Not Mainstream

Summary : Bagi penduduk Konoha, Minato itu shinobi yang paling hebat dan pahlawan. Bagi Sarutobi, Minato itu ninja anti mainstream. Bagi Kushina, suami dan ayah terbaik. Bagi Shikamaru dan Chohi, ayah yang buruk dan pilih kasih pada anak-anaknya. Tapi bagi Naruto, ayahnya itu crazy. Tidak ada yang bisa menandingi Minato dalam hal ke-crazy-an, bahkan seorang Orochimaru yang sudah diakui seluruh shinobi. MinaKushi_alive

DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto

Genre : Adventure dan Family

Rating : T

WARNING : Ide pasaran, bertebaran typo, gaje, smart_Naru, Canon dan bashing beberapa chara.

Author Note : Minato dan Kushina tidak meninggal dalam insiden pasca kelahiran Naruto. Minato berhasil mengembalikan kyuubi ke tubuh Kushina tepat pada waktunya.

Setting cerita ini dimulai sebelum Naruto masuk akademi Ninja. Itachi belum membantai klannya. Menma sudah lulus akademi.

Don't Like Don't Read

Chapter one

Jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan kering menuju kediaman Namikaze, tampak lengang. Obor-obor yang berjajar di sepanjang jalan menyala redup, sering kali bergoyang ke kanan dan ke kiri, meliuk-liuk mengikuti hembusan angin malam yang berhembus. Cahayanya yang redup menciptakan beragam bayang-bayang mengerikan, yang mampu membuat bulu roma orang yang lewat berdiri.

Naruto berjalan malas-malasan di sepanjang jalan, tak ambil pusing dengan segala macam bayangan horor yang tertangkap oleh indera penglihatannya. Kaki mungilnya melangkah dengan santai, tidak dipercepat bahkan cenderung diperlambat, meski hari sudah sangat larut, dan jam malam sudah lama lewat.

Ia sama sekali tak khawatir, bakal dimarahi orang tuanya setibanya di rumah. Tenang saja. Hal itu nggak mungkin terjadi padanya. Percayalah orang tuanya nggak bakal ngamuk, menjewer, dan membentaknya hanya gara-gara hal sepele ini. Ia bahkan yakin, orang tuanya tak akan ambil pusing, meski ia tak pulang ke rumah sekalipun.

Ia sudah menyadari hal ini, sejak ia bisa berjalan dengan kedua kaki mungilnya sendiri. Ia paham, orang tuanya tak perduli padanya, mengabaikannya, dan tak menganggapnya ada. Karena itulah, ia tak pernah dimarahi dan dibiarkan berbuat semaunya.

Ia pernah menanyakannya pada kakek Hokage ketiga, dulu sekali saat ia sudah bisa bicara dengan lancar, meski masih cadel, "Kakek! Kenapa cih, toucan dan kaacan tidak cayang Nalu? Apa kalena Nalu nakal?"

Di luar dugaan, Hokage ketiga menjawab, "Karena ayahmu itu anti mainstream, Naru chan," sambil mengusap puncak kepalanya dengan sayang.

Di lain waktu, Hokage ketiga akan menjawab, "Karena ayahmu sangat sayang padamu, Naru chan. Makanya itu, ia melakukan sesuatu yang ekstrim."

Sungguh jawaban yang aneh dan sulit diterima nalar, terlebih seorang anak kecil. Akhirnya, Naruto kecil mendapat jawaban yang tepat dari para penduduk desa yang melihatnya dengan tatapan sinis, setiap kali ia lewat. "Karena kau itu aib bagi klan Namikaze," Balas mereka penuh rasa dengki.

Jawaban mereka memang menyakitkan dan membuat dada Naruto terasa sesak. Akan tetapi, itulah kebenarannya. Dia memang aib bagi klan Namikaze karena terlahir dengan cakra yang sedikit. Tak ubahnya seorang warga sipil. Padahal ayahnya seorang hokage dan ibunya dari klan Uzumaki. Pantas saja orang tuanya malu punya anak seperti Naruto.

Beda sekali dengan Menma, adiknya yang hanya berselisih 10 menit darinya. Menma di umurnya yang baru 5 tahun sudah berhasil membuat sebuah kawarimi dan bunshin, meski agak lemah. Menma memang luar biasa dan berpotensi besar jadi seorang shinobi yang hebat.

Karena itulah, Naruto tidak heran jika adiknya jauh lebih disayang dan diperhatikan oleh ayah dan ibu. Ia juga tak merasa aneh kalau hanya Menma seorang yang diajak pergi ayah dan ibunya dalam pertemuan dengan sesama keluarga ninja lainnya, sedangkan ia ditinggal di rumah. Semua itu, perlakuan tidak adil itu wajar, karena memang mereka terlahir dengan kemampuan yang berbeda.

Ah, tapi itu bukanlah masalah besar untuknya. Ia menerima takdirnya dengan ikhlas sebagai seorang anak shinobi yang lahir tanpa cakra. Ia tak perduli dengan cibiran para penduduk desa yang memandangnya rendah, ataupun cemoohan anak-anak seusianya.

Untuk apa? Kenapa ia harus perduli pada mereka yang tak punya andil apa-apa dalam hidupnya? Ia lapar juga tidak minta makan mereka. Ia kedinginan juga tak minta selimut pada mereka. Jadi, kenapa Naruto harus sedih dengan ocehan orang asing seperti mereka.

Tak bisa bermain dengan anak-anak menyebalkan itu juga tak apa-apa. Ia tak peduli. Toh, masih ada Shikamaru —meski tukang tidur dan pemalas— dan juga Choji —meski kerjaannya cuman makan saja— yang mau bermain dengannya. Keduanyalah tempat Naruto bersandar dan berbagi cerita selama ini. Bersama mereka berdua, Naruto kecil merasa hidupnya sudah lengkap, sempurna, tidak kurang suatu apapun.

Dia juga tak sedih, meski tidak disayang dan diabaikan oleh kedua orang tuanya. Toh, orang tuanya masih mau merawatnya, memberinya makan, uang saku, dan pakaian yang layak seperti yang diberikan pada adiknya. Jelek-jelek begitu, kaa san-nya masih sudi mencuci pakaian-pakaian kotornya dan merapikan kamarnya.

Soal kasih sayang dan perhatian, Naruto sudah mendapatkannya berlimpah dari Hokage ketiga. Beliau pula yang mengajarinya membaca, menulis, dan belajar filosofi hidup. Jadi, ia bukanlah anak yang kekurangan kasih sayang banget sampai harus terpuruk ke dasar kegelapan.

"Suit.. suit... suit..."

Naruto bersiul-siul kecil untuk meramaikan suasana yang sepi. Hari ini, hatinya sedang senang. Tadi, ia berhasil mempecundangi anak dari keluarga Inuzuka dalam permainan petak umpet. Padahal, ia berasal dari keluarga ninja yang terkenal dengan kemampuan melacak jejaknya, tapi menemukan tempat persembunyiannya yang hanya orang sipil begitu saja tak mampu.

'Dasar payah! Kayak begitu mau jadi ninja?' ejeknya dalam hati puas.

Untuk keberhasilannya itulah, ia merayakannya dengan makan-makan di kedai Ichiraku, bersama dua orang teman setianya Shikamaru dan Choji. Oh, sebenarnya acara makan-makan itu bukan hanya untuk merayakan kemenangannya mengalahkan Kiba, tapi juga sebagai ucapan selamat untuk Shika-Choji yang berhasil masuk akademi ninja.

Meski dia tadi tertawa senang untuk keberhasilan mereka, sebenarnya Naruto juga menangis dalam hati. Ia merasa sangat sedih karena diam-diam ia juga ingin sekolah di akademi ninja. Sama seperti mereka berdua. Tapi, apa daya. Ia kan tak punya cakra yang cukup untuk menjadi ninja. Mana mungkin diterima. Iya kan?

Naruto merapatkan jaket oranyenya. Tubuhnya bergidik kedinginan diterpa angin malam. Ia beberapa kali mengusap lengannya untuk mengusir rasa dingin yang datang menyerang. Brrr..., tubuhnya menggigil saat angin malam menerpanya.

Tap tap tap...

Bulu roma Naruto berdiri tegak. Telinganya yang peka —mampu mendengar suara selemah suara semut dan dari jarak sejauh 100 m— menangkap suara langkah kaki sedang mengikutinya. 'S-siapa?' batinnya dengan jantung berdegup kencang.

Ia menahan diri mati-matian, untuk tidak menoleh ke belakang, karena itu akan membuat orang yang sedang mengawasinya curiga. Naruto bersiul ringan, berlagak tidak tahu dan acuh. Suara mencurigakan itu terdengar lebih keras dari yang pertama ia dengar.

Perasaan was-was menghantuinya. Bisa saja kan orang itu punya maksud buruk padanya. Tak ingin terjadi sesuatu yang buruk, ia pun mempercepat ayunan langkahnya. Instingnya berhasil menangkap sepasang mata yang mengawasinya di balik kegelapan malam.

Sekarang Naruto berlari secepat kakinya membawa. Ia berharap —hanya untuk saat ini— saat ini sedang berada di kamarnya bergumul dengan selimutnya yang hangat, dan bukannya berkeliaran di jalanan tengah malam begini. Berbagai macam pikiran negatif yang melintas membuat larinya semakin cepat.

Wusss...

Sebuah bayangan hitam bergerak sangat cepat melewati tubuh kecilnya. Mata Naruto membelalak. Safirnya yang biasanya menampilkan sebuah senyuman kosong kini membola ketakutan. 'T-tousan...!' jeritnya berharap ayahnya datang dan menolongnya dari orang jahat yang ada di depannya itu.

Bayangan hitam itu menghadang langkah Naruto, dengan posisi membelakanginya. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan rambut berwarna hitam panjang yang diikat longgar di bagian bawah, mirip dengan gaya rambutnya orang-orang dari klan Hyuga. Ia membalikkan badannya dan memperlihatkan pada Naruto wajahnya yang tertutup topeng seperti tengkorak dan hanya menyisakan bagian bibirnya.

'Bukan anbu,' Batin Naruto was-was.

Meski tidak pernah berhubungan langsung dengan segala hal yang berbau shinobi, Naruto cukup tahu bagaimana penampilan para anbu. Kelompok yang terkenal dengan kemisteriusannya ini, selalu mengenakan topeng menyerupai binatang, berwarna putih, dan menutupi seluruh wajah. Sedang, orang ini tidak. Jadi, bisa dipastikan ia bukan anbu, meski sudah jelas ia seorang ninja ditilik dari gerakan dan gestur tubuhnya.

Masalahnya adalah shinobi ini berasal dari mana? Apakah dia salah satu shinobi dari Konoha yang tak suka padanya ataukah shinobi dari desa lain? Apa tujuannya menghadang langkah Naruto yang notabene hanya anak lemah yang kebetulan saja ayahnya seorang hokage? Apapun itu, Naruto harus waspada dengan segala kemungkinan terburuk.

"Siapa, kau?" tanya Naruto sok berani.

"Hn. Siapa aku? Itu tidaklah penting. Sekarang, jawab pertanyaanku! Apa kau yang bernama Namikaze Naruto?" Katanya dengan suara serak basah dan berat.

'Laki-laki. Kira-kira berumur 40-an. Dan dari logatnya, ia bukan berasal dari Konoha,' pikirnya membuat analasis kecil tentang orang yang sedang dihadapinya, berdasarkan informasi postur tubuh dan suaranya.

"Apa maumu? Kenapa kau ingin tahu aku ini Naruto atau bukan?" ujarnya mengulur waktu.

Diam-diam, ia membuat sebuah pesan rahasia seperti yang diajarkan oleh Asuma jisan, saat ia berkunjung ke kediaman hokage ketiga. Anak kedua hokage ketiga ini sangat baik padanya dan banyak mengajarkan padanya sekelumit pengetahuan untuk survival.

"Ku anggap itu artinya iya. Rasakan ini!" Katanya tanpa aba-aba menyerang Naruto.

Naruto yang refleksnya sangat bagus —hasil latihannya diuber-uber kawanan ninja karena mencorat-coret patung hokage— berhasil menghindari terjangan pria bertopeng misterius itu. Naruto terus meloncat, menghindari serangan. Sambil meloncat, ia mencari cara bagaimana caranya kabur dengan selamat.

Oh, ia tidak mau bersikap gegabah mencoba melawan orang yang jauh lebih kuat —minimal sekelas Chuunin— darinya ini. Dan, ia juga tak pernah berharap bisa meringkusnya seorang diri. Itu sih sama halnya dengan punguk merindukan bulan. Jadi, pilihan cerdasnya adalah kabur sebisa mungkin dan mencari bala bantuan.

Dalam hal skill, Naruto memang kalah. Tapi, dari segi pengetahuan tentang tempat ini, Naruto jauh lebih unggul. Naruto berlari sambil melempari, apa saja yang ia simpan di saku celananya —isinya barang-barang untuk menjahili orang— untuk mengganggu konsentrasi orang itu.

Tepat di sudut jalan, ia membuat gerakan tiba-tiba berlari cepat menyongsong kedatangan pengejarnya. Refleks orang itu mundur, untuk menghindari tabrakan. Tanpa terduga Naruto melempar bom asap dan lalu menghilang dari pandangan si ninja.

Rupanya, Naruto lompat ke parit yang ada di sisinya saat bom asap itu meledak tepat di udara. Asap putih nan tebal berhasil memberi Naruto waktu untuk memasuki lorong rahasia nan panjang dan berukuran sempit —hanya seukuran tubuh Naruto— sebut saja gorong-gorong yang menuju entah ke mana.

"Cih," decih orang itu kesal melihat buruannya berhasil kabur.

Ia tak mungkin menyusul Naruto, merangkak di dalam gorong-gorong. Namun, ia juga tak bisa meledakkan gorong-gorong yang dilalui Naruto hanya untuk menangkapnya. Itu sama saja dengan ia menyuruh shinobi-shinobi Konoha berdatangan untuk menangkapnya. Dengan menahan geram, ia pun pergi.

Naruto merangkak penuh hati-hati di dalam gorong-gorong. Meski, ia tak memiliki cakra sehingga sulit dideteksi, tapi suara gaduh yang ditimbulkannya juga bisa dijadikan petunjuk dimana dia berada sekarang. Jika sampai ketahuan, maka habislah riwayatnya.

Ia terus merangkak hingga mencapai ujung gorong-gorong, tepat di samping rumah kosong yang berjarak dua rumah dari kediaman Namikaze. Gorong-gorong itu, pada awalnya hanya berupa cerukan kecil yang hanya muat untuknya bersembunyi —Naruto menemukannya secara tak sengaja saat dikejar anak-anak seusianya— lalu, ia menggalinya terus menerus hingga jadi lorong panjang seperti sekarang.

"Hai! " Sapa pria misterius yang mengejar Naruto tadi, tepat begitu Naruto keluar dari gorong-gorong.

Deg!

Jantung Naruto nyaris berhenti berdetak. Ia hampir lupa caranya bernafas, ketika safirnya bertemu dengan iris sekelam malam di depannya. Sudah sangat terlambat baginya untuk putar balik, karena orang itu sudah mencengkeram kaosnya dan mengangkat tubuh mungilnya, seolah-olah memungut kucing kecil.

"Lepas! Lepaskan aku! Apa sebenarnya maumu?" teriak Naruto sambil meronta-ronta. Kakinya menendang-nendang udara, sedang tangannya menggenggam cengkraman tangan pria misterius itu.

"Membunuhmu. Bukankah sudah ku katakan tadi?" katanya dengan entengnya.

"Untuk apa?" tanya Naruto gusar. "Dengar! Percuma saja kau menangkapku dan membunuhku. Itu tak akan mempengaruhi Konoha. Mereka bahkan mungkin berterima kasih padamu karena sudi menyingkirkan orang sepertiku. Jadi, lebih baik lepaskan aku sekarang,"

"Hn," balas orang itu tak perduli dan mengabaikan teriakan Naruto.

Ia membawa Naruto pergi ke sebuah tempat yang ditumbuhi pepohonan besar rapat dengan shunshinnya. Ia lalu menghempaskan tubuh mungil Naruto ke tanah diantara semak-semak belukar yang tumbuh dengan rimbun. Beberapa duri dari tumbuhan semak-semak itu berhasil melukai tubuh Naruto yang terbuka.

Naruto bangkit dengan susah payah dan memandang sekelilingnya. Matanya membulat horor, begitu menyadari dimana ia berada kini. 'Hut-hutan ke-kematian,' batinnya terkesiap. Ia menoleh takut-takut pada pria bertopeng itu. "Ap-apa yang mau ka-kau la-lakukan pa-padaku? Apa kau mau membunuhku dan mengumpankan aku pada bi-binatang-binatang bu-buas di si-sini?" cicitnya ketakutan.

"Bagaimana kalau ku katakan, iya?" jawabnya membuahkan pekik atau lebih tepat cicitan ketakutan dari bocah di depannya. "Ha ha ha..." ia tergelak-gelak geli, entah bagian mananya yang lucu dari situasi ini.

"Tenanglah, Nak. Aku tak berniat membunuhmu. Seperti katamu tadi, kau itu tak berguna. Meskipun kau ku bunuh dan ku cincang-cincang, itu tak akan memberi pengaruh apa-apa pada Konoha, apalagi ayahmu, Namikaze Minato. Benar bukan, wahai anak yang terbuang, N-A-M-I-K-A-Z-E N-A-R-U-T-O?" lanjutnya dengan nada memuakkan.

Naruto melengos. Meski tak ingin mengakuinya, tapi ia membenarkan ucapan pria bertopeng itu. "Lantas, apa maumu?"

"Aku ingin memberimu penawaran,"

"Apa?"

"Akan ku beri kau kekuatan. Kekuatan hebat yang akan membuatmu jadi seorang shinobi yang hebat, melebihi ayah dan ibumu sekaligus. Karena itu..., ikutlah denganku dan tinggalkan Konoha!"

Naruto terdiam dan berfikir, 'Tawaran yang menarik, tapi...'. "Maaf, aku tak tertarik."

Duakkk!

Naruto terpelanting karena tendangan yang tepat mengenai perutnya. "Cuih!" decihnya membuang ludah. "Sudah lemah, masih saja sombong. Memangnya apa yang kau dapatkan dengan kesombonganmu itu? Dasar pecundang!"

"Aku memang lemah, tapi aku tidak bodoh." Balas Naruto sengit. Ia tidak terima disebut pecundang.

Mata di balik topeng tengkorak itu menyipit curiga. "Maksudmu?"

"Seperti kata pepatah, tak ada makan siang yang gratis di dunia ini. Aku tahu kau punya maksud tersembunyi dibalik sikap murah hatimu itu."

'Pintar. Memang pantas jadi anak seorang Namikaze Minato,' pikirnya. Matanya berkilat licik, berasa menemukan mutiara terpendam. "Huh, apa pentingnya kau tahu itu? Yang penting kau berhasil mencapai keinginanmu itu, menjadi seorang shinobi yang hebat," bujuknya.

"Dan lalu berakhir menjadi tameng dan senjata mematikanmu demi mencapai ambisimu?" ujar Naruto sinis. "Maaf, aku tak tertarik. Hidupku memang tidaklah bahagia-bahagia amat, namun jadi alat orang lain juga tidaklah lebih indah."

"Kau bisa bicara sesombong itu karena kau tak mengenal bagaimana dunia ini bekerja, Nak. Jika Konoha mengkhianatimu dan berbalik memusuhimu, aku yakin kau akan berlari padaku, merengek-rengek, memohon kekuatan padaku." tukas pria bertopeng itu gusar.

Tatapannya berubah sendu. Mungkin, ia sedang mengingat masa-masa pahit dalam hidupnya, ketika ia dikhianati dan dimusuhi orang-orang yang dipercayainya. "Apa kau akan begini terus? Diam seperti patung. Memangnya, kau tak ingin membalas perlakuan jahat orang-orang Konoha itu padamu? Memangnya, kau tak ingin menuntut untuk setiap perlakuan tidak adil orang tuamu?"

Safir Naruto berubah keruh. Hatinya bimbang. Ia mengingat hari-hari sepinya, pandangan sinis seluruh penduduk desa, dan tatapan dingin kedua orang tuanya selama ini. Monster yang hidup dalam dirinya, kini terbangun dari tidur panjangnya. Ia memberontak hebat ingin keluar dari sangkarnya selama ini.

Naruto menatap tangan pria bertopeng yang terulur padanya, menatapnya ramah. Ingin rasanya ia menerima uluran tangan orang itu. Namun, ada sesuatu yang menahannya. Kilasan percakapan antara dia dan Hokage ketiga menyeruak masuk ke dalam otaknya, membuatnya berkata, "Tidak. Aku tetap tak mau ikut denganmu."

"Kita lihat saja nanti! Apa kau masih berpendapat sama, saat perlakuan buruk mereka semakin menjadi-jadi padamu?"

Itu adalah kalimat terakhir yang Naruto dengar, karena setelah itu ia merasakan kegelapan menyeretnya, memasuki zona mimpi. Naruto mendengar suara burung berkeciap dari atas langit, ketika ia pertama kali membuka mata. Tubuhnya menggigil, merasakan dinginnya embun pagi menyentuh kulitnya.

Susah payah, ia terbangun. Rasa ngilu dan nyeri akibat tendangan dan pukulan pria bertopeng itu masih terasa di sekujur tubuhnya. Hal pertama yang ia lakukan setelah bangun adalah menganalisa, dimana dia berada sekarang.

'Hutan,' batinnya setelah kesadarannya penuh.

Rupanya, ia masih berada di tempat yang sama, masih di dalam hutan kematian. Ia mengedarkan pandangannya. Bisa ia lihat, bekas-bekas pertempuran di tempat ia berbaring saat ini. Mungkin pria bertopeng itu bertarung dengan para anbu usai Naruto pingsan, dan tertangkap —harapannya—.

"Uuh, lalu kenapa para anbu itu tidak menolongku dan membiarkan aku tergeletak di sini! Teganya!" serunya kesal.

Naruto bangkit dari acara duduknya. Ia berjalan tertatih-tatih, melewati semak-semak berduri dengan kakinya yang telanjang. Sepatunya hilang, mungkin terjatuh ketika ia lari dari pria bertopeng itu semalam, atau saat pria bertopeng itu membawanya ke hutan.

"Auch..." ringisnya merasakan nyeri yang menyengat karena ada duri yang menusuk telapak kakinya. Ia berjalan terpincang-pincang, mencari jalan yang tidak ditumbuhi semak-semak. Ia berjalan lurus, jalan yang diyakininya akan membawanya keluar dari hutan. Ia bersyukur dalam hati, karena pria bertopeng itu tak membawanya masuk jauh ke dalam hutan kematian. Ia masih bisa mendengar suara orang bercakap-cakap tak jauh dari tempatnya berdiri. Itu bukti kalau ia masih berada di pinggiran hutan.

Setengah hari kemudian, ia berhasil keluar dari hutan. Ia menarik nafas lega. Desakan perutnya yang bunyi terus-menerus sejak tadi, menyadarkannya untuk segera pulang ke rumah dan bukannya melamun di pinggiran hutan seperti orang bodoh.

Naruto mengambil jalan pintas menuju rumahnya. Rasa lapar dan lelah, membuat Naruto sama sekali tak menyadari tatapan penduduk desa yang berbeda dari biasanya. Tatapan mereka kini tampak bengis dan dipenuhi keinginan membunuh, ketika ia lewat. Ia terlalu asyik membayangkan hidangan lezat sang ibu dan kasurnya yang empuk untuk menyadari keadaan ganjil itu.

Wajah Naruto berseri-seri begitu melihat bayangan rumahnya tak jauh lagi. Tinggal beberapa langkah lagi, ia sampai. Aroma nan lezat yang berasal dari dapurnya, membuat air liurnya menetes. Ia pun bergegas pergi, tak sabar untuk mencicipi masakan ibunya.

Naruto baru saja mau membuka pintu rumahnya, ketika ia melihat barang-barangnya berserakan di depan pintu. Matanya terbelalak. 'Ke-kenapa barang-barangku ada di sini? Si-siapa yang melakukannya?' pikirnya bingung dan sekaligus marah.

Naruto tengah memunguti barang-barangnya yang berserakan, ketika pintu rumahnya dibuka kasar, membuat Naruto terlonjak hingga jatuh ke belakang. Dari dalam rumah keluarlah sosok ayah dan ibunya yang berdiri kaku, menatap dingin Naruto.

"Dasar anak tak berguna! Pergi kau dari sini! Menyesal aku merawatmu selama ini." ujar ibunya kasar.

"Kaa… kaasan!" panggil Naruto dengan suara gemetar dan tergagap karena syok.

"Jangan panggil aku kaasan! Aku bukan ibumu lagi. Enyah kau dari sini! Muak aku melihatmu. Dasar anak pembawa sial!" Hardik ibunya ketus.

Tak cukup dengan meneriakinya, ibunya juga melempar beberapa helai bajunya kasar ke tubuh Naruto. Naruto terbelalak sebelum kemudian wajahnya tertunduk sedih. Ucapan ibunya menohok hatinya, membuatnya sangat terluka. Ini bahkan jauh lebih menyakitkan daripada olok-olokan seluruh penduduk desa yang biasa dia terima dalam jangka waktu lama sekaligus. Ayahnya sama sekali tak membuka mulut, tapi tatapan dinginnya jauh lebih dingin dari biasanya membuat Naruto bungkam.

Naruto diam mendengarkan segala caci maki ibundanya. Usai melampiaskan kemarahannya pada Naruto, ibunya masuk ke dalam rumah, diikuti ayahnya yang tak lupa melemparkan tatapan jijik pada Naruto. Ibunya menutup pintu rumah dengan keras, menyisakan suara bedebam nan keras dan membuat Naruto kembali terlonjak dari tempatnya. Naruto hanya mampu mengusap dadanya yang nyeri.

Tak punya pilihan lain, Naruto dengan terpaksa meninggalkan rumahnya. Untuk apa lagi ia bertahan, jika orang tuanya sudah jelas-jelas mengusirnya. Ia mengemasi barang-barangnya yang berserakan di bawah. Dengan tangan gemetaran dan menahan air mata yang mau meluap, ia meruap baju-bajunya. Semua barang-barangnya ia jejalkan dalam tas punggung seukuran anak SD tak beraturan.

Naruto menatap miris tasnya. Semua barangnya selama 6 tahun 8 bulan dan 4 bulan lagi akan berusia 7 tahun, muat dalam satu tas. 'Inikah akhir dari anak pertama Namikaze Minato yang seorang hokage keempat dari desa ninja yang tersohor di seluruh negeri? Sungguh menyedihkan!' pikirnya mengasihani nasib malangnya sendiri.

"Yah, setidaknya mereka masih menyertakan celengan kodokku ini," gumamnya sambil memungut benda yang dimaksud dan disimpannya ke dalam tas.

…..*****...

Naruto berjalan sempoyongan dengan kaki terpincang-pincang hampir seharian penuh. Hari sudah larut malam, akan tetapi ia masih berjalan menyusuri jalan di pinggiran desa Konoha. Ia melangkahkan kakinya tak tentu arah. Meski sangat lelah dan lapar, ia masih juga belum mau berhenti berjalan.

'Untuk apa?' pikirnya.

Untuk apa ia istirahat, jikalau ia tak memiliki satu pun tempat untuk mengistirahatkan tubuhnya barang sejenak. Jangankan rumah tempat berteduh, bahkan di bawah naungan pohon pun, ia tak diperkenankan. Tak ada tempat di desa Konoha ini yang mau menerimanya. Semua orang yang dikenalnya, tiba-tiba berubah sikap padanya. Mereka berbalik membencinya dan memperlakukan Naruto dengan kasar.

Semua ini berawal dari insiden diusirnya dia oleh orang tuanya sendiri. Setelah itu, nasib malang seolah enggan menjauhinya.

Flashback

Naruto berjalan dengan langkah gontai, keluar dari kompleks rumahnya. Tangannya sesekali membetulkan tali tas punggung yang lusuh karena melorot. Sambil berjalan mencari tempat berteduh minimal hari ini, ia memikirkan alasan dibalik insiden pengusiran ini. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah dilakukannya hingga membuat orang tuanya sangat marah dan lalu mengusirnya.

Apa memang benar kesalahannya begitu besar hingga tak ada lagi kata maaf kali ini? Apakah akumulasi kenakalan-kenalannya selama ini yang membuat orang tuanya tak tahan lagi dengannya dan tak sudi tinggal di bawah satu atap dengannya? Apakah karena dia mempermalukan anak dari keluarga Inuzuka yang membuat ibunya sangat murka? Dan berjuta tanya lainnya memenuhi benaknya.

Naruto mendesah. Apapun kesalahannya itu, pastilah sangat besar hingga orang tuanya tega mengusirnya tanpa mempertimbangkan status mereka yang masih orangtua-anak dan mengabaikan pendapat Hokage ketiga selaku tetua yang katanya mereka berdua hormati.

Drap drap drap...

Suara derap kaki, memasuki indera pendengaran Naruto membuat Naruto yang asyik dengan dunianya tersadar. Ia mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk ke bawah. Matanya nanar menyapu sekelilingnya. Dari kejauhan, ia melihat kepulan debu yang dihasilkan oleh derap langkah kaki yang bergerak cepat dan dalam jumlah banyak.

'Ada apa, ya?' batinnya.

Pertanyaannya terjawab sudah, ketika ia mendengar suara salah satu penduduk berteriak, "Itu dia! Itu anak pembawa sial desa ini. Ayo kawan-kawan, kita tangkap dan kita beri pelajaran padanya!"

Mata Naruto membola sempurna. Ia tak percaya mendengar teriakan geram mereka. Dia tidak tahu kapan para penduduk desa itu berkerumun dan sepakat mengejarnya. Namun ada satu hal yang ia tahu, ia harus segera lari jikalau ingin selamat dari amukan kemarahan massa.

Naruto berlari kencang menyusuri jalanan Konoha diikuti para penduduk desa yang berteriak marah di belakangnya. Ada yang mengacungkan sabitnya. Ada pula diantara mereka yang memungut bongkahan batu, ranting, dan dahan pohon di sepanjang jalan yang mereka lalui, dan lalu melempari Naruto dengan itu.

Salah satu batu itu mengenai kepala Naruto. Tes tes tes... darah mengalir ke bawah dari kulit yang menganga akibat lemparan batu. Naruto menahan darah yang mengucur dengan sebelah tangannya sambil terus berlari, mencari tempat persembunyian yang aman.

Akan tetapi, para penduduk desa tidak tinggal diam. Begitu mengetahui lemparan batu mereka mengenai target, mereka jadi lebih semangat melempari Naruto. Batu, ranting dan dahan itu berhasil meninggalkan nyeri, memar dan darah pada bagian tubuh yang dikenainya. Meski demikian, itu tak membuat Naruto berhenti dan menyurutkan larinya.

Naruto masih terus berlari, meski nafasnya sudah tersengal-sengal hampir putus. Ia mengabaikan seluruh rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia masih terus memaksakan kakinya yang lelah dan sakit untuk terus berlari. Ia tak punya pilihan lain selain terus berlari. Riwayatnya pasti habis, jika ia berhenti.

"Auchh..." ringis Naruto ketika ada dahan pohon lumayan besar berhasil mengenai tulang betisnya dan membuatnya terjungkal ke depan.

Kakinya tak mampu ia gerakkan. Dahan itu berhasil mengenai otot betisnya dan melumpuhkan gerakannya. Naruto yang ketakutan dengan penduduk desa yang sudah sangat dekat dengannya dan menatapnya bengis. Ia beringsut dengan kedua tangannya yang tidak cedera ke belakang.

"Am-ampun!" pintanya ketika jaraknya dengan penduduk desa tinggal satu langkah.

Akan tetapi, mereka tak menerima teriakan minta ampun Naruto. Dengan kalap, mereka menyiksa tubuh ringkih Naruto yang tak berdaya di tanah. Mereka menulikan setiap teriakan menghiba minta ampun yang keluar dari bibir Naruto yang sudah sobek dan mengeluarkan darah.

Mereka baru berhenti setelah Naruto bersimbah darah, penuh luka, dan pingsan di tengah jalan. Mereka membiarkan Naruto terkapar di jalan begitu saja, seolah ia bangkai kucing yang tak ada harganya. Seluruh barang Naruto rusak parah dan tak bisa digunakan lagi. Bahkan celengan kodoknya yang isinya tak seberapa pun lenyap diambil orang.

Naruto tersadar dari pingsannya ketika bulan sudah menampakkan diri di langit. Dengan susah payah, memaksakan kakinya yang cedera, Naruto berjalan mencari bantuan. Pikiran pertamanya tertuju pada kakek Hokage ketiga. Akan tetapi, bukan kakek kesayangannya yang menyambutnya, melainkan Asuma jisan.

Asuma berdiri di depan pintu dengan wajah masam dan gesture tubuh yang begitu kaku. Ia tidak lagi bersikap ramah pada Naruto seperti dulu kala. Dan, tiba-tiba untuk pertama kalinya, ia mendengar Asuma mencacimakinya dan mengusirnya dengan kasar dari rumahnya. Bantingan pintu sebagai pamungkas dari acara caci maki itu.

Tapi itu tidaklah seberapa, dibandingkan dengan ucapan menyakitkan yang keluar dari bibir Shikamaru dan Choji, dua sahabat yang sangat dipercayainya selama ini. Cacian keduanya membekas erat dalam otaknya dan mampu membuat dunia Naruto runtuh, seolah tanah yang dipijaknya baru saja terbelah jadi dua dan menelannya ke dalamnya.

Ia pikir selama ini mereka teman baiknya, seia sekata dalam suka maupun duka. Ternyata... Naruto menggeleng sedih. 'Semua itu palsu. Hanya sebuah sandiwara picisan dengan aku pemerannya.' Pikirnya muram.

Mereka bilang, "Kau pikir aku mau berteman denganmu selama ini? Jangan mimpi! Selama ini, aku hanya berpura-pura baik padamukarena ini permintaan khusus Hokage ketiga. Kini, hokage ketiga sudah tidak ada. Beliau tewas karenamu. Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi kami untuk berteman dengan pecundang menyedihkan sepertimu."

Mulut Naruto menganga lebar. Kepalanya menggeleng-geleng tak percaya, meski semua sudah tampak jelas di depan mata. Mulutnya membuka menutup seperti ikan kembung, namun tidak ada satupun huruf yang keluar dari bibirnya untuk membalas ucapan keji Shikamaru.

Naruto berdiri kaku, menatap nanar keduamantan sahabatnya yang pergi meninggalkannya begitu saja, usai melampiaskan kebenciannya padanya. Naruto masih termangu di tempatnya berpijak. Tak ada isak tangis atau air mata yang mengalir. Ia hanya diam membisu dengan safir yang kini tampak kosong, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan.

Narutoakhirnya meninggalkan rumah orang yang telah menorehkan luka yang begitu dalam padanya. Dengan tubuh lunglai, ia melangkah tak tentu arah. Ia berjalan seperti zombie dengan mata yang kosong. Pengkhianatan Shika dan Choji telah membuatnya kehilangan harapan.

Apalagi yang harus dia perjuangkan? Tak ada. Semuanya hilang. Semua sudah lepas dari genggaman tangannya. Tak ada lagi tempat untuknya di desa ini. Huh, betapa menyedihkannya hidupnya ini. Selama ini, ia hidup dalam sebuah panggung sandiwara. Hidupnya adalah sebuah kebohongan besar. Persahabatan yang ia jalin selama ini yang ia pikir kuat, ternyata itu hanya ilusi. Semuanya palsu.

Naruto masih melangkah, menghiraukan lemparan batu para penduduk desa yang dilewatinya. Ia tak berniat lari menghindari mereka ataupun membalas. Untuk apa? Untuk apa ia bertahan, jika tak ada satupun orang di dunia ini yang menyayangi dan menginginkannya? Satu-satunya orang yang tulus padanya sudah tiada. Dua orang sahabatnya pun kini mengkhianatinya. Semua sudah selesai. Hidupnya tak ada artinya lagi.

End flashback

Tubuh Naruto oleng, nyaris rubuh kalau saja tangannya gagal menyangga tubuhnya dengan berpegangan pada pohon di depannya. Namun, tak lama kemudian ia rubuh juga. Kakinya yang gemetaran sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Naruto mutlak harus istirahat. Ia bisa mati, jika terus memaksakan diri.

'Pinggiran Konoha,' batinnya begitu ia selesai mengobservasi sekelilingnya.

Ya, setelah perjuangan panjang dan berat, akhirnya Naruto berhasil keluar dari perkampungan penduduk desa. Menganggap semuanya aman, Naruto memutuskan beristirahat di bawah pohon tempat ia rubuh tadi.

"Ouchh..sss.." ringisnya saat batang pohon tempatnya bersandar menggesek kulitnya yang terluka diantara sobekan bajunya.

Ia mengusap kasar darah yang mengucur dari luka-lukanya dengan sobekan bajunya, sambil menahan perih. Kriukk kriukk kriukk.. Perutnya kembali berbunyi nyaring. Sebetulnya Naruto sadar, ia sedang lapar saat ini, akan tetapi ia mengabaikannya. Ia tak punya makanan secuilpun untuk mengganjal perutnya yang keroncongan itu.

Naruto memejamkan matanya untuk mengalihkan rasa lapar yang melilit dan nyeri yang berasal dari luka-luka di tubuhnya. Dengan beralaskan rerumputan, beratapkan langit malang yang berhiaskan bintang-bintang, si kecil pun tertidur pulas. Angin malam bertiup lembut, membelai tubuh si kecil yang pulas, seolah-olah berniat menghiburnya dikarenakan iba dengan beban penderitaan si kecil.

Sungguh malang betul nasib putra pertama hokage keempat ini. Di saat anak-anak seusianya tertidur lelap di atas kasurnya yang hangat usai dibacakan dongeng sebelum tidur oleh ibunya, ia justru tidur di luar rumah seorang diri, tanpa makanan, uang, ataupun pakaian hangat untuk melawan dingin yang menusuk tulang.

Naruto terbangun keesokannya karena hardikan seorang penduduk desa yang terganggu dengan kehadirannya. Sambil menahan sakit, Naruto beranjak dari posisi tidurnya. Ia melangkahkan kakinya terseok-seok, menyusuri pinggiran sungai, jauh meninggalkan desa tempat kelahirannya.

Naruto kembali beristirahat begitu sudah jauh dari desa. Ia ambruk di tanah karena rasa lelah yang tak sanggup lagi ia tahan. Ia beristirahat di lembah akhir, tempat dimana ada air terjun mengalir jernih. Konon, air terjun itu tercipta setelah terjadi pertarungan dahsyat antar pendiri desa Konoha yakni Hokage pertama, Senju Hashirama dan pemimpin klan Uchiha, Uchiha Madara.

Naruto duduk di bebatuan sungai. Ia menciduk air sungai yang mengalir jernih dengan kedua telapak tangannya untuk menghilangkan dahaganya. Segera saja sejuknya air sungai memasuki kerongkongannya. Uuh, rasanya segar sekali. Rasa lelahnya seolah ikut lenyap berkat kesegarannya.

Naruto berniat mandi, ketika pria bertopeng misterius itu kembali muncul di hadapannya dan mengejek keadaannya lewat sorot matanya. "Bukankah sudah katakan dari kemarin, tinggalkan saja desa terkutuk ini dan ikut aku. Kau terlalu keras kepala. Lihat keadaanmu kini, bocah! Kau sangat menyedihkan." Meski sambil mengejek, orang itu tetap berbaik hati mengobati luka-luka Naruto.

"Dan bukankah sudah ku katakan, aku tak tertarik. Ouch..., pelan-pelan!"

"Jangan cengeng! Kau itu laki-laki," tukasnya mendengar rengekan manja Naruto. "Kenapa kau begitu keras kepala? Apa salahnya menerima tawaranku? Aku jauh lebih baik padamu, daripada para penduduk desa Konoha yang memusuhimu bahkan kedua orang tuamu."

"Memang." Ujar Naruto menyetujui lirih. Matanya tampak berkabut. "Tapi, aku tetap tak mau ikut denganmu. Meski mereka bersikap buruk, aku tetap tak mau mengkhinati desa." Tambahnya sambil menatap sendu desa Konoha yang ditinggalkannya.

Mereka memang bersikap jahat dan kejam pada Naruto yang notabene masih kecil. Namun, tak pernah terbersit sedikit pun dalam benaknya, untuk membalas perlakuan keji mereka. Ia pikir, 'Jika ia balas dendam pada mereka, dengan melakukan kekejian yang sama seperti mereka, lalu apa bedanya dia dengan mereka? Sama-sama jahat dan sama-sama keji.'

"Apa sih yang membuatmu setia pada desa yang telah membuatmu hidup menderita?" pertanyaan pria bertopeng itu menyentakkan lamunan muram Naruto.

"Aku tak ingin mengecewakan harapan kakek hokage ketiga."

"Sekarang hokage ketiga sudah tak ada. Lalu, apa yang menghalangimu?"

"Jasadnya memang sudah tidak ada di dunia ini. Tapi, tekad Beliau untuk menciptakan perdamaian tidak akan pernah surut. Akan selalu abadi di dada para shinobi didikannya. Aku salah satunya."

"Aku bisa mewujudkan perdamaian yang kau impikan itu. Aku mampu menciptakan sebuah dunia yang adil, tanpa diskriminasi, dan yang terpenting tidak ada peperangan di dalamnya."

"Bicara itu mudah. Siapapun bisa bicara seperti itu. Namun, nyatanya hal ini tak pernah tercipta. Perang masih terus ada. Ketidak adilan dan diskriminasi antar klan, antara shinobi dan penduduk sipil tetap berlangsung. Bahkan, seorang Uchiha Madara yang mendapat julukan ghost shinobi pun gagal." Jelas Naruto mengingat ulasan hokage tentang cita-cita hokage sekaligus asal-usul desa Konoha.

Naruto menatap serius pria bertopeng di sampingnya itu, tepat pada iris matanya. Hokage ketiga pernah bilang, "Mata adalah jendela hati seseorang. Kita bisa melihat apa yang dikatakan orang itu bohong dan apa yang tengah dirasakannya melalui mata. Karena itu, saat berbicara dengan seseorang, pandanglah matanya!"

"Bagaimana caramu mewujudkan perdamaian?" tanya Naruto akhirnya setelah 10 menit dalam keheningan.

"Dengan proyek mata bulan."

"Proyek mata bulan?"

"Ya, proyek mata bulan. Itu adalah jutsu genjutsu paling kuat di muka bumi ini. Dengan menggunakan bulan sebagai perantara, aku bisa menggenjutsu seluruh shinobi yang tersebar di berbagai desa ninja untuk tidak saling bertikai. Mereka akan hidup berdampingan tak perduli asal desa mereka."

"Genjutsu yang hebat. Tapi, itu pasti sangat berat syaratnya." Gumam Naruto.

"Begitulah. Untuk menciptakan genjutsu ini, aku butuh cakra juubi."

"Juubi? Aku tak pernah dengar?"

"Tentu saja, karena Juubi belum ada di dunia ini. Juubi baru bisa lahir, jika bijuu-bijuu di seluruh penjuru dunia disatukan. Dengan kekuatan juubi, akan ku buat semua orang jatuh dalam Mugen Tsukuyomi-ku. Akhirnya semua orang akan hidup berdampingan, damai, dan tak ada lagi kebencian di dada mereka. Itulah yang ku sebut Proyek Mata Bulan,"

"Rencana yang bagus," Kata Naruto membuahkan sebuah senyuman si pria bertopeng yang berfikir Naruto pasti sependapat dengan pemikirannya. "Tapi, sayang. Itu tak akan pernah berhasil. Sampai mati pun, kau tak mungkin bisa mewujudkannya." Lanjut Naruto menghempaskan harapan si pria bertopeng.

"Kenapa tidak mungkin? Aku punya kekuatan. Kekuatan yang sangat hebat hingga bahkan Konoha pun tidak ada apa-apanya bagiku. Aku yakin mampu mengumpulkan seluruh bijuu di dunia ini, termasuk kyuubi yang ada di tubuh Menma, adikmu," teriak pria bertopeng itu arogan.

Ekspresi Naruto masih datar tak terbaca, meskipun mendengar berita besar ini, jikalau Menma adiknya, seorang jinchuuriki Kyuubi. Kalaupun Naruto terkejut, ia berhasil menutupi keterkejutannya dengan baik, walaupun ia bukanlah seorang keturunan Uchiha.

Dengan tenang, ia berkata, "Kau mungkin mampu mengumpulkan seluruh bijuu yang tersebar di seluruh desa-desa ninja. Tapi, tidak dengan perdamaian. Karena perdamaian dunia tidak akan tercipta dari orang-orang sepertimu."

Mata orang itu menyipit, "Memangnya, kenapa dengan orang sepertiku?"

"Kau yang hatinya sudah diselimuti oleh kegelapan tak mungkin bisa mewujudkan perdamaian. Perdamaian hanya bisa terwujud dari orang-orang terpilih Kami-sama yakni orang-orang yang berhati bersih. Hanya dari orang-orang bersih seperti merekalah, perdamaian yang hakiki baru bisa terwujud."

"Huh, omong kosong. Orang-orang bersih itu tak lebih dari kedok untuk menutupi kelemahan mereka, ketakutan mereka akan kematian." Ejeknya. Ia menatap Naruto serius. "Yang terpenting di dunia ini adalah kekuatan. Dengan kekuatan, kau bisa melakukan segalanya, termasuk menghentikan peperangan yang menyedihkan."

"Berarti kau itu bodoh." Sahut Naruto ketus.

"Hati-hati dengan ucapanmu, Nak! Kau lupa, kau sedang bicara dengan siapa?"

"Kau itu dungu."

Plakkk!

Sebuah tamparan melayang di pipi tan Naruto, meninggalkan bekas kemerah-merahan di pipinya. "Sudah ku katakan, hati-hati dengan ucapanmu! Aku bisa dan mampu membunuhmu sekarang juga."

"Lakukan saja! Kau pikir, aku takut pada orang bodoh yang berlagak hebat sepertimu."

"K-KAU!"

"Itu kenyataannya, Kakak. Tidakkah kakak belajar dari pengalaman?"

"Apa maksudmu?"

"Sebuah kekuatan memang diperlukan untuk melindungi perdamaian dan keadilan, tapi itu bukan faktor utama. Itu hanya sementara dan suatu saat akan meledak menjadi bencana yang jauh lebih dahsyat. Sejarah selalu mengulangi dirinya." Ujar Naruto bijak.

Naruto menatap air yang mengalir di bawah kakinya. "Dulu, Hokage pertama juga ingin menciptakan perdamaian dunia dibantu oleh sahabatnya, Uchiha Madara. Dengan gabungan kekuatan mereka berdua, harusnya perdamaian itu terwujud. Nyatanya tidak. Justru yang terjadi lebih buruk dari sebelum-sebelumnya. Perang bukan lagi antar klan, tapi sudah tataran antar negara. Akibatnya, banyak warga sipil yang tak berdosa yang jadi korban,"

"Oh, ya? Lalu bagaimana dengan rencana hokage ketiga yang kau hormati itu, dalam mewujudkan perdamaian di dunia ini?"

"Dengan memutuskan rantai kebencian. Selama ada rantai kebencian, saling curiga antar desa ninja, maka selamanya perang akan terus terjadi."

"Dan bagaimana caramu memutus rantai kebencian."

"Dengan belajar untuk tidak balas dendam dan saling memahami antar sesama shinobi. Pertama kita tanamkan ini ke benak para shinobi di desa kita, setelah itu menyebarkannya ke desa tetangga lainnya. Suatu saat akan lahir rasa pengertian dan saling menghormati antar desa. Dan akhirnya rantai kebencian itu pun akan hilang."

"Dan kapan itu akan terjadi, Bocah? Pasti itu butuh waktu yang sangat lama dan juga sangat sulit."

"Siapa bilang mudah? Jika mudah, pasti perdamaian sudah terwujud sejak dulu. Tapi, sekali lagi inilah jalan yang benar, jalan yang ditempuh oleh orang-orang cinta damai. Jikalau masa kita sudah habis dan itu masih belum terwujud, masih ada generasi akan datang yang akan menggantikan kita mewujudkannya. Jalan pintas memang menggiurkan, menawarkan banyak kemudahan, akan tapi mengakibatkan penderitaan yang tak berkesudahan. Itu pasti. Sejarahlah saksinya,"

"Teorimu terdengar indah di telinga, tapi tidak pada kenyataannya, Nak."

"Tidak juga. Di masa lalu, ninja-ninja antar klan saling bertikai dan membunuh. Anak-anak berusia 12 tahun sudah turut maju dalam medan pertempuran dan mati sia-sia. Akan tetapi, Senju Hashirama berhasil melerai pertikaian itu dan lalu membangun sebuah desa yang diberi nama Konoha bersama Klan Uchiha dan lalu diikuti klan-klan lainnya yang sebelumnya saling bertikai. Mereka kini bahkan bisa saling bekerja sama. Bukankah itu artinya bisa diwujudkan? Kini, tergantung kita. Apakah mau mewujudkannya atau tidak?"

Pria bertopeng itu menatap Naruto dalam. Naruto bisa membaca rasa haru dan kagum dari sinar matanya yang awalnya berwarna hitam gelap kini berganti menjadi biru safir yang indah. Rambutnya yang berwarna hitam dan panjang kini memendek dan berubah jadi kuning keemasan, berdiri menantang layaknya duri buah durian, mirip dengan milik sang ayah.

Naruto mengedipkan bulu matanya. Tadi ia bilang apa? Berubah warna? Jangan-jangan penampilan yang dilihatnya selama ini hanya sebuah henge dan inilah sosoknya yang asli? Jantung Naruto berdegup kencang. Ia meneguk ludahnya susah payah. Sebuah pemikiran gila mampir di otaknya.

'Jangan-jangan dia...' batinnya takut jika pikirannya ini salah.

Tangan Naruto terulur ke depan, menarik topeng tengkorak yang menutupi wajah pria itu. Safir Naruto membola, melihat wajah yang selama ini tersembunyi dibalik topeng. "T-tousan!" pekiknya terkejut. "Tap-tapi kenapa?" tanyanya diantara kebingungannya. "Apa sebenarnya tujuan tousan? Kenapa tousan melakukan ini padaku?" imbuhnya.

"Aku sering melihatmu diam-diam mempelajari gulungan berisi jutsu. Apa kau tertarik menjadi ninja, Nak?" tanya Minato enggan menjawab pertanyaan sang anak.

"I-iya, tousan. Aku memang ingin jadi shinobi. Tapi..." tangannya meremat kedua tangannya resah, takut dengan reaksi ayahnya.

"Begitu? Aku mengerti. Mulai besok, ayah akan melatihmu menjadi seorang shinobi yang hebat dan memasukkanmu ke akademi."

"Aku senang sekali mendengarnya. Tapi, itu tidak mungkin terjadi. Cakraku tidak cukup untuk menjadi seorang shinobi. Lagipula, para penduduk desa membenciku dan aku..." Naruto menundukkan wajahnya muram, "…tak punya teman. Seorang pun," tambahnya dengan suara lirih.

"Kau lupa siapa aku? Aku adalah Minato si shinobi genius dari Konoha. Tenanglah, Nak! Aku sudah menciptakan satu jutsu khusus untuk orang-orang dengan cakra kecil sepertimu. Jutsu ini tidak memakan cakra, tapi memakan staminamu. Jadi, kau pun bisa menguasainya. Aku bahkan sudah menciptakan cara untuk meningkatkan cakramu,"

"Be-Benarkah itu?" tanya Naruto dengan mata yang berbinar-binar.

Minato merasa kikuk dipandangi anaknya dengan mata yang penuh harap. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Ia jadi malu dengan perbuatannya selama ini, hal-hal buruk yang ia lakukan pada anak kandungnya sendiri.

Minato memamerkan seringai bodohnya pada Naruto, saking malunya. "Well, sebenarnya, selama ini, ayah menjauhkan diri darimu, karena ayah ingin berkonsentrasi menciptakan jutsu ini. Ayah percaya, suatu saat kau pun ingin menjadi seorang shinobi yang hebat sama seperti Menma, karena itulah ayah bekerja keras selama ini. Anggaplah ini hadiah dari ayah untuk putra ayah yang paling pintar ini."

Naruto tersipu malu dipuji sang ayah paling pintar. Ia sering dipuji demikian oleh Hokage ketiga, ketika ia berhasil menjawab pertanyaannya atau berhasil mempraktekan ilmu yang diajarkannya. Mungkin ada puluhan kali moment itu. Namun, rasanya sangat berbeda, jika ayah kita sendiri yang memuji kita.

Rasanya ratusan kali lebih menyenangkan. Dada Naruto seperti bengkak karena dipenuhi oleh rasa bangga dan senang. Ia seperti mendapatkan semua hal yang indah dalam genggaman tangannya. Dan, ia merasa lebih terpacu untuk lebih baik lagi agar ayahnya tidak merasa rugi sudah memujinya pintar.

"Lalu, bagaimana dengan penduduk desa?"

"Insiden pengusiran dan pemukulanmu oleh para penduduk desa, itu tak perlu kau pikirkan. Apa yang kau lihat itu hanyalah genjutsu. Mereka tidak benar-benar melemparimu dan mengusirmu."

"Benarkah? Lalu ba-bagaimana dengan luka ini? Ini terlihat asli?" tunjuknya pada memar dan luka-luka di tubuhnya.

Hi hi hi... Minato tertawa geli. "Sebenarnya dari semalam, kau sudah kena genjutsu ayah. Luka ini asli, karena aku memang membuatnya asli. Aku memukulmu beberapa kali agar kau percaya, memang itulah kejadian yang sebenarnya, Nak."

"Tapi, kenapa?"

Minato, ayahnya tak menjawab pertanyaannya, melainkan meraihnya dan membawanya dalam pelukan nan hangat. Air mata menetes dari kelopak sang ayah turun membasahi wajah Naruto yang masih dilanda kebingungan. Ia lalu melepaskan pelukannya, hanya untuk menghujani putranya ciuman bertubi-tubi.

"Karena ayah ingin mengujimu, apa kau layak menjadi seorang shinobi Konoha. Ayah ingin melihat tekad api dalam dirimu, Nak, sebelum ayah mewariskan jutsu ini padamu. Dan kau lulus dalam tes ini. Ayah bangga padamu, Nak. Kau memang putraku, putra Namikaze Minato," Ujar Minato dengan wajah bangga sebelum berubah jadi muram, mengingat perbuatannya selama ini yang membuat Naruto terluka.

"Maaf jika kau terluka karena ini, Nak. Ayah tak bermaksud menyakitimu. Semua ini ayah lakukan karena ayah ingin kau tumbuh jadi anak yang hebat, bukan hanya hebat dalam ninjutsu, tapi juga kuat dalam memegang teguh tekad api yang diwariskan hokage pertama. Sekarang ayah percaya padamu, Nak. Ayah percaya kau mampu jadi shinobi yang hebat bahkan melebihi hokage-hokage sebelumnya."

Naruto terkejut entah untuk yang ke berapa kalinya dalam dua hari ini. Banyak sekali kejutan yang diterimanya. Dan ia yakin akan lebih banyak sekali kejutan lainnya. Ia percaya ayahnya menyimpan banyak rahasia mengenai dirinya, namun ia juga percaya apapun itu pastilah untuk kebaikannya dan juga Konoha.

'Jadi ini yang dimaksud Kakek Hokage tentang ayah yang anti-mainstream. Tapi, menurutku sih ini bukan anti-mainstream, melainkan crazy. Tapi, tak apalah. Aku juga suka dengan sifat ayah yang ini. Ini artinya ayah tidak hanya menganggapku sebagai anak kecil, tapi juga manusia utuh yang bisa dimintai pendapatnya, sebelum memutuskan masa depan hidupnya.' Batin Naruto penuh suka cita.

Naruto tersenyum dan membalas pelukan ayahnya. "Tidak, Naru tidak pernah marah pada tousan. Terlebih setelah tahu alasannya. Naru jadi merasa bangga. Menurut Naru, tousan adalah ayah terhebat di dunia ini."

Minato mengeratkan pelukannya. Hatinya bengkak oleh rasa haru akan perkataan sang anak. Rasa bangga ini membuatnya lebih semangat. "Sebaiknya kita lekas pulang, ibumu pasti sudah menunggumu di rumah. Ia mungkin sudah marah-marah hari ini, karena kau tak pulang-pulang selama dua hari."

"Memangnya ini gara-gara siapa? Pokoknya tousan harus membantuku jika Kaasan marah."

"Hn." Gumam sang ayah, lalu mengajak Naruto pulang berjalan kaki berdampingan.

Senja itu jadi saksi bisu kebersamaan indah antara ayah dan anak.

TBC / END