Summary: Karena suatu kejadian, Annie harus dimasukkan ke dalam kelas XI-F yang berisi siswa-siswa abnormal. Selain dirinya sendiri, ia juga harus menyelamatkan seorang siswa baru dari ancaman Trio Idiot.
Romance/Humor | Armin Arlert/Annie Leonhardt | Multichapter
T-rated.
The story is mine, but the characters are Isayama Hajime's.
Cupid © Ryuki Ayanami
Chapter 1: New Student
Tak ada yang lebih mengesalkan selain melihat jerih payahmu ternyata dibayarkan dengan penghinaan macam ini. Annie Leonhardt memandangi papan nama yang tergantung itu dengan mata penuh amarah.
Kelas XI-F.
Ia sudah bekerja keras tahun lalu. Demi dirinya, bahkan demi sekolahnya juga. Tapi mengapa Kepala Sekolah tidak melihat kerja kerasnya?
Menurut sejarah sekolah, kelas XI-F adalah kelas yang paling parah dalam hal kedisiplinan. Siswa-siswi kelas XI-F merupakan peraih penghargaan Siswa Paling Terlambat, Pelanggar Tata Tertib Terbanyak, dan masih banyak lagi kategori lain. Kebetulan Annie masuk ke dalam kategori Paling Sering Bolos.
Tapi dengan alasan, batin Annie geram.
Ia sering membolos sekolah untuk berlatih dalam rangka mengikuti Turnamen Judo Tingkat Nasional. Dulu Kepala Sekolah, Erwin Smith, sangat mendukung Annie di turnamen itu. Tapi setelah ia gagal di babak semifinal karena cedera, Kepsek Smith malah menghadiahi kerja kerasnya dengan memasukkannya di kelas F. Ini tidak adil!
Annie membuka pintu kelas dengan kasar dan memandangi murid-murid di dalamnya dengan pandangan jijik.
Lihatlah murid-murid kelas XI-F ini. Ia harus sekelas dengan murid-murid aneh bin abnormal seperti Eren Jaeger, Jean Kirstchein, dan Connie Springer yang duduk di deret belakang. Siapa yang tidak kenal dengan mereka bertiga? Trio Idiot yang terkenal seantero sekolah akan obsesi mereka sebagai otaku. Eren si maniak hentai, Jean si lollicon, dan Connie si otaku idol. Singkatnya, mereka idiot. IDIOT. Annie sama sekali tidak selevel dengan mereka.
Tanpa acuh, Annie melewati kawanan siswi yang tengah bergosip ria di deret depan. Ia mengambil tempat duduk di belakang, di pojok dekat jendela. Cukup jauh dari Trio Idiot dan para penggosip itu. Ia memandang ke luar jendela. Sekolah ini seharusnya berterima kasih kepadanya karena ia adalah satu-satunya perwakilan Rose State Academy yang bisa lolos di Turnamen Judo hingga tingkat nasional. Sejak dibangun lima puluh tahun lalu, sekolah ini hanya bisa bertengger di tingkat provinsi. Siapa yang membawa nama Rose State Academy ke tingkat nasional? Tiada lain tiada bukan adalah Annie Leonhardt yang justru dimasukkan ke kelas XI-F.
Annie menghela napas. Ia harus menahan diri. Sungguh, jika ia membiarkan amarahnya mendidih, bisa-bisa akan terjadi pembunuhan besar-besaran di sini. Dan ia tidak mau menghabiskan sisa hidupnya di penjara.
"Kenapa wajahmu kusut begitu?"
Dengan malas, Annie melirik orang yang berbicara kepadanya. Ternyata dia adalah Mina Carolina. Di belakangnya ada Sasha Blouse, Mikasa Ackerman, dan dua orang yang tidak dikenalnya.
Tunggu dulu. Mikasa juga ditempatkan di kelas F? Mikasa Ackerman, si ratu lapangan voli yang selalu berangkat sekolah tepat waktu? What the heck? Kepsek Smith sudah gila, ya? Annie berusaha untuk mengingat-ingat peristiwa apa yang mungkin menjadi alasan mengapa Mikasa ditempatkan di kelas F.
Oh, ia ingat. Mikasa pernah membantu Eren menyelundupkan hentai manga ke perpustakaan sekolah. Alasannya hanya satu—Eren Jaeger. Mikasa rela menodai namanya sendiri hanya untuk orang idiot macam Eren.
"Ini adalah hari pertama sekolah. Ayo, semangat!" kata Sasha dengan wajah berapi-api. "Atau kau butuh asupan doujinshi supaya semangat? Aku punya manga yaoi terbaru, lho!"
"Pergilah, Sasha," balas Annie kasar.
Mina mendengus. "Ayo kita pergi, Fujo-Sha. Percuma mengajak dia berbicara. Sepertinya dia sedang PMS." Gerombolan Mina pun pergi dari hadapan Annie.
Tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda masuk ke dalam kelas. Dia berbadan mungil, berambut coklat dengan senyum ramah yang menyenangkan. Dia memperkenalkan diri sebagai Petra Ral dan mengajar Biologi.
"Selamat pagi, Anak-anak," kata Miss Petra sambil tersenyum. "Aku telah ditunjuk kepala sekolah untuk menjadi wali kelas kalian. Mohon kerja samanya dalam dua semester ke depan. Hari ini kalian kedatangan teman baru. Dia baru saja pindah dari luar negeri. Silakan masuk, Armin."
Seorang pemuda masuk ke dalam kelas dengan langkah ragu-ragu. Senyum canggung tersungging di wajahnya. Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke seisi kelas.
Pemuda itu tidak terlalu tinggi, mungkin hanya seratus enam puluh lima senti. Rambutnya pirang dan hampir menyentuh bahu, matanya biru, dan wajahnya terlihat manis—bahkan hampir menimbulkan kesan feminin. Kedua tangannya gemetaran, menunjukkan kepribadiannya yang agak pemalu dan tidak nyaman dengan lingkungan baru.
"Namaku Armin Arlert. Salam kenal."
"Terima kasih, Armin. Kau bisa duduk di sana, di sebelah Annie Leonhardt."
Annie memandangi gerak-gerik anak baru itu yang terlihat masih kaku. Armin menarik kursinya dan duduk. Dia melirik Annie dan tersenyum sopan.
"Hai. Aku Armin Arlert."
"Annie Leonhardt," balasnya tanpa minat. Ia menatap Armin dari atas sampai bawah, mengira-ngira apa yang membuat siswa baru ini terdampar di kelas F. Jangan-jangan Armin adalah anak bermasalah hingga sekolah lamanya mendepaknya dan dia harus mencari sekolah baru. Tapi tampang Armin begitu innocent.
Akhirnya Annie memutuskan untuk tidak peduli. Ia sudah cukup kesal gara-gara Kepsek Smith dan tidak mau membuang-buang tenaganya untuk menaruh perhatian pada siswa baru.
Pelajaran Biologi diawali dengan materi tentang struktur dan fungsi sel. Miss Petra menjelaskan teori-teori sel yang dikemukakan Schleiden-Schwann, Robert Brown, Virchow, hingga Felix Durjadin. Setelah membabat habis teori sel, Miss Petra menjelaskan struktur sel dari yang paling luar.
Miss Petra menggambar struktur membran plasma di papan tulis. Gambarnya yang rapi dan detil membuat murid-murid berdecak kagum.
"Ini adalah model membran plasma yang diajukan oleh Singer dan Nicholson yang disebut model mosaik cairan. Ada yang bisa menjelaskan struktur membran plasma berdasarkan model ini?"
Annie melirik siswa baru di sebelahnya yang tiba-tiba mengangkat tangan.
"Silakan, Armin."
Dengan penuh percaya diri, Armin bangkit dari kursi dan berjalan ke depan. Berbeda dengan perkenalan di awal jam yang diwarnai kegugupan, kini pemuda itu berdiri di depan kelas dengan keyakinan yang luar biasa.
"Model mosaik cairan menjelaskan bahwa membran sel terdiri atas lapisan biomolekuler fosfolipid yang mengandung unit protein globular yang berselang-seling. Molekul fosfolipid memiliki ujung polar dan nonpolar. Ujung yang nonpolar menghadap ke dalam membran sebelah dalam yang hidrofobik, sedangkan ujung polar menghadap ke permukaan. Molekul protein globular juga memiliki..."
Seisi kelas melongo mendengar penjelasan Armin, termasuk Annie. Pasti Kepsek Smith sudah gila, batin Annie. Seharusnya anak sejenius Armin dimasukkan ke dalam kelas A. Jangan-jangan Armin dimasukkan ke kelas F karena kelas yang lain sudah terisi penuh. Hanya kelas F yang kuota kelasnya baru dua puluh empat anak, sedang kelas lain jumlah muridnya hampir mencapai tiga puluh. Singkatnya, Armin ditempatkan di kelas F karena kesalahan administrasi.
"...model mosaik ini dianggap dinamis karena lipis berada dalam keadaan setengah cair dan membentuk larutan mirip jeli yang bergerak bebas."
"Penjelasan yang sangat mendetil," komentar Miss Petra. Guru itu tampak sangat puas. "Terima kasih, Armin. Kau bisa duduk di kursimu."
Pemuda itu kembali ke tempat duduknya di barisan belakang. Miss Petra kembali melanjutkan materi meski sebagian besar siswanya masih syok dengan kehebatan si murid baru. Kelas Biologi ditutup setelah satu jam berlalu dan diakhiri dengan pembagian kelompok untuk tugas presentasi.
Seisi kelas mengeluh. Tak ada yang suka presentasi, apalagi jika yang menilai adalah Miss Petra. Meskipun dia adalah guru paling baik di sekolah ini, namun dia cukup tegas kalau menyangkut masalah orisinalitas. Setiap presentasi yang dibuat harus orisinal. Tidak boleh asal caplok seperti yang biasa dilakukan siswa SMA.
Tapi, yang namanya siswa SMA pasti banyak akal bulusnya. Meski namanya tugas kelompok, yang mengerjakan presentasi paling hanya satu-dua orang. Ketika hari presentasi tiba, mereka yang tidak ikut membuat presentasi akan membaca apa saja yang tertera di slide PowerPoint meski mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Padahal, esensi sesungguhnya dari presentasi bukanlah membaca tulisan di slide, namun menjelaskan apa yang tertera di sana.
Annie mengerti betul alur pikir anak SMA. Ia menatap satu per satu anggota kelompoknya—Mikasa, Mina, Sasha, serta dua siswi yang baru dikenalnya sebagai Ymir dan Krista. Yang punya inisiatif paling-paling hanya Krista. Lalu, ia dan Mikasa akan mengerjakan apa saja yang didapatkan. Mungkin Ymir juga. Sisanya hanya berperan sebagai seksi hiburan.
Ia kembali ke tempat duduk setelah berdiskusi sebentar tentang presentasi kelompoknya. Tiba-tiba, terdengar suara pengumuman dari speaker.
"Pengumuman, pengumuman."
Annie mengepalkan tangannya. Ia tahu suara ini.
"Diberitahukan kepada Armin Arlert, siswa XI-F, untuk segera menemui saya di ruang kepala sekolah. Terima kasih."
Demi apapun, ia bersumpah akan membalas dendam terhadap Kepsek sialan itu.
"Dimana ruang kepala sekolah?"
Annie menoleh. "Di lantai satu, dekat tangga."
Armin tersenyum. "Terima kasih."
Ia mengangkat bahu. Di saat yang bersamaan, datanglah Trio Idiot. Dengan (sok) ramahnya, Eren menepuk pundak Armin. Disusul Jean dan Connie. Mereka mengucapkan rentetan kata selamat datang layaknya sambutan seorang bupati.
"Kau pasti tidak tahu dimana letak kantor kepala sekolah," kata Eren. "Tidak usah khawatir. Kami akan mengantarmu."
"Ti-tidak perlu," sergah Armin.
"Tidak usah malu-malu," timpal Connie. "Ayo, kita pergi."
"E-eh—tunggu—"
Pemuda kerempeng itu tidak berdaya saat tangannya diseret oleh Eren dan Jean. Annie hanya memerhatikan kepergian keempat orang itu dari kursinya.
Dasar penjilat, batin Annie. Niat mereka sangat mudah terbaca. Tiga orang idiot dengan nilai terendah di kelas mendekati seorang siswa baru yang genius. Ditambah dengan fakta bahwa mereka satu kelompok dalam tugas Biologi. Pasti itu strategi supaya mereka bisa menyerahkan pembuatan presentasi pada Armin.
Anak baru yang malang.
Sambil menghela napas, Annie duduk di kursinya dan menyesap jus kalengan yang baru dibelinya di kantin. Ia memandang ke luar jendela, ke arah lapangan bola. Beberapa siswa sedang bermain sepak bola di sana. Mereka terlihat sungguh bersemangat. Berbeda dengan ia dan teman-teman sekelasnya. Annie mengalihkan pandangannya. Ia menatap seisi kelas.
Wajah-wajah murung yang tidak siap menghadapi guru paling killer di sekolah. Tak ada satupun siswa yang siap untuk bertatap muka dengan Mr. Rivaille. Guru yang mengampu mata pelajaran Fisika itu adalah mimpi buruk setiap siswa SMA—galak dan pelit dalam memberi nilai. Setiap siswa yang mendapatkan nilai tugas atau ulangan dibawah tujuh harus mengikuti tambahan pelajaran Fisika. Kini Annie mengerti mengapa Trio Idiot yang biasanya membuat keributan berwajah paling suram di kelas.
Pintu ruang kelas terbuka dan masuklah Armin Arlert. Pemuda itu berjalan dengan tenang. Wajahnya begitu kontras dengan wajah kelas—segar dan tampak semangat. Kasihan. Nasib anak baru, pikir Annie. Tak lama kemudian, bel berbunyi dan Mr. Rivaille masuk.
Jika seseorang mendengar cerita tentang kepribadian Mr. Rivaille, pasti dia membayangkan orang bertubuh tinggi besar, berwajah seram, dan memiliki aura kematian. Tapi bukan seperti itu gambaran fisik Mr. Rivaille. Dia bertubuh pendek, bahkan Annie belum pernah bertemu dengan laki-laki sependek itu dalam hidupnya. Tapi wajah seram dan aura kematian itu benar-benar dimiliki Mr. Rivaille.
"Buka buku kalian," kata Mr. Rivaille. "Kita akan mempelajari kinematika gerak."
Seluruh siswa membuka buku dengan serentak.
"Sebelum membahas bab ini lebih lanjut, aku ingin menanyakan sesuatu yang sangat mendasar. Apa perbedaan antara kelajuan dengan kecepatan?"
Kelas hening dalam sejenak. Pandangan Mr. Rivaille menyapu seisi ruangan, mencari mangsa yang cocok. Matanya berhenti di deret lima, baris keempat.
"Jean Kirstchein." Kata-kata itu terdengar seperti mantra kutukan.
Jean menelan ludahnya. "Be-be-bedanya—kelajuan itu..."
Mr. Rivaille dengan sabar menunggu. Jean berusaha merangkai kalimat, namun yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata 'kelajuan itu...' secara berulang-ulang seperti bayi yang baru belajar bicara.
"Ini konsep dasar. Kalau kau tidak bisa menguasai konsep dasar seperti ini, bagaimana kau akan mengerti kinematika gerak?" Mr. Rivaille mendengus. Kini dia menjatuhkan pandangannya pada Armin. "Kau yang duduk di sana. Anak baru, ya?"
Armin berdiri dan mengangguk. Wajahnya tampak kalem.
"Apa perbedaan kelajuan dengan kecepatan?" Mr. Rivaille mengulang pertanyaannya.
"Kelajuan tidak memiliki arah sehingga nilainya selalu positif, sedangkan kecepatan memiliki arah," jawab Armin dengan lancar.
Seisi kelas tercengang. Annie menatap laki-laki yang duduk di sampingnya itu dengan terkejut.
"Siapa namamu?"
"Armin Arlert."
Mr. Rivaille hanya mengangguk-angguk. Guru killer itu lalu mulai menuliskan sejumlah rumus di papan tulis, menjelaskannya, dan mencari mangsa lagi. Sama sekali tak ada kedamaian selama dua jam di kelas F. Hanya Armin yang tersenyum di sepanjang dua jam itu. Annie juga. Tapi untuk alasan yang berbeda. Ia menahan senyum melihat Jean yang sedang mandi keringat di kursinya. Penderitaan orang lain memang sangat menyenangkan untuk disimak.
Kelas Fisika ditutup dengan sebuah pengumuman dahsyat dan mengejutkan: minggu depan ada ulangan Fisika. Trio Idiot langsung pucat pasi di tempat.
Annie memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pulang. Ia melirik Armin yang sedang menyapa Trio Idiot.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Armin.
Tentu saja tidak, batin Annie.
"Lu-lumayan," jawab Connie.
Eren menghela napas dalam-dalam. "Apa mungkin menghafal rumus sebanyak itu dalam waktu seminggu?"
"Tidak bagi idiot macam kita," Jean menjawab sekenanya. "Kalau kau sih masih bisa santai. Mikasa pasti akan mengajarimu."
"Aku tidak mau. Dia selalu menganggapku seperti anak kecil."
Connie berdecak. "Ah, bilang saja kau merasa bersalah. Gara-gara membantumu menyelundupkan hentai manga, Mikasa harus ditempatkan di kelas ini. Padahal dia punya peluang ditempatkan di kelas A."
"Terserah," desis Eren.
"Sudahlah," Jean berusaha mendamaikan kedua sahabatnya. "Kita tidak usah khawatir. Ada Master Armin yang akan membantu kita!"
Armin mengerjapkan mata. "E-eh? A-aku tidak keberatan sih."
"Bagus!" Jean merangkul pundak Armin dan menepuk-nepuk puncak kepalanya.
Tiba-tiba Eren berteriak. "JEAN! Ingat jati dirimu! Kau itu lollicon, bukan shotacon!"
"Astaga!" Jean langsung melepaskan rangkulannya. "Maaf. Aku terbawa suasana."
"Kau harus hati-hati lain kali," kata Connie. "Sekali kau jatuh ke dalam trap, kau tidak akan bisa bangkit lagi."
Jean menelan ludah dengan susah payah. Annie hanya menghela napas mendengar pembicaraan Trio Idiot yang betul-betul idiot itu.
"Sudahlah," timpal Eren. "Yang penting Armin bersedia membantu kita belajar. Bisakah kau beritahu kami tempat tinggalmu atau nomor telepon—"
"EREN! Kau lebih parah dari Jean!" teriak Connie. "Ayo, Jean. Kita harus mengungsi dan membiasakan diri kita dulu. Maaf, Armin. Ini demi keselamatanmu juga."
Trio Idiot pergi dengan terburu-buru, meninggalkan Armin yang kebingungan. Annie menghampiri pemuda malang itu.
"Jangan pedulikan mereka," katanya. "Mereka itu idiot."
Armin tertawa gugup. Jujur, dia tidak tahu apa yang sedang dia hadapi. "Aku bingung sekali."
"Lebih baik kita segera pulang."
Pemuda itu mengangguk. Kedua muda-mudi itu pun segera keluar dari sekolah. Mereka berjalan ke arah halte dan mengambil jalur ke Lehnen Street. Armin berusaha membangun percakapan. Namun, Annie yang tidak biasa mengobrol hanya menjawab singkat: ya atau tidak.
"Aku tidak menyangka kita tinggal di daerah yang sama."
Annie hanya mengangkat bahu.
"Rumahmu di blok mana?"
"Aku tidak bisa memberitahu alamatku pada orang yang baru kukenal meski dia sekelas denganku."
Armin tertawa gugup. Ia mengusap-usap kepalanya. "Well, kurasa kau benar. Aku tidak memikirkannya."
Tentu saja, batin Annie. Itu karena kau adalah orang yang terlalu ramah dan menganggap bahwa semua orang itu baik.
Bis berhenti di Lehnen Street setengah jam kemudian. Armin dan Annie turun, lalu berjalan kaki menuju rumah mereka. Tak disangka, mereka berhenti di blok yang sama. Annie hanya mengangkat sebelah alisnya ketika melihat Armin berhenti di depan rumah nomor 73 milik keluarga Ossenhauf yang letaknya berhadapan dengan rumah Annie. Ia ingat Ossenhauf menjual rumah itu beberapa minggu yang lalu.
"Wow. Kebetulan sekali, ya?" kata Armin sambil tersenyum.
"Hm," gumam Annie. "Selamat datang, Tetangga."
To Be Continued
A/N: Sebenarnya saya paling takut bikin fanfic chapter, karena takut gak bisa nyelesein. Tapi, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan fanfic ini dan meng-update-nya sesering mungkin. /doakan ya/
Mohon maaf kalau humornya garing kayak kerupuk dan karakternya terasa OOC. Maaf juga buat para fans Trio Idiot, di sini saya membuat mereka jadi karakter yang bener-bener nista.
Saya tunggu review-nya. Segala kritikan (asal membangun) saya terima. Sankyuu~~
Ryuki Ayanami