~ A White Lie ~

Naruto © Masashi Kishimoto

A SasuNaru Fanfiction.

Warning: Yaoi, Gaje, Alur Tidak Jelas dan Cepat, AU, Mainstream, EYD (Ejaan Yang Dipaksakan).

Sebuah fanfik dari Newbie!

Enjoy Reading Minna~

.

.

Douzo!

.

.

.

Jam kosong berasa surga bagi seluruh penghuni kelas 2C. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan waktu, seperti halnya Sakura yang sibuk curhat ke sahabat-sahabatnya yang bersurai warna warni.

"Ayolah, Forehead, kau jangan bersedih lagi. Masih banyak cowok di sekolah ini, jika dia menolakmu maka kau akan menemukan seseorang yang benar-benar cocok denganmu."

Ino, gadis berambut pirang pucat berusaha bersikap bijaksana saat sahabat pinknya mengadu pada mereka kalau dia kemarin ditolak sama gebetannya, frustasi hingga terasa dunia kiamat. Simpatik sih, tapi Ino tidak bisa mengabaikan akal sehatnya.

"I-itu betul Sakura-chan. Mu-mungkin dia memang bukan pasangan terba-baik untukmu." Giliran Hinata mengajukan opini. Gadis beriris bulan yang selalu gagap karena gugup itu mengusap bahu Sakura lembut. Meremasnya pelan -menguatkan.

"Tapi Pig, Nata-chan, aku mencintainya. Dia itu segalanya bagiku."

Sakura kembali menyangkal, lari dari kenyataan.

"Tapi bukan berarti dunia berakhir jika dia menolakmu, Pinky!" gadis berkacamata berambut merah mulai darah tinggi. Kesal dengan segala alasan yang dilontarkan gadis musim semi itu untuk membantah perkataan sahabat-sahabatnya yang berusaha menghiburnya.

"Kalian ini sahabatku atau bukan sih? Kenapa kalian terkesan membelanya dan malah menjatuhkanku?! Dan kau, Karin. Kau tidak tau perasaanku, jadi kau tidak tau bagaimana rasanya." Sakura menunjuk Karin dengan wajah memerah -emosi.

"Kalian ini pada kenapa sih? Sebenarnya 'dia' siapa yang kalian sebut-sebut dari tadi?"

Cowok satu-satunya diantara para cewek yang menghela nafas dengan glare tajam mengarah padanya, menggaruk kepala pirangnya -gugup.

"Naruto! Bisa tidak ke-lola-anmu itu dinonaktifkan sebentar? Kau merusak suasana tau!"

Hei, jangan salahkan dia kalau tidak bisa mengikuti obrolan mereka. Salah sendiri dari tadi mereka terus saja menyebut-nyebut 'dia', sosok yang tidak berwujud -menurut Naruto. Memangnya dia paranormal, bisa tau sendiri tanpa perlu dijelaskan? .-.

"Tapi Ino, aku tidak mengerti siapa 'dia' yang kalian maksud."

Dari pada dia menebak-nebak tidak jelas, mending tanya saja langsung, meski beresiko kepalanya-

Bletakk!

-benjol karena jitakan maut.

"Kau memang bodoh Naruto. 'Dia' yang kami maksud itu cowok paling tampan di sekolah ini. Paling berprestasi, dan paling keren. Uchiha Sasuke, anak kelas 2A. Kyaa!"

Walau dengan desisan berbahaya berujung pekikan layaknya fangirl norak, Sakura tetap menjelaskan siapa gebetan yang sudah menolaknya.

"Oh, jadi Si Sasuke itu yang sudah melukaimu. Aku akan menghajarnya jika nanti aku bertemu dengannya!" Naruto bertekad dengan sepenuh hati.

"Me-memangnya N-naruto-kun tau y-yang mana Sasuke?"

"Gehehe. Tidak tau, Hinata-chan."

Cengiran tak berdosa nampang di wajah Naruto. Keempat cewek di hadapannya menepuk jidat masing-masing, sweatdrop.

.

.

~ NightSun-TomatoOrange ~

.

.

Kantin berubah jadi ajang war saat istirahat, saling unjuk kekuatan untuk mencapai tujuan -memesan menu di ibu kantin, tak jarang para siswa saling dorong dan berteriak layaknya di hutan. Apalagi jika menu yang disediakan itu langka, seperti ramen jumbo dengan potongan harga, pasti para siswa yang kelaparan juga berkantong tipis, berubah bringas.

"Bibi, aku pesan ramen dan jus jeruk satu!"

Sejumput rambut pirang terlihat menyembul diantara gelombang dahsyat manusia-manusia barbar pencari pengganjal perut, tangan yang terbalut kulit tan terangkat tinggi menunjukkan jati diri. Nasib menjadi chibi dibanding teman-teman seumurannya, tergencet hingga tak terdeteksi meski terus berteriak sampai serak, hingga...

"Bibi, aku pesan ramen, sandwich tomat, jus tomat, dan jus jeruk."

... suara barithone rendah di dekatnya mengalihkan perhatian Naruto. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan keadaan tubuhnya yang makin tergencet akibat pelonggaran pertahanan karena konsentrasinya tersedot oleh pemuda tampan berambut raven yang kini sedang menerima nampan berisi dua menu dari sang ibu kantin.

Srett-

Tangan tan yang masih di udara digenggam lembut dan ditarik perlahan keluar dari kerumunan.

Naruto bisa bernafas lega ketika tubuhnya bebas dan leluasa bergerak. Bagai kerbau dicocok hidung, Naruto terus melangkah mengikuti pemuda di depannya. Iris shappire miliknya menatap telapak tanggannya yang digenggam erat tangan besar berkulit alabaster dingin namun terasa hangat milik sang pemuda -malaikat penolongnya.

Tap-

Tiba-tiba pemuda raven berhenti dan menatap Naruto. Kecewa, itu yang dirasakan Naruto saat genggaman tangan mereka terlepas, melenyapkan sensasi hangat yang tercipta dari sentuhan kulit mereka. Tangan sang raven kini terjulur ke arah Naruto yang masih mengambang di angan, dan mendudukkan tubuh sang blonde ke salah satu kursi kosong di meja pojok kantin.

Tanpa banyak bicara, pemuda raven melangkah menjauhi Naruto setelah mengambil sandwich dan jus tomatnya dari atas meja.

Naruto tersentak dan berdebar kencang, seperti terlempar dari dunia angan ke realita dan terdampar lagi di Lala Land dalam sekejap. Dielusnya pelan helaian pirang dipuncak kepalanya yang terasa teraliri listrik statis. Senyum tipis terukir di bibir plumnya, kombinasi sempurna untuk pipi yang merona dan manik biru yang berbinar lembut, saat mengingat perlakuan terakhir pemuda raven sebelum meninggalkannya.

"Makan yang banyak."

Pesan sederhana yang mungkin orang lain mengira itu hanyalah sebuah basa basi, tapi bagi Naruto itu terdengar seperti nyanyian cupid di tengah badai(?), sanggup mengalirkan kehangatan dan rasa nyaman di hatinya. Terlebih tepukan lembut dari tangan sang raven di puncak kepala pirangnya makin membuatnya tidak karuan.

Katakan saja dia bodoh, aneh, gila, atau apapun karena merasa spesial dan bertingkah irrasional hanya karena pemuda yang tidak dia kenal, bahkan baru ditemuinya. Tapi kehangatan dan kenyamanan yang dirasakannya membuatnya tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain.

Kebahagiaan bisa didapatkan walau dari hal kecil yang sering dianggap remeh -sebuah kepedulian.
.

.

.

.

.

.

Pagi yang cerah, secerah wajah pemuda bersurai pirang yang berlari kencang memutari lapangan. Jauh meninggalkan siswa-siswa lain yang melakukan hal yang sama dengannya -berlari keliling, pada jam olahraga.

"Yahuu! Aku menang! Ehehehe..."

Pemuda yang bernama Namikaze Naruto itu meninju udara dengan semangat patriot, meluapkan euforia dalam diri. Wajah cerahnya makin bersinar kala senyum lebar disunggingkan. Dia hampir mempermalukan diri dengan menari-nari gaje saat disadarinya -kahirnya- ada seseorang yang memperhatikannya. Mata beriris onyx tajam menatapnya intens.

Mengabaikan niat awalnya yang absurd, Naruto mengedarkan pandangan matanya ke sekitar seolah mencari-cari. Yah, dia memang sedang memastikan bahwa memang dialah yang diperhatikan, bukannya orang lain. Bisa tengsinkan kalau dia terlalu ge-er.

"A-ano... apa kamu memperhatikanku?"

Dengan nekat Naruto menghampiri pemilik onyx berambut unik yang sedang duduk menumpuhkan sikut di lutut, serta mulut dan hidungnya tertutup telapak tangan di pinggir lapangan basket outdoor di seberang lapangan tempat Naruto berdiri.

"Hn."

Entah itu berarti iya ataukah tidak,Naruto tidak tau. Bukannya pede atau apa, tapi anggap saja itu iya. Haha, praktis kan?

"Kenapa?"

"Karena kau terlihat bahagia."

Deg!

Naruto baru menyadari siapa pemuda di depannya itu ketika tangan putih porselein yang menutup separuh wajah meninggalkan singgahsana sementaranya, memperlihatkan wajah tegas, hidung bangir, dan bibir tipis yang melengkung menginterpretasikan senyuman. Sport jantung. Jantung Naruto serasa lagi ikut maraton, berdetak kencang.

"K-kau!" tunjuk Naruto tak sopan. "Kau yang waktu itu menolongku kan? Yang waktu aku tergencet manusia barbar."

"Hn. Akhirnya kau mengingatnya juga, Dobe." Seringai terlihat di belah bibir sang raven.

"Ck! Itu karena kau terlihat berbeda." Naruto mengalihkan pandangan ke arah lain. Menyembunyikan semburat merah yang mulai muncul di pipinya -malu.

"Hn?" sebelah alis pemuda raven terangkat, heran. Apa maksudnya dia terlihat berbeda? Dia selalu terlihat keren dan tampan.

Uhuk, anda terlalu narsis, tuan Uchiha. -.-'

"Lupakan saja. Ngomong-ngomong, terimakasih banyak sudah menolongku."

Biarpun sering dibilang ceroboh dan bodoh, tetapi dia masih punya etika. Tidak melupakan kebaikan orang terhadapnya.

"Tidak masalah. Hei, apa kau suka berlari?"

Sang Raven melempar topik baru. Modus biar percakapan mereka makin panjang dan tidak membosankan. Kalian tau, membangun image sebagus mungkin di depan seseorang yang menarik perhatian kita itu penting.

"Yup. Dengan berlari, aku bisa merasa bebas. Angin yang menerpa membuatku seperti terbang di langit. Bebas, menjadi diriku sendiri tanpa bayang-bayang yang merengkuh, membelenggu, dan menyesakkan jiwa."

Pemuda blonde berparas menawan memejamkan mata sambil merentangkan tangan, membayangkan dia benar-benar sedang berlari di Savana. Senyum lebar kembali merekah di wajahnya, tanpa sadar membuat lawan bicaranya terpana.

"Kau terlihat menyukai apapun. Tidak ada hal yang kau benci di dunia ini."

Naruto mendengus, "kau pikir begitu? Memangnya aku orang suci. Aku juga punya beberapa hal yang aku benci,"

"Hn."

Jawaban tidak jelas itu lagi. Tapi kali ini Naruto yakin jika partner ngobrolnya ingin dia melanjutkan kalimatnya.

"Aku membenci kekerasan, kebohongan, dan ...,"

Jeda panjang hingga Sang Raven mengerutkan dahi, dan menatap intens pemuda blonde di hadapannya.

"... orang yang dipanggil 'SASUKE'."

.

.

TeBeCe,