Kakinya bergerak cepat saat bel istirahat berbunyi. Bergegas keluar kelas, mengejar seorang pemuda beriris merah yang menolongnya saat di kelas.

"Dia kemana sih?" Yaya bersungut kesal, kecepatannya sudah maksimal, tapi pria itu terlalu gesit menghilang.

Pandangan diedarkan ke sekitar, Yaya mengamati satu persatu murid di SMAN 12 Kuala Lumpur. Ah itu dia, pria beriris merah sedang berjalan di koridor sekolah.

"Hey kau!"

Yaya menipiskan jarak sekaligus berteriak. Tapi pemuda itu, menoleh pun tidak.

"Aku memanggilmu, Si mata merah iritasi berat."

Halilintar menghentikan langkah, Yaya berhenti di samping Halilintar dengan nafas sedikit terengah.

"Tidak ada panggilan yang lebih buruk lagi?" sindir Halilintar.

Yaya menggeleng, "Kau gesit sekali, padahal nyaris bareng saat keluar kelas."

Halilintar tidak menggubris, langsung bicara pada intinya. "Ada apa?"

Sang gadis menormalkan nafas, sebenarnya dia hanya ingin berterimakasih karena Halilintar sudah menolongnya saat jam pelajaran bahasa jerman barusan. Tapi kenapa rasanya sulit sekali melontarkan kalimat itu pada pemuda semenyebalkan Halilintar.

"Kau sudah menolongku, aku berhutang padamu. Lain kali aku yang akan menolongmu."

Iris ruby itu menyipit heran. Tidakkah Yaya berniat mengucapkan dua kata mainstream semacam 'Terima kasih'? Halilintar berpikir, apa rencananya gagal? Sejak awal memang dia yang merencanakan semuanya agar bisa dekat dengan Yaya. Tapi gadis itu masih belum menganggapnya seperti seorang teman. Baiklah, pelan-pelan saja.

"Aku tidak butuh pertolonganmu." Sahut sang pemuda angkuh. Yaya mendecih, sedikit bersyukur tidak mengucapkan terimakasih secara langsung. Memang benar opininya sejak awal, Halilintar itu menyebalkan.

"Berniat melunasinya sekarang?"

"Eh?" Gadis itu terkejut dengan kalimat tambahan yang pemuda itu cetuskan, "Maksudmu?"

Sang pemuda menghembuskan nafas, "Kau ini lemot ya? tadi kau sendiri yang mengatakan kau berhutang padaku. Asal kau tahu, aku bukan orang yang suka menghutangkan sesuatu lebih dari sehari."

Yaya cengo, berpikir, ada manusia macam Halilintar di muka bumi ini. Pamrih sekali. Harusnya sebagai seorang gentleman kan pemuda itu bisa bilang 'Itu bukan apa-apa.' Atau 'Tidak masalah, sudah tugasku sebagai pria sejati' atau apa kek gitu.

Ups, sepertinya Yaya kebanyakan nonton drama korea. Lagipula apa yang dipikirkannya coba, ada-ada saja.

"Baiklah, baik, apa maumu?" Yaya ingin segera menyelesaikan ini. Enggan berurusan lagi dengan pria bernama Halilintar.

"Traktir makan di kantin."

"Oke, hanya itu?" reflek Yaya.

"Tapi, kalau mau di restaurant juga boleh."

"Di restaurant…" Yaya berpikir sejenak, otaknya baru loading, sungguh entah kenapa gadis itu merasa sedang eror hari ini.

"Apa? Traktir makan?" Seketika Yaya baru menyadari, traktir makan artinya menguras isi dompet. Oh bolehkah dibatalkan saja kalimatnya sebelumnya?

"Tapi-"

"Ayo." Tanpa menunggu persetujuan, Halilintar menyeret lengan gadis itu menuju kafetaria yang berada di lantai 2 gedung B. Tak menghiraukan protes Yaya yang minta dilepaskan sedari tadi.

.

.

WARNING: HaliYaya, FangYaya, FangYing. Friendship, romance, OOC detected, miss typo, bahasa ngalur ngidul, school life, teen!chara. romance friendship.

Disclaimmer: Boboiboy belong to monsta studio.

This fict belong to me.

Fanfiksi ini dibuat untuk kesenangan semata tanpa ada keuntungan yang saya dapatkan.

Happy Reading

.

.

.

"…Fried chicken, kentang goreng, saus sambal sosis, jus leci, capucino cincau, dan rolled shrimp. Itu saja."

Bolpoin domba milik Yaya senantiasa bergoyang saat Yaya menuliskan pesanan Halilintar dengan geram.

Itu saja katanya? yang benar saja!

Bahkan porsi makan Yaya tidak pernah sebesar itu sekalipun dia kelaparan.

"Ada tambahan?" Yaya bertanya dengan lemas, bersiap mengatakan selamat tinggal pada isi dompetnya.

"Tidak."

"Baik, tunggu sebentar."

Yaya beranjak meninggalkan kursinya menuju counter pemesanan. Menyodorkan kertas berisi pesanan Halilintar pada Bibi yang bekerja di kafetaria. Benar, hanya pesanan Halilintar. Yaya harus rela menahan lapar agar bisa menyisihkan uangnya untuk tabungan.

Menunggu sejenak, lalu membayar makanannya. Belum lagi dia juga harus membawa semua makanan itu ke tempat duduk mereka. Benar-benar pria menyebalkan.

Sementara Yaya sedang menggerutu dalam hati. Halilintar justru menikmati ekspresi yang ditampilkan oleh wajah sang gadis.

Pemuda itu memang senang melihat wajah Yaya yang ekspresif, ekspresi apa saja kecuali yang meneteskan air mata, alias sedih atau menangis.

Satu persatu piring-piring itu diletakkan di atas meja, berikut dua gelas berisi minuman kesukaan si pemuda.

"Selamat menikmati." Ujar Yaya setengah hati. Mengembalikkan nampan lalu kembali mendaratkan diri di kursinya sambil bersedekap.

Halilintar segera menyerang makanan yang terhidang, pelan tapi pasti, penuh kharisma tapi sepiring sudah ludes saja. Sementara Yaya tetap setia menjadi penonton yang membayar, sesekali melirik juga bagaimana udang yang dilapisi lilitan telur itu terlihat begitu lezat mendarat di mulut Halilintar.

Yaya menegak ludah.

"Kau tidak pesan?" Ujar Halilintar di sela-sela kesibukan mengunyah.

"Sedang diet, kau makan saja. Untukku air putih saja sudah cukup." Jawab Yaya sekenanya.

Diet apanya, padahal Yaya mati-matian menahan nafsu makan saat ini, terlebih dengan hidangan yang sangat menggoda. Ah, Yaya jadi lapar.

"Oh, padahal sosisnya ingin ku sumbangkan untukmu. Aku alergi daging sapi." Cetus Halilintar tanpa dosa, seketika Yaya ingin mencekiknya saat itu juga dan berteriak.

Kenapa tidak bilang daritadi? Membuang uangku saja!

"Kalau begitu untuk-"

"Hey, Gopal." Pemuda gempal yang Halilintar ingat satu kelas dengannya itu ia panggil, "Untukmu." Ujarnya seraya menyodorkan sepiring sosis yang mampu membuat siapapun tergoda. Maka tanpa basa-basi piring dan isinya itu langsung lenyap dari pandangan Yaya, berpindah ke meja sang pemuda gempal setelah sebelumnya pria itu mengucap beribu terimakasih pada Halilintar.

Yaya menggeram kesal. Maksudnya biar dia saja yang menghabiskan sosis itu, si Halilintar ini tidak peka sekali ya, ah menyebalkan.

"Kenapa?"

Si mata merah itu masih berani bertanya rupanya, Yaya enggan menjawab, lebih baik dia acuhkan saja.

"Kau kan sedang diet."

Memang benar Yaya bilang begitu, tapi kan….Ah sudahlah, Yaya lelah.

"Untuk apa kau diet?" Tanya Halilintar tiba-tiba, Yaya menoleh heran.

"Tubuhmu sudah kerempeng begitu, mau jadi lidi?" Ini orang bisa tidak perkataannya dihalusin dikit?

"Diet itu bukan melulu soal menurunkan berat badan. Aku ini sedang diet sehat, makanan di kafetaria ini berminyak semua, dan otak pintarmu pasti tahu kalau itu tidak baik bagi kesehatan kan. Jadi aku tidak mau memperpendek umurku hanya dengan makanan."

Kebohongan yang terlalu penuh dusta. Biarkan saja Yaya meneruskannya, ketimbang menjelaskan yang sebenarnya. Buang-buang tenaga.

Faktanya sih Yaya bukan sedang diet, melainkan gadis itu sedang menabung untuk menyiapkan kado pada saat ultah idolanya tanggal 13 April nanti. Dia juga menyukai semua makanan di kantin ini sebenarnya, tapi demi Fang, tak apalah berkorban sedikit.

"Umur hanya Tuhan yang tahu. Kau tidak berhak memutuskan."

Yaya dapat merasakan nada kecewa pada suara pemuda itu, meskipun pandangannya kembali tajam seperti saat pertama mereka bertemu.

Tak jauh dari keduanya, segerombolan anak basket baru saja memasuki pintu kafetaria, meskipun tanpa seragam basketnya, Yaya sangat mengenal bahwa mereka semua adalah anggota inti tim basket sekolah.

Fang berjalan di tengah, diapit oleh keempat temannya yang masing-masing dua orang di sisi kiri dan dua orang di sisi kanan. Mendaratkan perhentian di meja yang tak jauh dari Yaya dan Halilintar.

Oh jantung Yaya tak pernah berhenti berdegup kencang saat Fang berada di sekitarnya. Maka aksi rutin pun kembali dilancarkan. Mencuri pandang pada ketua tim basket sekolah, sang cassanova, Fang.

Iris hazel itu tak henti-hentinya melirik ke arah pemuda berkacamata. Bola matanya tak fokus lagi, asyik sendiri mengagumi sang pemuda dari jauh. Melupakan fakta bahwa di depannya ada Halilintar.

Tik

Pemuda bermanik merah itu menjentikkan jarinya di depan mata Yaya, membuat sang gadis sedikit terkesiap.

"Apa?"

Halilintar mendengus.

"Kau sangat menyukainya ya?"

Yaya kaget, salah tingkah dengan pernyataan Halilintar. "Ti-tidak, siapa bilang." Yaya berusaha menutupi dengan mengalihkan pembicaraan.

"Makananmu sudah habis, biar ku bereskan."

Halilintar langsung menampik, tangan Yaya, "Katakan saja kalau dia memang pemuda yang kau sukai."

Yaya mengernyit tidak mengerti, memangnya dia pernah bercerita tentang Fang ya? seingatnya tidak. Oh, atau pemuda itu sudah mendengar gosipnya dari kelas? Ah, Yaya kira gosip itu sudah mereda.

"Kalau memang dia, ya tidak apa, memangnya kau pikir aku akan cemburu?"

Oke, sebenarnya ke mana arah pembicaraan ini, semakin tidak jelas saja.

"Aku tidak suka bertanya dua kali." Halilintar semakin mendesak, manik merah itu jelas bisa membaca bila Yaya melakukan kebohongan sekarang.

"Bukan urusanmu. Itu bukan pertanyaan yang harus kau tahu jawabannya. Tidak penting sama sekali kan."

"Tentu saja penting."

Yaya heran bagaimana mata sewarna ruby itu mampu membuatnya tercekat saat menarik nafas hanya dengan satu tatapan intens yang menuntutnya.

Baiklah, Yaya menyerah, mendesah kemudian dengan lemas mengangguk. "Iya, memang benar. Jadi apa pentingnya bagimu sekarang?"

Sepi, Halilintar terdiam beberapa lama, pandangannya lurus ke depan, jatuh tepat di hazel sang gadis berjilbab. Seolah menilik kiranya ada kebohongan di sana. Entah karena malas menjawab atau apa, pemuda itu masih tak mengeluarkan suara sedikit pun.

Ditatap sedemikian rupa membuat Yaya risih juga, gadis itu kembali mengalihkan pandang pada Fang.

Tanpa Yaya sadari, pemuda beriris ruby itu menurunkan kelopaknya sejenak, memejamkan mata beberapa detik, membukanya. Lalu menarik nafas panjang.

"Kau menyukainya kan?"

"Kau tahu jawabannya."

"Kenapa tidak mendekatinya?"

Yaya tersentak, "Apa? Aku? Mendekati Fang? Jangan bercanda."

"Aku serius." Sorot ruby itu masih setajam biasanya, "Biarkan dia mengenalmu, Yaya. Sekarang bukan jamannya harus laki-laki yang memulai."

"Kau benar. Tapi ayolah, aku yang sekarang tidak pantas untuknya."

"Kalau bukan sekarang, kapanlagi? Menunggu sampai dia punya istri?" seketika gambaran Fang dengan tuksedo dan seorang wanita berbalut gaun pengantin melintas di pikirannya. Yaya bersumpah, itu adalah bayangan terburuk yang menghampiri otaknya.

"Tentu saja tidak!" Gadis itu terlihat menimbang-nimbang, "Mungkin…suatu hari."

"Suatu hari yah…" Halilintar berdecak kemudian melanjutkan, "Dekati dia sekarang juga. Kau harus berani mengambil segala resiko. Jika suka, katakan suka. Lakukan apapun yang kau inginkan sebelum kau menyesal karena tidak pernah berusaha mewujudkan keinginanmu."

Gadis berjilbab itu terdiam. Tampak sekali otak pintarnya tengah merenungkan kata-kata Halilintar.

"Itu tidak hanya berlaku untuk keinginanmu terhadap Fang saja, melainkan untuk semua mimpi-mimpimu, semua angan-anganmu. Semua hal yang kau inginkan dalam hidupmu." Sambung Halilintar.

Yaya termangu saat hazelnya serasa tertembus oleh ruby di depannya. Halilintar menatapnya terlalu intens. Tapi tak sedikitpun mata itu terlihat iseng atau sekedar main-main. Semua yang diucapkannya, benar-benar tulus dari hati. Yaya dapat merasakannya.

"Kau bicara apa sih? Sejak kapan kau peduli padaku?"

Sang gadis mengalihkan mata saat berbicara, tak dapat menampik bahwa dirinya sedikit salah tingkah ditatap sedemikian rupa.

"Bukan peduli, tapi kasihan." Sahut pemuda itu santai. Yaya merengut sebal.

"Coba katakan, apa kau punya mimpi?"

"Mimpi?"

"Iya, selain mimpimu untuk bisa bersama si anak basket gadungan itu tentu saja."

"Hey! Fang itu pemain basket terbaik di sekolah ini tau!"

"Ya..ya, terserah. Jadi, kau punya mimpi?"

Sang gadis berpikir sejenak, meletakkan dagu diatas kedua tangannya yang terkait di atas meja.

"Aku ingin sekali dapat nilai seratus di ujian bahasa jerman."

Halilintar nyaris tertawa saat mendengarnya.

Yaya mendelik "Ada yang lucu?"

"Tidak, teruskan."

"Naik motor sambil berdiri dan teriak di jalanan, dan-"

Ucapannya terpotong saat mendengar tawa Halilintar.

"Apa?" tanyanya dengan wajah ketus.

Halilintar berdehem, mengembalikan intonasinya ke nada normal. "Kau serius? Oh naik motor itu sangat mudah bukan? Itu benar-benar keinginanmu?"

"Bagimu, bagiku tidak. Aku penasaran ingin mencobanya. Tapi tidak sekarang." Jawab Yaya ketus.

"Lalu, hmmm, hey Halilintar, apa di sekolahmu sebelumnya kau pernah melakukan study tour?"

Pemuda itu menimbang-nimbang, "Tentu saja."

Seketika jawabannya membuat Yaya antusias, "Benarkah? bagaimana rasanya?"

"Eh?…biasa saja."

Mata sang gadis menyipit seolah mengintrogasi, "Aku tidak percaya karena kau yang bilang. Kata temanku itu sungguh mengasyikkan. Ah aku ingin sekali melakukan study tour, pasti sangat menyenangkan. Bertualang sambil belajar di hutan. Naik gunung." Yaya mulai antusias.

"Lalu berlibur ke pantai. Ah aku ingin sekali ke pulau Nami seperti di drama-drama korea itu. Lalu Angkor Wat, Menara Pissa, Taj Mahal, Colloseum, Tembok besar China,-"

"Kau ingin keliling dunia?" potong Halilintar cepat, memijit pelipis karena pening mendengar keinginan Yaya yang ternyata banyak sekali. Bukan hal sulit sebenarnya, hanya saja Halilintar sedikit khawatir.

Mengangguk dengan bersemangat, Yaya menambahkan, "Aku juga ingin ke Paris, Hawai, ke Afrika untuk membantu orang-orang yang kelaparan di sana. Tapi…" Nada suaranya melemah, Halilintar menelisik iris sewarna hazelnut itu. "Tapi…?"

Sang gadis menundukkan kepala, entah apa yang dia pikirkan, Halilintar tidak bisa menebak.

"Semuanya terlalu tidak mungkin kan?" Kepalanya terangkat untuk menatap mata Halilintar, Yaya terkekeh sendiri, entah perasaan Halilintar saja atau memang Yaya jadi agak pesimis.

"Aku tahu aku tidak mungkin bisa melakukannya. Tidak sekarang. Tapi mungkin…" Matanya menerawang ke langit biru di luar sana.

"Suatu hari nanti…" desah Yaya. pandangannya berfokus pada awan-awan putih yang mengepul cantik menghiasi langit.

Pemuda di hadapannya mau tidak mau terpaksa mengulum senyum, "Suatu hari…"

"Yah…suatu hari." Yaya menggemakan kalimatnya.

"Tapi Yaya," Yaya menoleh, "Tidakkah kau berpikir Suatu Hari mu itu mungkin saja takkan pernah terjadi?"

Hazelnya menyipit, Yaya mendelik pada sosok yang entah bagaimana bisa membuatnya terbuka secepat ini.

"Kita juga tidak tahu penghalang apa saja yang mungkin akan ada di masa depan."

"Wujudkan selagi mungkin. Suatu Hari mu itu pada dasarnya hanyalah refleksi angan-angan yang kau impikan. Dan mimpi itu…takkan pernah jadi nyata bila kau selalu menganggapnya sebagai Suatu Hari."

Yaya mulai tertarik, mendengarkan setiap kata yang terlontar dari bibir Halilintar tidak pernah sebegini menyenangkan.

"Aku selalu berpikir bahwa setiap hari adalah hari terakhirku. Seolah Tuhan akan mencabut nyawaku jika aku menyia-nyiakan waktuku tanpa melakukan apapun." Halilintar menjeda kalimatnya, "Jadi, yang ku miliki setiap hari adalah…Suatu Hari."

Sejak kapan iris merah itu bisa menatap sehangat ini?

"Baiklah, kesimpulannya…Ku rasa kau harus mewujudkan mimpimu sekarang."

"Caranya?"

"Kita mulai dengan yang mudah." Jawab Halilintar mantap.

"Hey kau, si anak basket."

Tanpa perlu mengulang ucapannya, kelima remaja yang duduk dengan jarak tiga meja darinya itu, menoleh.

"Iya, kalian." Seolah mengaskan keraguan para anak basket, Halilintar semakin berkata mantap.

Tampak gerombolan remaja di seberang meja sana tengah kasak-kusuk dengan nada meremehkan serta jengkel. Tentu saja, belum pernah ada siswa yang memanggil mereka seenteng itu.

Namun, Fang yang mengingat siswa yang memanggilnya sebagai orang yang sudah menantangnya secara tidak langsung tadi pagi itu, tak berniat mengacuhkannya. Mari ikuti jalan mainnya. Maka Fang pun menghampiri meja tersebut.

Belum ada suara baik dari Fang maupun Halilintar, keduanya masih setia bungkam dengan tampang coolnya, sekalipun gadis yang berada di sana sudah risih sekaligus salah tingkah setengah mati. Bagaimana tidak? Fang berdiri dekat sekali dengannya! Dekat sekali!

"Ada perlu apa?"

Rok panjang abu-abu dipilin hingga kusut di bawah meja. Yaya tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Haruskah dia menimpali? Tapi Yaya sendiri tidak tahu apa rencana Halilintar.

"Jika tidak ada hal penting, aku permisi." Sang atlet basket menatap ruby dan hazel bergantian.

"Gadis ini ingin mengajakmu ke pesta valentine. Tentu jika kau belum ada pasangan."

Terkesiap, Yaya membulatkan mata tidak percaya. Hey! Apa-apaan? Dia samasekali tidak…pernah…mengatakan…itu.

"Tunggu-tunggu, a-aku tidak-"

"Oke."

Sukses Yaya ternganga seketika.

"Perlu ku jemput?"

"Tentu, jika kau masih merasa kau ini laki-laki." Ketus Halilintar, tapi Fang terlihat tak mau ambil pusing.

Eh? Apa yang harus dia katakan, Yaya masih terlalu syok dengan ini semua. Valentine? Samasekali tak pernah terlintas di pikirannya.

"Baiklah, kirimkan alamatmu. Akan ku jemput pukul tujuh tepat."

Kepala terangguk canggung, Yaya kesulitan berkata-kata, seolah semua diksinya lenyap dari pikiran.

Fang nyaris meninggalkan meja sebelum berucap, "Berdandanlah yang cantik." Seraya menampilkan senyum khas ala pangeran sekolah.

Serasa dihantam dengan palu besar, Yaya seketika tersadar. Mungkin dia memang bukan orang yang harusnya mendampingi Fang di acara itu.

Kali ini bibirnya mampu menelurkan kalimat sekalipun hanya dengan intonasi yang rendah "Kau bisa menolaknya jika keberatan. Mungkin aku tidak pantas-"

Langkah Fang terhenti saat mendengar teriakan lantang. "Jangan khawatir. Mata setiap orang takkan berpaling darinya di malam itu." sahut beberapa siswa ikut mencuri pandang ke arah mereka.

"Aku tunggu." Fang menyahut tanpa sedikitpun berbalik badan.

"Mudah kan?"

Yaya segera menetralkan debaran jantungnya setelah yakin Fang tidak akan mendengar.

"Kau gila?!"

Sang pemuda beriris merah hanya merespon dengan mengendikkan bahu.

"Aku belum pernah ke pesta apapun. Kau tahu, Valentine sekalipun."

Halilintar masih menanggapi dengan cuek bebek. "Terimakasih kembali."

Menghembuskan nafas, Yaya menghempaskan punggung di sandaran kursi.

"Bukannya menyenangkan pertama kali ke pesta bersama orang yang kau suka?"

Yaya enggan menjawab. Memang benar, tapi ayolah, dia belum siap. Seumur hidupnya dia belum pernah pergi berdua bersama seorang pria.

"Iya, tapi bukan sekarang. Aku-"

"Kau belum mengerti juga?"

Gadis itu terdiam. Seratus persen paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

Suatu hari ya?

Tak sekalipun Yaya pernah berpikir untuk mengajak seorang Fang ke acara Valentine. Selama ini dia hanya seorang siswi biasa yang cukup cerdas di kelasnya. Tidak lebih dari itu. Menyukai Fang pun hanya berani di belakang, takut ketahuan penggemarnya yang fanatik. Tidak mungkin Fang akan menyukainya kan.

Tapi sekarang? Kenapa Halilintar mau repot-repot membantunya? Ah kepalanya diliputi berbagai tanda tanya.

"Baiklah." Kata Yaya. I'll try.

.

.

To Be Continued

Pendek? Memang. Sengaja aku bakal bikin chapter yang pendek-pendek biar gak males ngelanjutin *plakk

Ini lumayan buat pengalihan soalnya. Capek juga bikin fict yang maso melulu *plakkagain

Akhir kata? Don't be silent reader.

Review membangun akan sangat dihargai. Hohoo.