When it Rains

Copyright goes to Akilla10 (AFF)

Translated by 0312_LuluEXOtics

.

Original link (hapus spasinya)

www. asianfanfics story/view/ 306474/when-it-rains-hunhan

.

Genre: Fluff, Romance

Rating: T

Lenght: Twoshots

Cast: Sehun, Luhan, Chanyeol, Baekhyun, Kyungsoo

.


CHAPTER 2


Sehun menatap jenuh ke luar jendela kamar. Tak ada yang spesial sebenarnya. Hanya hujan lebat yang terus setia mengguyur kota Seoul selama beberapa hari terakhir. Membuat pemandangan di luar sana terlihat kabur. Pepohonan di taman tampak seperti cat air hijau di atas jendela. Warna-warna lain juga tampak dari mobil-mobil yang berlalu lalang. Warna-warna itu seolah tengah bermain dan menari-nari di sisi lain jendela, mengolok-olok si pemilik mata yang masih menatap jenuh entah pada apa.

Helaan nafas berat meluncur begitu saja dari bibir Sehun setelah beberapa saat. Ini sudah hampir seminggu, dan hujan masih terlihat enggan untuk reda. Memenjarakan dirinya di dalam rumah besar milik kedua orang tuanya. Dia bahkan tidak bisa pergi ke sekolah, karena jalan utama telah terendam oleh banjir. Dan yang paling menyebalkan adalah, dia tidak bisa pergi ke apartemen Luhan. Dia tidak bisa melihat mataharinya!

Sehun menggembungkan pipinya kesal jika memikirkan hal itu. Bagaimana caranya ia bisa mengubah mood-nya jika ia tidak bisa melihat mataharinya?

Pintu kamar Sehun terbuka, menarik sedikit perhatian dari si empunya kamar. Sehun menatap ke arah pintu dengan ekor matanya, karena ia terlalu malas untuk menoleh, dan langsung bertatapan dengan Kyungsoo yang bersandar pada pintu kamar dengan tangan terlipat di dada. Titik-titik air hujan tampak mengotori kaos biru yang ia kenakan, dan beberapa titik air menetes dari rambut basahnya.

"Oi, Sehun! Aku datang kemari setelah bertarung dengan guyuran hujan di luar sana, dan kau hanya menatapku tak menarik seperti itu?!" omelnya kesal.

Sehun menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dengan kedua tangan ia gunakan sebagai bantal. Alih-alih menatap Kyungsoo, ia justru menerawang pada langit-langit kamar.

Kyungsoo melangkah masuk, menyodorkan sebuah tas plastik pada Sehun yang -akhirnya- menatapnya bingung.

"Ini apa, Hyung?" alis Sehun terangkat.

"Donat. Kau memintaku untuk membuatkannya untukmu, kan?"

Sehun segera bangun begitu mendengar kalimat itu, mengambil alih tas plastik di tangan Kyungsoo kemudian membukanya. "Wow! Terimakasih, Hyung!" ucapnya saat aroma dari kue-kue bulat itu menguar di udara. Ia tersenyum, untuk pertama kalinya hari itu.

"Aku tidak tahu kalau kau begitu menyukai donat." Kyungsoo memberi komentar seraya ikut duduk di atas kasur.

"Aku kan sudah bilang, Hyung. Donat buatanmu adalah yang terbaik!" ujar Sehun girang. "Tapi Hyung, bagaimana caranya kau bisa sampai di sini? Bukannya di luar sedang hujan deras?"

Kyungsoo mengedikkan bahu. "Hujannya memang deras, tapi tidak terlalu deras seperti kemarin. Tapi tetap saja. Kau lihat sendiri kan bagaimana keadaanku sekarang? Hujannya masih— Hey! Kau mau kemana?!"

Sehun berhenti di depan pintu kamar. "Terima kasih untuk informasinya, Hyung. Tapi aku harus pergi ke suatu tempat."

"Yaaak!" Kedua mata Kyungsoo membulat sempurna. "Aku datang jauh-jauh kemari hanya untuk memberikan donat-donat itu padanya, dan dia meninggalkanku begitu saja?! Aiiissshhhh! Yaaaakkk!"

Pemuda bermata bulat itu mulai mengomel, namun Sehun telah berada terlalu jauh untuk mendengar omelan itu.

Sehun, dengan payung pelangi-nya berjalan girang menuju apartemen Luhan. Sebuah senyum lebar terbentuk di wajah tampannya karena sebentar lagi ia akan segera bertemu dengan sang matahari. Tas plastik berisi donat kesukaan Luhan ia dekap erat, melindunginya dari air hujan. Tanpa sadar, langkah kakinya melaju semakin cepat.

Saat tiba di depan apartemen, Sehun mengetuk pintu beberapa kali. Keningnya mengernyit saat menyadari kalau si pemilik apartemen tak kunjung membukakan pintu. Ia mencoba memeriksa di bawah karpet, karena Luhan biasa menyimpan kunci di sana. Tapi nihil. Tak ada apa pun, selain butiran debu.

"Luhaaaaaaaann~~"

Sehun bermain-main dengan kenop, dan sedikit terkejut karena ternyata pintu itu tak terkunci. Tanpa meminta izin pada siapa pun, ia masuk ke dalam, sambil terus memanggil nama Luhan tanpa ada jawaban.

Apa jangan-jangan dia pergi tanpa mengunci pintu? Aiissh, dasar ceroboh. Pikir Sehun seraya merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan plastik di atas perut dan mulai menunggu. Namun setelah satu jam berlalu, masih tak ada tanda-tanda kalau Luhan akan pulang.

Sehun duduk, memperhatikan plastik di tangannya. Mungkin tidak masalah jika ia memakan donat itu sambil menunggu, pikirnya. Dan tepat setelah memasukkan gigitan terakhir ke dalam mulutnya, ia mendengar seseorang membuka pintu depan.

Sehun tersenyum dan berlari ke arah pintu. Niat hati ingin meminta maaf karena telah masuk tanpa izin tertelan kembali saat melihat siapa yang datang.

Itu bukan mataharinya!

"Kau siapa?" tanya Sehun, mulut masih penuh dengan donat yang belum sempat tertelan.

"Aku yang seharusnya bertanya. Kau siapa?" Seorang pria tua, dengan kumis tebal di atas bibirnya berbalik menanyai Sehun.

"A-aku, tentu saja temannya Luhan."

Pria tua itu mengernyit. "Luhan tidak tinggal di sini lagi."

Sehun terdiam. Otaknya menolak untuk mencerna kalimat singkat yang baru saja dicetuskan oleh pria di depannya. Kalimat singkat yang terus bergema berulang-ulang di dalam kepalanya. Kedua mata Sehun terbuka lebar, menatap tajam pada pak tua tak berdosa, seolah ingin berkata: Kau bercanda, kan?!

"Bukannya aku tidak merasa kasihan padanya." Pria tua itu kembali bersuara saat tak mendapat respon apa pun dari Sehun. "Aku sudah memberikannya tempo untuk membayar uang sewa. Tapi aku rasa dia memang tidak punya uang yang cukup untuk tinggal di sini. Apalagi untuk membayar uang kuliahnya. Ia bahkan tidak bisa makan dengan benar akhir-akhir ini. Dan aku rasa, mungkin saat ini dia sudah kembali ke Cina."

Sehun mencoba mengunyah donat di dalam mulutnya. Bukankah itu adalah donat coklat, tapi mengapa rasanya asin? Saat itulah Sehun menyadari, kalau rasa asin itu berasal dari air mata yang, entah sejak kapan, telah berlomba-lomba di pipinya.

Sehun masih berusaha untuk mengunyah dan menelan donat di dalam mulutnya. Namun entah mengapa, itu justru terasa begitu sulit. Tanpa suara, hanya isakan pelan, Sehun berlari dari hadapan pak tua dan memuntahkan semua donat tak tertelan dalam mulutnya di depan toko.

Jadi, Luhan ternyata lebih tua darinya?

Seharusnya saat ini ia merasa senang karena mengetahui sesuatu yang lain tentang Luhan. Tapi apa gunanya jika orang yang seharusnya ia panggil 'Hyung' tak lagi di sana?

Sehun masih menangis tak jelas, mengabaikan pejalan kaki yang berlalu-lalang dengan tatapan aneh padanya. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam dan bertanya pada para karyawan toko tentang Luhan. Tapi mereka berkata kalau dia sudah tidak bekerja di sana lagi. Membuat Sehun semakin terpuruk.

Ia tidak bisa menemukan Luhan di toko. Ia tidak bisa menemukan Luhan di apartemennya. Dan dia tidak tahu harus mencari Luhan di mana.

Sehun melangkah keluar dari toko. Menyandarkan punggung pada dinding kaca di belakangnya sebelum akhirnya merosot terduduk di tempat yang sama saat ia bertemu dengan Luhan untuk pertama kalinya. Tempat yang sama, saat akhirnya mereka bertemu kembali setelah ia mencarinya selama berminggu-minggu. Dan berpikir, mungkin ia bisa menemukan Luhan kembali jika ia berdiam di tempat itu.

Aku rasa, mungkin saat ini dia sudah kembali ke Cina.

Aku rasa, mungkin saat ini dia sudah kembali ke Cina.

Aku rasa, mungkin saat ini dia sudah kembali ke Cina.

Sehun menutup kedua matanya erat-erat, mencoba menghentikan kalimat yang terus berdengung di dalam kepalanya. Sekarang ia sadar, mengapa Luhan terlihat begitu lahap saat memakan donat-donat itu. Mengapa ia berkata kalau ia merindukan kampung halamannya. Dan mengapa saat mereka berpisah, ia mendengar kata 'selamat tinggal', bukan 'sampai jumpa lagi'. Sehun tertunduk lesu. Air matanya masih mengalir membasahi kedua pipinya. Namun tak ada seorang pun di sana yang akan menghapusnya.

Tak ada seorang pun, yang akan menawarkan tissue untuknya.

Sehun masih terisak saat membuka matanya. "Kau di mana, Luhan?" gumamnya pelan. Biasanya, Sehun sangat suka bagaimana nama itu terucap dan terdengar di telinganya, namun kali ini ia tidak bisa merasakan apa pun selain kegalauan.

Hujan yang tadinya tak terlalu deras pun, seolah mengerti akan apa yang dirasakan oleh Sehun, perlahan semakin deras. Dan orang-orang mulai berlarian menghindari serbuan jarum-jarum air itu. Mengingatkan Sehun saat ia berlari di bawah guyuran hujan bersama dengan Luhan yang berprofesi sebagai ojek payung. Membuat perasaan Sehun semakin dan semakin galau karena memikirkan kenangan-kenangan itu.

Sehun duduk di depan toko selama beberapa jam. Menunggu Luhan yang tak kunjung muncul. Tak tahu lagi apa yang harus dipikirkan, apa yang harus dilakukan. Pikirannya kosong, menatap rintik hujan yang membasahi bumi seolah itu adalah hal yang paling menarik di dunia.

Dasar Chanyeol Hyung bodoh! Kau membuatku menemukan cahaya matahari-ku sendiri meski di tengah hujan sekali pun. Tapi kau melupakan satu hal, Hyung. Meski kau telah menemukannya, matahari akan menghilang saat malam datang. Dan meski kau mencarinya sampai ke ujung dunia sekali pun, kau tidak akan bisa melihat matahari di malam hari.

Sehun masih terdiam di sana. Tak ada lagi air mata yang mengalir di kedua pipi putihnya yang terlihat memerah. Namun rasa sesak di dalam dadanya masih ada. Ia masih bisa merasakannya.

Drrrrtt

Drrrrttt

Ponsel di sakunya bergetar. Nama 'Chanyeol' tertera di layar. Sehun menerima panggilan itu, ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak satu pun kalimat terlontar dari bibirnya.

'Sehun-ah! Kau di mana sekarang? Ibumu berkata kalau kau tak ada di rumah, dan di luar hujan sangat deras. Kami semua mengkhawatirkanmu!'

"..."

'Sehun-ah?!'

'Oh Sehun?' Berkali-kali Chanyeol mencoba memanggil namanya. Namun tetap tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara guyuran hujan dan suara petir yang bersahut-sahutan.

'Dia tidak mengatakan apa pun! Kyungsoo, di mana dia? Kau orang terakhir yang berbicara dengannya sebelum ia pergi, kan?'

'Aku tidak tahu. Dia meninggalkanku begitu saja di kamarnya.'

Sehun bisa mendengar percekcokan Hyung-hyungnya di seberang telepon. Dia tidak ingin membuat mereka semua khawatir, tapi tidak ada satu suara pun yang bisa keluar dari bibirnya. Ia mengambil nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, beberapa kali. Mencoba untuk mengontrol emosinya.

"A-aku d-di t-toko..." ujarnya terbata.

'Apa? Aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas.'

Ia kembali menarik nafas dalam-dalam dan mencoba untuk mengucapkannya lagi. "Aku di toko, Hyung."

'Toko? Baiklah, jangan kemana-mana. Aku akan segera menjemputmu, oke!'

Setelah itu, sambungan telepon terputus. Sehun menyimpan kembali ponselnya di saku. Menunggu Chanyeol datang untuk menjemputnya, dengan perasaan sesak yang masih bersarang di dada.

~O.O~

Setelah hari itu, tidak ada satu hari pun terlewatkan tanpa melewati toko tersebut. Berharap suatu hari ia akan melihat siluet sang pemilik rambut coklat madu lagi. Terkadang, sepulang sekolah, ia akan mampir. Berdiri di depan toko selama beberapa jam sebelum akhirnya menyerah dan pulang ke rumah. Cuaca kota Seoul mulai membaik setelah terus diguyur selama berhari-hari. Udara di sekitar pun jadi lebih hangat setiap harinya. Tapi Sehun, sama sekali tidak merasa hangat. Rasanya, seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya.

Sesekali, ia akan memejamkan mata dan melihat senyum manis Luhan di sana, mendengar suara Luhan saat memanggil namanya, dan mendengar gelak tawa renyah yang acap kali meluncur dari bibir plump-nya. Dan perlahan, bibir Sehun pun ikut mengulas senyum. Namun saat ia membuka kembali kedua matanya, semua kembali pada kenyataan. Tak ada Luhan di sana, hanya orang-orang yang berlalu lalang di depan toko. Tak ada suara lembut yang memanggil namanya. Yang ada hanya deru mobil yang bersahut-sahutan bercampur dengan suara pejalan kaki yang tengah bercakap-cakap.

Para Hyung, semua mengkhawatirkan Sehun. Bagaimana tidak, jika keseharian sang adik hanya diisi dengan lamunan tiada ujung. Dia bahkan tidak minum bubble tea lagi beberapa hari ini. Dia membuat Kyungsoo kebingungan karena menolak donat-donat lezat yang telah ia buatkan. Karena donat, mengingatkan Sehun akan kebodohannya sendiri, yang tidak menyadari kalau saat itu Luhan tengah kelaparan. Donat, mengingatkan Sehun akan rasa sesak yang ia rasakan hari itu. Karena donat mengingatkan Sehun akan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang penting baginya.

Minggu berganti, dan Sehun masih tetap sama. Masih duduk bersandar di teras toko setiap hari sepulang sekolah, sampai tiba saatnya makan malam, dengan kedua mata terpejam dan kepala tertunduk dalam. Mengenang sedikit kenangan yang ia miliki tentang Luhan. Berharap tiba-tiba pemuda manis itu akan datang untuk membangunkannya dari lamunan, seperti waktu itu.

Tug.. tug..

Seseorang menarik pelan ujung lengan bajunya. Sehun terlonjak dengan harapan yang membuncah. Ia mendongak, menemukan sepasang mata bulat yang juga menatapnya dengan sebuah senyum terkembang.

Tapi itu bukan mata yang dirindukannya. Senyum itu, bukan senyum yang sangat ingin Sehun lihat saat ini. Dan Sehun memutar kedua matanya, kecewa.

"Ada apa, Hyung?" tanyanya malas.

Chanyeol, si pemilik mata dan senyum lebar yang telah mengusik lamunannya, menarik tangan Sehun. "Ayo, ikut denganku!"

"Memangnya kau mau kemana?"

"Aku akan menjemput matahariku dari kampusnya."

Sehun bergidik mendengar kata 'matahari' yang keluar dari bibir Chanyeol. Masih sedikit sensitif dengan ungkapan itu. "Berhentilah menggunakan kata 'itu', Hyung!"

Chanyeol manyun. "Mengapa~?" rengeknya.

Karena aku telah kehilangan matahariku! Jawab Sehun, dalam hati tentunya.

Chanyeol berdecak. "Sudahlah, ikut saja denganku. Beberapa hari ini kau terlihat menyedihkan. Padahal cuacanya sangat cerah sekarang," ia menunjuk pada patahari di atas sana. "Atau... kau sedang menunggu seseorang?"

"Iy—"

Aku rasa, mungkin saat ini dia sudah kembali ke Cina.

Kalimat itu kembali terngiang. "Aku... tidak menunggu siapa pun, Hyung." Sehun tertunduk, menatap sepatunya yang tiba-tiba terlihat sangat menarik.

Senyum Chanyeol melebar. "Jadi, kau ikut denganku, kan?" Ia menarik Sehun menuju parkiran. Sedangkan Sehun sendiri, hanya berjalan pasrah mengikuti kemana Hyung-nya itu akan membawanya.

Sehun tidak pernah tahu kalau kampus Baekhyun berjarak sangat jauh dari rumah mereka. Ternyata inilah alasan mengapa Chanyeol selalu menjadi supir antar-jemputnya setiap hari. Kampus Baekhyun sangat besar. Ini adalah pertama kalinya Sehun ke sana. Dan bangunan-bangunannya terlihat sangat keren.

Sambil terus memperhatikan ke sekelilingnya, Sehun memasukkan kedua tangan ke dalam saku dan menemukan sesuatu di sana. Sebuah kertas. Kusam, kusut, kumal. Sepertinya ikut tercuci bersama dengan blazernya. Ia menatap lama kertas kusut di tangannya yang terlihat familiar. Dan untuk sebuah alasan yang sangat ia tahu, sesak di dadanya semakin bertambah.

Sehun membuka kertas kusam itu. Membaca tulisan Luhan yang terlihat sedikit kabur. Dan dia langsung menyesalinya saat itu juga.

Selamat pagi!
Apa kau tidur dengan nyenyak? Maaf, aku ada urusan dan harus pergi sebelum kau bangun. Jika kau mau pergi, tolong kunci pintu dan sembunyikan kuncinya di bawah keset. Terima kasih~

p.s: jika kau lapar, aku punya puding dan bubble tea di kulkas :D

-Luhan-

Kenangan demi kenangan itu kembali berputar di kepalanya. Memang tidak seberapa, tapi bagi Sehun, kenangan yang tidak banyak itu adalah kenangan paling berharga. Rindu yang ia rasakan semakin besar. Sehun merindukan senyum Luhan. Dia merindukan suara lembut pemuda itu. Dan ia merindukan—

"Obral, obral! Siapa yang mau beli?"

Langkah Sehun terhenti.

"Meski cuma barang bekas, tapi semuanya masih sangat bagus loh! Ayo silahkan dilihat!"

Mata Sehun mengerjap. Suara itu. Tidak, tidak! Sehun menggeleng pelan. Ini tidak mungkin. Dia pasti salah dengar. Tapi—

"Beli dua gratis satu!"

Suara itu kembali terdengar. Dan rasanya, tidak mungkin kalau dia salah dengar sampai berkali-kali.

Sehun berbalik, matanya berkeliaran ke sekeliling demi mencari asal suara yang terus ia dengar sejak tadi. Suara yang sangat ia rindukan selama beberapa minggu ini. Ia berlari, mengikuti kemana insting membawanya. Meninggalkan Chanyeol yang kebingungan sambil terus memanggil namanya. Darahnya memompa, seiring dengan jantungnya yang berdegup sangat kencang. Kepalanya buntu, tak bisa memikirkan apa pun lagi selain mencari asal suara itu. Dan langkah kakinya terhenti di depan segerombolan mahasiswa yang tengah mengerumuni sesuatu.

Tanpa banyak pertimbangan, ia berjalan menembus kerumunan orang tersebut. Menabrak dan mendorong siapa pun yang berdiri di depannya. Membuat celah agar ia bisa melihat siapa yang ada di depan sana, di tengah kerumunan. Tak perduli cercaan orang-orang yang merasa kesal atas tindakannya itu. Dan saat hampir tiba di barisan depan, ia bisa melihat warna coklat madu yang bergitu familiar, yang begitu ia rindukan.

Aku rasa, mungkin saat ini dia sudah kembali ke Cina.

Kalimat itu kembali terngiang. Sehun menelan ludah, merasa takut kalau ternyata si pemilik rambut coklat madu di depan sana, bukanlah orang yang selama ini ia cari, orang yang ia cintai. Tapi rasa penasaran dan rindu mengalahkan rasa takutnya. Jadi Sehun kembali bergerak, menyingkirkan siapa pun yang berada di jalannya. Dan tepat saat ia benar-benar berada di barisan paling depan, mata Sehun membulat tak percaya.

Itu adalah dia.

Itu adalah Luhan, yang selama ini ia rindukan siang dan malam. Sehun tersenyum. Jantungnya masih berdetak tak beraturan, namun rasa sesak itu telah menghilang sempurna.

Itu adalah Luhan, yang tengah berdiri di depan kerumunan, menawarkan barang-barang bekas untuk dijual, dengan senyum -sangat- manis menghiasi wajah manisnya. Dan Sehun merasa seolah dunia di sekitarnya mendadak berjalan begitu lamban. Semuanya menjadi bisu. Satu-satunya yang terdengar di telinga Sehun hanya suara deru nafasnya dan suara indah Luhan yang membuat perasaannya menjadi lebih tenang. Sehun hanya berdiri di sana, melihat Luhan dalam diam, dengan sebuah senyum yang tak pernah terlihat lagi sejak hari itu. Sampai pandangan matanya bertemu dengan tatapan tak percaya dari Luhan.

"Sehun-ah!"

Pemilik suara indah itu memanggil namanya dan berjalan menghampirinya yang masih berdiri tak bergerak. Dan Sehun bisa merasakan perasaan hangat yang perlahan mulai menjalar hingga relung hati terdalamnya.

"Kau tahu? Aku berhasil mendapatkan beasiswa, dan sekarang aku tinggal di asrama yang disediakan oleh pihak kampus. Bukankah itu hal yang luar biasa?!" seru Luhan. Ia terlihat senang. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Aku rasa, aku merindukanmu." Ada rona merah yang bersemu di pipi kenyalnya sebelum ia kembali bersuara. "Errmm, sebenarnya, aku sangat merindukanmu, Sehun." Ia meraih jemari Sehun dan menggenggamnya erat. Menunggu reaksi dari pemuda yang lebih muda beberapa tahun darinya itu.

Tapi Sehun masih terdiam. Ia tidak kuasa melakukan apa pun, hanya menatap dalam pada mata indah milik Luhan. Ia bahkan tidak bisa berkedip. Berpikir kalau-kalau ini hanyalah mimpi semata. Dan jika ia berani bergerak sedikit saja, maka semuanya akan sirna. Pemuda di hadapannya akan menghilang kembali.

"Mengapa kau diam saja?" Luhan menatapnya ragu.

Sehun baru akan menjawab, namun seorang pria (sepertinya itu rekan bisnis Luhan) menepuk pelan pundaknya. "Hei anak muda! Kau mau membeli sesuatu atau tidak?" tanyanya kemudian.

Dan saat itulah Sehun sadar. Kalau ini bukanlah sebuah mimpi. Semua ini adalah nyata. Dan Luhan benar-benar berdiri di hadapannya. Jadi Sehun tidak mau membuang kesempatan lagi. Ia menatap Luhan dalam-dalam, membalas genggaman tangan Luhan. "Aku ingin memiliki sesuatu yang kau miliki," ucapnya setelah menarik nafas dalam-dalam. "Aku akan membayarnya dengan apa pun yang kau inginkan. Aku akan melakukan apa pun agar kau mau memberikannya padaku. Dan aku akan memberikan semua yang kumiliki untukmu."

Alis Luhan berkerut. Pipinya menggembung. "Memangnya, apa yang kau inginkan?" tanyanya bingung. "Aku rasa aku tidak punya sesuatu yang seistimewa itu sampai-sampai kau rela membayarnya dengan apa pun yang kau punya." Ia menggaruk pelipisnya pelan, memikirkan tentang apa kira-kira yang dimaksudkan oleh Sehun.

"Tentu saja ada, Hyung. Hanya kau yang memilikinya. Dan aku hanya menginginkan itu darimu!" jawab Sehun penuh percaya diri. "Boleh aku memilikinya?"

Luhan menatapnya semakin bingung. Benarkah ia memiliki sesuatu yang seperti itu? pikirnya.

Sehun tersenyum. Jantungnya kembali berdebar kencang. "Cintamu. Bolehkah aku memilikinya?"

Kedua mata Luhan melebar sempurna mendengar pengakuan tiba-tiba Sehun. Pipinya merona hebat. Ada ekspresi terkejut dan senang luar biasa di wajah manisnya. Dan kedua matanya terlihat berkaca-kaca. "Dengan satu syarat. Kau harus membayarnya dengan cintamu!" jawabnya pelan. Sangat pelan. Tapi Sehun bisa mendengarnya dengan begitu jelas.

Perlahan, Luhan meletakkan telapak tangan Sehun ke dadanya. Tepat di mana hatinya berada. Dan Sehun bisa merasakan bagaimana jantung itu berdetak sangat kencang untuknya. Luhan menatap malu-malu padanya seraya berkata, "Itu adalah milikmu, Sehun!"

Satu kalimat singkat yang membuat Sehun tersenyum begitu lebar. Tanpa aba-aba, ia mencondongkan tubuh ke depan, mempersempit jarak di antara mereka. Ia menuntun jemarinya yang bebas menuju pipi pemuda Cina itu dan membelainya dengan penuh cinta. Merasakan kehangatan di pipi Luhan ketika bersentuhan dengan jemarinya. Saat kedua bibir mereka menyatu, ada sengatan-sengatan listrik yang menggelitik menjalar di seluruh tubuhnya. Ciuman pertama mereka sama sekali tak terasa manis. Ciuman mereka terasa asin, karena bercampur dengan air mata Luhan yang terus berlomba sejak bibir mereka bersatu tadi.

Sehun kembali tersenyum. Meski itu adalah rasa yang sama seperti ketika ia kehilangan Luhan beberapa minggu lalu, namun sensasinya jelas berbeda. Saat ini, ia merasa sangat puas, sedikit pusing, namun amat sangat bahagia.

Tak lama kemudian, Sehun memutuskan tautan bibir mereka. Ia menempelkan dahinya di dahi Luhan, dan berbisik lembut. "Kau bisa memiliki hatiku secara gratis, Luhan." Membuat rona di pipi Luhan semakin bersemu.

Keduanya tetap bertahan dalam posisi itu selama beberapa saat. Sama sekali tak perduli akan puluhan pasang mata yang melihat mereka dengan tatapan takjub, termasuk Chanyeol dan Baekhyun yang entah sejak kapan berada di sana. Sehun sama sekali tidak keberatan meski orang-orang menatapnya aneh sekali pun, selama ia memiliki Luhan dalam dekapannya. Selama ia bisa melihat Luhan yang tersenyum untuknya.

Tiba-tiba, ia teringat kembali pada pidato hebat Chanyeol tentang 'sinar matahari'. Ya, Chanyeol benar. Sinar matahari memang selalu bisa mencerahkan hari-harinya, namun sinar itu akan menghilang begitu saja saat malam datang. Bahkan jikalau pun dia berusaha mencarinya lagi dengan begitu keras, dia tetap tidak akan pernah bisa menemukannya di malam hari. Tapi hari ini Sehun menyadari sesuatu. Bahwa matahari akan selalu kembali di pagi hari, dan selalu siap untuk mencerahkan hari-harinya lagi.

Namun meski begitu, meski matahari akan kembali di pagi hari, Sehun tetap tidak ingin Luhan menjadi sinar mataharinya.

Mengapa?

Karena ia tidak bisa menanggung perasaan sesak dan sakit saat harus kehilangan Luhan, meski itu hanya untuk satu malam saja. Karena ia ingin Luhan selalu ada bersama dengannya.

Jadi, maaf Chanyeol Hyung. Tapi teorimu tidak bisa diterima.

~O.O~

.

E N D

.

RnR yaaaaaaaaaaa!
^_^

T/N:

Hallo Holla Hellooooooooooooooooooowwwwwwwwww

First thing first, Liyya mau ucapin banyak-banyak maaf buat semuanya. Buat readers semua, khususnya buat Akilla, karena kakak udah nelantarin ff ini lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget. Huhuhuuhuhu

T_T

Things happen. Dan akhir-akhir ini, passion Liyya dalam hal tulis menulis ff mulai berkurang. Ini lagi nyoba bangunin(?) mood lagi. Makanya apdet yang translate-an dulu /dikeplak/ hehehehehe

Last but not the last, ini udah end loh ya. Buat Akilla, semoga translate-an kakak g melenceng jauh dari ff kamu, yaaaa. Buat readers semuanya, semoga ini gak mengecewakan ^^

Link ff aseli udah dicantumkan di atas. Yang punya akun, jangan lupa subscribe n upvote cerita aselinya yaaaaaaaaa ^^

Seperti biasa aja, Liyya ucapin banyak banyak banyaaaaaaaaaaaaaaak terimakasih buat readers yang udah mau baca dan/atau review, follow n favorite ff ini.

Semoga di chapter ini masih berkenan untuk review ya /ngarep/

Balasan Review:

ludeer: Meski maap2annya udah banyak di atas, tapi tetep mw minta maap karena udah ngaret pake banget huhuhu. Ini chapter isinya Sehun ngalay banget pokoknya, galau tak menentu wkwkwk. Udah kejawab kan kenapa Luhan bisa ada di Korea? Dia kuliah di sana hihihi.

Makasih udah ngereview^^

sparkling white: Hwaitiiiing. Ceritanya ringan, makanya kita bacanya juga ringan hihi.

Makasih udah ngereview^^

Yang punya akun, bisa cek PM-nya yaa!

Salam XOXO dari Liyya