Cahaya yang berpendar kelewat terang terasa menyilaukan. Pemuda tersebut sedikit berjengit dan refleks menutup matanya. Kegelapan total sebelum ini benar-benar telah membiasakan matanya terhadap ketiadaan cahaya. Sepertinya ia gagal. Lama ia terdiam dalam posisi itu, beberapa saat kemudian ia merogoh tas ransel yang tidak bisa dibilang kecil yang berada disebelahnya, mencari sesuatu yang bisa menahan terangnya cahaya menyilaukan ini.

Pas. Matanya aman sekarang, ia menatap sekeliling dan melihat dirinya sendiri. Kemeja longgar putihnya mulai kehilangan warna asli, begitupun dengan jeans biru gelap yang dipakainya. Pemuda tersebut meraba beberapa bagian tubuh yang tak bisa dilihat langsung oleh matanya.

"Bagaimanapun, ini tempatmu, Sasuke."

Puas merasakan keadaan tubuhnya bagaimana, Sasuke menatap sebelah pergelangan tangannya yang terasa nyeri. Lagi. Ia mengedarkan pandangannya kesekeliling ruangan bernuansa putih tanpa ada segores warna lain yang mengganggu. Indah. Namun mengerikan.

Ia mendengus, dan memejamkan matanya pelan.

"Sekali lagi."

.

.

.

NarutoFanfiction

Disclaimer : Masashi Kishimoto.

Genre : Romance / Sci-Fi / little bit Supernatural.

Rate : K-T

Warning : OoC, AU, Typo(s), minim deskripsi-maksim dialog, klise, EyD mungkin tidak baku, dll.

btw Hinata nggak gagap :p

.

Cast :

Hinata Hyuuga

Sasuke Uchiha

Sakura Haruno

Ino Yamanaka

.

Enjoy :3

.

.

.

White Box

.

.

.

Konoha Gakuen. Kelas 2-3

"Hinata-chaan!"

Seseorang berambut mencolok meneriakkan namanya dari jarak yang tak bisa ia perkirakan. Suara tapak kaki yang menggema di lorong-lorong sekolah kian terasa mendekat. Hinata menoleh bingung kearah pintu kelas yang terbuka.

"Haruno-san! Dilarang berlari di lorong sekolah!"

Suara tapak kaki mulai berhenti. Dan siswa-siswa lain yang melihat darimana asalnya suara mulai melanjutkan kegiatannya masing-masing.

"Pasti ia ditegur lagi oleh Yamato-san. Abaikan sajalah."

Hinata tersenyum kecil menatap seseorang disampingnya. "Tapi bukannya aneh kalau Sakura-chan berteriak seperti itu?"

"Haah, baiklah. Akan kulihat seperti apa situasinya."

Ino melangkahkan kakinya ogah-ogahan keluar kelas. Lalu,

"Aww!"

Dua gadis memekik bersamaan.

"Hidungku!'

"Jidatku!"

Lalu mereka menatap bersamaan dengan telunjuk yang mengacung kepada seseorang yang masing-masing berada di depan mereka.

"Kau menyakiti hidungku dengan jidat sekeras batumu itu, Sakura."

"Hidungmu yang bersalah. Minggir!"

Sakura mengelus dahinya perlahan. Lalu ia mendorong Ino perlahan untuk menyingkir. Beberapa siswa lain yang penasaran tentang drama apa yang terjadi, kembali memutar kepala bosan. Romansa dua bagian tubuh yang kelewat mancung sudah menjadi drama gratis yang hampir setiap hari mereka saksikan.

"Geez. Astaga, apa kau ini tidak bisa lebih tenang sedikit." Ino menyusul Sakura yang berjalan masuk kedalam kelas.

"Daijobu, Sakura-chan?" Hinata menatap khawatir.

"Bukan masalah, tapi apa kau mendengar berita baru?"

"Memangnya tentang apa?" Hinata memiringkan kepalanya.

"Apa itu tentang pangeran pirangmu yang menang bertanding melawan Kumo Gakuen?" Ino menghampiri kedua temannya yang menatap dengan pandangan terkejut—dalam arti yang berbeda.

"Darimana kau tahu?" Sakura menatap takjub.

Hinata menatap keduanya bergantian. Rasanya ia pernah melihat momen ini. Setitik perasaan ragu menyelimuti pikirannya. Hinata menoleh ke kursinya. Kakinya terasa sedikit lelah, ia berjalan beberapa langkah dari temannya yang masih berdebat mengenai Naruto, pangeran pirang kapten sepak bola dari sekolah mereka. Dua pasangan berisik itu memang terlalu nyentrik untuk tidak diketahui sejagat sekolah.

Gadis itu menarik kursi yang terdorong kebawah meja, lalu mendudukinya dengan nyaman. Gadis itu menopang wajahnya dengan tangan, sesekali tersenyum menatap dua sahabat pirang-merah muda yang masih beradu kata.

"Berdiri."

Suara seorang laki-laki membuat Hinata menolehkan kepalanya keatas.

Orang itu tidak berkata apapun, hanya memberi isyarat untuk menyuruhnya berdiri dengan anggukan kepalanya. Masih tidak mengerti, Hinata memiringkan kepalanya.

'Siapa dia?'

"Ah, Sasuke-san. Maafkan teman kami. Mungkin ia tidak memperhatikan kursi mana yang ia duduki. Hinata-chan, ayo kesini." Sakura menyela.

Hinata menatap aneh pada pemuda yang disebut Sasuke tersebut. Lalu menoleh kearah yang disebut oleh Sakura. Mungkin ia kelelahan sampai melupakan dimana kursinya berada.

Sasuke menatap punggung Hinata yang berjalan menjauh. Dan menduduki kursinya dalam diam.

.

.

.

"Uchiha Sasuke itu misterius ya. Aku bahkan hampir tidak pernah mendengar ia berbicara." Sakura mengambil telur dadar gulung dan mengunyahnya perlahan.

"Hei, itu milikku." Ino protes.

"Ups, maaf. Kau makan punyaku saja."

"Haah, baiklah. Kurasa memang sudah dari awal dia seperti itu."

"Oh ya, kau tadi kenapa bisa tiba-tiba duduk di kursinya? Mizuki-san saja tidak berani menyentuh wilayahnya." Lanjut Sakura.

Hinata menatap Sakura. "Apa maksudmu? Itu kan memang kursiku."

Sakura menatap Hinata bingung. Gadis itu lalu meletakkan sumpitnya dan meraba dahi Hinata dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya meraba dahinya sendiri.

"Kau ini pasti terkena sindrom kouhai yang tidak ingin melepaskan statusnya menjadi senpai."

"Jangan menciptakan penyakit aneh-aneh, Sakura. Akan kuberitahu Perawat Shizune agar ia tidak mau mengajarimu lagi." Ino menhela napas dan mengetuk pelan kepala Sakura saat si gadis merah muda tersebut.

"Astaga! Kau ini jahat sekali, aku kan hanya bercanda." Sakura menggembungkan pipinya yang masih setengah terisi dengan kunyahan telur dadar gulung milik Ino..

Hinata menatap kursi Sasuke. Disana orang yang disebut sedang sibuk memasang telinganya dengan earphone, dan membaca buku tebal. Hinata mengingat-ingat saat ia masih menjadi murid kelas satu. Duduk di jendela, kursi pojok dan menatap keluar saat waktu istirahat tiba.

Sasuke menutup buku tebalnya pelan dan melepaskan earphone yang tadi terpasang di telinganya. Matanya bertatap dengan mata Hinata sekilas sebelum Hinata mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia tak mau dianggap sebagai penguntit. Gadis itu melirik melalui ekor matanya melihat Sasuke yang beranjak pergi keluar kelas.

"Kau lihat tadi, Ino. Kemarin dahinya yang diberi plester. Kemarinnya lagi sikunya. Kemarinnya pergelangan tangan. Sekarang malah lehernya, tetapi sedikit tertutupi seragam sih."

"Kau sampai memperhatikan lehernya?" Ino menatap Sakura dengan alis berkerut.

"Cowok misterius seperti itu tidak bisa dibilang tidak menarik." Lanjut Sakura polos.

"Kalau begitu Naruto buatku ya." Ino menyeringai jahil.

"Ambil saja, lalu pangeran pucatmu yang akan kuambil." Sakura nyengir lebar.

"Kau mau berkelahi, jidat?"

"Tolong jangan buat aku membahas hidung babimu itu."

"Apa Sasuke itu tidak punya teman?" Hinata menyela.

Ino mengambil potongan telur dadar gulung dari kotak bento Sakura dan melahapnya pelan.

"Entahlah, kupikir aku pernah mendengar tentang cowok berambut merah dari kelas 1-6 dulu. Saat mereka masih satu kelas, tapi sepertinya ia pindah tepat sebelum liburan musim panas—"

"—Kenapa kau bertanya seperti itu."

"Sepertinya ia selalu sendirian."

"Kau baru sadar? Apa kau tidak merasa kalau selama ini dia sering memperhatikanmu?" Sakura menatap Hinata.

"Kupikir aku baru saja bertemu dengannya tadi."

"Yappari, kau benar-benar terkena sindrom kouhai yang tidak ingin menjadi seorang senpai." Gadis berambut berambut merah muda tersebut menyentuh kedua pundak Hinata perlahan dan memberikan tatapan seolah seolah sedang berhadapan dengan seorang pasien.

"Jangan bicara aneh-aneh, Sakura." Dan lagi, kepalanya mendapat jitakan gratis dari si gadis pirang.

.

.

.

Hinata menatap pantulan dirinya didalam cermin. Dan mengusap wajahnya dengan air dari keran, kemudian mengelapnya. Gadis itu mengeluarkan ponselnya, mengecek apakah ada pesan atau email dari Sakura ataupun Ino mengingat ia pergi ke toilet beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Gadis itu menatap pantulan dirinya sekali lagi. Dirasanya wajahnya sudah kering, gadis itu lalu keluar dari sana.

Suara berdebum menabrak kepalanya membuat gadis itu refleks menyentuh dahinya. Suara benda jatuh membuatnya menoleh ke lantai. Itu ponselnya. Astaga, apa ia dikutuk Kami-sama sekarang ini?

Seseorang mengambil ponselnya dan memperhatikan layarnya.

"Tak ada masalah."

Ia mengembalikan ponsel tersebut ke Hinata dan berjalan melewatinya.

"Sasuke,, san." Ada jeda perlahan sebelum gadis itu menambah sapaan dibelakang nama Sasuke.

Gadis itu menatap punggung Sasuke yang seperti hendak berbalik saat ia menyebut namanya namun tidak jadi.

"Kelas akan dimulai beberapa saat lagi." Sasuke kembali berjalan tanpa menoleh pada Hinata.

Hinata berjalan kearah yang berbeda dari Sasuke. Beberapa langkah kemudian ia sadar, Sasuke tidak menuju kelas mereka. Gadis itu menoleh cepat untuk mendapati Sasuke yang hampir berbelok kearah tangga ke lantai bawah dengan memegangi bagian dadanya.

"Apa kepalaku sebegitu kerasnya sampai ia merasa kesakitan?"

Perlahan, gadis itu mulai berbalik kembali dan berjalan cepat menuju kelas mereka.

.

.

.

tobecontinue

.

.

.

Mumpung lagi dapet inspirasi dapet cerita baru, sci-fi lagi. xD

Oh ya, adakah yang merasa karakter Sakura dan Ino tertukar? Kalo menurut saya sih enggak. Tapi kalo iya, di chapter depan akan saya tukar karakter mereka.

Seperti yang saya tuliskan, ini terinspirasi dari sebuah kejadian, awalnya mau saya jadikan salah satu plot cerita SasuHina saya yang sebelumnya. Tapi sepertinya akan sedikit tidak nyambung ke storyline yang satu itu.

Setelah dipikir ulang sepertinya asyik kalo dimasukin ke genre sci-fi dan jadi cerita tersendiri. Buat yang belum ngerasa begitu dapet kesan sci-finya, harap maklum ya. Rencananya akan saya masukkan bertahap di cerita. :D

Terima kasih buat para pembaca

Kritik dan saran dari kalian sangat saya harapkan. :)

Sign,

Ra Rūni