Ga terasa akhirnya sampe pada chapter ending. Terima kasih atas dukungan kalian semua untuk Guren. Terima kasih semua kritik dan sarannya. Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca fanfic ini. Terima kasih untuk follow dan favorite baik unuk Guren dan juga untuk DeathSugar. Semua review kalian aku baca kok.

Terima kasih untuk semua pihak yang membantu dan juga rajin nagihin aku. Aku sayang kalian semua. *cium-cium*

Tetap dukung aku untuk fanfic aku selanjutnya yaaaa~~

With Love,

—DeathSugar

.

紅蓮(Guren)

Story by DeathSugar.

.

I just own storyline and dirty mind in my head.

.

Happy reading~

.

.

Udara semakin dalam menusuk ketika langit mulai meretak menjadi senja. Menghitam dengan warna oranye diujung barat ketika perempuan dengan mantel berwarna coklat kayu itu baru saja masuk kedalam gereja itu. Udara semakin dingin dan menusuk namun salju belum juga enggan untuk turun menuju bumi. Perempuan itu tersenyum kearah biarawati yang ia temui dan biarawati itu membalas senyumannya. Ini sudah kali kelima ia datang kesini dan sepertinya para biarawati mulai mengenalnya.

Luhan mengatupkan kedua tangannya didepan wajahnya sebelum akhirnya membawanya untuk menuduk menatap patung Sang Kristus itu. Memejamkan matanya dan mulai melafalkan doanya.

"Aku berdoa padamu, Tuhan. Ku mohon berikan kesembuhan untuk Sehun. aku mohon buatlah semua menjadi lancar. Sebentar lagi Natal, kumohon berikan suka cita dan kasihmu untuk ini. Kuatkan Sehun untuk melewati ini. Jangan buat dia menyerah. Kumohon.. Amin."

Luhan membuka matanya dan menengok kearah samping ketika ia menemukan seorang biarawati yang ikut duduk disampingnya dan kemudian memberinya sebuah ukiran keatas yang terlihat begitu damai dan menenangkan.

"Aku sering melihatmu akhir-akhir ini. Kau selalu datang ketika waktu pagi—sekitar pukul delapan sampai sepuluh—dan kemudian sore hari kau akan datang -lagi- ketika langit jinga mulai meretak. Apa yang membuatmu sering kesini?"

Luhan tersenyum ketika sebelumnya ia mengangguk memberi salam, "Aku datang untuk berdo'a semoga Tuhan membuat seseorang yang tertidur segera bangun."

Biarawati itu mengusap rambut Luhan, sebelum akhirnya membawa tatapan matanya menatap Sang Kristus, "Tuhan pasti mendengar semua do'a darimu anak manis."

"Aku sejujurnya tidak yakin atas itu." Luhan tersenyum kikuk, dan kemudian segera meralat ketika mendapati reaksi dari biarawati itu, "Bukan seperti itu, sungguh. Aku hanya berfikir jika do'aku belumlah sampai." Luhan tersenyum lesu, "Ini sudah hari kelima dan dia juga belum sadar."

"Dia mendengarmu. Hanya saja masih menunggu waktu yang tepat untuk-Nya mengabulkan seluruh permohonanmu. Tuhan selalu mendengar semua doa umat-Nya."

"Mungkinkah?" satu air matanya lolos, "Aku juga berharap begitu."

"Bukankah lebih baik kau berada disisinya saat ini?" Biarawati itu tersenyum—tanpa mengalihkan perhatiannya pada Sang Kristus, "Dia mungkin membutuhkan genggaman tanganmu."

"Aku pernah melihat seseorang sadar dari koma setelah orang yang ia cintai menciumnya." Biarawati itu mengambil tangan Luhan dan kemudian mengenggamnya erat, "Aku tahu ini pasti berat bagimu 'kan? Tapi jangan pernah menyerah untuk berdoa. Semoga seseorang itu segera membuka mata untukmu. Doaku menyertaimu."

"Terima kasih."

.

Langit sudah mulai menggelap dan lampu taman rumah sakit sudah mulai menyala. Dan Luhan hanya menatap itu dengan tatapan tidak tertarik setelah ia memutuskan untuk menutup kembali korden jendela berwarna biru muda itu. Luhan terlihat begitu lelah kali ini. Mata indahnya mulai terhias dengan kantung mata berwarna hitam. Satu cangkir kecil kopi ditangannya yang baru saja ia sesap dan kemudian meletakkannya dimeja untuk nanti perawat ambil.

Luhan mendesah ketika ia menjatuhkan dirinya disofa. Memijit kepalanya yang mulai terasa pusing dan tubuhnya mulai merasa lelah. Tapi selelah apapun Luhan untuk berusaha memejamkan matanya untuk tidur, matanya terasa begitu sulit untuk terpejam. Ia rengangkan otot-otot tubuhnya dan menguap beberapa kali. Menyandarkan dirinya disandaran sofa dan mencoba memejamkan matanya. Mengatur deru nafasnya untuk lebih normal dan hanya sebuah isakan yang ia rasakan.

Sejujurnya Luhan sudah terlalu lelah. Ia lelah untuk menunggu seperti ini—ia merasa takdir seakan mempermainkannya. Membuatnya selalu ingin menyerah dan berhenti berharap walau sejujurnya Luhan tidak pernah untuk mau membuat dirinya menyerah. Ia tidak ingin menyerah untuk tetap membuat dirinya meyakini bahwa Sehun akan membuka matanya dan kemudian tersenyum kearahnya.

Luhan yakin jika Sehun tengah berjuang dan Luhan tidak seharusnya untuk menyerah. Ia sudah berjanji bahwa ia akan berjuang bersama Sehun dan melewati ini bersama.

Menghapus air matanya yang terjatuh dengan cepat ketika ia merasakan seseorang membuka pintu kamar bangsal ini. Sehun sudah dipindahkan dikamar rawat biasa tiga hari yang lalu ketika keadaan –sedikit- lebih baik.

Luhan tesenyum ketika matanya menemukan wanita berusia empat puluh tahun-an itu tersenyum kearahnya yang ia kenali sebagai Ibu dari kekasihnya—Oh Yeonri. Luhan berdiri dari duduknya, beranjak dari sana dan menuju kearah wanita itu. Membungkuk memberi salam dan kemudian dibalas dengan sebuah ciuman di pipi dari nyonya Oh.

"Selamat sore, Bibi." Sapa Luhan lembut.

Nyonya Oh usap ucuk kepala Luhan lembut, tidak menghapus senyuman di wajah cantiknya walau sudah terlihat beberapa keriput diwajahnya, "Kau sudah makan?"

Luhan menggeleng sebagai jawaban, "Aku belum lapar bibi."

Nyonya Oh melotot, memasang ekspresi wajah marah yang tidak benar-benar dan membuat Luhan harus tersenyum kaku untuk itu. "Jangan memaksa dirimu seperti itu, Lulu. Kau akan sakit jika seperti ini. Makan dan habiskan nasi goreng Beijing ini." Marah Nyonya Oh sambil menyerahkan nasi goreng itu kearah Luhan, "Sehun akan sedih jika melihatmu seperti ini. Kau menyiksa dirimu sendiri, kau tahu." Sorot mata teduh Nyonya Oh berubah menjadi sendu, "Jangan mengabaikan kesehatanmu sendiri. Atau Bibi akan melarangmu menemui Sehun."

Nyonya Oh menatap Luhan dengan tatapan yang sendu—kasihan dan juga sedih. Ia menyukai perempuan manis ini ketika ia pertama kali bertemu dengannya saat Sehun membawanya datang ke rumah. Luhan tipikal perempuan baik-baik dan polos. Perempuan dengan perasaan yang tulus. Nyonya Oh menyukai cara Luhan menatap Sehun dengan tatapan yang dalam dan lembut, penuh kekaguman dan cinta.

Beralih dari Luhan yang mulai memakan nasi goreng darinya, Nyonya Oh kemudian membawa tatapan matanya pada laki-laki yang tertidur itu. Tatapan menjadi terlihat lebih sedih. Setiap hembusan nafasnya terasa begitu menyakitkan. Melihat anak kesayangannya yang kini tak berdaya—terbaring dengan alat-alat medis yang menopang kehidupannya.

Mengusap rambut kelam milik Sehun itu dengan lembut dan kemudian memberikan sebuah kecupan sayang di dahi anaknya. Ini sudah tujuh hari untuk anaknya tertidur—coma—dengan menunggu kepastian untuk pendonor jantung secepatnya. Mereka melakukan semuanya—bahkan mencari pendonor yang cocok lewat pasar gelap: human trafficking, namun hasilnya tetap nihil.

Mengambil tangan anaknya yang kemudian ia genggam begitu erat, Nyonya Oh menjatuhkan dirinya di kursi samping Sehun, mendekatkan bibirnya kearah Sehun dan berbisik dengan lembut, "jika kau ingin bertahan dan melihat orang-orang yang kau sayangi tersenyum lagi, Ibu mohon bangunlah. Ibu rela jika kau mulai lelah, beristirahatlah dan tenang dalam pelukan Tuhan."

Nyonya menyayangi Sehun, sangat menyayangi anak laki-laki satu-satunya itu, tapi ia jauh lebih tersakiti melihat Sehun tersiksa seperti ini. Jika Tuhan benar-benar menyayangi anaknya, Nyonya Oh ingin segala penderitaan dan rasa sakit anaknya berakhir. Entah dengan cara apa Tuhan melakukannya. Dengan kesembuhan ataupun dengan kematian. Nyonya Oh benar-benar sudah menerima semua yang akan terjadi setelah ini. Dia benar-benar pasrah dengan takdir Tuhan.

.

Menunggu bukanlah sesuatu yang menyenangkan, semua orang tahu itu. Apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti seperti ini. Dan Luhan mulai merasakan itu lagi; ingin menyerah dan berhenti memanjatkan doa. Kadang ia berfikir untuk menyerah dan tidak berharap terlalu lebih lagi. ia kadang berfikir untuk membuat semuanya terlihat lebih mudah dengan menerima apapun keputusan yang Tuhn beri padanya. Luhan kadang berfikir untuk memilih Sehun kembali pada pelukan Tuhan dan Sehun tidak lagi merasakan kesakitan yang seperti ini lagi. namun jauh didalam hatinya ia tidak bisa menerima itu. Luhan ingin Sehun kembali membuka mata dan kemudian mengatakan, 'Aku mencintaimu' dan semua akan kembali baik-baik saja. Seperti sebelumnya.

Luhan mengarahkan tatapan matanya menuju keluar jendela. Menatap buliran putih lembut dan dingin yang kini mulai jatuh menyentuh bumi. Salju pertama di bulan Desember. Salju pertama musim dingin. Dan harapannya untuk melalui waktu di hari pertama salju turun dengan Sehun penuh dengan kebahagiaan tidak terwujud sepenuhnya. Tidak dalam artian mereka melewatkan hari dengan tangan yang saling menggengam dan canda tawa.

Beranjak dari sana, Luhan melonggarkan syal yang mengalung dilehernya, melepas jaket tebal miliknya dan menyisakan dirinya dengan kemeja warna putih tidak terlalu tebal dengan rok berwarna hitam dan dibalut stocking warna hitam membungkus kakinya. Meletakkan mantel itu di punggung sandaran sofa dan kemudian naik ke ranjang bangsal milik Sehun. Luhan meringkuk disana, membiarkan dirinya mendengar deru nafas Sehun yang terasa tipis dan lembut. Luhan taruh tangannya untuk memeluk Sehun, membiarkan tubuh mungilnya disana, membiarkan dirinya merasakan hangat tubuh Sehun yang tidak begitu terasa, membiarkan dirinya bisa mencium aroma tubuh Sehun yang tidak seperti biasanya—bau obat-obatan yang menyengat—yang cukup membuat Luhan merasa pusing. Tapi apapun itu, jika itu tentang Sehun, Luhan akan merimanya.

Deru kardiograf yang terdengar silih berganti bagaikan bom waktu yang siap untuk meledak. Garis warna hijau yang naik turun itu merupakan musuh terbesar dari Luhan. Luhan kadang sering bermimpi jika garis hijau naik turun itu hanya akan terdengar satu bunyi tanpa jeda dan satu garis lurus, dan itu benar-benar membuatnya merasa begitu takut. Itu akan membuatnya bangun dan tidak akan menutup mata sebelum dokter datang dan memeriksa Sehun kemudian memberitahu Luhan jika Sehun baik-baik saja.

Menyamankan posisi meringkuknya disamping tubuh Sehun yang terbaring tanpa respon apapun itu, Luhan mengeratkan pelukannya dipinggang Sehun. Mencoba memejamkan matanya dan Luhan mulai bersenandung tipis. Sebuah gumaman tanpa lirik tapi cukup terdengar merdu.

Detikan jam dinding yang beradu dengan suara kardiograf saling bersahutan satu sama lain. Suara heningnya kamar bangsal itu membuat senandung Luhan—yang berupa gumaman—itu terdengar begitu menyayat hati. Sebuah senandung tipis yang disertai sebuah isakan disana. dinginnya musim dingin rasanya begitu melengkapi Luhan saat ini.

Sejujurnya Luhan sudah mulai bertanya, sampai kapan takdir akan mempermainkannya ?

.

Hal yang menakutkan itu terjadi. Ketika garis hijau naik turun pada kardograf itu menjadi lurus dan dengan satu bunyi melengking panjang tanpa jeda. Luhan meringsut kelantai ketika mata rusanya menemukan sekumulan tim medis itu menggerubungi kekasihnya, ketika salah satu dokter—yang ia kenali sebagai dokter Park Jungsu—menekan dada Sehun dengan kedua tangannya. Sehun tidak memberikan reaksi apapun untuk itu, membuat Luhan hanya mampu meringsut kelantai dengan Senri yang kemudian memeluknya, menenangkannya.

Luhan menangis disana, walau ia juga merasakan tangan Senri yang memeluknya terasa dingin dan berkeringat. Luhan menyembunyikan dirinya dibalik pelukan Senri, mencari ketenangan walau sebenarnya itu sia-sia. Menangis dalam pelukan kakak Oh Sehun bukan pilihan yang tepat, mengingat mereka juga merasakan ketakutan yang sama.

Mencengkeram erat lengan jas dokter yang Senri gunakan, Luhan menulikan dan membutakan semua indranya. Mengabaikan seruan dokter untuk memberikan sebuah suntikan penguat jantung, mengabaikan ketika suara suster mengatakan kesadaran Sehun semakin turun, mengabaikan ketika akhirnya suara melengking itu tidak lagi terdengar. Luhan menulikan semuanya. Mematikan semua indra ditubuhnya ketika ia bisa merasakan Senri mengusap punggungnya dan mengatakan, "Luhan... ini yang terbaik."

Apa yang dimaksud dengan yang terbaik? Apakah kematian dan kesendirian baginya adalah jalan yang terbaik? Terpisah dengan Sehun untuk kedua kalinya adalah yang terbaik? Omong kosong macam apa ini?

Luhan mengabaikan Senri yang mencoba menarik dirinya—melepaskan pelukan Luhan—dan Luhan menggeleng ribut untuk itu. Ia menunduk dalam, menutup telinganya dengan kedua tangannya begitu erat hingga Luhan merasa sakit di gendang telinganya. Ia masih meringsut di lantai dingin rumah sakit; didalam bangsal Sehun dirawat beberapa hari ini.

"Luhan... kumohon. Jangan seperti ini." Suara Senri memaksanya untuk membuka mata dan mendongakkan kepalanya, menatap tepat kearah Senri dan Luhan menemukan Senri menangis disana. Tersenyum pilu ketika ia mengulurkan tangannya untuk membuat Luhan bangun. Luhan balas uluran tangan itu, membuatnya berdiri dan memaksanya untuk menatap tubuh kekasihnya itu.

Benda medis bernama kardiograf itu tidak lagi menyala, hanya berwarna hitam gelap dan tim medis yang menangani Sehun mulai melepas semuanya. Selang oksigen, infus, dan kemudian menaik keatas selimut berwarna putih milik Sehun yang digunakan untuk menyelimuti Sehun sebelumnya.

Luhan menjerit ketika ia melihat itu. Tangisnya semakin pecah dan membuat mereka yang ada didalam kamar bangsal itu menatap Luhan dengan iba.

Melepas dengan paksa pelukan yang Senri berikan padanya, Luhan berlari mendekat kearah tubuh yang kini tertutup kain selimut itu. Mengabaikan suara dokter yang memintanya untuk bersabar, mengabaikan teriakan Senri untuk Luhan tidak seperti ini, mengabaikan Senri yang memintanya untuk tidak membuat Sehun sedih.

Luhan tarik selimut itu dan air matanya tidak bisa ia cegah untuk tidak terjatuh. Mata berairnya yang terhiasi kantung mata hitam dan juga mulai membengkak menemukan wajah pucat itu terpejam seperti biasa. Bibirnya mulai membiru dengan tubuh yang mendingin. Luhan terbatuk sesaat ketika ia merasakan dadanya begitu sesak dengan sesuatu yang mengganjal ditenggorokkannya.

"Hei.. lelucon apa yang kau berikan padaku?" Luhan tersenyum, mengusp rambut Sehun dengan lembut, "Bagaimana kau bisa lakukan ini padaku, hm?"

Tidak ada jawaban.

"Sehun.. jebal. Jangan seperti ini.."

Dia terdiam. Tidak memberi jawaban.

"SEHUNN! BANGUN BODOH! JANGAN SEPERTI INI!" Luhan berteriak kalab, membuat Senri harus meneteskan air matanya dan menuju Luhan, menarik tubuh ramping perempuan yang ia tahui sebagai kekasih adiknya itu, dan mencoba menjauhkannya dari Sehun. Ia hanya tidak ingin Luhan kalab dan melakukan hal yang tidak diinginkan.

"Unnie.. bilang padaku... Sehun hanya tertidur kan.. unnie!" Luhan menatap Senri dengan mata yang memerah, berharap jika Senri akan memberikan jawaban yang setidaknya membuatnya bisa tenang.

Luhan berharap jika Senri akan menjawabnya dengan, "Ya, Sehun baik-baik saja..."

"Luhan... aku tahu ini berat, namun kumohon terima kenyataan ini. Sehun sudah tiada. Dia meninggal."

Luhan terpatung, jatuh kelantai dengan tatapan kosong. Sehun pergi... dari hidupnya selamanya...

Siapapun bangunkan aku sekarang juga—

.

.

.

.

.

—siapapun.

"..Han.. Luhan! Luhan!"

Luhan bangun dengan nafas yang menderu hebat. Keringat membasahi tubuhnya ketika ia merasakan sebuah tangan menepuk-nepuk pipinya. Itu adalah Baekhyun yang berada dihadapannya dan memberikan tatapan yang begitu cemas kepadanya.

"Kau baik-baik saja?"

Baik-baik saja?

Seakan mengerti tentang apa yang terjadi pada sahabatnya itu, Baekhyun kemudian mengambil botol air mineral diatas meja dan memberikannya pada Luhan. Luhan meminumnya dengan perlahan, tangannya masih bergetar dan sedetik kemudian dia ingat sesuatu.

Sehun.

Sehun...

Luhan membawa tatapan matanya pada sosok yang terbaring itu, menatap garis naik turun pada layar kardiograf itu dan membuatnya bernafas lega. Itu adalah mimpi paling menakutkan yang Luhan rasakan. Melihat tubuh Sehun yang memucat dan mulai membiru dan tubuhnya yang perlahan dingin, Luhan tidak ingin merasakan itu lagi. Itu benar-benar menakutkan.

Suara ceklikan pintu terbuka dan menemukan Chanyeol yang masuk dengan wajah yang terlihat begitu bahagia. Chanyeol melambaikan tangan kearah Luhan dan juga Baekhyun, duduk dihadapan Luhan. Mengusap rambut perempuan yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri itu, "Aku punya kabar bahagia untukmu—untuk kita." Mengambil nafas dan menunggu reaksi Luhan selanjutnya. Senyum Chanyeol semakin lebar ketika ia melihat Luhan yang menatapnya penasaran, ditambah wajah penasaran Baekhyun tentu saja, "Kita menemukan donor jantung. Besok Sehun akan melakukan operasi pencangkokan."

Rasanya satu beban dipundak Luhan leleh seperti coklat.

.

Hampir empat jam sudah mereka semua menunggu, namun lampu kamar operasi itu masih berwarna merah. Empat jam terasa begitu lama sekali kali ini. Luhan beberapa kali terlihat meremas tangannya dan mengingit bibirnya dan Baekhyun yang mengusap punggungnya untuk membuatnya merasa lebih tenang sedikit. Senri yang mondar-mandir untuk mengurangi kegupannya, Chanyeol yang sibuk dengan layar ponselnya dan juga terlihat khawatir. Dan juga Tuan serta Nyonya Oh yang terlihat saling menguatkan dengan Nyonya Oh yang bersandar di dada suaminya.

Tidak ada yang tidak khawatir kali ini.

Sebuah operasi besar—cangkok jantung dan kemungkinan operasi 50:50. Semua bisa terjadi apalagi dengan kemungkinan Sehun menolak cangkok tersebut.

Suara derit pintu terbuka, membuat semua kepala itu menoleh kearah pintu itu. Menemukan dokter Park yang masih dengan baju operasinya dan keringat yang masih tersisa didahinya. Dokter Prak menghembuskan nafasnya sesaat, tersenyum dan menatap semua orang dilorong itu bergantian.

"Operasinya berhasil." Sebuah hembusan nafas lega terdengar bersamaan, "Semoga Sehun tidak menolak jantung itu."

Takdir masih belum berhenti bermain dengan mereka.

.

ò Janganlah lenyap sayang! Aku ingin kau biarkan aku mendengar nafas kecilmu.

Kau menangis dalam detak jantung kecil. Ku mohon sampailah

Dalam mimpi yang tidak berubah, andai saja ada kelanjutannya...

Bagaimanapun tak bisa berhenti... mesti tak dapat memanggilmu dalam kebahagiaan.

Aku tenggelam dalam hari-hari yang bertumpuk.

Bahkan tangan pertolonganpun samar.

Detik-detik ukiran kepompong tak bisa mengoyak benang menjadi abu..

Janganlah lenyap... aku hanya ingin mendengar nafasmu..

Aku bisa menjangkau doa parau dalam setiap detakan jantung kecil.

Aku menghitung dengan jari.. hasi esok semoga tak menghilang..

Dimalam natal musim dingin... Bunga teratai merah mulai memekar... ò

24 Desember.

Suara dentingan lonceng dari seluruh gereja mulai terdengar. Kerliban lampu pada pohon cemara terlihat begitu cantik ketika berbaur dengan warna putih salju yang jatuh ke bumi malam itu. Suara puji-pujian serta lagu natal dan juga tawa terlihat begitu jelas diseluruh wajah yang keluar dimalam natal hari ini.

Namun sesuatu yang kontras terlihat dari dalam sana. Luhan tertidur dengan kepala yang berada disamping tangan terkulai lemas itu. Matanya terpejam dengan bibir yang sedikit terbuka. Tangannya yang terbebas ia gunakan untuk menggengam jemari milik laki-laki yang tertidur itu. Itu adalah Sehun yang masih memejamkan matanya. Nafasnya terdengar halus dengan suara detikan kardiograf itu.

Jari telunjuknya bergerak lemah dan diikuti dengan jari lainnya. Matanya yang terpejam perlahan terbuka, mengerjab lemah untuk menyesuaikan retina matanya dengan cahaya yang masuk menusuk matanya.

Dia mengernyit, menatap sesuatu yang berwarna putih dihadapannya. Itu adalah langit-langit kamar bangsal yang biasa ia lihat ketika dulu menjadi pasien disini—dan itu masih terjadi sampai sekarang. Mencoba menggerakkan tangannya yang terasa kaku, dan rasa pusing dikepalanya membuatnya harus mengerang lemah.

Sehun merasakan sebuah tangan yang menggenggam erat tangan kanannya, membuat tautan dengan jari-jarinya-itu yang membuatnya sulit untuk menggerakkan jari-jarinya. Otaknya memerintahkan dirinya untuk menengok kearah pemilik jemari lentik itu, dan memaksanya membuat sebuah ukiran tipis di bibirnya.

Perempuan dengan rambut coklat almond tidur degan tangan yang bertaut dengan tangannya. Itu adalah Luhan. Dan menyadari ketika ia pertama kali membuka matanya dan menemukan Luhan disana pertama kali membuat dadanya menghangat. Mengalihkan tatapannya dari Luhan dan menuju kearah sofa, ia menemukan kakak perempuannya tidur masih dengan setelan jas dokternya. Wajah cantik kakak perempuannya terlihat begitu lelah. Disofa panjang ibunya tengah terbaring tidur dengan selimut yang membungkus tubuhnya—meringkuk disana, dan disofa yang lain ayahnya tidur dengan posisi duduk.

Sehun mengerang lirih ketika ia mencoba menggerakkan tubuhnya dan ia benar-benar merasa kaku. Berapa lama ia terbaring disini. Satu hari, satu minggu atau bahkan satu bulan? Sehun tersenyum miris ketika mengingat itu. Menatap jam dinding yang masih berdetik dan menunjukkan pukul sebelas malam. Dia bangun disaat yang orang-orang yang menjaganya tertidur dan ia merasa begitu haus.

Kembali mengarahkan tatapan matanya untuk kekasihnya itu, Sehun mencoba menggerakkan tangannya dan menyentuhkannya di rambut Luhan. Mencoba mengusapnya dengan lembut dan tidak membuat Luhan terbangun. Sehun mengusapnya berkali-kali, mencoba mengalirkan perasaan rindu dan cintanya pada kekasihnya itu.

"Nggh.. Sehuun.."

Mengigau?

Sehun tersenyum ketika ia menyadari Luhan yang tertidur dan menyebutkan namanya. Ia jadi berfikir kalau Luhan benar-benar memenuhi kepala kecilnya dengan Sehun. Menggemaskan sekali.

Namun sepertinya Sehun salah, Luhan tidak mengingau dan dia mengangkat kepalanya. Mengerjabkan matanya beberapa kali dan mengumpulkan kesadarannya setelah ia bangun tidur. Luhan mematung ketika ia menemukan Sehun menatapnya dan kemudian tersenyum kearahnya.

Luhan siap untuk menjatuhkan air matanya dan berteriak karena terlalu bahagia, namun rentangan tangan Sehun membuat Luhan justru menghambur dalam pelukan laki-laki itu. Memeluk Sehun erat dan membuat Sehun harus mengaduh sakit karenanya.

"Kau berat! Kau membuatku tidak bisa bernafas! Luhan.." suara Sehun terdengar begitu lirih, tidak lebih dari sebuah bisikan.

"Brengsek kau Tuan Oh. Kenapa baru bangun sekarang!" rengek Luhan. Luhan sudah menangis ngomong-ngomong. Menangis dalam pelukan Sehun dan membuat ruangan yang tadinya sepi menjadi ribut. "Kau membuatku hampir seperti zombie karena menunggumu!"

Sehun lepas pelukan Luhan dan juga melepas alat bantu oksigen yang ia kenakan tadi, mendekatkan bibir Luhan dengan bibirnya untuk kemudian bertaut satu sama lain. Mengecupnya lembut dan Luhan membalasnya dengan lembut juga.

Sehun benar-benar merindukan Luhan..

"Ehem!" suara perempuan berdeham, "Jika kau memiliki tenaga yang cukup untuk berciuman, lebih baik cepat bangun dari tidurmu! Kau menghabiskan banyak uang untuk biayamu disini Oh Sehun!"

Itu adalah suara Senri yang menatap Sehun dan juga Luhan dengan wajah marah yang tidak sungguh-sungguh karena sejenak kemudian wajah marahanya berubah menjadi senyuman dengan satu air mata yang jatuh.

"Kau adik tidak tahu diri! Kau membuatku tidak bisa hidup tenang selama dua mingg ini!" dan Senri memeluk Sehun dengan erat. "Jangan ulangi ini lagi."

Malam itu mungkin akan menjadi malam yang tidak terlupakan bagi keluarga Oh. Tuhan memberikan keajaibannya malam itu untuk keluarga mereka dengan membawa Sehun kembali ditengah-tengah mereka. Tepat di hari Natal.

.

"Oh Sehun maukah kau menerima Wu Luhan untuk menjadi istrimu baik dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, muda maupun tua sampai ajal memisahkan kalian?"

"Ya! Aku bersedia!"

"Dan kau, Wu Luhan maukah kau menerima Oh Sehun sebagai suamimu baik dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, muda maupun tua sampai ajal memisahkan kalian?"

Si cantik itu menangguk, sebelum akhirnya menjawab, "Ya. Aku bersedia."

Pendeta itu tersenyum, "Mulai saat ini kalian resmi menjadi pasangan suami istri dihadapan Tuhan."

Sehun tersenyum begitu lebar, menghadap kearah samping dimana Luhan berdiri disampingnya dengan gaun pengantin model Folie berwarna butih gading dan menampilkan pundak rampingnya. Kain dari bahan lace tipis dengan lengan tiga per empat memperlihatkan lengan ramping milik Luhan dan berbaur dengan warna kulit Luhan yang terlihat putih itu. Ditambah kain yang dihiasi sulaman bunga pada bagian dada hingga bawah membuat Luhan terlihat ramping. Dengan kalung berlian kecil sebagai pemanis di lehernya, membuat Luhan terlihat begitu cantik.

Luhan tersipu malu ketika Sehun membuka kain tipis yang menutupi wajahnya, mengusap pipi Luhan lembut sebelum akhirnya menatap pendeta disamping mereka, "Boleh aku mencium istriku sekarang?"

Pendeta itu menghembuskan nafasnya, menatap Sehun dengan mata yang menyipit dan mengangguk untuk jawaban Sehun, "Ya, kau boleh mencium istrimu, Tuan Oh."

Sehun nyengir, dan mencium Luhan dengan lembut. Memberikan sebuah lumatan pada bibir bawah Luhan dan membuat perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu melenguh tipis. Tersenyum nakal pada ciumannya, Sehun taruh tangannya pada pinggang Luhan dan mendekatkan tubuh mungil itu dengan tubuhnya.

Mengabaikan tatapan berbeda-beda dari semua undangan yang datang saat itu, mengabaikan Senri yang harus memijit kepalanya karena tingkah adiknya itu.

"Sepertinya kita akan segera punya cucu Tuan Wu." Kali ini Tuan Oh yang membuka pembicaraan.

"Ya, kurasa memang kita harus secepatnya punya cucu." Jawab Tuan Wu dengan senyum yang mengembang.

"Aku akan sering-sering ke Korea jika cucuku lahir nanti." Kali ini Nyonya Wu yang tersenyum dengan memukul lengan Nyonya Oh yang tersenyum malu-malu.

"Aku berharap cucuku perempuan. Aku ingin mendadaninya setiap hari."

"Tidak, sayang. Cucu kita laki-laki. Dia akan meneruskan bisnis keluarga Oh nanti."

"Ya. Cucu laki-laki untuk penerus bisnis keluarga Wu nanti."

"Perempuan."

"Laki-laki."

"Perempuan!"

"Laki-laki!"

Sebuah perdebatan yang sebenarnya tidak penting. Sehun dan Luhan yang melihat itu tertawa, Sehun dekatkan bibirnya ke telinga Luhan dan berbisik disana, "Kita akan memiliki banyak anak setelah ini."

"Aku mau dua Sehun. Satu perempuan dan satu laki-laki."

"Tidak. Kita akan punya enam. Tiga perempuan dan tiga laki-laki."

"Sehuuuun!"

Mengabaikan rengeken Luhan kali itu, Sehun justru mengendong Luhan dan berlari menuju pintu. Luhan berteriak karena kaget dan orang-orang justru bersorak melihat hal konyol yang Sehun lakukan.

"Sehun, kau mau kemana? Acara belum selesai!" itu adalah Tuan Oh.

"Kami akan membuat cucu yang banyak untuk kalian!"

Sehun tetaplah Sehun. Anak keluarga Oh yang tengil dan seenaknya. Menemukan pendamping hidup bernama Luhan, yang pernah berjuang hidup bersamanya. Menemaninya ketikka ia bertarung melawan maut. Membuatnya menjadi kuat disaat ia mulai menyerah dengan hal yang bernama hidup. Kembali masuk dalam kehidupannya setelah Sehun mencoba membuangnya. Menerima Sehun apa adanya. Seorang malaikat tanpa sayap yang akan menjadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya kelak. Sebuah anugerah yang Tuhan kirimkan untuk Sehun yang mana Sehun sudah berjanji untuk menjaga Luhan sepenuh hidupnya.

"Aku mencintaimu, Luhan."

Dan sekarang.. hanya perlu menunggu berapa banyak anak yang akan mereka buat setelah ini, bukan?

.

END

.

Tamat juga ya. Hahaha.. eniwei aku ga yakin chapter ini memuaskan apa ga. Ya Tuhan.. aku bingung banget mesti ngapain chapter ini. /bow/

Semoga kalian ga kecewa sama endingnya. Hepi ending biar ga fluff banget. Maaf.. maaf banget kalau kalian kecewa.

Nah, teratai merah disini (yang aku ambil untuk judul ff ini) melambangkan cinta Sehun sama Luhan. Kan teratai merah artinya Teratai merah melambangkan keadaan asli hati. simbol cinta, kasih sayang, keaktifannya, nafsu dan emosi lain yang terkait dengan hati.. hohoho~

Need kritik dan sarannya dikolom review... www

.

13 Desember 2015

DeathSugar