Loading chapter III


"Hinata."

Suara itu. Suara yang Hinata rindukan sekaligus benci disaat bersamaan. Sejenak tubuhnya menegang dengan mata membola. Sedikit bersyukur karena dirinya membelakangi pintu. Hinata mengatur napas juga jantungnya. Kemudian berbalik, menatap Sasuke.

"Ya," ucap Hinata dingin. Lalu berdiri.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Sasuke. Onyxnya melihat kesana-kemari. Kamarnya rapi.

"Menunggu Kak Ita-" jeda. "astaga."

Hinata baru menyadari keadaan. Ternyata dirinya dijebak oleh Itachi. Benarkah begitu? Kembali, Hinata menghempaskan dirinya ke kasur. Kedua tangannya mengusap wajah dan menyampirkan rambutnya ke belakang telinga.

Hening.

Tidak ada yang memulai untuk membuka suara. Hingga keduanya memanggil nama lawan bicaranya hampir bersamaan.

"Aku duluan," ucap Sasuke.

Mau tak mau Hinata harus mendengarkan. Sasuke duduk di ujung ranjang. Menumpukan kedua tangannya di paha untuk menyangga tubuhnya. Punggung Sasuke terlihat kesepian dan lelah saat Hinata melihatnya.

"Maaf," bahu Sasuke sedikit luruh. "maaf telah menyakitimu. Aku mempunyai alasan untuk itu."

Hinata sebenarnya enggan membahas masalah ini lagi. "Ku harap alasanmu jelas."

"Aku hanya tidak ingin melukaimu."

"Apa maksudmu?" Hinata menatap punggung Sasuke dengan bingung.

"Kau tahu, laki-laki dan segala hormon gilanya," Sejenak Sasuke menghela napas. "aku hanya berusaha melindungimu."

Apa?
Pemikiran yang Hinata anggap tabu kini menyusup pelan ke dalam otak polosnya. Tentang laki-laki dan hormon, tentu dengan yang lainnya juga.

Selama berpacaran, mereka berdua hanya... yah, normal seperti lainnya. Tunggu, seperti lainnya? Ino pernah bertanya soal ciuman, bukan ciuman pipi atau dahi melainkan ciuman bibir, saat dirinya dan teman-temannya mengerjakan tugas dirumah Ino. Dengan malu-malu, Ten Ten mengaku pernah. Ino juga pernah. Shion, tentu saja sudah sering. Hanya dirinya yang menggeleng. Lalu skinship yang levelnya naik satu tingkat. Sasuke dan Hinata hanya sebatas pelukan dan bergandengan tangan. Tidak lebih dari itu.

Hinata memegangi kepalanya yang mendadak pusing. Jadi, seperti ini maksudnya. Hinata tertawa dalam hati. Dirinya kira semua baik-baiknya saja nyatanya ada sebongkah penghalang yang tidak masuk akal untuknya. Hinata terlalu naif dengan semua ini.

Alasan melindungi dan tidak ingin melukai masih dapat Hinata terima. Tetapi tidak dengan melampiaskan pada orang lain. Cara melindungi orang yang paling disayangi dan cintai ini sangatlah salah. Hinata benar-benar tidak bisa berpikir dengan jelas mengenai Sasuke. Otaknya kosong. Hatinya hancur.

Perlahan, ia membawa tubuhnya berdiri dan menyeret kedua kaki-kaki mungilnya menuju tas di meja belajar. Belum sempat sampai, lengan kanannya dicekal oleh tangan Sasuke.

"Sudah berapa lama?"

Walau ragu, Sasuke harus tetap menjawabnya. "Tiga bulan."

"Kau memperlakukanku seperti vas bunga mahal. Demi menjaga vas mahal ini, kau merusak vas murahan diluar sana," tangan Hinata meronta. "lepas!"

Bukannya melepas genggaman tangannya dari Hinata. Sasuke jusrtu mencengkramnya kuat. "Karena aku mencintaimu."

"Berhenti menggunakan alasan cinta, melindungi dan yang lainnya. Itu tidak membenarkan semua tingkah menjijikanmu itu," Hinata merasakan cengkraman ditangannya mengendur. Ia melepas paksa. "kau tetap selingkuh."

Hinata menyambar tasnya dan mulai melangkah, hingga kedua bahunya merasakan pelukan. Punggungnya berbenturan dengan sesuatu yang keras di belakangnya. Bahu kanannya ditimpa. Sasuke memeluknya dari belakang dan menumpukan dagunya di bahu Hinata. Sasuke menghirup aroma Hinata. Dirinya benar-benar rindu aroma ini.

"Kau boleh marah, menghinaku bahkan memukulku. Tapi... ku mohon, Hinata," jeda. "jangan pernah meninggalkanku."

Tidak. Bukan. Suara yang keluar dari mulut Sasuke berbeda dari sebelum ini. Suaranya terdengar memelas, hampa tidak bernyawa. Hinata bisa apa? Hatinya terlanjur sakit.

Air mata yang sedari tadi Hinata coba untuk tahan kini mengalir membasahi pipi, turun menuju lengan-lengan Sasuke. Hinata merasakan pelukan Sasuke menguat. Tubuh dibelakangnya bergetar.

Keduanya sama-sama terisak sekarang. Berharap bisa menumpahkan segala beban yang mendera keduanya. Hinata memegangi lengan yang memeluknya. "Sasuke, apa yang harus ku lakukan?"

"Maaf," lelehan air mata Sasuke membasahi bahu Hinata.

"Hatiku sakit," Hinata terisak menjadi-jadi. "sangat sakit."

"Maaf."

"Sasuke~" erang Hinata.

Sasuke membalik tubuh Hinata paksa. Menangkup pipi tembam yang memerah dengan beberapa aliran air mata. Kemudian mencium kening Hinata. Lalu menempelkan kedua dahi mereka.

"Aku akan menunggu sampai kau memaafkanku."

.

.

Hinata keluar dari kamar Sasuke, menutup pintu cokelat itu, kemudian menghembuskan napas panjang. Ia ingin pulang dan mandi. Otaknya butuh sesuatu yang dingin. Baru sampai di ruang tamu, Hinata dikejutkan oleh keberadaan Ayah dan Ibu Sasuke juga Itachi. Hinata mematung sebentar, lalu membungkuk dan memberi salam.

Mikoto Uchiha mendekat ke arah Hinata, wanita paruh baya yang masih awet cantik itu langsung memeluk Hinata. "Anak itu memang bodoh."

"Ayah akan berbicara dengan Ayahmu nanti, Hinata," ucapan Fugaku Uchiha seolah menegaskan bahwa apa yang dilakukan Sasuke sudah ketahuan," Mikoto menangkup pipi Hinata yang sembab. "kami tidak sengaja mendengarnya sendiri."

"Yah, si bodoh itu memang harus diberi pelajaran," ucap Itachi.

.

Hinata tidak mengira Sasuke dan orang tuanya akan secepat ini mendatangi rumahnya. Dan yang paling mengejutkan adalah orangtua Sasuke membatalkan acara lamarannya untuk Hinata. Padahal tadi, Sasuke tidak membicarakan soal lamaran yang sudah diketahuinya. Sasuke mengakui kesalahannya di depan Ayah Hinata dan Neji. Yang paling murka justru Neji, sedang kepala keluarga Hyuuga itu menutup mata dan menghela napas. Berkali-kali Fugaku Uchiha meminta maaf atas kesalahannya mendidik putra bungsunya ini.

"Untuk saat ini aku belum bisa memaafkannya. Lagipula, kami mempunyai kesepakatan."

Onyx Sasuke membola. Ia tidak percaya. Setelah apa yang dilakukannya pada gadis itu. Hinata masih bisa berbuat seperti ini. Hinata pamit ke kamarnya, karena merasa sudah menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya.

Tidak apa-apa.

Hinata melantunkan berkali-kali kalimat itu dalam hatinya sembari memukul pelan dadanya yang terasa sesak. Air matanya mengalir deras.

.

.

Beberapa bulan berlalu...
Hinata telah lulus dari sekolahnya, Konoha Senior High School. Kini, ia menjadi seorang mahasiswi di Universitas Konoha yang terkenal. Tidak banyak yang berubah. Hanya, Hinata memilih untuk tinggal di apartemen yang cukup dekat dengan kampusnya. Dengan debat yang cukup alot tentunya. Keteguhan hati putrinya, membuat Hiashi merelakan putrinya itu tinggal sendiri. Dengan syarat, seminggu dua kali ayahnya atau Neji akan berkunjung. Tentu Hinata tidak masalah dengan itu. / Apa kabar Sasuke? / Jujur Hinata tidak banyak tahu. Setelah malam dimana Sasuke dan orangtuanya ke rumah, Hinata tidak lagi mengetahui kabarnya. Baru seminggu dari itu, Hinata mendapat pesan singkat dari Sasuke dengan nomor barunya. Sasuke mengabarkan bahwa ia akan pindah ke Suna setelah menyelesaikan sidang skripsinya. Hinata membalas pesan itu dengan memberi ucapan semangat dn hati-hati.

Hari ini, Hinata kuliah pagi, dengan terburu ia berlari. Tak sengaja manik lavendernya menatap seorang perempuan berambut hitam panjang tengah berdiri di dekat halte bus dengan tas besarnya. Karena terburu, ia tidak sempat melihat wajah si perempuan itu. Hingga Hinata pulang dari kampusnya, perempuan itu masih berdiri diposisinya. Sepertinya tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.

Sebenarnya Hinata tidak mau ikut campur urusan orang lain. Tapi, kali ini berbeda. Hatinya menyuruh membantu perempuan itu. Jadi, ia mendekati perempuan itu dan menepuk pundaknya pelan. "Permisi."

"Ya," sahut perempuan itu.

Perempuan itu menoleh ke Hinata. Wajah Hinata memerah. Jantungnya berdebar, wajah perempuan ini di mata Hinata sangat cantik, hingga ia terpesona. Hinata menggelengkan kepalanya pelan.

"A-apa anda bu-butuh bantuan?" sekuat tenaga Hinata berucap, namun berakhir dengan gagap juga.

Perempuan itu hanya tersenyum kecil kemudian menggeleng. "Tidak apa-apa."

"Tidak, bukan, eh-" Hinata menutup mulut dengan kedua tangan, lalu berdehem pelan. "saya tidak sengaja melihat anda tadi pagi dan sekarang anda masih ditempat yang sama."

Perempuan itu menatap Hinata. "Sebenarnya saya baru datang dari desa, berniat mencari tempat tinggal dan mencari pekerjaan. Tapi-"

"Ya?"

"Saat turun dari bus dan ingin membeli air minum, uang saya tidak ada di tas. Mungkin saya kena copet."

Hinata mengangguk. "A-anda boleh tinggal sementara waktu di tempat saya."

"Eh," perempuan itu kaget. "Tidak perlu."

"Tidak apa," Hinata tersenyum. "apartemen saya ada dua kamar."

"Terimakasih. Saya beruntung. Saya akan membantu membayar sewanya," Hinata ingin menolak tapi perempuan ini bersikeras. Akhirnya Hinata mengangguk. "nama saya Sachi."

"Hinata."

Keduanya bersalaman. Hinata mengajak Sachi untuk segera ke apartemennya. Teman barunya ini butuh istirahat. Setidaknya, apartemen Hinata tidak sepi lagi.

.

.

"Kau tidak ingin menemuinya?" tanya Itachi yang duduk di depan kemudi.

"Sudah ku lakukan."

Itachi terkekeh dengan penuturan sang adik. "Menemui Hinata sebagai dirimu sendiri, bodoh."

Sasuke tersenyum kalem. Mata Onyxnya tidak lepas dari pemandangan di seberang jalan. Di sana, seorang gadis bersurai lavender menjadi objek pandangannya. Sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya.

"Sudah temui saja," Itachi mengacak surai raven adiknya.

-The End-


Epilog

Pintu apartemen terbuka, menampakkan seorang perempuan berambut hitam panjang dengan bola mata hitamnya. Perempuan itu mengganti sandalnya dengan sandal rumah dan menelusuri satu persatu ruangan yang lumayan besar itu.

Tepukan pada pundak belakang ia dapatkan. Perempuan itu berbalik dan mendapati seorang gadis bermata lavender dengan handuk menutupi kepalanya.

"Sachi baru pulang?"

Perempuan bernama Sachi itu mengangguk. Tangan kanannya yang membawa bungkusan ia ulurkan pada gadis di depannya.

"Untukmu."

"Terimakasih."

Manik lavender si gadis menemukan sesuatu yang cukup aneh. Gadis itu menghentikan Sachi dan menyampirkan ke belakang beberapa helai gelap Sachi. Kemudian meraba leher putih itu.

"Ah begitu rupanya," gadis itu tersenyum kecil. "harusnya ditutupi dengan benar, Sachi."

Gadis itu kembali menyampirkan helaian halus itu ked depan. Agak banyak supaya bisa menutupi bagian leher. Membuat Sachi kebingungan sendiri dengan tingkah temannya itu.

"Selamat malam, Sachi."

"Selamat malam, Hinata."

Sepeninggal Hinata ke kamar tidurnya. Sachi melenggang menuju kamar mandi dan berkaca. Ia melihat leher yang diraba Hinata tadi. Ada ruam merah disana. Itu bekas gigitan nyamuk dan tak sengaja ia menggaruknya. Kening Sachi mengkerut.

"Apa dia pikir ini kissmark?" gumamnya pada cermin.

Lalu Sachi menyeringai kecil.


Juli Mojok XD : Tamat juga. Udah ada yang tahu ya hahaha *sodorin permen* Ngeselin kan si cowoknya, nyuruh-nyuruh pacarnya buat g pake baju seksi eee~ dianya jalan sama cabe-cabean di jembatan layang sama rumah krusek. Alasannya sih buat melindungi gitu. Tapi dianya sendiri. Duh Nak pengen tak sunat 2x kamu.
Eniwei~ maaf ya kalo tidak sesuai harapan dan kurang panjang, tarik aja sendiri XD *Digaplok* Hajar saya kalo mau? *merem* Judul sama isi kok g nyambung babar blas.
Oke sekian~ Juli ucapkan terimakasih pada kalian semua yg ngeRipiu, ngeFollow, ngeFave, sider juga muah muah muah~

Ada yg tahu siapa yang nongol bareng Hinata di akhir? Yang bener tak kasi pelukan maut ampe gbisa napas XD *Canda*

Thanks to: yvkiss, NurmalaPrieska, Green Oshu, JojoAyuni, ChintyaRosita, anita indah 777, Furi Tsuyoko, ejacatKyu, clareon, Arcan'sGirl, Mhey-chan, lovely sasuhina, yuma, onyxlavel4, mrs. sangster, Guest, guess, citya cleadizzlibratheea, Callistalia, Megumi Amethyst, keita uchiha.