Title

Triple Trouble

Author

Uhm―me?

Lenght

This chapter is around 4000+

Rate

K

Cast

Shim Changmin, Jung Yunho, chibi Lee Jihoon, chibi Boo Seungkwan, chibi Lee Chan, chibi Kwon Soonyoung, chibi Chwe Hansol, chibi Hong Jisoo, chibi Wen Junhui, chibi Xu Minghao, chibi Jeon Wonwoo

Pairing(s)

Jung Yunho/Shim Changmin, minor Kwon Soonyoung/Lee Jihoon, Chwe Hansol/Boo Seungkwan, Hong Jisoo/Lee Chan [i can change it!]

Genre

Romance, Humor, Drama, Family

Warning(s)

This is Yaoi! mentioned M-Preg, Changmin and Yunho as a parents, and Jihoon, Seungkwan, and Chan as a children.

Disclaimer

All Cast belong to himself. Beside the story line, i own nothing.

Kim Mingyu is mine!

Summary

Meet the triplets, Shim Jihoon, Shim Seungkwan, dan Shim Chan, yang dengan segala kepolosan mereka, selalu mampu membuat mama Changmin sakit kepala.

.

.

Changmin memandang puluhan brosur tentang sekolah di kedua tangannya dan menghela nafas. Sudah saatnya si kembar masuk sekolah―meski sebenarnya belum, si kembar baru genap 4 tahun.

"Sedang memperhatikan apa?"

Changmin menoleh dan menunjukkan brosur di tangannya. Kyuhyun mengerucutkan bibirnya dan mengangguk-angguk seraya membaca brosur di atas konter, pria itu baru saja selesai melayani pelanggan―dia bekerja di bakery Changmin.

"Menurutmu bagaimana?"

"Kau serius mau memasukkannya tahun ini?"

Changmin mengangguk. "Ada yang salah?"

Kyuhyun menggeleng. "Si kembar masih 4 tahun, bukan?"

"Aku berencana memasukkannya sedini mungkin. Rasanya mereka sudah cukup pintar untuk masuk sekolah."

Kyuhyun mendengus. "Bukan cukup lagi―mereka memang pintar."

"Lalu menurutmu sekolah mana yang cocok?"

"Kau harus mencari sekolah yang menyediakan pawang, Changmin."

"Eh?"

"Kau lupa ketiga anakmu nakalnya seperti apa?"

Sebuah loyang kue menghantam dahi Kyuhyun dengan indahnya.

.

.

"Mama, apa itu sekolah?"

Changmin berhenti mengaduk adonan. Ia menoleh dan memperhatikan Jihoon―yang sibuk membuka-buka buku bergambar di atas karpet.

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan sekolah, Jihoon-ie?"

Dia merasa terharu. Putra sulungnya menanyakan sekolah bahkan sebelum ia sempat memberitahu mereka rencananya menyekolahkan mereka.

Jihoon mendongak dari bukunya. "Tadi ada film. Film anak sekolah."

"Iya?"

Jihoon mengangguk antusias. Di sebelahnya Seungkwan ikut-ikut mengangguk heboh. "Mama, mama harus menontonnya."

"Benal, mama halus menontonnya."

"Filmnya menceritakan tentang apa, Seungkwan?"

"Umm―poppo?"

"Iya. Banyak cekali olang-olang poppo di film itu."

"Oh―APA?! POPPO? DI MANA KAU MENONTON FILM ITU, JIHOON?"

Jihoon menunjuk pintu keluar. "Kyuhyun ahjussi."

Seungkwan beringsut duduk. "Mama, kenapa orang-orang suka sekali poppo? Di dalam film orang-orang poppo banyak sekali." Ia merentangkan kesepuluh jari mungilnya. "Sebanyak ini."

"KAU MENGHITUNGNYA, SEUNGKWAN?!" Changmin histeris.

Seungkwan mengangguk polos.

Changmin bersumpah akan memotong separuh dari gaji Kyuhyun karena memberikan tontonan yang tidak berpendidikan pada si kembar.

.

.

"Mama, kita akan pergi sekolah?"

Changmin mengangguk. Ia sudah memutuskan untuk memasukkan si kembar ke sekolah dekat rumah. Ia memakaikan kemeja rapi pada Jihoon dan memakaikannya dasi kupu-kupu yang lucu. Jihoon menyentuh dasinya penasaran.

Changmin menepuk kedua pipi Jihoon lembut dan mengecup hidungnya. "Duduklah di meja makan dan tunggu mama mendandani kedua adikmu, oke?"

Jihoon mengangguk dan melarikan kaki mungilnya menuju meja makan.

"Seungkwan, kemari sayang."

"Tidak mau!" seru bocah itu sebelum melarikan diri bersembunyi di dalam lemari pakaian.

Changmin menghela nafasnya.

"Seungkwan-ie, anak mama yang paling cantik, tidak mau mama dandani supaya tambah cantik?"

Seungkwan menyembulkan kepalanya dari balik pintu lemari. "Tambah cantik?"

Changmin mengangguk. "Tambah cantik."

Seungkwan beringsut mendekat. Changmin mengeluarkan ibu jari dari dalam mulutnya. "Jangan menggigit ibu jarimu, Kwan-ie."

Seungkwan mengangguk dan membiarkan Changmin memakaikan kemeja yang sama dengan kemeja yang dikenakan Jihoon beberapa saat yang lalu.

"Mama,"

"Hm."

"Apa rambut Kwan-ie bagus?"

"Bagus sekali."

"Mama,"

"Hm?"

"Pakai pita?"

"Kwan-ie, pita untuk anak perempuan."

"Tapi mama bilang Kwan-ie cantik."

Changmin menghela nafas. "Iya, kau selalu cantik. Bahkan tanpa pita. Oke?"

Seungkwan mengerutkan keningnya dan menatap sang mama. mencari tahu apakah Changmin berbohong atau tidak. Setelah puas mengamati kedua mata Changmin, pada akhirnya Seungkwan mengangguk dan duduk tenang di pangkuan Changmin sementara sang mama membenahi tatanan rambutnya. Ia menepuk kedua pipi Seungkwan lembut dan mencium dahinya.

"Nah, susul kakakmu di meja makan dan tunggu mama dan Chan-ie ke sana. Oke?"

"Oke." Balita itu mengangguk dan berlari menuju meja makan.

"Chan-ie? Chan-ie?"

Si bungsu melongok dari balik selimut bayinya. Ia berjalan mendekat dan menyeret selimut bayinya bersamanya.

"Aigooo. Anak mama yang paling lucu, kenapa, hm?"

Chan berbisik, "Takut."

"Takut kenapa sayang?"

"Cekolah."

Changmin mengangkat si bungsu dan mendudukkannya di paha. "Ada apa dengan sekolah?"

"Kata Kyu jucci, di cekolah banyak anak nakal."

"Kyuhyun ahjussi berbohong padamu."

Chan mendongak. "Benalkah?"

Changmin mengangguk antusias. "Mama dulu selalu semangat berangkat sekolah. Kau tahu kenapa?"

Chan menggeleng.

"Karena mama tidak sabar untuk bermain dengan teman-teman."

Chan menunduk. "Tapi belmain belcama Jihoon-ie dan Kwan-ie cudah cukup."

Changmin mengangkat dagu Chan. "Chan-ie, dengarkan mama, sangat menyenangkan bertemu dengan teman-teman."

"Benalkah?"

Changmin mengangguk. "Chan-ie percaya pada mama?"

Chan mengangguk lalu membiarkan Changmin memakaikan kemejanya.

"Baiklah, karena Chan-ie sekarang sudah tampan sekali, ayo kita susul kedua hyungmu."

Changmin menganga saat melihat Jihoon duduk tenang di atas meja makan. Balita itu sedang bermain dengan sendok dan sumpit sendirian sementara Seungkwan duduk anteng di atas kursinya.

"Jihoon-ie! Saat mama menyuruhmu duduk di meja makan, maksud mama di kursi di meja makan! Bukan benar-benar di atas meja makan, sayang!"

.

.

"Mama, cucu."

Changmin menyudurkan satu gelas susu ke tangan Chan dan kembali berkutat dengan masakannya.

"Mama, su―"

Changmin kembali menyudurkan satu gelas susu yang lain. Ia berbalik dan kembali mengolah sayur mayur di tangannya.

"Mama―"

Tanpa bicara, Changmin menyudurkan gelas susu terakhir. Jihoon tersenyum lebar dan meminum susunya tanpa protes.

"Mama, lapar."

"Kwan-ie, kau sudah menghabiskan satu gelas susu dan masih lapar?"

Seungkwan nyengir lebar. Changmin menggelengkan kepalanya. "Tunggu sebentar, sayang. Mama masih memasaknya."

"Mama, Chan-ie mau buah."

Sebelah tangan Changmin otomatis membuka pintu kulkas dan meraih buah apapun yang mampu dijangkaunya. Ia memberikannya pada Chan tanpa menoleh dari penggorengan.

"Mama, Chan-ie mau tobeli. Bukan banana."

Changmin kembali membuka pintu kulkas dengan satu tangan dan mengambil satu pak buah strawberry. Ia meletakkannya di atas meja Chan.

"Mama, minum."

Satu gelas air Changmin berikan pada Jihoon.

"Mama, biboo jatuh."

Changmin menunduk dan mengambil plushie beruang untuk Seungkwan.

"Mama―"

Changmin mengambilkan sumpit untuk Jihoon.

"Ma―"

Changmin berjinjit mengambil mangkuk untuk tempat buah di atas rak untuk si bungsu. Ia menghela nafasnya dan mematikan kompor. Changmin berbalik dan menyeringai, "Sekarang apa lagi, sayang?"

Ketiga putra kembarnya memamerkan gigi mereka. "MAKAAAAN!" seru ketiganya dan tertawa.

.

.

"Jadi nantinya, Jihoon-ie masuk ke dalam kelas A―kelas bunga matahari, Seungkwan-ie masuk ke dalam kelas B―kelas bunga melati, dan Chan-ie masuk ke dalam kelas C―kelas bunga sepatu."

Changmin menaikkan satu alisnya. "Eh? Kenapa berbeda-beda?"

"Jihoon-ie cerdas sekali, Changmin-ssi, jadi sebaiknya dia masuk ke dalam kelas A, di sana akan dilakukan pengembangan untuk otaknya. Dan Seungkwan-ie, saya rasa dia adalah balita dengan kreativitas yang tinggi, masuk ke dalam kelas B adalah pilihan yang terbaik. Dan umm, Chan-ie, kami belum tahu potensi apa yang bisa dikembangkan, jadi sementara, masuk ke dalam kelas C."

"Oh."

Ini diskriminasi. Changmin tidak terima. Si kembar tidak bisa dipisahkan.

"Saya rasa Chan-ie bisa dimasukkan ke dalam kelas B, Taeyeon-ssi." Changmin memulai argumennya.

Taeyeon tersenyum. "Kami belum bisa menentukannya, Changmin-ssi, sementara seperti ini. Nanti seiring dengan berjalannya waktu, potensi mereka akan lebih terlihat."

Changmin menghela nafasnya dan mengalah. Lagipula si kembar butuh bersosialisasi dengan teman-temannya. Selama ini teman bermain si kembar hanyalah koleksi lego milik sang mama, loyang kue, buku menggambar, Kyuhyun jussi, dan dirinya.

Ia mengangguk pasrah. "Baiklah," katanya pada akhirnya.

.

.

Changmin melambai pada ketiga buah hatinya dan berbalik saat para guru menggiring mereka masuk ke dalam kelas masing-masing.

Tidak tahu kenapa, tapi tiba-tiba Changmin gelisah saat melihat pintu kelas tertutup. Dia tahu dia lupa memberitahu sesuatu tapi sesuatu itu apa persisnya dia juga lupa.

Changmin mengacak rambutnya sendiri dan memutuskan mengacuhkannya.

Toh, dia punya rutinitas yang jauh lebih penting untuk dilakukan saat ini―selain memotong setengah gaji Kyuhyun karena sudah menanamkan hal yang tidak-tidak pada otak si kembar.

"Tunggu saja, Kyuhyun. Kau tidak akan bisa hidup bulan depan karena kurang uang," katanya dengan seringai kejam.

.

.

Sepanjang waktu bermain, Seungkwan merengut. Tentu saja. Dia dipisahkan dari kedua saudaranya dan dia sama sekali tidak merasa nyaman berada di kelas ini. Semua anak-anak bermain bersama kelompoknya―meninggalkan Seungkwan merajuk di mejanya.

Seungkwan menatap ke sekelilingnya, mencari teman yang senasib dan sepenanggungan. Sampai sudut matanya menangkap si bocah bule juga sedang duduk sendirian di ujung mejanya.

Seungkwan berdiri dan beringsut mendekat.

Kalau tidak salah namanya Hansol. Aneh―bule tapi namanya seperti orang Korea. Bukankah biasanya bule punya nama yang aneh-aneh? Seperti princess Ariel? Atau princess Aurora?

Seungkwan punya hobi nonton Disney Princess. Jangan bilang siapapun.

Seungkwan melempar senyum lebar saat tiba di meja si anak bule dan langsung duduk melipir.

Hansol menatapnya sebentar dan balas tersenyum lebar.

Seungkwan terdiam. pipinya panas.

Hansol tampan sekali. Lebih tampan dari mamanya―meski dipanggil mama, tetap saja, Changmin laki-laki. Lebih tampan dari Kyuhyun ahjussi.

Bahkan lebih tampan dari prince Jihoon―ketika mereka main drama buatan mama Changmin, Jihoon berperan jadi pangeran, Seungkwan jadi putri duyung―tentu saja!―dan Chan jadi nenek sihir.

"Hansol?"

"Hm?"

"Hansol punya senyum yang tampan." Seungkwan mendekatkan wajahnya. "Sungguh. Lebih tampan dari senyum mama."

Sesaat Hansol mengerutkan keningnya. "Mamamu tampan?" mana ada seorang ibu-ibu tampan?

Hansol-a, kau hanya belum mengerti tentang konsep kehidupan hubungan sesama jenis, sayang.

Seungkwan mengangguk bersemangat. "Mama tampan sekali. Tapi sekarang, lebih tampan Hansol."

Hansol terdiam. dia tidak tahu harus bereaksi apa dibilang tampan oleh teman laki-lakinya. "Oh―uh. Thanks."

"Hah?"

Hansol tersenyum ragu. Ia menggaruk kepalanya. "Umm―Kamsahamnida?"

Seungkwan membulatkan mulutnya. "Ooo." Lalu mengangguk dengan senyum lebar yang menyilaukan mata.

Lalu tiba-tiba Seungkwan terdorong ke belakang―semakin ke belakang―semakin ke belakang―dan saat Seungkwan berkedip, tiba-tiba saja dia sudah berada di sisi seberang meja. Jauh dari Hansol.

Hansolnya.

Seungkwan menatap serombongan bocah perempuan yang tiba-tiba menyerbu pembicaraannya dengan sang pangeran. Ia menatap salah seorang bocah yang kini mendekatkan wajahnya pada Hansol dan mulai memegang pipi Hansol. Dan melihat Hansol yang tidak menolak, Seongkwan jengkel.

Belum pernah ada yang membuatnya sejengkel ini―selain ketika Jihoon tidak sengaja mendorongnya ke dalam selokan di tepi taman beberapa bulan yang lalu.

Ugh, bocah berambut panjang berpita yang menyebalkan.

Dia tidak cantik-cantik amat. Masih lebih cantik Seungkwan kemana-mana.

Lihat, dua matanya sipit sementara Seungkwan punya doe eyes yang indah. Bukannya rasis―kakak sulungnya juga matanya hanya separuh, tapi itu adalah bagian tubuhnya yang paling dibanggakan, selain rambutnya yang diturunkan dari mamanya langsung. Ingat, mama Changmin terkenal dengan mata rusanya. Tapi sekali lagi, Jihoon adalah kakak yang sangat ia sayang―terlepas dari betapa jahilnya dia, dan tentu saja, Seungkwan sangat tidak menyayangi bocah perempuan berpita itu. Jadi, di sinilah bedanya si sipit berpita dan si sipit kakaknya.

Jadi, kenapa Hansol lebih tertarik di kelilingi bocah-bocah itu ketimbang dirinya?

Tapi, tunggu dulu.

Sepertinya setelah dilihat lagi, Hansol hanya menatap mereka dengan pandangan tidak mengerti.

Oh, iya. Seungkwan lupa. Hansol kan bule. Dia tidak mengerti apa yang sebagian besar bocah perempuan itu katakan.

Seungkwan harus melakukan sesuatu.

Jadi, bocah empat tahun ini beringsut mendekat dan menyeruak rombongan nenek sihir yang sedang mengerumuni pangerannya. Dan seperti yang bisa diduga, si bocah perempuan berpita―yang belakangan Seungkwan ketahui namanya adalah Soojin, tentu saja tidak terima waktunya dan Hansol terganggu dan ia melakukan satu-satunya hal yang mampu dijangkau tangan mungilny―menarik telinga Seungkwan kencang.

Saat bocah berpita itu menarik telinganya, Seungkwan berpikir satu-satunya hal yang selalu ia lakukan kapanpun Jihoon membuatnya kesal―Seungkwan menjambaknya.

Lalu suasana di kelas menjadi semakin riuh.

Para bocah perempuan yang tidak terima temannya dijambak, kini mengerumuni Seungkwan.

Dan Hansol, layaknya bocah bule biasa yang tidak begitu mengerti arti kata yang dilontarkan teman-temannya di sekitarnya hanya memandang mereka dengan tatapan bodoh.

Jangan salahkan dia. Salahkan ayahnya yang tiba-tiba memutuskan pindah pulang kampung dari tempatnya yang nyaman di New York sana.

Hansol tidak tahu apa yang diperbuatnya semalam sampai harus menerima semua ini.

Dia tidak tahu kenapa perempuan-perempuan di kelasnya seganas ini. Dan―oh, apa itu? Apa bocah perempuan berpita itu baru saja mendorong Seungkwan jatuh? Hansol bergidik.

Apa salahnya?

Apa salah Hansol, ya Tuhan?

.

.

Jihoon merengut. Dia dipisahkan dari kedua adiknya. Jihoon tidak suka. Bersama siapa dia akan bermain kalau begitu? Di rumah dia yang paling tua dan bisa bebas membully adik-adiknya―meski pada akhirnya Seungkwan selalu balik membullynya, tapi di kelas ini, Jihoon yang termuda.

Dengan kata lain, dia yang di bully.

Bukan salahnya.

Ini salah mama Changmin yang memasukkannya ke dalam sekolah saat usianya belum genap lima tahun sementara di kelas semuanya sudah 5 tahun lebih.

Dan Jihoon yang paling kecil.

Paling mungil.

Paling manis kalau Sunny seonsaeng bilang.

Jihoon tidak mau mengakuinya tapi sebenarnya dia menuruni sifat pemalu sang mama sepenuhnya. Dan dia begitu takut menghadapi semua hyungdeul dan noonadeul di kelas ini. Mereka lebih tua dan jelas―lebih besar.

Jadi, saat Sunny seonsaeng mengumumkan ini jam makan snack, Jihoon membawa kotak bekalnya dan melipir duduk sendirian di pojokan.

Sudah tiga jam dia berada di sekolah dan―ini memalukan, tapi si sulung keluarga Shim belum berhasil membuat tali pertemanan dengan siapapun.

"Ya, maknae."

Jihoon tidak akan mendongak. ia masih sibuk memandang Cinnamon Roll buatan mama Changmin yang terlihat menggoda di dalam kotak bekalnya.

Tentu saja.

Dia tidak akan sadar kalau serombongan bocah yang berdiri di depannya sedang memanggilnya. Di rumah, bukan dia maknaenya, dan jelas bukan dia yang biasanya dipanggil maknae.

Lalu Jihoon merasa ada sesuatu yang menusuk bahunya. Ia mendongak dari kotak bekalnya dan mendapati serombongan orang sedang menatapnya dan seseorang menusuk bahunya menggunakan ujung jari.

Jadi, Jihoon melakukan hal yang disuruh mama Changmin untuk dilakukannya saat bertemu dengan calon teman.

Jihoon tersenyum lebar. Dua lesung pipitnya terlihat.

Soonyoung menunjuk bocah garang di sebelahnya. "Panggil dia hyung."

Lalu menunjuk dirinya sendiri. "Dan panggil aku hyung juga."

Jihoon―si polos Jihoon, hanya bisa mengangguk. Senyum lebar masih setia tertempel di wajahnya.

Sampai kenyataan pahit menerpanya.

Soonyoung mengulurkan tangannya. "Berikan bekalmu padaku." lalu tertawa―kedengarannya―jahat. "Atau aku dan dia," ia menunjuk bocah garang di sebelah―belakangan Jihoon tahu namanya Wonwoo, "Akan memukulmu."

Senyum lebar di wajah Jihoon memudar.

Jihoon spontan menggeleng dan kembali menutup bekalnya. Apa-apaan. Mama Changmin membuatnya dengan penuh cinta hanya untuknya.

Dan Soonyoung, tidak menerima penolakan. Ia maju memepet Jihoon dan―poor Jihoon hanya bisa terduduk dengan raut wajah trauma. Ia mendekap kotak bekalnya erat-erat di dada.

Jihoon bahkan tidak sempat menjerit saat Soonyoung dan Wonwoo dengan paksa mengambilnya dari dekapannya.

Curang.

Dua lawan satu.

Dan Jihoon kecil.

Tentu saja bocah itu kalah telak.

Jihoon tidak tahu kalau seorang hyung bisa menjadi sejahat ini.

Mama Changmin selalu mengajarinya untuk berbagi segalanya dengan Seungkwan dan Chan. Jadi, selama ini, setiap kali dia makan, dia sama sekali tidak keberatan membaginya dengan siapapun.

Tapi Soonyoung mengambil kotak bekal snacknya dengan paksa. Dan Jihoon tidak menyukainya. Soonyoung bisa memintanya baik-baik kan? Jihoon pasti akan memberikannya dengan senang hati. Seungkwan, meski menyebalkan tapi bocah itu selalu meminta baik-baik dengan puppy eyesnya yang tidak lucu sama sekali. Dan Jihoon selalu memberinya bagian dari makanannya dengan sukarela. Padahal dia pikir Seungkwan adalah bocah paling menyebalkan di dunia.

Sungguh pemikiran yang salah.

Soonyoung lebih menyebalkan.

Dan Soonyoung sangat salah memutuskan untuk membully si sulung keluarga Shim.

Karena, meski kecil, tenaga si sulung melebihi tenaga bocah yang ukuran tubuhnya hampir sama dengannya.

Jadi, ketika Soonyoung menyentuh jarinya yang gemuk dan kecil di kotak bekal Jihoon untuk membukanya, Jihoon mendorongnya hingga jatuh tersungkur di lantai kelas.

Dan kelas bunga matahari langsung riuh setelahnya.

.

.

Cekolah tidak sebuluk yang dipikilkan Kyuhyun ahjucci, pikir Chan senang. Di hari pertamanya, dia belajar menghapal teman satu mejanya. Satu meja berisi empat orang dan dibuat melingkar.

Ada dua bocah China yang terus menerus menatap papan tulis dengan bingung―Chan mengingat nama mereka sebagai Juni dan Mingho.

Bukan salahnya.

Dua bocah China itu punya nama yang sulit dilafalkan oleh lidahnya yang cadel―Junhui dan Minghao.

Lalu ada anak bule yang wajahnya tidak terlihat bule –malah terlihat seperti orang Korea pada umumnya yang duduk di sebelah kirinya. Bocah itu menyuruhnya memanggilnya Joshua―tapi Chan memanggilnya Josa.

Sekali lagi, salahkan orangtua mereka yang memberikan nama begitu susah untuk Chan lafalkan dengan benar.

Dan berakhir dengan Joshua menyuruhnya memanggilnya Jisoo.

Chan melakukan yang terbaik untuk memanggilnya dengan nama yang benar.

Ia sedikit merasa bersalah saat Junhui dan Minghao mendelik menatapnya karena ia tidak melafalkan namanya dengan benar.

Tapi Chan bisa apa.

Salahkan lidahnya yang pendek.

"Chan-ie," panggil Jisoo ceria. Chan menoleh dari kotak bekalnya dan melempar senyum lebar.

Tiffany seonsaeng bilang mereka boleh makan snack dan bermain bersama teman-teman, jadi, si bungsu keluarga Shim ini membuka kotak bekalnya dan mengunyah potongan Cinnamon Rollnya dengan raut wajah bahagia.

"Boleh aku duduk di sana?" Jisoo menunjuk spot kosong di sebelahnya.

Chan mengangguk. "Duduk caja di cini, Jicu."

Jisoo duduk dan mengeluarkan miniatur tentara dari sakunya. "Mau main?"

Chan mengangguk bersemangat. "Beldua?"

Jisoo menggeleng. "Kau boleh memanggil anak yang lain kemari."

Ia melihat ke sekelilingnya dan pandangannya tertuju pada Junhui dan Minghao.

"Juni! Mingho!"

Keduanya menoleh dengan tatapan bingung. Chan menyuruh mereka mendekat dan mengacungkan miniatur tentara di tangannya. "Lihat, Jicu punya miniatul tentala. Ayo main cama-cama."

Meski tidak begitu mengerti, keduanya mendekat.

Dan begitulah, empat anak beda bangsa dan bahasa ini bermain bersama.

"Juni mau ninamon lol?"

Junhui menoleh―dan setelah mendelik karena Chan masih memanggilnya Juni, ia memiringkan kepalanya. "Ninamon lol?"

Chan menunjuk kotak bekalnya. Lalu Junhui tertawa. "Cinnamon roll, Chan-ie."

Chan menggembungkan pipinya. "Iya, ninamon lol."

Minghao tertawa saat sadar. "Chan-ie, Chan-ie masih cadel?"

Chan mengangguk malu-malu. "Maaf."

Junhui menggeleng. "Makanya Chan-ie memanggilku Juni? Dan memanggil Minghao dengan Mingho?"

Chan kembali mengangguk malu-malu. Jisoo mendadak tertawa. "Kau juga memanggilku Josha pertama kali. Lalu jadi Jicu sekarang."

Chan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia malu luar biasa. Dua saudaranya yang lain tidak pernah mempermasalahknnya. "C―Chan-ie minta ma―maaf."

"Tidak apa-apa, dongsaeng."

"Dongsaeng?"

Junhui mengangguk. "Baba bilang, yang lebih muda dariku dipanggil dongsaeng di sini."

"Chan-ie dongceng Juni?"

Junhui mengangguk. "Um."

"Chan-ie juga dongsaengku." Kata Minghao.

"Chan-ie juga dongsaengku." Tiru Jisoo.

Chan-ie tersenyum dan menyudurkan kotak bekalnya. "Ayo makan ninamon lol cama-cama."

.

.

Di hari pertama sekolah, Seungkwan sudah duduk di kursi berpikir. Yoona seonsaeng menyeretnya keluar dari medan perang―meninggalkan para bocah perempuan yang menangis karena dia menjambak mereka sekaligus dan mendudukkannya di sebuah kursi kecil di pojok ruangan.

Namanya kursi berpikir.

Dan Yoona seonsaeng menyuruhnya duduk di sana untuk memikirkan apa yang baru saja ia lakukan barusan.

Dan yang bisa kepala mungilnya pikirkan satu menit ini adalah―betapa dia membenci bocah perempuan berpita yang sudah mengalahkannya dalam adu jambak beberapa saat yang lalu.

Curang.

Bocah itu mainnya keroyokan.

Seungkwan sendirian.

Apalah ia, hanya bocah laki-laki yang sedang memperjuangkan pangerannya dari kerumunan nenek sihir jahat. Dia tidak punya daya kalau nenek sihirnya mainnya gerombolan.

Sudah begitu, mereka tiba-tiba menangis.

Seungkwan tidak mengerti. Di sini dia yang teraniaya. Dia memang menjambak mereka bebarengan―tapi dijambak segerombolan bocah perempuan jelas sekali hal yang lebih menyakitkan―tapi kenapa malah bocah-bocah itu yang menangis?

Dan kerena mereka menangis―di sinilah dia, duduk di kursi berpikir sendirian, jauh dari Hansol di pojokan.

Seungkwan semakin cemberut saat bocah-bocah berisik yang ia buat menangis tadi kembali mengerumuni Hansol. Tentu saja, sejak Hansol melempar senyum tampan padanya―catat, hanya pada Seungkwan seorang, Seungkwan sudah mengklaim Hansol itu miliknya dan dia tidak akan membiarkan bocah-bocah berisik itu mengerumuni Hansolnya.

Jadi dia berdiri dan bersiap untuk kembali membubarkan kerumunan yang menyelimuti Hansol saat Yoona seonsaeng berdehem dan membuatnya duduk lagi.

"Lima menit, Seungkwan-ie. Lima menit."

Seungkwan kembali merengut. Dia kan tidak tahu lima menit itu sebenarnya berapa lama. Rasanya dia sudah duduk di sini selamanya.

"Seonsaeng,"

"Hm?"

"Lima menit itu berapa lama?"

Yoona seonsaeng menatap langit-langit kelas dan menghela nafasnya sebal. "Hanya sebentar."

"Tapi aku sudah duduk di sininya untuk waktu yang rasanya lama sekali. Bagaimana kalau seonsaeng lupa dan meninggalkan aku di sini sampai waktunya pulang dan aku tidak punya waktu untuk bermain?"

Yoona seonsaeng tertawa. Ia mengacak rambut Seungkwan―salah langkah, Seungkwan semakin menekuk wajah, "Kau punya banyak waktu bermain nanti, Seungkwan-ie."

.

.

Di hari pertama sekolah, Sunny seonsaeng menggiring Jihoon duduk di kursi berpikir.

Dan otak di kepala Jihoon hanya mampu memproduksi kalimat, Kyuhyun ahjussi benar. Sekolah buruk dan banyak anak nakal. Ia menatap Soonyoung di sebelah dan semakin menekuk wajah.

Ia teringat potongan cinnamon rollnya yang tergeletak tidak berdaya di lantai setelah tumpah dari tempatnya karena ia mendorong Soonyoung tadi.

Ah, sayang sekali.

Dan sekarang Jihoon lapar.

"Ini semua gara-gara kau."

Jihoon melirik Soonyoung sebal. Apa katanya? Tapi ia diam saja. Tidak ada gunanya meladeni anak nakal kata mama Changmin dulu saat Jihoon pulang ke rumah dengan lutut sobek setelah adu fisik dengan anak tetangga―anak tetangga mengatai Seungkwan gendut dan Jihoon langsung mendorongnya ke tanah. Tidak ada yang boleh mengatai Seungkwan gendut selain dirinya.

"Iya, ini gara-gara kau."

Kali ini si garang yang buka mulut.

Jihoon menggembungkan pipinya.

"Dasar pendek."

Oh―tidak ada yang boleh mengatainya pendek. Bahkan Seungkwan sekalipun.

Jihoon berdiri dari kursinya dan melemparkan diri ke Soonyoung―membuat keduanya jatuh berguling-guling ke lantai.

Kelas bunga matahari kembali riuh.

Wonwoo―tidak terima ketua gengnya tergeletak di lantai ditimpa si mungil, ikut terjun ke lantai. Bukan untuk memisahkan dan menolong Soonyoung, dia malah menimpa Jihoon yang semakin menimpa Soonyoung yang berada paling bawah.

"Aaa!"

Jihoon menggeliat. Berusaha keluar dari kungkungan Soonyoung di bawah, dan Wonwoo di atas―yang sayangnya, sangat sulit untuk dilakukan. Soonyoung memerangkapnya dengan sempurna, dan Wonwoo benar-benar menimpakan seluruh berat badannya pada Jihoon.

Jihoon benar-benar terperangkap di tengah-tengah.

Bocah empat tahun itu sesak nafas.

Sunny seonsaeng, yang baru saja kembali dari ruang guru, terpana selama beberapa detik―

Oh, apa itu threesome?

―sebelum bergerak sigap memisahkan ketiganya.

Kali ini, ketiganya duduk di kursi berpikir selama sepuluh menit.

.

.

"Chan-ie, setiap hari minggu kau pergi kemana?"

Chan mendongak dari miniatur tentaranya. "Mama celalu mengajak Chan-ie, Hoon-ie, dan Kwan-ie ke taman kota."

Sesaat, Chan merasa ekspresi wajah Jisoo berubah kaget―ternyata dia memang kaget.

"Kau tidak ke gereja?"

Chan memiringkan kepalanya. "Geleja?"

"Iya, gereja." Jisoo merentangkan kedua tangannya. "Bangunan sebesar ini yang punya lonceng raksasa di atasnya?"

"Lonceng lakcaca?"

Jisoo mengangguk semangat. "Kau tidak ke sana?"

Chang menggeleng. Dia tidak ingat mama Changmin pernah membawanya ke sebuah bangunan dengan deskripsi seperti yang dijelaskan Jisoo.

"Chan-ie belum pelnah ke cana, Jicu."

"Kau harus ke sana, Chan-ie."

"Eh?"

"Kata papa, setiap minggu kita harus ke sana. Berdoa."

Chan memiringkan kepalanya lagi. "Tapi Chan-ie, Hoon-ie, Kwan-ie, dan mama celalu beldoa cebelum tidul."

Jisoo memegang kedua bahu Chan dengan dramatis. "Berbeda. Minta mamamu membawamu ke sana Chan-ie."

Chan hanya mengangguk polos. "Ung, nanti Chan-ie bilang mama waktu mama jemput Chan-ie."

.

.

Saat Changmin datang menjemput si kembar dari sekolah, dia tidak menduga akan mendapati si sulung dan si tengah dengan wajah tertekuk sedemikian rupa―berbeda dengan si bungsu yang tampak ceria―seolah-olah Changmin baru saja membelikannya plushie dinosaurus.

"Kalian kenapa?"

Si sulung memalingkan wajah dan berjalan lebih dulu di depan―menolak curhat. Begitupun si tengah, ia menghentakkan kakinya mengikuti Jihoon di depan―meninggakan Changmin kebingungan di belakang.

"Chan-ie?"

Chan mendongak.

"Kenapa kedua saudaramu?"

Chan menggeleng―si bungsu sama sekali tidak tahu prahara apa saja yang menimpa kedua saudaranya di kelas mereka. Ia meraih tangan Changmin lalu menggandengnya.

"Bagaimana hari pertamamu sekolah?"

"Menyenangkan!"

Oh―si bungsu bahkan sampai melompat-lompat senang. Changmin tertawa kecil. Ia menatap kedua putranya yang lain di depan dan merasa khawatir tiba-tiba. Raut wajah keruh yang diperlihatkan keduanya tidak menunjukkan rasa senang di hari pertama sekolah.

Kenapa tiba-tiba perasaannya tidak enak?

"Changmin-ssi?"

Changmin menoleh dan menelan ludahnya. Taeyeon sedang melipat tangan dengan eskpresi mendung di wajah.

"Bisa kita berbicara sebentar?"

Changmin mengangguk. Si kembar mengekor di belakang.

Beberapa saat kemudian, saat keluar dari ruang guru, Changmin mendadak ingat apa yang lupa diberitahukannya tadi pagi.

Oh, yeah, Changmin lupa memberitahu para guru kalau si kembar hobi sekali membuat onar.

.

.

The End

.

.

A/N:

Haha maapkeun apdetnya telaaaaat banget /bow/

Oh, i decide to change the pairs.

Some readers gimme advice. And i think its not bad.

Mungkin emang Divaboo lebih cocok sama Pernon. Menulis interaksi mereka di chapter ini sangat menyenangkan. Dan well, hasilnya jadi lebih panjang dari yang lain but, yeah, saya suka dengan Divaboo yang ganas dan beringas mempertahankan apa yang dia pikir menjadi miliknya /laugh/

Dan saya memutuskan si Chan dipasangin sama si Jisoo /saya juga heran di mana momentnya/ dan mungkin momentnya belum banyak. Ya, namanya aja pasangan paling polos. Channya polos. Jisoo juga polos. Yasudahlah.

Tapi tenang, si sulung Jihoon masih sama abang pacarnya―Soonyoung. Nulis mereka juga menyenangkan. Soonyoung si pembully yang ketemu korban bully yang gak bisa dibully. Mungkin interaksi mereka lebih banyak berantem. Berantem-berantem cinta /like love and hate war/ karena emang Jihoon itu adalah uke galak yang gak keliatan lemah tapi manis di dalam /hidup tsundere Jihoon!/ tapi karena mereka masih bocah, Jihoon 4 th, Soonyoung 5 th, jadi manis-manisnya ya manis-manis bocah.

/anjir, ini bocah tapi cinta-cintaannya udah luar biasa/ /tepuk jidat/

Dan saya baru sadar. Ini anaknya Changmin uke semua /oops/ /mampus/

.

.

P.S. I'll give you my twitter id. Just search faaannisa [remember, triple a!] and feel free to spam me with anything. You can mention me and we can have some chit chat or we can fangirling over our baby Seventeen, or, you can send me about your request or gimme some idea /Gak janji bakal dikabulin semua tapi bakal saya saring ide dan rikuesnya/

Or, the most important, you can nag me! Please, feel free to send me mention or dirrect message your nagging about my fanfiction update! I need a reminder! /saya suka lupa punya utang fanfiksi/ /maapkeun/

P.S.S saya minta maaf sama reader Only and Only One, saya nggak nyangka bisa bikin nangis orang-orang /bow/ ini saya bawa mama Changmin dan anak-anaknya sebagai obat penawar, oke? /laugh/ /bow again/

.

.

Omake

.

.

"Mama."

"Hm?"

"Mama, kalau Kwan-ie sudah besar, Kwan-ie akan menikah dengan Hansol."

"Hansol?"

Changmin tidak tahu Hansol itu siapa tapi ia hanya mengangguk-angguk.

"Mm."

"Mama,"

"Iya, Jihoon?"

"Besok Hoon-ie mau bawa raket nyamuk."

"Untuk apa?"

"Memukul Soonyoung."

Changmin memasang wajah datar. Sejak kapan putra sulungnya jadi ganas begini.

"Jihoon?"

"Iya, mama?"

"Ingat apa kata mama? jangan nakal."

"...maaf, mama."

"Dimaafkan."

"Mama."

"Iya, Chan-ie?"

"Hali minggu kita ke geleja?"

"Hah?"

"Jicu bilang, setiap hali minggu kita haluc pelgi ke geleja."

"Chan―"

"Di geleja kita bica beldoa, mama."

"Chan-ie,"

Chan memandang ibunya dengan polos.

Changmin berdehem.

"Kita buddha."

.

.

Lastly, Mind to review?