelanjaan Asakusabashi, Daiki memandang beberapa pejalan kaki berlalu-lalang di trotoar. Rush hour sudah lewat. Di masa ini, orang-orang yang terlihat berkeliaran sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga dan lansia yang sudah pensiun. Angin musim semi membawa harum bunga dari kebun-kebun kecil milik warga, membuat pekerjaan untuk berjaga di depan pos polisi tidak sepenuhnya menyiksa Daiki. Dia memperbaiki letak topi seragam di kepalanya, lalu mengambil posisi istirahat kembali.

"Aomine-kun."

Daiki harus menundukkan kepala untuk bertemu pandang dengan perempuan yang memanggilnya. Miyagi Reina, ibu beranak satu yang tinggal tidak jauh dari pos polisi Daiki.

"Kau sudah dengar? Kemarin katanya lagi-lagi ada yang iseng melempar batu ke jendela rumah. Kali ini kejadiannya di rumah keluarga Tamura." Reina mengerutkan dahi. Dia hampir setiap hari melewati pos polisi dalam perjalannya dari rumah ke kawasan pertokoan untuk berbelanja bahan baku masakan, dan hari itu pun rutinitas Reina masih sama. Sebuah tas belanja anyaman bambu yang gendut menggantung dari lengan kanannya. Beberapa batang daun bawang mencuat keluar dari tas itu.

Daiki sudah tahu kejadian yang dimaksud Reina. Ishida menumpahkan kisah petualangannya mengejar pelaku pelempar batu itu begitu Daiki sampai ke pos polisi pagi tadi. Risiko menjadi polisi di daerah dengan tingkat kejahatan nyaris di bawah satu persen adalah kebosanan. Tidak ada satu pun dari mereka yang meremehkan pekerjaan sebagai polisi, di lingkungan setenang apa pun. Namun, tidak bisa dipungkiri Daiki menantikan masa-masa saat dia akan dipromosikan sebagai detektif.

Dan..., promosi itu kini sudah semakin jauh dari harapan. Daiki mendesah dalam hati.

"Baru tadi pagi, dari Ishida yang bertugas semalam. Cepat sekali berita itu menyebar," kata Daiki.

"Jangan meremehkan jaringan gosip ibu rumah tangga," kata Reina. Sebuah senyum penuh konspirasi menyusupi ekspresinya.

Daiki mendengus. "Seharusnya pemerintah menggaji kalian untuk menjadi penyelidik."

"Heheh. Kami tidak mau merebut pekerjaanmu, Aomine-kun. Kalau kau tidak berdiri di sini lagi tiap pagi, di mana lagi kami harus mencari eye candy?"

Daiki memutar bola matanya.

Reina tertawa.

Setiap pagi selalu terulang hal yang sama. Bagi ibu rumah tangga di kawasan Asakusabashi, Aomine Daiki, polisi muda dengan status belum beristri, adalah objek gosip yang tidak berkesudahan. Dan—ah, kini bertambah satu orang lagi.

Sasagawa Yoko mengerem sepedanya dan berbelok ke tempat mereka. Sama seperti Reina, Yoko sedang dalam perjalanan pulang dari blok pertokoan. Keranjang sepedanya terisi penuh oleh sayur-mayur dan bungkusan daging.

"Selamat pagi, Aomine-kun, Miyagi-san. Kalian sudah dengar soal kejadian lempar batu tadi malam?" tanya Yoko tanpa turun dari sepeda.

Daiki menahan diri untuk tidak memijit pelipisnya. "Tentu saja. Begini-begini, aku polisi, jadi sudah pasti tahu lebih dulu dari kalian."

Yoko menoleh ke arah Reina. "Sejak pagi dia sudah begini?" tanyanya.

Reina cengar-cengir lebar. "Dari tadi dia sudah jelek mood-nya. Sepertinya kemarin dia tidur terlalu malam. Lihat, tuh, matanya seperti panda."

"Iya, ya. Jadi kepikiran kemarin dia melakukan apa."

"Yang jelas, kemarin dia bukan menghabiskan waktu dengan pacarnya."

"Kalau kemarin dia sama pacarnya, mana mungkin mood-nya jelek."

Kemudian kedua wanita itu terkikik.

Daiki melengos. "Kalian berbicara seakan aku tidak ada di sini."

Reina mengalihkan perhatiannya ke Daiki dan menaikkan alisnya. "Kita tidak mungkin melupakan si ganteng dari pos polisi Asakusabashi."

Yoko mengangguk-angguk, meniru cengiran Reina.

"Kalian… kalau sampai didengar suami kalian…." Daiki menggeleng.

"Aomine-kun!" Sebuah suara baru merebut perhatian Daiki. Yoko dan Reina juga membelokkan wajah ke suara itu.

Rambut panjang berwarna merah muda. Kaus putih dilapis jaket training dan dipadu dengan celana denim biru tua. Satsuki yang baru saja melangkah dari zebra cross ke trotoar pos polisi Asakusabashi melambaikan tangan.

"Selamat pagi, Momoi-san," sapa Yoko, perempuan yang lebih sopan di antara kedua ibu rumah tangga itu.

Satsuki membungkuk sedikit, membalas memberi salam, "Halo, Sasagawa-san dan Miyagi-san," dan kemudian mengalihkan wajah penuh senyumnya ke Daiki. "Aku mau meminjam eye candy ini sebentar. Maaf, ya."

Daiki mendesis, memamerkan giginya ke Satsuki. Satsuki selalu mengambil kesenangan dari menggoda Daiki yang sering dikelilingi ibu-ibu rumah tangga, ketika sedang gilirannya untuk berdiri di depan pos polisi.

"Aku masih di tengah shift jaga," kata Daiki.

"Sebentar saja, kok." Satsuki menarik lengan baju seragam Daiki dan mengayunkan telapak tangannya sebagai tanda permisi ke kedua ibu rumah tangga yang mengulum senyum. Daiki membiarkan badannya mengikuti arah momentum Satsuki. Melawan Satsuki kadang hanya memperpanjang masalah.

"Masuno-senpai—!" panggil Satsuki sambil mencuatkan kepalanya ke dalam pos polisi. Di dalam, Masuno, rekan kerja Daiki sedang duduk di depan meja untuk mengompilasi ulang komplain-komplain yang masuk ke pos polisi sebelum diteruskan ke atasan mereka nanti. Sebuah senyum lebar merekah saat dia melihat Satsuki. Daiki hampir saja otomatis memutar bola mata. Seandainya Satsuki minta diambilkan bulan pun, mungkin laki-laki itu akan berusaha memenuhinya.

"Momoi-san, ada yang bisa kubantu?" kata Masuno.

Satsuki melancarkan senyum termanisnya. Jurus ampuh melawan Masuno. "Aku ada perlu dengan Aomine-kun. Boleh kubawa dia pergi sebentar?"

Wajah sumringah Masuno menunjukkan kepribadian pria yang sedang diracuni asmara. Bahkan tidak ada jeda ketika dia menjawab, "Iya, bawa saja. Biar aku yang menggantikan dia dulu."

"Terima kasih, Senpai." Satsuki menundukkan kepalanya sedikit ke Masuno, dan kemudian berbalik menghadap Daiki. Senyum sudah memudar dari wajah Satsuki. "Yuk, kita ke kafe seberang jalan."

Kafe di seberang jalan yang dimaksud Satsuki memang tempat Daiki biasa makan siang jika baru gajian. Tempatnya tidak terlalu mewah atau elegan layaknya kafe mahal, namun cukup luas dan bersih. Yang terpenting, makanannya disajikan dalam porsi banyak, dan itu sudah lebih dari cukup bagi Daiki untuk memuja kafe itu. Namun, sekarang dompet Daiki sedang tipis. Itulah sebabnya dia berjalan dengan enggan. Satu-satunya alasan mengapa dia mau dibawa ke sana juga hanya karena wajah Satsuki tidak menyediakan ruang untuk Daiki melawan.

Pintu kaca terbuka dan Daiki mendengar sambutan "Selamat datang!" dari karyawan kafe. Satsuki menarik Daiki terus sampai ke pojok, ke arah sebuah jendela besar yang mendampingi meja kayu dan sofa berwana senada. Satsuki duduk di seberang Daiki, dan meminta segelas jus jeruk serta seporsi strawberry shortcake pada pelayan.

"Kopi… saja," kata Daiki ketika tiba gilirannya memesan. Dia menyipitkan mata pada Satsuki yang tampak menahan senyum geli.

"Dan satu porsi tiramissu," kata Satsuki menambahkan.

"Tch." Daiki membuang muka. Dia membuka topi dan menaruhnya di atas meja, sadar akan tatapan Satsuki. Pelayan kafe sudah angkat kaki dari meja mereka, membuat Daiki tahu bahwa apa pun yang ada di otak Satsuki, dia akan mendengarnya sekarang.

"Dai-chan," kata Satsuki, "aku mendengar banyak hal dari Masuno-senpai."

"Heh, apa sih yang tidak dia ceritakan padamu."

"Dai-chan, kau juga bisa bercerita padaku. Kautahu itu, kan?"

Daiki mendengus, namun dia tak berkata apa pun.

"Apa… keadaannya sudah seburuk itu?" Suara Satsuki mengecil. Daiki menoleh ke arahnya dengan terpaksa. Satsuki melipat bibirnya ke dalam, dahinya berkerut, pertanda dia benar-benar cemas.

Daiki mengacak-acak rambut pendeknya, mendadak merasa jengah dengan hidupnya. Kekesalan pada Masuno membumbung dalam dirinya, tapi dengan cepat dia hancurkan. Itu bukan salah Masuno, Satsuki memang ahli dalam mengumpulkan informasi. Biarpun bukan dari Masuno, Satsuki pasti tetap akan bisa mendapatkan berita terbaru tentang Daiki.

"Dai-chan?"

"Tidak seburuk itu," kata Daiki akhirnya. Dia menatap guratan-guratan kayu di meja. "Hanya rumor. Itu saja."

"Rumor tentang hubunganmu dengan Hazuki-kun?"

"Memangnya tentang apa lagi?"

Satsuki membuka mulut, lalu menutupnya lagi saat pelayan datang membawakan pesanan mereka. Dia duduk bersandar, tampak berpikir keras, dan tak sampai beberapa detik dari kepergian sang pelayan kafe, dia langsung menyerca Daiki dengan pertanyaan. "Bagaimana bisa rumor tentang hubunganmu dengan Hazuki-kun menjadi kendala di pekerjaanmu? Lagipula, bagaimana mereka bisa tahu? Dan—bukankah kalian sudah putus? Ini tidak masuk akal."

Daiki tertawa tanpa humor. "Tidak masuk akal? Oh, ini masuk akal sekali, Satsuki."

Satsuki memandangnya dengan tajam, seakan ingin memukul kepala Daiki dan berteriak "Bodoh!", tapi untungnya dia diam saja. Daiki tak tahu apa yang akan dia lakukan jika Satsuki benar-benar memarahinya. Membuat gadis itu sakit hati dengan kata-katanya, mungkin. Membuatnya menangis agar tak lagi mengurusi Daiki.

"Aku gay, Satsuki," kata Daiki singkat.

"Tapi, Dai-chan…."

"Dan entah siapa, mungkin ada yang pernah melihatku bersama… yah, bersamanya. Sayang sekali, tapi negara ini belum seterbuka itu pada kaum gay, jadi bisa kaulihat sendiri bagaimana efeknya pada pekerjaan."

Satsuki terlihat ragu sebelum dia bertanya, "Bagaimana efeknya untukmu?"

"Aku tak akan bisa jadi detektif," kata Daiki sembari mengangkat sebelah bahu, mencoba terlihat tak peduli, "mungkin."

Satsuki menggeleng pelan. "Tapi itu baru rumor, kan? Karena kau sudah berpisah dengan Hazuki-kun?"

"Hanya rumor. Itu sebabnya aku masih bisa bekerja di sini."

"Oh, Dai-chan…."

"Ah, sudahlah, aku sudah menyerah, kok. Kalau memang harus begini, apa boleh buat. karena aku memang gay."

"Ini semua tidak adil."

Daiki tersenyum pahit. "Tak ada yang adil. Tapi ini lebih baik."

Satsuki tidak berbicara lagi. Daiki menyandarkan dahi pada kaca jendela besar di sisi kanannya dan menutup mata. Ya, dia sudah lelah menyangkal, membodohi dirinya sendiri kalau dia tidak gay. Masa-masa itu sudah berlalu. Daiki memang tidak mengumumkan ke seluruh penjuru dunia tentang orientasinya, dan selama tinggal bersama Hazuki, kebanyakan orang menganggap mereka sekedar teman biasa yang berbagi uang sewa apartemen. Namun, Daiki tak pernah berbohong seandainya ada yang bertanya.

Sekarang pun, meski pekerjaan menjadi taruhannya, Daiki tak pernah menyangkal rumor tersebut. Dia hanya diam dan berharap semua akan berlalu. Namun sepertinya itu hanya angan-angannya belaka, berhubung atasan-atasannya pun sudah menganggap serius rumor tersebut.

Hanya kau yang kuberitahu.

Air mata Kise tujuh tahun yang lalu terbersit di benak Daiki. Senyumnya yang menggambarkan kesedihan lebih dari apa pun yang pernah Daiki lihat.

Daiki membuka mata, enggan untuk terus terbayang wajah belia Kise. Dadanya sesak dengan penyesalan.

"Dai-chan?"

Daiki menatap Satsuki yang sedang mengaduk jus jeruknya dengan sedotan. Kise Ryouta menghilang dari dunia Daiki tujuh tahun yang lalu. Bukan itu saja, tak seorang pun dari Generasi Keajaiban yang pernah mendengar kabar darinya. Mungkin, Daikilah orang terakhir yang menemuinya di hari kelulusan SMA. Hanya saja… jika ada satu orang yang kemungkinan besar tahu mengenai kabar terbaru Kise, maka dia adalah….

"Hei, kenapa melamun? Kenapa tak kaumakan tiramissunya?" Satsuki menendang kaki Daiki di bawah meja dengan perlahan.

"Ah…." Daiki mengambil garpu kecil yang disediakan, mengalihkan pandangannya dari Satsuki. "Ini kau yang bayar, kan?"

Satsuki memutar bolamatanya. "Iya, iya."

Daiki menyimpan jauh-jauh rasa penasarannya dan berharap dia bisa bertemu Kise lagi.

.

Daiki punya obsesi baru.

Bar di Nii-choume itu, pada hari Sabtu jam sembilan malam, masih terlihat lengang. Daiki meneliti beberapa belas wajah yang sudah mengisi tempat itu setelah menutup pintu masuk bar. Tidak ada kilau rambut pirang yang menyambutnya sejauh mata memandang. Dengan hati sedikit mencelos, Daiki berjalan ke arah bar.

Malam masih panjang. Tidak ada alasan untuk berasumsi hari ini Kise lagi-lagi tidak muncul. Menurut pengalamannya setelah beberapa minggu terakhir berturut-turut mengunjungi tempat ini, puncak keramaian di tempat itu adalah di jam sebelas malam.

"Hai, kaudatang lagi," Takahashi menyapanya dengan ramah.

"Ah." Daiki memanjat untuk duduk di kursi tinggi bar dan menyenderkan lengannya di atas konter.

"Kauingin pesan apa?"

"Seperti biasa saja."

Takahashi mengangguk dan berbalik untuk meraih botol minuman dan mulai menyiapkan pesanan Daiki. Daiki mengamati punggung Takahashi kala laki-laki itu bekerja. Dia sudah cukup sering datang ke tempat ini, sampai-sampai bartender yang lumayan populer dan harus melayani ratusan pesanan setiap harinya hapal dengan wajah Daiki dan minuman yang biasa dia pesan.

"Nih." Belum sampai semenit, Takahashi sudah menaruh segelas bir di depan Daiki. Sebuah senyum yang lebih tinggi sebelah membumbung di wajahnya. "Lalu, hari ini kau ke sini 'cuma mau lihat-lihat' lagi?"

Daiki memegang gelas bir dengan kedua tangannya. 'Cuma mau melihat-lihat' adalah alasan yang diberikan Daiki beberapa waktu lalu untuk menolak seorang laki-laki yang mencoba merayu Daiki. Alasan yang sangat buruk, sampai-sampai Daiki masih merasa malu mengingat wajah lawan bicaranya yang tiba-tiba berubah menjadi ekspresi skeptis. Lebih parah lagi, Takahashi kebetulan mendengar percakapan itu.

"Aku ke sini karena sedang tidak ada kegiatan lain," kata Daiki.

"Dan diam-diam mengambil kepuasan dalam menghancurkan hati pria-pria yang kautolak di tempat ini," balas Takahashi.

Daiki mendengus. Dia tidak bisa menceritakan alasan sebenarnya dia rajin mengunjungi bar ini ke Takahashi. Bahwa ada kata lain yang berkonotasi negatif untuk obsesi yang dia miliki saat ini. Tujuan Daiki datang ke tempat ini di setiap akhir pekan, dan bahkan beberapa kali di malam hari kerja, adalah karena dia ingin menangkap sosok pemuda berambut pirang dengan suara tawa familier. Bila dia mengutarakan nama Kise, dia yakin Takahashi dan separuh pengunjung tempat ini tahu siapa pemilik nama itu. Daiki tidak tertarik dengan laki-laki lain.

"Mereka semua bukan tipeku," jawab Daiki.

Takahashi memiringkan kepalanya. Menatap Daiki sambil mengerutkan dahinya.

"Kenapa?" tanya Daiki. Dia tahu Takahashi, dengan posisinya di balik konter bar, berada di tempat yang paling menguntungkan untuk melihat kejadian di penjuru bar. Daiki sudah melihat Takahashi beberapa kali diam-diam menekan tombol sinyal di bawah meja bar untuk memanggil sekuriti waktu dia merasa argumen tamu-tamunya mulai mengarah ke level fisik.

"Ah, tidak. Hanya saja kau sepertinya ke sini untuk tujuan khusus," kata Takahashi.

"Uh." Daiki tidak tahu harus menjawab apa. Dia mengangkat gelas bir untuk membeli waktu dan menenggak beberapa teguk.

Waktu Daiki menurunkan gelasnya, wajah Takahashi sudah kembali berubah menjadi ekspresi ramahnya yang biasa. "Apa pun alasanmu ke sini, Aomine-san, sepertinya sudah sampai, tuh."

Jantung Daiki melompat sejenak. Wajah Takahashi masih memancarkan senyum tanpa dosa. Daiki tidak berani menoleh ke belakang dan memastikan dengan matanya sendiri apakah yang dimaksud Takahashi benar-benar Kise.

Setelah beberapa saat, Takahashi mendesah. "Aaah, Aomine-san, kalau kau cuma diam terus di sini, sih, sampai seribu tahun juga kau tidak akan berhasil mendapatkan anak itu. Dia populer di tempat ini."

Daiki mengencangkan giginya. "Bukan urusanmu."

Takahashi mengangkat bahunya dan menggeleng, kemudian perhatiannya berpindah ke tamu lain di bar itu yang melambai kepadanya. Dia memberi Daiki ekspresi sebelah alis yang dinaikkan dan bisa diinterpretasi sebagai 'hei, kita belum selesai' sebelum beranjak meninggalkan Daiki sendirian.

Pelan-pelan, Daiki menggeser duduknya agar dia bisa melihat sedikit ke belakang, tanpa harus benar-benar berputar. Tak ada yang berubah di sana—beberapa pemuda yang sepertinya masih kuliah sedang duduk-duduk di sofa yang menempel ke dinding, dan beberapa wajah yang cukup familier mengobrol di dekat pintu. Lalu, Daiki mendengar suara itu lebih cepat daripada dia melihat pemiliknya.

"Hei, kau sudah mabuk jam segini?"

Kemudian terdengar suara tawa dan suara desahan tinggi milik lelaki lain.

Daiki mengikuti arah datangnya suara-suara itu.

"Berdiri yang benar, Minase-kun," kata Kise masih sambil tertawa. Kedua tangannya sibuk melepaskan pelukan erat yang diberikan laki-laki muda yang lebih pendek darinya. Laki-laki itu tampak sedang menumpukan semua beratnya pada Kise, tangannya memaksa untuk tetap menggerayangi tubuh Kise yang terbalut kemeja lengan panjang hijau lumut. "Minase-kun," kata Kise lagi dengan lebih tegas.

Minase menyerah, akhirnya berusaha berdiri dengan kaki sendiri. "Ki-kun, bawa aku pulang," katanya dengan nada suara merengek. Terlihat jelas kalau Minase ini masih jauh lebih muda dari Kise dan Daiki.

Ki-kun? Daiki tanpa sadar menggeretakkan gigi.

"Aku baru saja sampai," kata Kise. "Kau ke sini sama siapa?"

"Aku ke sini mencarimu. Ki-kun, ayolah, kenapa kau selalu menolakku? Aku bukan anak kecil lagi, kautahu itu, kan?"

Kise tertawa lebih keras. Dia mengacak-acak rambut Minase. "Tentu saja. Kau bukan…." Kise mengangkat wajahnya sepintas, dan pandangannya beradu dengan Daiki. Mata Kise yang masih Daiki kenal—dengan bulu mata panjang dan lentik dan memesona—membesar untuk sesaat. Jari-jari Daiki meremas pegangan gelas bir lebih erat. Daiki bersiap untuk mengatakan apa pun, beralasan apa pun, seandainya Kise bertanya mengapa Daiki ada di sini. Namun Kise menyipitkan matanya, ekspresinya mengeras. Perut Daiki bagai ditonjok oleh tangan tak kasatmata.

Kise kembali menatap Minase, seakan dia tak menyadari siapa itu Daiki, seakan dia tak pernah terkejut melihat kehadiran Daiki. "Baiklah, kau akan kuantar pulang."

"Benarkah?" Minase melompat, melekatkan dirinya pada Kise dan kedua tangannya menggantung di sekeliling leher Kise. "Kau akan menginap?"

"Hmm, akan kupikirkan," kata Kise dengan senyuman lebar yang membuat dada Daiki sakit. Kise merengkuh punggung Minase, perlahan-lahan menyetirnya menuju pintu keluar bar. Pembicaraan mereka semakin tak terdengar oleh Daiki, hingga akhirnya sosok mereka hilang di balik pintu.

Daiki nyaris saja melempar gelas bir yang sudah hampir kosong ke lantai. Kalau saja Takahashi tidak muncul dan menepuk lengannya, pasti itu adalah hal pertama yang akan dia lakukan sebelum angkat kaki dari sini.

"Aomine-san."

Daiki mencoba menahan emosinya yang meledak-ledak, dan merasa dia gagal dengan usahanya itu. Dia menarik napas dan merasakan perutnya mendadak seperti dipelintir. "Heh, sepertinya dia populer dengan anak-anak," kata Daiki nyinyir. Dia menenggak sisa bir di gelasnya.

"Dia populer dengan semuanya. Tapi dia tak tampak serius dengan anak yang tadi, kok," kata Takahashi.

Mungkin dia bermaksud menenangkan Daiki, tapi Daiki sendiri tak tahu mengapa dia harus melakukan itu. Pertama, Daiki bukannya suka dengan Kise. Ya, Kise pernah menjadi objek nafsunya di masa-masa awal dia menyadari orientasinya, tapi… kini Daiki hanya penasaran. Dan rasa berat yang tertinggal dalam dadanya setiap kali dia mendengar nama Kise membuatnya merasa harus menemui Kise lagi. Kedua, peduli apa Daiki dengan bocah itu? Biar saja jika dia ingin memanggil Kise "Ki-kun" atau apa pun itu. Daiki tak peduli dengan itu semua.

Namun… mengapa Kise mengabaikan Daiki?

Tentu saja karena dia masih marah padamu, Bodoh.

Daiki menggeleng, mengusir suara-suara di benaknya. Dia menaruh gelas bir dengan suara yang lebih keras dari yang dia inginkan. "Segelas lagi."

Takahashi menaikkan sebelah alisnya. "Baru kali ini ada yang mabuk hanya dengan segelas bir."

"Aku tidak mabuk."

"Ya, tentu saja," kata Takahashi. Dia mengisi gelas bir yang baru dan menukar gelas yang kosong. "Aomine-san, biar kuberitahu sesuatu."

"Heh?" Daiki menjawab dengan malas.

"Kau sepertinya serius dengan dia. Aku tak tega jika tak memberitahumu hal ini."

Daiki, walaupun dia sudah memutuskan bahwa apa pun yang Takahashi katakan tentang Kise itu tidak penting, tak dapat menahan rasa ingin tahu yang muncul akibat nada suara Takahashi. Bartender itu menyenderkan kedua lengannya di atas bar, membuat Daiki dapat melihat dengan jelas kedua matanya yang biasanya sedikit tertutup poni. Secara otomatis Daiki juga memajukan badannya agar dapat mendengar suara Takahashi lebih jelas.

"Dia sudah punya orang yang spesial."

Daiki mengerjap. "Apa?"

"Dia tampak bermain-main dengan banyak laki-laki, dan kadang, wanita. Tapi sungguh, dia melakukannya hanya untuk melayani penggemarnya saja. Ada orang yang spesial untuknya, dan itu… mungkin pada orang itulah seharusnya kau lebih berhati-hati."

Daiki membuka mulut, mengatupkannya lagi, lalu memaksa diri tertawa. "Takahashi, kau ini bilang apa? Aku tidak—"

"Yang penting aku sudah memperingatkanmu," kata Takahashi, kini menegakkan badannya lagi. Dia mengangguk pada pelanggan yang baru menghampiri bar, lalu memerhatikan Daiki lagi. "Aku ingin mendukungmu, tapi…. Yah, pokoknya semoga kau beruntung. Jika masih ingin mengejarnya, maksudku." Dan dengan itu, Takahashi meninggalkan Daiki dan sibuk dengan pelanggan barunya.

Daiki mematung, menatap punggung Takahashi, lalu meneliti buih-buih di gelas birnya.

Di masa sekolah, tak pernah sekali pun Daiki membayangkan kalau akan tiba saatnya Daiki tak lagi mengenal Kise Ryouta. Orang yang senyumannya selalu mengikuti Daiki, yang menantang Daiki dengan kemampuannya yang berkembang pesat. Orang yang paling jujur, sekaligus paling menyebalkan yang pernah Daiki kenal. Orang yang membuatnya menyesali banyak hal tapi juga membuat Daiki bisa memberikan hatinya pada Hazuki secara penuh.

Namun kini, Daiki bukanlah orang yang penting lagi bagi Kise. Tidak sejak tujuh tahun yang lalu. Dan mungkin, sudah terlambat baginya untuk menghentikan Kise agar tak pergi lebih jauh lagi darinya. Sudah ada seseorang yang spesial bagi Kise.

Daiki melepaskan pegangannya dari gelas bir yang masih penuh, lalu beranjak pergi dengan perasaan yang sama seperti saat dia ditinggalkan Hazuki.

To be Continued


Terima kasih sudah membaca! Komentar, kesan dan pesan, kritik membangun, sampai kata mutiara, silakan pos via review. Guest review juga diterima. Selengkapnya, kunjungi profil kami, ya. :)