"Lee lagi ya?"

Belum sempat Hinata meletakkan tas selempangnya dan mengganti seragam, sudah diberondong pertanyaan dengan nada sinis dari Ayame. Hinata tak membalas, hanya tersenyum kecil.

"Kadang aku berharap mereka putus saja." Sungutnya.

"Jangan begitu, Ayame-san.." ujar Hinata sambil meletakkan tasnya ke loker, mengambil seragam maid-nya dan menyiapkannya.

"Haah, enak ya kalau punya pacar, bisa diperhatiin kalau sakit." Ujar Ayame sarkastik, namun ada nada iri yang terkandung di dalamnya. "Tapi kalau pacarnya sampai ngerepotin seperti ini lebih baik tidak punya pacar sekalian." Ucap Ayame sambil mendengus. Hinata hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum geli, lalu melepas sejenak kacamatanya.

"Sudahlah, mereka itu sedang dimabuk cinta, jadi biarkan saja." Ucap Hinata berlagak seolah dirinya ahli perasaan, sambil berusaha membuka satu per satu kancing kemeja kebesarannya. "Lagipula kenapa Ayame-san masih di sini? Nanti Paman Teuchi marah lagi."

"Ya, ya.. Tapi, sekalipun aku bolos seharian ayahku tidak akan memecatku sebagai anaknya." Canda Ayame.

Ayame adalah anak Teuchi. Itu sebabnya Hinata agak segan terhadap perempuan yang lima tahun lebih tua satunya itu. Ayame lebih memilih membantu sebagai pelayan restoran ayahnya daripada menelantarkan usaha ayahnya. Pun, Ayame meminta pada ayahnya agar ia diperlakukan dan digaji selayaknya pelayan lain, tidak pilih kasih. Ayame ingin dia terlibat dari bawah, bukan dari atas atau hanya duduk berpangku tangan.

"Baiklah, cepat ganti baju. Oh ya! Awas ada yang mengintip." Ucap Ayame sedikit berbisik di kalimat akhir. Hinata hanya tertawa renyah menanggapi.

.

×ω×

.

Suasana restoran Ichiraku ramai malam itu, hingga paman Teuchi kewalahan menghadapi pesanan pelanggannya. Ayame berjalan mondar-mandir sedikit berlari dari meja ke meja lain, melayangkan teriakan pesanan pada ayahnya.

Hinata yang baru selesai mengganti seragamnya dan memakai kacamatanya kembali, kaget ketika Ayame menghampirinya dengan wajah yang penuh keringat. "Aku tidak menyangka ternyata malam ini ramai. Cepat catat pesanan. Aku akan mengantarkan ini pada pelanggan." Ucapnya sambil menggedikkan dagu ke nampan yang menampung dua mangkuk ramen dan dua jus jeruk.

"Ayame!"

"Iya, ayah.." teriak Ayame mendengar nada penuh peringatan dari ayahnya. Dan detik berikutnya, ia sudah meluncur mengantarkan nampan yang ia bawa pada pelanggannya.

Tepat ketika Hinata mengambil note dan bolpoin dari sakunya, terdengar seseorang yang memanggil —lebih tepatnya meneriakkan— namanya. Itu pelanggan tetap restoran Ichiraku, sekaligus teman almarhum kakaknya—Naruto Namikaze. Tapi bukan karena teriakan darinya yang membuatnya mematung sesaat —Hinata sudah biasa mendapati pemuda kuning itu makan disini— melainkan seseorang lain yang tengah duduk dihadapannya.

Seseorang yang tak begitu akrab secara harfiah, namun namanya terus membekas di hatinya.

.

.

Story by Natsumidouri

Semua chara milik Masashi Kishimoto

AU, OOC, Typo(s), Absurd, dsb.

DLDR!

.

.

"Ada.. yang.. bisa.. saya bantu?" tanya Hinata dengan setiap jeda di kalimatnya. Telunjuk tangan kanannya mendorong kacamatanya yang sama sekali tidak bergeser, sementara jari-jari yang lain masih menggenggam bolpoin.

Adalah hal yang wajar jika Hinata menjadi kikuk pada orang yang tak begitu akrab dengannya. Tapi bukan Hinata jika ia menjadi gugup untuk menawarkan pesanan pada pelanggan. Ia sudah terbiasa melakukannya, bahkan selalu mengucapkan kata-kata itu dengan satu tarikan nafas. Selalu mengucapkannya dengan lembut dan perlahan, tapi tak pernah ngadat di setiap penggalan kata dan tak lebih dari tiga detik. Tapi.. Entah kenapa, berhadapan dengan pelanggannya kali ini membuat Hinata bergerak tak nyaman sambil tersenyum kikuk.

"Ah, Hinata. Kau selalu saja terlalu formal begitu. Ah! Kau ingat Sasuke kan? Dulu kami pernah belajar bersama dengan kakakmu..." sedetik kemudian, Naruto tahu ia salah. "Aah, maaf. Kalau begitu, aku pesan, eum.."

Hinata hanya diam mematung memandang meja yang datar, tanpa menyimak dengan benar apa yang Naruto katakan tadi. Walaupun Hinata sedari tadi masih menunduk, ia merasa.. seseorang lainnya tengah memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Ouh, sejak kapan Hinata menjadi percaya diri seperti ini? 'Tidak, Nata, dia tidak memperharikanmu. Jangan kepedean!' Makinya pada diri sendiri. Dan sekarang, jantungnya memberontak minta kabur dari rangkaian jeruji bernama os. costae. Bagus sekali.

"Aku pesan curry ramen beef dengan tambahan naruto yang banyak! Lalu jus jeruk satu gelas! Bagaimana denganmu, Sasuke?"

"Aku, sake dua botol." Obsidian Sasuke mengerjap pelan. "Kau yakin tidak memesan yang lain?" dengan nada heran, Naruto bertanya. "Tidak, kurasa.. aku membutuhkannya sekarang." Sasuke mengangguk-angguk yakin.

"Baiklah, Hinata. Satu curry ramen beef dengan tambahan naruto, satu jus jeruk dan dua botol sake!"

"A-aah, ya. Satu curry ramen beef dengan tambahan naruto, satu jus jeruk dan dua botol sake. Ada yang lain?" Hinata mengulangi dan menawarkan, yang dibalas gelengan oleh Naruto. "Eum, baiklah. Kashikomarimashita." Hinata sedikit membungkuk lalu bergegas berbalik.

.

-ω-

.

Hinata tak tahu bahwa seluruh gerak-geriknya tak lepas dari pengawasan sepasang manik obsidian. Lewat ekor matanya, ia memperhatikan setiap detil, bagaimana Hinata berbalik menyampaikan pesanan kepada sang koki, bagaimana Hinata berjalan sedikit tergesa menuju meja lainnya untuk mencatat pesanan, lalu berbalik menuju koki lagi dan begitu seterusnya.

Sasuke sedikit menaikkan bibir, kala sesekali gadis itu menabrak ujung meja yang kosong karena kecerobohannya, berusaha lincah tapi tetap kikuk. Itu sebuah hiburan tersendiri untuk Sasuke. Dan kegiatan Sasuke, tertangkap basah oleh Naruto.

"Dia cantik ya, Teme?" tanya Naruto jahil.

Sasuke berguman tanpa sadar, tiga detik berikutnya ia salah tingkah. "Apa maksudmu?" Oh, Uchiha dengan segala sifat tsundere-nya! Sekalipun sudah tertangkap basah, ia berusaha untuk terlihat biasa.

Naruto terkekeh. Kekehan yang menyebalkan—tambah Sasuke dalam hati. Tak berapa lama tunggal Namikaze berdehem. "Kau ingat Neji kan?" Tentu saja ingat. Siapa yang tidak ingat pada teman—lebih tepatnya kenalan atau teman sekelas—yang punya adik yang dapat membuat jantungmu meloncat-loncat? Tapi, kenapa Naruto tiba-tiba membicarakan nama calon-coret-kakak-coret-iparnya-coret itu dengan nada penuh, penyesalan? Atau kesedihan? Dan tidak biasanya Naruto langsung mengalihkan pembicaraan mengingat ia baru saja mendapat 'angkapan besar dalam tanda kutip; Sasuke memperhatikan gadis! Ini bukan akhir dunia kan?

Naruto menghela nafas panjang setelah melihat gerakan naik turun kepala Sasuke atas pertanyaannya. "Enam bulan yang lalu.." Naruto menarik nafas dan menahannya. "Ada kecelakaan tunggal. Seluruh penumpang, meninggal di tempat. Si pengemudi, masih sempat dibawa ke rumah sakit tapi belum sadar hingga sekarang." Naruto masih berusaha mengatur suaranya. Sementara Sasuke hanya menaikkan alis, kenapa sahabatnya tiba-tiba bercerita kecelakaan. Apa itu keluarganya? Atau seseorang yang mereka kenal?

Seolah mengetahui apa yang Sasuke pikirkan, Naruto melanjutkan, "Yang kecelakaan adalah keluarga Hyuuga. Penumpangnya adalah Neji dan Hanabi—si bungsu. Mereka meninggal. Dan si pengemudi, dia Hiashi Hyuuga—ayah Hinata." Dan Sasuke, tak bisa lebih melebarkan matanya untuk keluar dari tempatnya.

.

=ω=

.

Setengah sebelas restoran ramen Ichiraku tutup, dan Hinata baru bisa keluar dari tempat ia bekerja setengah jam kemudian. Mengeratkan jaket ungu gelapnya, ia memeluk dirinya sendiri kala angin malam yang dingin menyapa alat indranya. Baru beberapa meter berjalan, Hinata berhenti, mematung kaget melihat sesosok laki-laki yang masih mengenakan setelan kemeja mahal yang beberapa jam lalu saat makan bersama sahabatnya.

Pemuda itu berdiri di depan kap mobil sebagai sendarannya. Tangannya ia masukkan ke saku celana bahan yang melekat pada kaki jenjangnya. Itu pose yang begitu.. begitu.. AH! Ayolah apa kata yang pas untuk orang yang didepannya ini?

Pemuda itu berdiri dengan pose seolah tengah menunggu seseorang yang special. Udara disekitar Hinata seolah menipis kala mata jelaga itu menatap dirinya yang masih memikirkan kemungkinan tadi.

Oh, astaga! kenapa orang ini suka sekali mencuri napas Hinata hingga tercekat?

"Hinata." Panggilnya dengan nada tenang. Bibirnya naik sekilas tapi masih kentara mengingat wajah lempeng yang ia biasa pasang. Hinata berdehem sebelum kemudian ia berbalik memanggil, "Ucchiha-san." dengan tersendat di huruf c.

Pria itu menaikkan alis. "Seingatku, dulu kau selalu memanggilku dengan nama depanku."

"Ah! Eto, aku pikir mungkin Uchiha-san merasa keberatan." Hinata sedikit bertanya di ujung kalimat.

"Tidak, justru akan aneh jika kau memanggilku seperti itu."

"Baiklah.. Eum, Sasuke-nii." Ragu-ragu, Hinata kemudian memanggil nama itu.

"Begitu lebih baik." Hinata mengeratkan cengkramannya pada tali tas selempangnya saat ia melihat kembali –setelah sekian lama– sesuatu yang muncul ketika 'sang cinta monyet'nya itu tersenyum lebar. Lesung pipi. Lesung pipi yang sangat manis dan begitu mempesona.

Kami-sama! Hinata gagal jantung sekarang!

"Ini sudah malam, bagaimana jika kuantar?" tawarnya setelah melihat jam tangan mahal yang melekat di tangan kirinya.

"Ah, tidak usah! Aku tidak mau merepotkan." Menggelengkan kepala cepat-cepat kepalanya, Hinata menolak.

"Ini hampir tengah malam. Terlalu berbahaya untuk ukuran gadis sepertimu pulang sendirian. Ayo!" Hinata merasa seperti diseret paksa sekarang. Tangan besar itu menggenggam lengan Hinata lembut tapi ada sedikit paksaan di dalamnya. Tanda tak mau ditolak. Dan apa maksud dari 'gadis sepertimu'?

Lalu, bisakah seseorang memberi tahu jenis-pertemuan-kembali macam apa ini? Bagaimana mungkin seseorang bertemu kau lalu –bukannya menanyakan kabar atau apa– dia malah menyeretmu untuk masuk dalam tunggangan mewahnya? Ini aneh. Semoga kau tidak dijebak. Tapi, kalau dijebak oleh dia sih..

Sesampainya Hinata duduk pada kursi penumpang sebelah kemudi, Sasuke menjalankan porsche sewarna matanya dengan tenang. Begitu pula Hinata, ia hanya diam tak tau harus berkata apa. Hinata tak berani menatap langsung orang itu, ia hanya sesekali melirik kaca jedela untuk melihat bayangan sang Uchiha.

Kedua orang itu hening dalam kecanggungan. Kecanggungan yang menggelitik, dimana ada detak jantung yang tak normal, nafas tak beraturan, dan gerak tubuh yang gelisah. Semua buah dari salah tingkah.

Yang Hinata pikir hanya dirinya yang mengalaminya. Sementara seseorang di sebelahnya terlihat tenang dengan segala kontrol yang ia punya. Padahal Sasuke mati-matian menyembunyikannya. Dan Hinata tak tau itu.

"Sudah sampai," Hinata terperanjat dari lamunannya. Ia membalas tatapan hangat pria itu. Sedikit heran, kenapa orang ini tau dimana ia tinggal? "Aku bertanya pada Naruto tadi." Apa dia paranormal?

"Aah, kalau begitu.. Terimakasih atas tumpangannya, aku.."

"Tunggu." Pria itu memotong ucapan Hinata dan menahannya dengan genggaman pada lengan Hinata. "Sudah lama tidak bertemu. Senang rasanya bertemu denganmu lagi."

Ingin rasanya Hinata segera mengatakan bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Tapi salahkan lidahnya yang berubah jadi kelu kala senyum kembali mengembang dari wajah itu. Senyum itu terasa sama tapi juga berbeda dengan oase di padang pasir, atau hujan di tengah kabut asap. Mungkin sama-sama menenangkan dan membahagiakan, namun kegugupan juga menyerang objek senyuman. "Aku.. Juga." Lirihnya diiringi ricuhnya suara jantung.

"Apa kau selalu pulang jam segini?" Entah kenapa Hinata rasa, ada rasa tidak suka yang terselip. Lalu Hinata menjelaskan dengan jujur, tentang kapan shift-nya tiba dan termasuk rekannya yang 'kadang' minta untuk berganti shift dengannya. "Kau sudah berapa lama bekerja disana?" Hampir satu tahun, kiranya. Mereka sedikit berbincang tentang pekerjaan Hinata, rekannya, paman Teuchi dan restoran. Oh, itu bukan sedikit.

Hinata tak tau kenapa tiba-tiba ia bisa lepas berbicara dengan orang yang baru ia temui lagi setelah lima tahun, terlebih dengan orang ini. Mungkin karena mereka membicarakan pekerjaan sebagai topik sehingga Hinata tidak merasa berat.

Hinata undur diri ketika ia –tak sengaja– melihat jam tangan Sasuke yang menunjukkan sepuluh menit sebelum berganti hari.

"Sa-sasuke-nii.." Hinata menahan napas ketika Sasuke membantunya melepaskan sabuk pengaman. Itu tadi dekat sekali! Hinata bahkan bisa mencium aroma musk Sasuke. Dan mengira-ngira berasal dari mana itu. Parfum? Sabun mandi? atau shampoo?

"Hanya ingin membantu." senyum maut itu kembali keluar.

Sebelum jantung Hinata keluar dari tempatnya, ia membenarkan letak selempangnya gugup lalu berusaha keluar dari mobil, tapi..

"Ouh!" jidat yang tertutup poni menjadi korban. Memalukan!

"Hati-hati." Sasuke terkekeh samar, dan Hinata malu setengah mati.

"Aku harap kita bisa bertemu lagi nanti. Dan berbicara lebih banyak." Ucap sang pemberi tumpangan pada Hinata ketika ia sudah keluar dari mobil. Laki-laki itu bahkan tak sungkan mengacak rambut indigonya gemas, seperti dulu. Untungnya, ia tak tau kalau perlakuannya itu sungguh membuat hati Hinata belingsatan.

"Aku juga. Hati-hati di jalan.." Hinata sempat mendengar gumaman lirih Sasuke sebelum ia pergi. Setelah mobil itu menghilang, nafas Hinata baru bisa kembali normal.

'Kami-sama' sebutnya dalam hati bersama degub jantung yang masih bertalu. Karena hanya Dia yang tau, bagaimana sukma Hinata berteriak tak waras hanya karena senyum dan perlakuan kecil dari laki-laki itu.

.


A/N:

Saya bingung mau kasih judul apa cerita ini.

Terimakasih sudah membaca, review, fol apalagi fav cerita ini.

Saya sangat membutuhkan kritik dan saran dari kalian –mengingat saya begitu amatir dan cerita/tulisan saya jauh dari kata 'baik'–

Terakhir


.

Sasuke sedikit kasar membanting tubuhnya ke bed miliknya. Membiarkan per kasur sedikir melontarkan dirinya berapa kali. Mencoba mengatur nafas dan merileksan dirinya. Tubuhnya mungkin tidak lelah, tapi pikirannya begitu.

Jantung dan perasaannya masih bergejolak tak tentu setelah mendapat special guest hari ini. Dalam posisi dan keadaan yang sama sekali tak ia bayangkan.

Memijit kepalanya pelan, ia teringat kembali cerita sahabat kuningnya tentang kemalangan yang menimpa keluarga gadis itu. Sewot karena ia baru tahu sekarang. Jika saja ia mengetahuinya lebih cepat, jika saja..

Tidak. Sekalipun ia mengetahuinya lebih cepat, ia tak dapat menjadi peraduan untuk tempat bersandar gadis itu. Mengingat enam bulan yang lalu ia tengah dalam puncak kesibukan demi memenuhi sumpahnya sendiri untuk menyandang gelar master tahun ini. Jadi ia tak bisa seenaknya pulang ke Jepang. Ia mengumpat akan fakta itu.

Ia sedikit bersyukur bahwa dalam perbincangan mereka Sasuke tak keceplosan membicarakan tentang kecelakaan itu. Tidak. Ia tak ingin membuat momment yang harusnya penuh degub jantung menjadi penuh haru. Jelas ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya.

Bungsu Uchiha itu lalu mengingat kembali usahanya melakukan pendekatan pada gadisnya. Ia merutuki ketidakberdayaannya dalam hal menguasai diri ketika berhadapan dengan gadis itu. Mengumpat pada dirinya sendiri mengingat ia sedikit kasar. Belum lagi ia tak bisa memanfaatkan waktu dengan baik selama perjalanan mereka.

Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Bagaimana begitu inginnya pemuda itu membawa si gadis Hyuuga dalam dekapannya sejak awal matanya mendapati sosok itu. Bagaimana gemasnya ia akan tingkah ceroboh dan kikuk gadis itu. Bagaimana ia memperhatikan cara bibir peach itu mengeluarkan kata sedikit terbata, atau cara bibir bawahnya digigit gugup. Bagaimana begitu inginnya Sasuke untuk menahan gadis indigo itu tetap di mobilnya, menculik membawa dirinya ke tempat jauh. Berhenti di suatu tempat sepi, lalu mereka berma—

Saat baru bisa melihat keseluruhan gadis itu –karena tak bergerak kesana kemari– sepulang kerja, ia kini sangat sadar bahwa gadisnya bukan lagi anak SMP kelas tiga usia empatbelas, tapi gadis cantik yang telah tumbuh dengan segala aset yang tertutupi pakaian kedodorannya. Gadisnya sudah dewasa sekarang.

'Dan siap menjadi wanita!' bisikan setan memenuhi pikirannya, enyahlah!

Kuso! Apa yang kau pikiran! Sekarang ia pantas disebutkan Teme. Si brengsek dengan pikiran liar yang memenuhi otaknya. Sejak kapan ia begitu mesum seperti sekarang?

Sasuke rasa, ia butuh mandi air dingin sekarang.

Kali ini mungkin Sasuke bisa mengontrol keinginannya. Tapi bagaimana lain kali? Semoga saja bisa.

.

ENOUGH? OR MORE?

.


07/11/15

Kedok by AAN