"Taehyung,"

"Mm,"

"Pacaran, yuk?"

Tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari layar Smitenya, Taehyung masih mengulum lolipop rasa lecinya. Jemari kurusnya menekan tombol pada stiknya dengan gesit. Alisnya mengerut, tatapannya terpaku fokus pada tokoh Azirnya yang menumpas teritori lawan dengan andal. Taehyung mengenakan headphone merah milik Jeongguk dengan salah satu mengapit tepat di telinganya, dan yang lainnya hanya menempel di pelipis.

Tanpa menolehkan kepalanya, Taehyung menggumam. "Mm—oke," sahutnya enteng.

Kini giliran Jeongguk yang menaikkan sebelah alis.

"Jawab dengan serius," tukas Jeongguk penuh penekanan. Semenjak tadi ia hanya duduk di atas sofa (sementara Taehyung terduduk patuh di atas keramik terlalu asik bermain Xbox), menyaksikan permainan Taehyung hingga jenuh, tak mengerti setiap kali Taehyung berseru 'pentakill' sembari membanting stiknya penuh kemenangan. Berteriak pada rekan satu timnya dari mikrofon dan mengabaikan Jeongguk seperti ia tidak ada. Mendengus lirih, Jeongguk mengajukan sekali lagi. "Dengar, jadilah pacarku, Taehyung, milikku."

"Apa kau tuli?" Taehyung berujar separuh terkekeh. "Aku sudah menjawab oke, tidak dengar?"

"Kau serius?"

Taehyung mengangguk datar. "Mm,"

"Kalau begitu kau tidak boleh lagi sembarangan make out dengan orang lain, walaupun sekedar hook up ataupun flirting—karena mulai hari ini, kau milikku," Jeongguk berkata dengan intonasi penuh otoritas daripada mempertanyakan sebuah kepastian. Seolah keabsolutan.

"Mm," jawab Taehyung lagi. "Terserah."

Kesal dengan jawaban minimalis Taehyung, Jeongguk membuang napas kasar. Dua minggu lebih ia mengantar jemput kakak kelasnya dari asrama ke kampus. Mengajaknya ke Burger King, atau lagi-lagi ke McDonalds, bahkan membayari makannya, untuk sekedar berbincang atau memulai perdebatan kecil. Tidak butuh lebih dari itu untuk menyadari jika Jeongguk begitu menginginkan pemuda liar itu. Menundukkan keangkuhannya dan menaklukkan ego raksasanya. Keinginannya untuk mencengkeram Kim Taehyung dan menjadikannya berlutut di bawah kakinya tak sedikitpun berkurang semenjak awal mereka bertemu.

Jeongguk berjalan mendekati Taehyung yang masih asik dengan Xboxnya. Ini apartemen Jeongguk, omong-omong. Seharusnya Taehyung bisa lebih sopan kepadanya. Karena itu, akhirnya Jeongguk berjongkok tepat di hadapan Taehyung, kemudian tersenyum miring. Jemarinya bergerak untuk mengambil lolipop dari mulut kakak kelasnya dari batangnya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya sendiri dengan enteng. Hal itu sukses mengalihkan perhatian Taehyung. Sorotnya tidak suka ketika ia menemukan Jeongguk dengan seringainya terpaut beberapa senti dari posisinya. Mengulum permen miliknya dengan kurang ajar.

"Lihat mataku saat aku bicara, Sayang." Jeongguk berbisik rendah, menyukai bagaimana kilatan dalam hazel bening Taehyung mendadak bergemuruh. "Bagaimana jika kita berciuman saja sebagai peresmian?"

Taehyung memutar bola mata jengah. "Bagaimana jika kita putus saja sebelum peresmian?" gertaknya yang disambut oleh tawa terhibur dari lelaki yang lebih muda. Respon Jeongguk membuat telinga Taehyung berkedut. Jemari panjangnya merambat ke sebelah rahang pemuda di hadapannya, meraih lolipop miliknya dari mulut Jeongguk dan menghisapnya kembali ke kulumannya tanpa sekalipun melepas tatapan mengintimidasinya dari obsidian Jeongguk. Pemandangan Taehyung yang dengan brutal menggerus permen dengan gerahamnya lalu membuang asal batangnya, menimbulkan suara kemeratak yang menggaung; menjadikan Jeongguk menjilat bibir bawahnya tersulut gairah. Sorot mematikan Taehyung, semerbak maskulin Taehyung yang bercampur aroma nikotin, ujung-ujung jemari Taehyung yang dingin menangkup rahangnya dan membawa kepalanya menghabisi jarak. Segalanya seolah setiap jengkal dari gerak-gerik Kim Taehyung dapat dengan mudah memicu libidonya memuncak. Begitu ingin ia mengendalikan Taehyung dan segenap sel-sel otak pembangkangnya—melihatnya terisak tak berdaya di bawah kungkungannya dan menunjukkan pada dunia siapa sebenarnya bosnya di antara mereka berdua.

Sehingga tatkala kedua belah bibir Taehyung membentur bibirnya dengan erotis, Jeongguk bahkan tak sempat membalas lumatannya sebab Taehyung dengan cepat melepaskan pagutannya. Sisa manis leci masih terasa di pangkal lidahnya ketika napas panas Taehyung berhenti meraba celah pori-porinya yang merinding. Kedua manik Jeongguk mengerdip kikuk ketika Taehyung mendorong tubuhnya ke samping dengan mata mendongak kembali ke layar LCD tak peduli.

"Kau dapatkan apa yang kau inginkan, sekarang minggir." Taehyung berujar dalam sekali hembusan napas. "Kau menutupi layarnya—" ia menjeda sembari mengambil stiknya yang sempat ditelantarkan.

"—Sayang."

Jeon Jeongguk berani bersumpah bahwa Kim Taehyung adalah orang paling sulit ditebak yang pernah hadir dalam hidupnya. Jeongguk berani bersumpah—demi Tuhan.

.

.

.

.

.

.

We're Perfect Fools

last part —

.

©Alestie

.

.

fiction || rate m || BTS || kookv/vkook

.

.

.

.

[!] profanities; dirty talk; drinking; mention of drug use; explicit mature content; this is a literal sin; triggered, don't read.


.

"Jadi?"

Taehyung mengangkat sebelah alis, menunggu.

"Siapa cewek seksi di lockscreen ponselmu?" Jeongguk berusaha terdengar stabil. Kedua mata terpatri pada jalanan di hadapannya, sementara jemarinya kuat mencengkeram setir kemudinya. Cemburu, tidak juga. "Aku tidak suka sesuatu menyentuh apa yang menjadi milikku, Taehyung."

Taehyung menyemburkan tawa, keras sekali. Terbahak menggema di ruang mobil yang luas menjadikan telinga Jeongguk berkedut tidak suka. Pemuda berandalan itu terus terpingkal hingga sudut matanya berair sementara Jeongguk tidak menemukan apa yang lucu dari pertanyaannya. Senyum di sudut bibir Taehyung mengejek ketika ia menjawab.

"Kiarra Yein, bocah kuper."

Kening Jeongguk mengerut. "Siapa?"

"Bintang film porno, Payah," tukas Taehyung lugas, bola matanya berkilat. "Model lingerie juga, kau harus lihat payudaranya, Man. Tanganmu—mm," Taehyung memincingkan mata mengamati jemari Jeongguk yang sibuk menyetir mobil, mendengung panjang. "Tanganmu tidak akan muat, percaya padaku. Bahkan tanganku saja tidak," lirikan Jeongguk begitu tajam dan mulutnya sudah terbuka (detil Taehyung tidak penting, jika boleh jujur), namun Taehyung segera menyela. "One night stand, Guk, dia mungkin sudah lupa. Nama aslinya Im Minjeong, dia—"

"Kau jalang," Jeongguk menggeram dari geritan giginya yang rapat.

"Nope, aku beken. Dan kau culun," Taehyung menyandarkan kepalanya santai dengan sebelah telapak tangannya. Mata kirinya tertutup terhibur. Taehyung masih teringat dengan jelas bagaimana dirinya dan Jimin bertemu dengan Kiarra Yein di sebuah pesta inklusif Namjoon (tercengang dengan circle bisnis Namjoon yang menakjubkan), kemudian berkenalan dan mereka akrab dengan cepat. Pengalaman yang menyenangkan, sejujurnya. "Bagaimana bisa laki-laki Korea di usia legalnya tidak tahu siapa Kiarra Yein? Subjek mimpi basah sejuta umat. Kau, kuper maksimal, bung," Taehyung mengetukkan telunjuk di pelipisnya dua kali. "Berani bertaruh, kau tipe mellow yang memperlakukan teman kencanmu seperti bulu merpati. Terlalu pengecut untuk bereksperimen dengan seks," intonasi Taehyung turun satu oktaf menjadikan Jeongguk bergidik. "Biar kutebak posisi bercintamu. Misioner atau doggy style. Karena kau klasik dan membosankan."

Isi kepala Jeongguk bergerumul mendidih. Meruntutkan pembicaraan mereka sejak awal dan mengingat-ingat bagaimana bisa semuanya berakhir dengan obrolan kotor seperti ini. Hari ini adalah hari pertama mereka semenjak resmi berpacaran, dan Taehyung tiba-tiba saja sudah menerobos batas lelucon dari yang biasa mereka lontarkan sebelumnya. Mungkin karena status mengikat yang kini keduanya miliki, mungkin juga karena sisi kompetitif Jeongguk, atau mungkin juga karena aroma maskulin parfum Taehyung yang menyesakkan paru-parunya. Jeongguk ingin sekali menepikan mobilnya di trotoar lalu menelan kakak kelasnya hingga habis sekarang juga. Lupakan soal Domino karena Jeongguk tak peduli.

"Aku berbeda dengan Kare Yein atau Im Manseok, atau siapalah gadis murahanmu," Taehyung sudah hendak protes atas sebutan salah Jeongguk, namun akhirnya ia urung. Menikmati emosi Jeongguk yang mencekat kerongkongannya. "Kau pikir aku takut meninggalkan hickey hitam di tulang selangkamu yang menyedihkan, bekas kemerahan di pinggulmu karena aku mencekalmu terlalu keras? Kau pikir aku takut membuatmu berdarah? Kau pikir aku tidak tega membuatmu menangis?" Jeongguk mendesis dengan suaranya yang dalam, nyaris membuat Taehyung menelan ludah karena inilah yang dia inginkan. Dan Jeongguk selalu jatuh ke jebakannya. Selalu. "Kau akan melakukan guidingmu dengan berjalan terseok-seok dilihat puluhan anak baru, Sayang, dan lihat apa kau masih bisa bicara begini angkuh di hadapanku."

"Mm," Taehyung terkekeh mencemooh, kakinya yang panjang menopang di dasbor. "Kau tahu kau terdengar seperti apa, Jeon?" sebelum sempat menyahut, Taehyung menyeringai. "Tukang omong besar—pembual," Timpalnya berbahaya, "Kau penganut taat vanilla sex, berhenti berlagak seperti dewa seks. Kau sedang bicara dengan dewa seks," jedanya dengan senyuman lebar. Jeongguk memutar bola mata jengah. "Dan lagi, berjalan terseok-seok itu pekerjaanmu, Sayang. Berhenti mengkhayal. Bocah nakal sepertimu tak pantas mendapatkan izin orgasme. Meranalah dalam keadaan blueballs dan lihat apa kau masih bisa bicara begini angkuh di hadapanku."

"Careful, babe," Jeongguk memperingati, intonasinya berbahaya. "Aku bukan tukang perkosa, tapi jika kau ingin aku mengikat tanganmu dan menutup matamu sampai kau menangis, aku bahkan bisa mengabulkan lebih dari itu," Jeongguk melirik ke arah kakak kelasnya penuh makna, yang hanya dibalas oleh senyum sinis oleh Taehyung. "Jika pikirmu kau pandai bermain teka-teki, coba kau tebak berapa kilometer per jam speed limit mobilku untuk bisa membawamu sampai ke Domino," lalu Taehyung terdiam, keningnya mengerut, seperti serius berpikir. "Enam puluh delapan," Jeongguk segera menimpali, "Karena pada titik ke 69 kau harus cepat-cepat berhenti dan berbalik untukku, Sayang."

"Fuck," Taehyung menahan napas, jemarinya menyugar poni oranyenya. "Fuck," umpatnya lagi separuh tertawa. Pupil indahnya berkabut oleh kilatan yang mengerikan. "Kau lumayan juga untuk ukuran bocah, Jeon, kuberikan itu," akunya kemudian.

Jeongguk tertawa. "Bersyukurlah karena wajahmu cantik, Hyung. Jika tidak mungkin aku sudah menendangmu dari mobilku sekarang juga karena kau bajingan," ucap yang lebih muda sembari memberikan Taehyung kerlingan ringkas. "Sudah sampai," tandasnya ringan. Menemukan Taehyung yang mengerjap lucu, seperti tidak sadar jika mereka sudah berkemudi cukup lama untuk sampai di area parkir Domino. "Lain kali jangan mengajakku berargumen soal hal-hal seperti itu saat sedang berkemudi, kecuali jika kau sudah tak sayang nyawa,"—kau distraksi menggairahkan dengan mulut kotormu, aku hilang fokus, adalah yang Jeongguk batin dalam benaknya. Namun ia berakhir berkata. "Bicaramu seperti jalang."

Taehyung hanya terkekeh, alisnya naik sebelah, menantang. "Kupikir kau suka hal-hal kotor?"

"Memang," Jeongguk menyambar cepat, ada sengal tipis dari nada bicaranya. "C'mere, babe, harus membersihkan mulutmu yang kotor seperti kubangan sampah," ujung-ujung jemari Jeongguk membelai dagu runcing Taehyung halus, dan lagi-lagi, pemuda bersurai oranye itu tergelak putus-putus. Memutar bola matanya malas selagi merambatkan tangannya mencengkeram bisep Jeongguk yang kokoh terbalut kemeja. Tiba-tiba saja, bibir Jeongguk yang basah telah menyentuh permukaan bibirnya, aroma aftershave bahkan wax elegan yang menguar dari tubuh atletis Jeongguk menjadikan Taehyung secara naluriah mencengkeram pangkal rambut Jeongguk tatkala belakang kepalanya membentur jendela mobil yang tertutup. Matanya separuh terbuka, keningnya mengernyit gelisah merasakan lidah Jeongguk yang menguasai isi mulutnya dimana-mana. Rasanya seperti ingin tersedak, dan napas Jeongguk berserta hisapan ganasnya di belah bibir bawahnya menjadikan Taehyung mati-matian menahan desahannya.

Bibir Taehyung tampak lebih merah dari sebelumnya, sudutnya sedikit membengkak dan sorot matanya yang setengah terbuka dengan alis mengerut dalam. Napas Taehyung terengah, kilatan dalam bola matanya gelap, dan Jeongguk bersumpah tak pernah melihat wajah yang lebih indah daripada bagaimana Kim Taehyung bersikap galak dan menatapnya begitu garang.

"There you go. Bersih seperti baru," Jeongguk tersenyum tuntas, menyeka sisa saliva dari sudut bibir Taehyung dengan ibu jarinya.

Kemudian Taehyung tak pernah mengingat pernah dicium dengan begini kacau, berantakan, amburadul—namun begitu intim dan menggairahkan. Namun tentu saja bukan itu yang keluar dari bibirnya. Pujian adalah ungkapan haram untuk seorang Jeon Jeongguk. Sehingga Taehyung menyeringai, tatapan matanya menghina. "Pick-up linemu adalah yang ternorak yang pernah kudengar seumur hidup," tuturnya berusaha mengatur respirasi masainya. "Kau pikir lidahmu semacam pembersih lantai? Astaga, membersihkan mulutmu yang kotor supaya bersih seperti baruwhat the hell, Jeon—" lagi-lagi Taehyung menyemburkan tawa. Ini tak bisa dipercaya, lebih lucu ketika Taehyung benar-benar mengucapkannya ketimbang hanya memikirkannya.

Ungkapan Taehyung membuat Jeongguk melipat bibirnya, pipinya bersemu dan Taehyung tak berbohong ketika ia berpikir itu sangat menggemaskan dan ia hampir saja kelepasan mencubit pipi adik kelasnya gemas. Akhirnya Jeongguk hanya berdecak, berlagak tak acuh, "Bukan. Lidahku pembersih kloset dan kau klosetnya," gerutunya. "Sekarang berhenti bertingkah seperti brengsek dan turun dari mobilku."

Taehyung menyahut, masih tertawa. "Aye aye, captain."

.

.

"Raise, dua ribu won,"

Lima pemuda yang duduk melingkar memelototi Taehyung dengan tatapan tak percaya. Sementara Namjoon, sebagai bandar, terkekeh terhibur sembari menaikkan taruhan Taehyung. Jimin berdecak keras sembari menggasak poni panjangnya frustasi. Ia menyambar kartu di hadapan Namjoon kemudian memincingkan matanya. "Fold, bangsat," Jimin membanting kartu di tangannya kasar. Taehyung terpingkal keras sekali, menjadikan Jimin semakin kesal. Kartunya bagus, omong-omong. Sepasang king hati dan wajik serta dua wajik dan sepuluh keriting. Tetapi kepercayaan diri sahabatnya membuat Jimin ragu. Sialan, umpatnya, pasti hanya menggertak.

Permainan terus berputar searah jarum jam, Jimin menyesap rokoknya beringas. Menyembulkan asapnya di udara sembari melirik kawannya yang masih tersenyum tenang. "Bro, jangan lupa kau belum membayar ongkos asrama. Jangan bunuh diri."

"Pecundang," Taehyung menyerapah ke arah Jimin, mengangkat botol alkoholnya tinggi lalu meminumnya rakus. Tatapan matanya separuh mabuk. "Hansol-ah, kau bagaimana?"

"Call," Hansol menyahut dengan logat inggisnya yang sempurna. Ia mendorong dua lembar seribu won ke bandar dengan enteng. "Jangan menangis melihat kartuku nanti, sunbae."

"Tapi serius, ronde barusan Taehyung dapat royal flush, dan itu—itu keberuntungan yang sangat tengik," Mingyu menambahkan. Meraih segelas likuornya lalu mengamati kartunya sekali lagi. "Jadikan itu enam ribu won, Namjoon," Mingyu tersenyum separuh seraya melemparkan selembar won kusut ke bandar. Matanya berkilat berbahaya. "Pikir baik-baik, Taehyung, kau tidak akan mau makan tisu toilet untuk seminggu kedepan," tukasnya menantang.

"Bajingan, fold, aku keluar, bangsat," Seokmin membanting kartunya. Mendengus merasakan tepukan Namjoon di pundaknya.

Namjoon tersenyum tipis, menatap adik sepupunya waspada. "Taehyung?"

"Match," Taehyung hanya mengedikkan bahu ringan. "Aku call."

Mingyu membuka kartunya, dan ia nyaris menjerit melihat kartu Hansol dengan ekspresi kalemnya. Sepasang sembilan dan lima, ditambah jack keriting. Seokmin tertawa keras, menghujat Mingyu dengan sebutan payah membuat pemuda itu menggeram kesal.

"Maaf," Taehyung meletakkan kartunya di atas lantai keramik, senyumnya lebih memuakkan daripada apapun dalam seminggu terakhir. Bagi pemain yang kalah. Tiga kartu tujuh, As sekop, dan dua sekop. "Aku menyayangi kalian, sungguh," ungkapnya palsu sembari menerima tumpukan won kusam dari Namjoon. Dibalas olokan malas dari kawan-kawannya.

Taehyung memang jago bermain Poker; dia tidak main-main setiap kali bermain Texas Hold'em atau Blackjack di Seven Luck dan seringkali dianggap sasaran empuk judi oleh om-om berbau seks dan alkohol. Hampir saja dirinya dipukuli begitu keluar kasino sebab menang terlalu banyak jika saja Namjoon tidak buru-buru menolongnya. Karena itu, permainan kecil seperti judi di belakang kampus tidak sesulit level yang biasa dihadapinya. Beberapa menit penuh dengan tawa keras dan suara nyaring gelas bir yang bertubrukan memenuhi ruangan, akhirnya ketiga adik kelas itu undur diri. Menyisakan Namjoon, Jimin, dan Taehyung yang harus repot merapikan beberapa kaleng alkohol dan serbuk puntung rokok yang berserakan.

"Jadi apa ini, kawan? Kau sudah tidak lagi takut bangkrut karena punya bank berjalan di ranjangmu sekarang?" Jimin menahan tawanya. Disusul oleh kekehan renyah Namjoon.

"Aku bukan parasit, sembarangan," Taehyung mendengus jengah.

"Bukan parasit tapi dia menjemputmu setiap hari ke kampus, yang bahkan jaraknya tidak sampai sepuluh menit jalan kaki? Dan membayarimu makan setiap akhir pekan?" Namjoon berkata mengejek, meniupkan asap tembakaunya kurang ajar ke arah adik sepupunya dan membuat Taehyung terbatuk kesal. "Makan, tuh, bukan parasit."

"Tidak, tapi, serius. Aku tidak paham dengan konsep pacaran kalian berdua," Jimin mengimbuh, "Kalian berpacaran supaya bisa saling menghina alat genital satu sama lain? Itu asik?"

"Bangsat," Taehyung mendesis, melempar Jimin dengan salah satu kaleng outlaw yang kosong. "Dikatai oleh sapi yang patuh sekali diseret kesana-kemari oleh pacarnya."

Jimin tertawa keras. "Heh, bajingan," tudingnya. "Kau tahu apa yang dikatakan Yoongi-hyung saat aku memintanya meninggalkan mobilnya di Daegu dan membiarkanku mengantarjemputnya ke kampus setiap hari?" Namjoon dan Taehyung menahan tawa, sebelah alis terangkat menanti. Jimin terdiam sesaat, sebelum membisik dengan seringainya yang lebar, "Park Jimin, camkan ini dalam otakmu yang dangkal. Hanya di satu tempat kau bebas mengontrolku sesuka hatimu. Jika kita tidak sedang berada di atas ranjang, jangan kau berani-berani, atau sekedar mencoba, untuk memberitahuku apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan," Jimin mendesis, "Lalu dia menarik dasiku dan berkata cium aku jika kau paham."

"Holy shit—"

Namjoon dan Taehyung nyaris melolong bersamaan.

Jimin menghisap rokoknya dalam-dalam, bola matanya berpendar di bawah cahaya temaram dan ia menggeram tertahan. "Kau tidak akan menemukan kekasih buas sepanas Yoongi-hyung dimanapun, dudes, aku berani bertaruh."

.

.

Tidak terlalu banyak yang berubah dari keseharian Taehyung maupun Jeongguk setelah itu. Sesekali Jeongguk masih menjemput Taehyung ke kampus, tetapi pemuda itu seringkali pula berangkat sendiri sebab ada kepentingan khusus. Taehyung itu social butterfly; bersosialisasi adalah segalanya baginya. Ia juga banyak berhubungan intensif dengan para dosen bahkan rektor untuk setiap pengajuan proposal kegiatan komunitas kecilnya. Belum lagi sebagai pemandu kampus. Ia harus selalu siap sedia setiap kali Yoongi menghubunginya untuk membantu departemen admisi. Hidupnya tidak hanya soal memandu anak baru, tapi juga menjadi staf serba-serbi yang membantu jalannya rekrutmen mahasiswa pascasarjana. Tidak berbeda jauh dengan Jeongguk. Mahasiswa fakultas sains itu selalu sibuk dengan tugas-tugas dan prakteknya, belum lagi proyek rekamannya walau secara literal ia masih vakum. Jeongguk serius dengan keinginannya untuk mengajukan diri sebagai relawan di klinik dekat kampus. Karena itu ia harus mengurus berkasnya dan sibuk bolak-balik ke Kesiswaan supaya referensinya turun.

"Jika Yoongi tahu, dia akan membunuhmu."

Taehyung menghembuskan napas pendek. "Jangan sampai iblis kejam itu tahu, demi Tuhan."

"Astaga, jangan berlebihan. Yoongi tidak semengerikan itu," Hoseok menanggapi sambil tertawa.

"Mm, berarti kau belum pernah dimarahi Yoongi-hyung," Taehyung membela diri. Jemarinya menekan wireless mouse yang terhubung dengan laptop Hoseok. Berdecak ketika warna templatenya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. "Hyung, aku ingin rubrikku bergeradasi biru langit, bagaimana cara memperbaiki ini?" tanyanya terlihat kesal. "Dan punya bocah itu hitam gelap saja. Yang paling gelap. Warna hitam brengsek, semacam itu."

Sembari tertawa geli, Hoseok melangkah dari balik tubuhnya. Menyerahkan kaleng Milkis rasa mangga ke pipi kanan Taehyung dan membuat empunya mengaduh kaget. Taehyung menerima dengan terima kasih bersemangat, membiarkan tubuh tinggi Hoseok menaunginya dari belakang dengan kedua tangan jenjang di sisinya. Mengambil alih mouse dari tangan Taehyung, napasnya berbenturan dengan sisi wajah Taehyung.

"Apa-apaan warna hitam brengsek? Dan yang kau sebut bocah itu pacarmu, Tae," Hoseok lagi-lagi terkekeh renyah. Kim Taehyung di kantornya dengan kasual, hal biasa. Bahkan Hoseok mengizinkan Taehyung mengedit layout rubriknya sendiri sesuai keinginannya. Mengotak-atik konten interview singkatnya bahkan beberapa detil dekorasinya. Meskipun Hoseok berkata bahwa ia hanya akan menjadikannya salah satu pertimbangan, tidak bisa menjanjikan bahwa desain Taehyung akan sungguh-sungguh menjadi apa yang terbit di majalah interim tim persnya nanti. Well, Hoseok tidak tahan untuk memanjakan Taehyung. Anak itu spesial baginya, one way or another. "Jika misalkan kabar kau berpacaran dengan Jeongguk sampai ke telinga Yoongi, pokoknya itu bukan aku, oke? Manusia itu punya banyak mata-mata. Kau tak akan percaya."

Taehyung membuka kalengnya, menyesap Milkisnya sedikit. "Aku kenal kau, Hyung. Kau selalu melindungiku, yeah? Seperti kakakku sendiri," tatapan dan senyuman Taehyung main-main, menggemaskan di mata Hoseok walau piercing dan labret di wajah pemuda itu sekilas membuatnya tampak sulit didekati dan menakutkan. "Lagipula hubunganku dengan bocah itu hanya permainan. Challenge. Kami berdua tidak pernah serius."

Sekejap Hoseok teringat ucapan Jeongguk saat pertama kali mereka berbincang di kantornya entah berapa bulan lalu. Mendadak merasa bersalah mengingat bagaimana dirinya secara implisit menantang Jeongguk untuk masuk ke celana Taehyung sebab Taehyung luar biasa populer dan Jeongguk juga luar biasa apabila bisa menidurinya setelah impresi buruk yang dibuatnya. Hoseok menerka-nerka apakah Jeongguk serius dengan ucapannya dulu, dan apakah pemuda itu hanya bermain-main dengan Taehyung terlalu jauh hanya demi mampu membuktikan pada Hoseok superioritasnya. Hoseok mengenal Jeongguk semenjak pemuda itu belum mengenal seni tarik suara, mengenal pemuda itu ketika wajahnya masih polos dan inosen seperti bayi; dan Hoseok selalu tahu apabila Jeon Jeongguk dengan kekalahan tidak berpadu padan dengan baik.

Hoseok menelan ludah, menggerakkan mousenya seksama. "Kau menyukainya?"

"Tidak," jawaban itu cepat dan santai, dibarengi tegukan rakus Milkisnya hingga habis. "Tapi kuakui wajahnya menarik, ciumannya oke," ungkapan frontal Taehyung hampir membuat Hoseok tersedak. "Ototnya seksi."

"Wow, terlalu banyak informasi," Hoseok terkekeh sumbang, gelagatnya canggung. "Sudah pernah, uh, kau tahu—"

"Seks?" Taehyung menyela dengan tawa mengambang, nada bicaranya benar-benar tak berdosa dibandingkan makna dari setiap pernyataan kotornya. "Nope." Taehyung memincing melihat hasil desain Hoseok, meringis. "Hyung, mungkin kau ingin menghilangkan beberapa ornamennya. Itu seperti majalahku saat masih sekolah dasar."

"O-oh, oke, shit, kau benar," Hoseok membenahi gelagapan. "Hei, omong-omong," membicarakan soal hubungan Jeongguk dengan Taehyung entah kenapa membuatnya merasa bersalah, karena itu Hoseok segera mengganti topiknya. "Kau datang ke pestaku Minggu depan? Kau tahu, karena karir tim kami tidak pernah sebaik sebelum kau dan Jeongguk menjadi cover majalah kami? Kau bintang utamanya, bung, aku akan menyeretmu bagaimanapun caranya."

Taehyung hanya berdengung.

"Itu artinya bocah itu juga datang?"

.

.

Hingar bingar lampu warna-warni yang berkelap-kelip, wangi parfum mahal dan sampo yang semerbak di segala penjuru. Pesta itu tidak didatangi oleh banyak orang, mungkin hanya dua puluh lima orang, paling banyak. Taehyung datang bersama Jimin, disambut oleh Hoseok dengan suka cita dan pelukan hangat serta segelas sampanye. Yoongi berada di pojok ruangan, berbicara dengan beberapa wanita seperti eksekutif profesional. Mereka bergabung dengan cepat, membiarkan Jimin tiba-tiba duduk di tengah Yoongi dan gadis sastra Inggris dengan rambut bergelombang menarik dan merangkul pinggang Yoongi rapat. Taehyung hanya memutar bola mata melihat gelagat posesif kawannya. Segera terdistraksi ketika sesosok gadis berkulit tan eksotis duduk di sebelahnya dan mengajaknya menari.

Taehyung memiringkan kepalanya dengan senyum atraktif, "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya, Nona—?"

Gadis itu tertawa malu-malu, bulu matanya panjang mengerdip cantik. "Sarah Wang," jawabnya. "Dan kita tidak pernah bertemu sebelumnya, jangan cemas."

"Bagus," Taehyung mengangguk mantap, menggenggam pinggang wanita itu lebih erat dari sebelumnya. "Karena aku tidak akan mungkin melupakan wajah gadis semanis kau jika memang kita pernah berjumpa sebelumnya," senyuman itu mematikan, wajahnya mendekat seraya membisik memabukkan. "Oh ya, namaku—"

"Kim Taehyung," gadis itu menyela, pipinya merah sekali dan ia tersenyum lebar. "Semua orang mengenal kau, Tampan. Pakaianmu keren, aku suka," mata Sarah menelisik ke tubuh tinggi Taehyung dari atas ke bawah, lekukan bibirnya nakal. Ujung-ujung jemarinya yang lentik dan bercat kuku merah menyala mengetuk dada Taehyung penuh implikasi.

"Oh, ya? Mau tahu kemejaku terbuat dari bahan apa?" intonasi dalam bicara Taehyung merendah, sorot matanya mengekang pupil gadis itu hingga terkunci. Taehyung menarik kerah Saint Laurentnya sendiri lalu tersenyum, "100% made of boyfriend material, Nona. Dan aku yakin kau akan lebih tertarik apa yang ada di bawah kemejanya."

Sarah tertawa, memukul dada Taehyung pura-pura sebal. Semburat tebal pada kulit putihnya membuat wajahnya semakin cantik. "Astaga, kau lancar sekali menggombal," katanya selagi mencebik lucu. "Uh, apa kau pergi dengan seseorang setelah i—"

"Taehyung pulang denganku,"

Bola mata Sarah membesar, mendongak melihat siapa yang berdiri di balik punggung Taehyung.

"Maaf, Taehyung pulang denganku." Satu kali lagi.

Suara nyaris menggeram yang sangat familiar itu tiba-tiba menginterupsi, remasan kencang menarik Taehyung melangkah mundur membuatnya mengaduh reflek. Taehyung hanya berdecak jengah ketika menyadari siapa pemuda yang merangkul pundaknya akrab, memutar bola matanya sebal saat Jeongguk dengan sopan menunduk pada Sarah dan pamit untuk menyingkir. Sesungguhnya ia ingin meronta, tetapi ia teringat dengan Hoseok. Taehyung berhutang banyak pada Hoseok, dan ia sungguh-sungguh bajingan jika tega merusak pesta kesuksesan pemuda itu.

Taehyung dengan kasual memesan sebotol alkohol pada lelaki di konter, menghembuskan napas bosan. Mengabaikan bagaimana Jeongguk meneliti posturnya dari atas sampai bawah dengan tatapan tidak suka.

"Pikirmu apa yang kau lakukan, brengsek?" Jeongguk mendesis mencekam. Rahangnya mengeras.

"Aku?" Taehyung bertanya tanpa dosa. "Aku teraniaya oleh manusia sial yang menghalangiku memenuhi kebutuhan hormonku, memang apa lagi?" balasnya tak gentar. Menggumamkan terima kasih pada sang bartender lalu meraih sebuah gelas di sisinya. "Bangsat, Sarah tipeku. Dari puncak kepala sampai ujung kaki."

"Kenapa?" pertanyaan Jeongguk terdengar seperti frustasi. Wajahnya mengerut protes sembari mencekal pergelangan kakak kelasnya renggang. Ia merasa bodoh bertingkah seperti ini. "Kau playboy bajingan atau memang jalang kampus yang bersedia tidur dengan siapa saja? Atau kau otak udang yang bahkan tak bisa mengingat jika aku, pacarmu? Atau kau hanya balita idiot yang tidak tahu bagaimana sebenarnya pacaran itu bekerja?"

Taehyung mengeryit. "Wah, ofensif, koboi. Kau butuh saringan baru untuk mulut kurang ajarmu. Barusan kelewatan," ujarnya dengan helaan napas tipis. Dengan berhati-hati, ia menuangkan birnya hingga seperempat mug. "Jeon Jeongguk, anak tunggal. Ayahmu terkadang terlalu rasional; awal kau ingin terjun ke dunia hiburan, dia pasti melarangmu. Kau anak baik, yang selalu berusaha membuat orang tuamu bangga, tetapi kau juga suka menyanyi. Lalu kau diam-diam pergi ke berbagai label, mengirim banyak sekali lamaran, mengikuti audisi, dan di sinilah kau. Popstar terkenal, tetapi vakum karena ingin membuktikan pada ayahmu jika kau bisa menghidupi ekspektasinya sembari meraih cita-citamu." Taehyung tersenyum tipis, mengamati wajah Jeongguk yang seperti kebingungan. "Katakan padaku, apa aku benar?"

Sesaat, Jeongguk terdiam. Tidak mengerti kemana arah pembicaraan kakak kelasnya. Namun ia tahu Taehyung selalu suka tantangan—permainan. Sebab itu ia mengikuti arusnya.

"Ibuku," Jeongguk berkata. "Semua itu benar. Tapi bukan ayahku. Itu ibuku."

"Ah, sial," Taehyung terkekeh pada dirinya sendiri. Ia kemudian meraih birnya dan meminumnya habis, menjadikan Jeongguk semakin mengernyitkan kening. Pemuda bersurai oranye itu menuangkan kembali birnya pada takaran yang sama. "Jeon Jeongguk, kau tidak masalah bercinta dengan laki-laki atau perempuan, asal mereka sesuai tipemu. Kau jenis orang yang tidak pernah ditolak, karena itu kau begini terobsesi padaku. Kau harus menaklukkanku untuk ego raksasamu. Sebab tidak ada yang pernah menyebutmu gampangan sepertiku, tidak ada yang membuatmu sangat marah sepertiku, tidak ada yang lebih ingin kau lihat menangis di bawahmu melebihiku." Taehyung mengedikkan dagunya, alisnya terangkat dengan senyuman tuntas. "Aku benar?"

Jeongguk tertawa. "Benar."

"Kalau begitu minum, bedebah," Taehyung mendorong mugnya mendekati Jeongguk, kerlingan di matanya menantang. Jeongguk meraih gelasnya ragu-ragu, membutuhkan penjelasan. Taehyung kembali berucap. "Begitu permainannya, Tuan Popstar. Aku salah, aku minum. Aku benar, kau yang minum."

"Oh," mata Jeongguk membulat paham. Ia lalu menempelkan mulut gelas ke bibirnya dan menegaknya hingga kosong. Kemudian mengisinya kembali hingga seperempat.

Taehyung menyandarkan kepalanya di sebelah tangannya, menjilat bibir bawahnya seraya menyusuri sosok adik kelasnya secara teliti. "Jeon Jeongguk, kau—"

"Aku ingin melakukannya," Jeongguk memotong. Sejenak Taehyung mengatupkan bibirnya terkejut, namun kemudian wajahnya melunak dan ia mengedikkan bahu. Silakan. Jeongguk menghela napas hati-hati, obsidiannya tajam mengamati paras Taehyung yang tampak terhibur. "Kim Taehyung," ucapnya fasih. Menemukan senyuman memuakkan di lekuk bibir kakak kelasnya yang membuatnya menggeritkan gigi. "Kau jenis yang berbulat tekad dengan segala yang kau lakukan, kau selalu serius dengan ketertarikanmu dan masa bodoh dengan komentar orang lain. Kau akan marah ketika orang lain menghina apa yang kau sukai, karena itu kau lebih marah sebab aku mengolok keahlian guidingmu ketimbang aku yang melecehkanmu di hari pertama kita bertemu," sudut bibir Jeongguk terangkat, sejenak tampak menawan dan mengerikan secara bersamaan. "Benar atau salah?"

Tidak langsung menjawab, Taehyung tergelak rendah. Ia meraih mug berisi birnya, mendekatkannya ke bibirnya dengan sorot mencemooh ke arah Jeongguk. "Nah," ucapnya. Lalu mengulurkannya pada pemuda di hadapannya. "Kau yang minum."

Jeongguk menyipitkan matanya. "Aku salah?" bisiknya separuh memekik, protes. "Hei, bagaimana bisa aku tahu kau mengatakan hal yang jujur? Bangsat sepertimu selalu curang."

"Minum," Taehyung berdecak, taringnya menggeratak. "Aku lebih marah saat kau melecehkanku, bajingan, yang benar saja," dengusnya. Bulu kuduknya sedikit berdiri saat menyaksikan Jeongguk menyambar mugnya beringas lalu meminum bir dengan sorotnya yang tampak murka. Amarah menarik sekali, apalagi di pahatan wajah tegas seperti Jeongguk.

"Jeon Jeongguk," Taehyung mengeja. "Jika kau sudah berkata akan melakukannya, kau akan sungguh-sungguh melakukannya. Bahkan kau suka melampaui ekspektasi orang lain. Kau suka memberi kejutan, kau senang menjadi tak tertebak. Kau memiliki skedul diet, dan kau sangat patuh dengan ahli gizimu sebab tubuh dan wajahmu adalah segalanya. Tetapi jika soal workout, itu memang hobimu. Butuh atau tidak butuh, diperintah atau tidak, kau akan tetap melakukannya. Karena kau gila dengan hidup sehat, dan kau suka imej yang kau bentuk di layar media," Taehyung menuangkan bir di mug gelasnya dengan lamban. "Rahasia kecil. Kau berharap dengan semua itu, ibumu akan berhenti memperlakukanmu seperti anak-anak yang butuh digandeng saat menyebrang, anak-anak yang selalu harus dilindungi, hell, kau sudah dewasa," lalu sebelah alis Taehyung terangkat pongah, melanjutkan. "Tentu saja kau tak pernah mengakui semua itu secara verbal."

Tidak ada jawaban. Jeongguk hanya menatap bola mata Taehyung dengan intens, sorotnya sama sekali tak bersahabat. Hening cukup lama ketika bola mata keduanya bersirobok saling mengonsumsi. Jemarinya dengan telak mencengkeram daun gelas tersebut, lalu menggelegak muatan birnya sebelum membanting alasnya cukup keras dan membuat Taehyung menyeringai senang.

"Giliranku," Jeongguk nyaris mengaum. Kilatan di hazel Taehyung menyala lebih terang dari sepanjang malam sebelumnya. Mug kembali terisi. "Kau pernah menerima blowjob semi-publik di toilet kampus. Dari laki-laki. Dan kau menyukainya."

Bola mata Taehyung menyalang sekelebat sebelum dirinya terkekeh kecil. Ujung telunjuknya menyentuh melingkar di mulut gelas, seperti menggoda. Jeongguk terus mengamati setiap pergerakan pemuda di hadapannya nyaris tanpa berkedip. Seolah menanti kelengahan sesosok predator untuk menikamnya sebelum dirinya yang tergigit lebih dahulu apabila tidak cukup waspada. Taehyung lalu meraih gelasnya, mengangkat kemudian meminum birnya, gerakannya lambannya menyiksa. Sekalipun tak mematahkan kontak matanya dengan Jeongguk.

Jeongguk menahan napas, matanya melebar tak percaya, "You kinky little shit—"

"Kau hanya iri karena bukan kau yang memberiku blowjob di toilet kampus," Taehyung menyahut tak peduli. "Sekarang kau atau aku?"

Kilatan dalam bola mata Jeongguk semakin mengeruh. "Aku." Dan Taehyung menyeringai.

.

Taehyung tidak tahu bagaimana bisa segalanya berakhir seperti ini. Entah berapa ronde bermain dengan Jeongguk, pemuda itu akhirnya pergi ke kamar kecil. Taehyung memanfaatkan kesempatan itu untuk kembali ke kerumunan Jimin, sesaat bermain truth or dare dengan botol alkohol yang kosong dan tertawa-tawa seperti tak ada hari esok. Sebelum tiba-tiba Jeongguk menariknya dari belakang kemudian menyeretnya paksa untuk pulang. Buru-buru pamit kepada Hoseok dan begitu benar-benar sadar, ia sudah ada di bangku penumpang. Punggungnya menghempas jok dengan napas Jeongguk begitu sensual menerpa wajahnya.

"Hei, bro, kau mabuk berat," Taehyung tertawa tersendat dengan napasnya yang memburu. Posisinya terjepit sekujur tubuh Jeongguk yang kokoh, menggigit bibir bawahnya frustasi saat pemuda itu menyeretkan ciuman di garis rahangnya. "Jeongguk, hei, dude, jangan begini, kau hanya mabuk, yeah?" jantungnya berdegup kencang, tangannya mencengkeram kedua bahu Jeongguk berusaha sedikit mendorongnya. Namun pemuda itu tidak bergeming. Jilatannya merangsek ke telinga dan Taehyung merutuk pada sensor tubuhnya yang menjadi jauh lebih sensitif ketika alkohol menyelubungi akal sehatnya. Ia mendesis tertahan, "Bangsat—"

"Ini apa?" Jeongguk menggeram merasuki tepat di gendangnya, menggigiti daun telinganya halus sebelum menyesap kulitnya sekuat tenaga. Umpatan tanpa jeda terus terucap dari bibir Taehyung seiring matanya yang berair karena efek minuman keras. Ia bahkan tak menyadari semenjak kapan Jeongguk merogoh kantung celana jins belelnya dan mengeluarkan bungkusan bening kecil yang baru saja didapatnya dari Minwon. Pandangan matanya mengabur.

Taehyung memaksakan tawa, mengenali benda di tangan Jeongguk. "Marijuana?" jawabnya enteng. Ia hanya terpejam dan mendesis tatkala gigi Jeongguk turun ke area lehernya. "Hanya dengan mengendusnya sedikit, kau di angkasa," katanya separuh mabuk. Matanya terbuka dan terpejam seperti mengantuk. Sesekali Taehyung memang pernah menjajal obat-obatan, karena setiap pesta ujungnya pasti sama. Mabuk, drug, dan seks. Tetapi ia cukup waras untuk membiarkan dirinya tercandu. Taehyung hanya menggunakan kokain sesekali untuk variasi bercinta. Tidak ada yang lain.

"Fucking junkie," Jeongguk menghujat sembari melempar kantung berisi serbuk tersebut sembarangan ke bangku depan. "Kau dengarkan aku, yeah? Jangan pakai serbuk laknat itu lagi. Kau tidak perlu marijuana untuk melihat angkasa, Taehyung," lidah Jeongguk menyapu bibirnya dan Taehyung menajam, tatapan matanya buram ketika merasakan kulit yang asing meraba dari bawah kemeja hingga kaus dalamnya. Serapah keluar dari mulutnya dan Jeongguk menangkap bibir pemuda di bawahnya dengan gerakan tangkas dan belaian lidah yang membuai. Suara berat Taehyung tertelan ke kerongkongannya, antara protesan dan rengekan erotis yang membuat Jeongguk ingin menyesap habis saliva di mulut kakak kelasnya hingga kering seutuhnya. Bahkan wajah maskulinnya tampak luar biasa mengundang gairahnya tatkala menatapnya seperti murka dan penuh keringat terbawa oleh nafsu. "Aku bisa menunjukkanmu angkasa dengan seperti ini," kemudian Jeongguk sama sekali tak bisa menahan lidahnya untuk berkata, "—kau indah sekali, hyung—"

Ungkapan itu tidak mungkin keluar apabila Jeongguk sedang dalam kondisi sober, tetapi saat ini tidak ada yang mempedulikannya. Taehyung menarik napas gemetar, menggusak bibirnya yang basah dengan punggung tangannya kasar. Ia terlalu curam di bawah pengaruh alkohol, sehingga ia hanya tertawa ketika Jeongguk melepaskan sabuk celananya dengan terburu.

"Kau mau apa, bocah?" pelupuknya separuh terbuka, menelisik dengan tatapan mengejek ke bola mata pemuda di area bawah tubuhnya. Seperti kelelahan.

Jeongguk mengangkat sebelah alis, poninya yang basah karena keringat menempel di keningnya tampak luar biasa maskulin. Seringainya memabukkan. "Menurutmu?" kemudian Jeongguk bergerak teratur untuk mengecupi perut Taehyung yang terekspos dengan ciuman sehalus kupu-kupu. Menikmati otot-otot perut Taehyung yang seketika mengencang atas rangsangan mendadaknya beserta warna tan merata dari permukaan kulit Taehyung yang sekilas membuat Jeongguk iri. Mantera bangsatbangsatbangsat dalam geraman Taehyung terus terlantun tanpa henti, menjadikan Jeongguk abai atas hantaman tumit kakak kelasnya yang membuat punggungnya nyeri. Pemuda berambut kelam itu mendongakkan wajah sekali lagi, tersenyum tuntas. "Bagaimana'hendak membawamu melihat angkasa' kedengarannya?"

Lagi-lagi Taehyung terkekeh mencemooh. "Kau pencipta pick-up line terburuk sepanjang sejarah," cercanya menggeritkan gigi, terengah-engah ketika Jeongguk berhasil melepas celananya dalam proses. "—you're such a fucking turnoff—" Taehyung mencela susah payah, menahan pekikan terangsangnya saat bibir Jeongguk begitu dekat dengan bagian tubuhnya yang menegang. Jemarinya entah sejak kapan meremas helai kelam Jeongguk, tersengal.

"Mm," Jeongguk hanya menggeranyam. "Diamlah dan berhenti menjadi brengsek."

Taehyung menjambak rambut Jeongguk membuat pemuda itu mendongak, merintih kesakitan dengan sorotnya yang penuh amarah, "Apa ini? Kupikir kau terlalu gengsi untuk memberikan orang lain blowjob? Kau popstar keren dan populer, semua orang memujamu, kau terlalu sombong untuk memberi blowjob, Guk, akui saja."

Jeongguk menggeratakkan gerahamnya, ia menggeser posisi Taehyung sehingga pemuda itu sedikit lebih tegak menyandar ke sisi mobil, mempermudah aksesnya. Mata Taehyung separuh menutup, mulutnya terbuka menarik napas berantakan. Mati-matian ia menahan geramannya ketika seisi mulut Jeongguk yang luar biasa panas menyelubunginya, kepalanya berkunang-kunang, dan kewarasannya menghambur entah kemana. Taehyung bersumpah ia tak pernah melihat sesuatu yang lebih sensual dibandingkan bagaimana wajah angkuh Jeongguk separuh berlutut di hadapannya, bulu mata panjangnya yang mengerjap penat dan sudut matanya yang berair karena berusaha menghisapnya terlalu dalam.

Geraman dari geritan gigi Taehyung terlepas, meluap oleh gairah, "Bangsat, Guk, kau melakukan ini dengan baik—fuck, kau sangat sangat baik untukku, yeah? Anak baik milikku," Taehyung menarik napas terkesirap, inderanya menuli ketika merasakan Jeongguk merengek dalam kulumannya, mengantarkan setrum mematikan dari getaran mulutnya ke sekujur tubuh Taehyung yang terlanjur terlalu panas. "Hei, pikirkan baik-baik, babe, kau ingin menyanyi dengan suaramu yang serak karena menerimaku terlalu dalam? Mengatakan pada Seokjin-hyung kau kena flu padahal kau melakukan ini? Sucking me off so damn good?" kepala Taehyung menghentak ke jendela mobil dan matanya terpejam kuat oleh kenikmatan yang sulit dilukiskan. Desahannya dalam dan berat; klimaksnya begitu dekat, dan ia gila. Ucapannya memberikan pengaruh luar biasa pada Jeongguk, dan ia bisa merasakannya. Bagaimana pemuda itu mempercepat temponya, geraman tertahannya, sentuhan giginya, bahkan remasan tangannya.

Awan-awan Porsche Jeongguk yang sempit seketika terasa menyesakkan, bahkan pendingin yang menyala sama sekali tak mampu memadamkan gejolak yang menyulut nafsu keduanya. Keringat membanjiri pelipis keduanya, umpatan putus-putus dan suara tersedak halus menggema di setiap sudut menjadikan nalar keduanya melompong. Sisa euforia high ketika mabuk disertai kebutuhan yang meledak-ledak menjadikan Taehyung seolah menyaksikan gugus bintang meletus dalam khayalnya. Sekali lagi ia mencengkeram surai Jeongguk kuat, memberikan peringatan bahwa ia akan lepas.

Namun pemuda itu hanya menaikkan sebelah alis seolah menanti, seakan-akan wajar apabila Taehyung melepaskannya begitu saja dalam mulutnya. Rangsangan itu terlalu banyak bagi reaksi tubuhnya yang tengah sensitif; maka ketika orgasme itu menghantam logikanya, Taehyung nyaris menggeram panjang penuh serapah terkotor sebab Jeongguk hanya menelan semuanya begitu saja dengan kasual. Menyisakan Taehyung yang gelagapan mencari ritme napasnya kembali dan matanya yang terpejam-terbuka dengan lemas.

Jeongguk bangkit dari posisinya, menarik dagu Taehyung dan mengecup bibirnya ringkas. Kerlingannya menggoda saat berujar. "Melihat angkasanya, Sayang?"

Suara Jeongguk serak, putus-putus, dan Taehyung membual jika ia tidak berkata jika itu terdengar seksi. Bibirnya bengkak dan memerah, rambutnya berantakan karena Taehyung meremasnya terlalu kencang. Taehyung terkekeh, membenturkan bibirnya kembali pada milik Jeongguk sehingga keduanya saling bergelut lidah dengan cara yang teramat intim. Taehyung membisik, "Itu yang kau sebut angkasa, Jeonggukie?" jemarinya gesit meraih sabuk celana Jeongguk, melucutinya tergesa sembari terus menghujani wajah Jeongguk dengan ciuman.

"Bersandar dan jangan lakukan apapun," Taehyung beringsut hingga nyaris berlutut. Menarik risleting jins hitam Jeongguk dengan gigi taringnya, seringainya teramat liar membuat pandangan Jeongguk menggelap oleh gairah. "Kutunjukkan padamu apa itu angkasa."

Dan malam itu berlangsung lebih lama daripada bagaimana Jeongguk maupun Taehyung mengantisipasinya. Keduanya sekali lagi terbakar dalam ekstasi; candu akan sentuhan satu sama lain dan Taehyung membalas jasa Jeongguk dengan memagutkan lidahnya begitu andal sehingga Jeongguk terus mengumpat atas kenikmatannya. Mencengkeram surai oranye Taehyung sembari tersengal berkata kubunuh kau jika berhenti dan susah payah menjaga matanya untuk terus terbuka. Jeongguk ingin merekam pemandangan ini tanpa cela; sebab Taehyung tampak luar biasa cantik di bawahnya, melumatnya dengan seringai lebarnya dan menelannya habis tanpa sisa. Bahkan ketika pemuda itu setengah terbatuk lalu mengerang terbungkam karena Jeongguk bergerak dan membuat Taehyung terkejut. Jeongguk bersumpah tak pernah melihat setan seindah Taehyung sebelumnya dalam garis kehidupannya yang manapun.

Kemudian ketika separuh mabuk Jeongguk mengemudi pulang, ia berujar ragu-ragu. "Uh, Hyung? Ke apartemenku, oke? Kau boleh tidur di ranjangku, aku bersumpah akan tidur di sofa. Kau bisa kunci kamarnya."

Taehyung tertawa setengah mengantuk. "Jangan sok malu-malu setelah apa yang kau lakukan pada mulutku. Kau lihat? Bengkak," Taehyung menunjuk pada sudut bibirnya yang perih akibat kegiatan mereka sebelumnya. Berlagak mencebik. "Bercanda, kau ambil ranjangnya, aku oke di sofa." Jeongguk sudah hendak membuka mulutnya untuk menyangkal, namun Taehyung segera menimpali. "Aku di sofa atau pulangkan aku ke rumah Hoseok-hyung."

"Oh, sofa, oke," Jeongguk mengangguk kikuk, dan lagi-lagi Taehyung tergelak geli. Rasanya kepalanya berat, tetapi Jeongguk tidak bisa berhenti mencuri pandangan ke pemuda di sampingnya yang sudah dalam posisi tidurnya. Jok yang ditarik ke belakang, dua kaki mengangkat di atas dasbor, kedua tangan terlipat, dan kepala yang menyandar di sisi mobil, lalu mata hampir tertutup. Jeongguk bersumpah tak akan mengizinkan manusia lain memperlakukan Porschenya begini kurang ajar selain Kim Taehyung orangnya.

Jeongguk berdeham kecil, "Taehyung,"

"Mm."

"Aku serius soal jangan memakai ganja lagi, obat-obatan apapun, oke? Maksudku—aku tidak masalah dengan kau yang merokok dan minum alkohol, tapi drugstidak . Kau serius membuatku panik di pesta tadi, jangan lakukan lagi, yeah?" entah mungkin karena akal sehatnya yang masih ternodai efek minuman keras atau dirinya yang semakin pusing, Jeongguk mengatakannya dengan penuh kecemasan.

"Aye," Taehyung menjawab tanpa bergeming. "Aku tidak akan mengajakmu seks memakai kokain."

"Ini bukan soal aku, Taehyung," Jeongguk menggigit bibir bawahnya. "Maksudku—kau. Secara umum. Ini bukan masalah seks, Hyung, bukan juga soal aku yang terganggu denganmu yang mengonsumsi marijuana. Aku tidak ingin kau terlanjur ketergantungan dan bertingkah tidak rasional seperti para pecandu di luar sana. Kita bersenang-senang dengan cara lain, yeah? Akuarium, mungkin. Makanan mahal atau bermain petasan. Aku—"

Aku peduli padamu—sudah tercekat di kerongkongannya. Namun Jeongguk segera mempererat genggaman pada setirnya dan menggeleng kecil. Ia menjilat lidahnya sebelum akhirnya berucap, "—aku hanya kasihan pada orang tuamu yang membiayai kuliahmu di Hanyeong. Itu saja."

Hening cukup lama, dan Jeongguk melirik. "Hyung?" panggilnya. Namun tak ada sahutan. "Hyung, jangan bilang kau sudah tidur?" selidiknya sekali lagi. Jeongguk mengawasi wajah damai Taehyung yang terpejam dengan mulutnya yang mengatup rapat, poni oranyenya menutupi wajahnya dan Jeongguk menggerutu soal kurang ajar tertidur di saat dirinya belum selesai bicara. Akan tetapi tetap tidak ada reaksi dari Taehyung. Napasnya teratur dan pundaknya naik turun ritmis mengikuti respirasinya.

Akhirnya Jeongguk mendengus, "Aish, kapan sih kau tidak brengsek."

Akan tetapi Taehyung belum kehilangan kesadarannya ketika Jeongguk tanpa suara melepaskan jaketnya sendiri kemudian menyelimutinya ke atas tubuhnya saat lampu lalu lintas menandakan mobilnya untuk berhenti. Sangat berhati-hati seolah takut membuatnya terbangun. Jemari Jeongguk yang menyeka poni panjangnya yang mengganggu, kemudian bisikan lirihnya saat tersenyum. "Bagaimana bisa wajahmu begini saat sedang tidur?" lalu sekali lagi menyingkirkan poninya dan tertawa kecil. "Lucu."

Kemudian keesokan harinya Taehyung terbangun di atas ranjang mewah, terhangatkan oleh bed cover dan bantal tinggi. Tak bisa sedikitpun menahan debaran jantungnya tatkala keluar kamar dan menemukan Jeongguk terlelap di ruang tengah, tergulung dalam selimut tebal di atas sofa dengan layar televisi yang masih menyala menayangkan siaran pagi.

.

.

"Dia bilang ingin jadi pacarku, lalu aku bilang oke, begitu."

"Dan kau tidak berpikir aku perlu tahu soal itu, hm?"

"Tidak," Taehyung membuang tatapan matanya. "Kau seram."

Yoongi memijat pangkal hidungnya sembari menarik napas panjang berusaha sabar. Ia memejamkan matanya beberapa saat sebelum kembali menatap ke arah Taehyung, "Lalu apa yang terjadi dengan adik kelas Yoongi-hyung yang bajingan dan aku benci karena dia selalu main perkosa-perkosaan denganku, hm?" intonasi bicara halus Yoongi sekilas terdengar tenang, namun Taehyung terlalu lama mengenal Yoongi sehingga semua itu justru menjadikannya semakin merinding. Yoongi yang kalem terkadang lebih mencekam ketimbang Yoongi yang membentak.

Taehyung mengedikkan bahu tak acuh. "Kami tidak serius soal berpacaran," ungkapnya tanpa berani menatap bola mata Yoongi. Mendadak keramik dan tali sneakersnya tampak lebih menarik dari apapun di muka bumi. "Jangan marah, Hyung—sumpah, aku takut," Taehyung menggerutu jujur. Yoongi memang sering memanggilnya ke kantor setiap kali ada masalah, tetapi tidak pernah di tengah jam kuliah. Karena itu ketika tiba-tiba Yoongi mengetuk pintu ruangannya dan memanggilnya, tanpa tersenyum, Taehyung benar-benar merasa jantungnya karam sampai ke ujung tumit. Matanya yang semula tidak bisa terbuka karena mengantuk, kini bulat sempurna seperti bola bowling.

Tak ada jawaban seketika dari Yoongi. Pemuda itu hanya menopangkan tubuhnya ke depan sembari menautkan jemari kedua tangannya, pandangannya turun seperti berpikir keras. Taehyung menggigit labretnya berdebar. Entah apa ini, pasti bukan kabar baik.

"Taehyung,"

Takut-takut, Taehyung mengangkat wajahnya.

"Seragammu," Yoongi berujar dengan sekali hembus napas, matanya menatap serius ke arah Taehyung, namun juga bercampur sekeruh iba. "Besok bawa seragam ambassador Hanyeongmu kemari dan titipkan padaku … oke? Kau—lain kali kau bisa mengambilnya lagi."

Bola mata bening Taehyung menyalang, parasnya yang semula waspada kini berubah menjadi kernyitan tak mengerti. Gerahamnya saling bergesekan, tangan di sisi tubuhnya menggenggam sekuat tenaga. "Apa maksudnya?" desisnya gemetar. "Kenapa aku harus menitipkan seragamku padamu?" Taehyung mendesak, tanpa sadar maju satu langkah dari posisinya mendekati Yoongi.

Yoongi menjilat bibir bawahnya, kemudian ia berujar. "Kau berhenti, Taehyung, tolong buat ini mudah bagiku—aku peduli padamu," ucapannya tegas dan berwibawa, namun Taehyung sesungguhnya dapat dengan jelas melihat binar kecemasan di bola mata Yoongi. Lelaki itu mengangkat iPadnya kemudian mengarahkannya pada Taehyung, menunjukkan diagram pencapaian prestasinya dalam sebulan terakhir. Ia dapat melihat jelas bibir Taehyung yang seketika memucat. "Peringkat sebelas," Yoongi mengutarakan, matanya siaga mengawasi setiap perubahan ekspresi Taehyung dengan hati-hati. "Kau bisa … ikut seleksi lagi semester depan."

Taehyung mengangkat wajahnya menatap Yoongi, pupilnya berkaca-kaca dengan kening mengerut seperti tak mengerti. Bibir bawahnya menggigil seperti ingin menangis. Bola mata Yoongi melebar sekilas, tidak sampai hati melihat adik kelasnya begitu kecewa. Yoongi memang seringkali berperilaku tak acuh dan masa bodoh, bahkan menggalaki Taehyung ketika bandel. Akan tetapi sesungguhnya Yoongi selalu menganggap Taehyung seperti adiknya sendiri. Bohong ketika ia berkata tidak sudi melobi dengan Jung Hoseok demi pamor Taehyung, bohong ketika ia berkata bahwa ia hanya baik pada Taehyung karena pemuda itu adalah kartu Asnya. Yoongi menyayangi Taehyung seperti adiknya sendiri hingga ia merasa bagaikan orang bodoh. Yoongi selalu peduli pada Taehyung walau ia tak pernah menunjukkannya dengan gamblang dan terbuka.

Sebab Yoongi mengerti bahwa amanah sederhana sebagai pemandu kampus bermakna begitu banyak bagi Taehyung. Karena ia menyaksikan pemuda itu berlatih mati-matian berjalan mundur demi mengikuti tes seleksinya; sesekali menyaduk batu kemudian terjungkal ke belakang dan terluka karena tak terbiasa. Yoongi mengamati diam-diam bagaimana Taehyung berusaha menghafalkan sejarah kampus dan membawa buku bodoh itu kemana-mana bahkan ke kantin dan toilet. Dan Yoongi melihat dengan jelas bagaimana Taehyung bersorak senang sekali ketika departemen menerimanya, dan mengenakan seragam ambassador merah marunnya seharian seperti anak kecil yang memperoleh kostum Halloween baru. Taehyung adalah anak yang bersungguh-sungguh dan Yoongi merasa bagaikan penjahat karena tega merenggut kebanggaannya.

"O—oh, oke," Taehyung mengangguk-angguk kikuk, matanya menggenang dan pemuda itu tak bisa menahannya. "S-seragam—tolong ingatkan lagi besok pagi, kirimi aku pesan. Aku pelupa," tawa canggung Taehyung benar-benar dipaksakan, dan Yoongi tak sanggup lagi melihat raut terluka adik kelasnya lebih lama lagi.

Yoongi mengangguk, menjaga ekspresinya tetap tegas. "Akan kuminta Jimin mengingatkanmu," sahutnya meyakinkan. "Dan ini," kemudian Yoongi mengeluarkan sesuatu dari laci meja kantornya, meletakkannya di permukaan meja. Majalah interim Hanyeong. "Ini mungkin penyebab ratingmu turun drastis," imbuhnya menelan ludah. Jemari Yoongi membuka satu per satu halaman sampai bagian yang dimaksud.

Taehyung mendekatkan langkahnya hingga tepat di depan Yoongi, meneliti foto yang terpajang di halaman bernuansa merah muda beserta deretan alfabet berbentuk menarik di sampingnya. Alisnya mengernyit begitu serius. Beberapa baris terakhir membuat Taehyung nyaris tersedak.

.

Q: Bagaimana menurutmu konsep pemotretan Bromance dengan Kim Taehyung?
JJG : Menyenangkan. Dia fotogenik, bisa dibilang. Kita tampak baik diambil gambarnya berdampingan.

Q: Sedekat apa kau dengan Kim Taehyung?
JJG: Dia memukulku di wajah saat pertama kali kita bertemu (tertawa), dan bekasnya tidak bisa hilang sampai lama sekali. Dia juga meludahiku dan belum minta maaf hingga saat ini. Mungkin kami memang sedekat itu (tertawa).

.

Wajah Taehyung mengangkat bingung ke arah Yoongi, dan pemuda yang ditatap langsung mengangguk mengerti. "Aku tahu, seharusnya dia tidak mengatakan itu—ya Tuhan, apa yang anak itu pikirkan," Yoongi menghela napas panjang, bersimpati.

Kemudian betapa terkejutnya Taehyung ketika menemukan tak ada satupun fotonya di tempat lain kecuali di bagian kovernya berdua bersama Jeongguk. Ia mengingat begitu banyak shoot yang dilaluinya tetapi ia tak menemukan foto lainnya kecuali postur penuh Jeongguk tanpa dirinya. Taehyung membuka-buka halamannya kasar seperti frustasi, ujung majalahnya lecek karena kegusarannya. Kemudian ia menunjuk ke salah satu foto di tengah halaman, suaranya gemetar.

"Hyung—Hyung—mereka memotong fotoku—Hyung, seharusnya kami berdua di sini—" paru-paru Taehyung penuh oleh amarah dan kesedihan, dan napasnya sesak. Matanya memburam tertutup genangan air mata ketika melihat hanya Jeongguk satu-satunya yang terduduk di atas bangku panjang. "Yoongi-hyung, mereka membuang fotoku—"

"Holy shit—apa kau serius?" Yoongi membelalak, napasnya tertahan dan suara Taehyung tak pernah terdengar begini hancur sejauh Yoongi mampu mengingatnya. "Bukannya kau melihat rancangan pencetakannya sebelum publish? Bukannya Hoseok mengizinkanmu melihat?" Yoongi ikut geram. Sialan, apa yang pers lakukan dengan adik kelas kesayangannya.

"Iya, tapi Hoseok-hyung bilang itu belum fiksasi, setelah itu agensi Jeon—" kemudian bola mata Taehyung membulat. "Jeongguk," ulangnya. "Ini semua pasti karena si bangsat itu—dia selalu membuat masalah denganku, dia pasti—"

"Taehyung, hei, Tae-ya, tenang," Yoongi meremas pergelangan tangan Taehyung yang bertengger di atas mejanya, menatap raut pemuda itu yang gelisah dan terluka. "Temui Jeongguk lalu bicarakan baik-baik, yeah? Jika kau tidak bisa menyelesaikannya sendiri, kembali kemari dan biarkan aku turun tangan," Yoongi merogoh saku kemejanya dan menyodorkan sebuah kunci metal kepada Taehyung. "Bawa mobilku. Hummer hitam plat 4004 di gedung AB utara. Sebelah mobil Jimin persis, aku bisa pulang dengannya nanti," lalu Yoongi mengedikkan dagunya ke pintu keluar kantornya dan berucap, "Pergilah. Hati-hati."

.

Jeongguk tak memiliki jadwal kuliah di hari Sabtu, karena itu Taehyung mengemudi mobil Yoongi penuh amarah menuju apartemennya. Ia tidak memiliki mobil pribadi; tetapi ketika sedang hangout berdua dengan Jimin, mereka selalu bergilir dalam menyetir. Sehingga dengan kecepatan layaknya pembalap gadungan, Taehyung sampai di area parkir mewah apartemen Jeongguk. Menaiki tangga dan memasuki lift untuk sampai di depan pintu Jeongguk kemudian mengetuknya beberapa kali. Berusaha keras menahan emosinya dan tak terlihat bar-bar.

"Hyung?"

Jeongguk membuka pintunya dengan wajah bangun tidur; memakai kaus putih polos dan celana santai. Mengucek matanya dan mengernyit bingung. Taehyung berdiri di depan pintunya, wajahnya dingin penuh kebencian seperti awal mereka bertemu dulu. Ia masih tak berkata apa-apa hingga Jeongguk mempersilahkannya untuk masuk dan menutup pintu.

"Uh—siapa yang mengantarmu kemari? Aku belum mengecek ponselku, apa kau mengirimiku pesan atau sesuatu?" Jeongguk bertanya hati-hati, namun raut Taehyung tidak berubah. "Babe?"

"Don't fucking babe me," Taehyung mendesis dengan matanya yang sudah menggenang. Taehyung sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menangis karena dia sudah dewasa. Taehyung mengulang-ulang ucapan Yoongi tanpa henti—'tenang, Tae, tenang' tetapi entah mengapa semua itu tidak bekerja begitu Taehyung melihat wajah Jeongguk begitu dekat berada di hadapannya seperti ini.

Rasanya marah sekali, kecewa, sedih; Taehyung tak menyangka rasanya begitu sakit hati dan dikhianati membayangkan Jeongguk tega melakukan semua ini padanya. Sekelebat memori ketika Jeongguk mengantar jemputnya ke kampus dan bertingkah canggung menggemaskan, Jeongguk yang atentif mendengarkan celotehannya, Jeongguk yang memintanya berhenti memakai obat-obatan, Jeongguk yang menyelimuti dan menggendongnya ke ranjang hingga setiap sifat lembutnya yang membuat Taehyung meracau dalam nalarnya. Rasanya Taehyung muak; ingin muntah menerima segala kebaikan palsu Jeongguk dan ia hanya ingin berteriak.

"Bangsat—mati kau, bajingan, mati—" Taehyung mendorong tubuh Jeongguk hingga pemuda itu mundur beberapa langkah, ekspresinya kebingungan. Taehyung meraih kerah kaus Jeongguk hingga pemuda itu mengangkat wajahnya tak mengerti, "Bangsat, kau—" cengkeraman di fabrik Jeongguk semakin mengencang dan jemarinya gemetar. Taehyung ingin meluapkan segalanya tapi kosa katanya tergugu. Ia bisa menangis jika amarah terlanjur meliar dari kendalinya. Maka Taehyung memilih untuk persetan, menggeritkan giginya lalu menyerapah. "Kau—" namun gagal. Air matanya jatuh di luar kuasanya sebab Taehyung hanya merasa sangat marah, murka, kecewa luar biasa dan ia terlalu muak untuk terus berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja.

Obsidian Jeongguk melebar panik, bibirnya pucat menyaksikan air mata Taehyung dan ia tergagap. "Taehyung, hei, Hyung, Sayang—katakan padaku kau kenapa? A-aku bisa membuatkanmu teh jika—"

"Aku tidak butuh tehmu, manusia brengsek—" Taehyung tak bisa lagi berpikir lurus sebab otaknya penuh oleh prasangka dan ia hanya terlalu sakit hati. "Kenapa kau tidak katakan saja pada Hoseok kalau kau memang tidak ingin bekerja sama denganku, hah? Apa menyenangkan bagimu memotong fotoku, mengeditnya seperti bajingan, dan menurutmu aku berdiri di sampingmu tujuh jam penuh untuk apa, bangsat? Bagaimana bisa kau memotong fotoku—kau, brengsek, bajingan—sialan—" kekesalannya tumpah, air matanya semakin turun deras dan wajahnya memerah karena angkara. Taehyung membenci dirinya sendiri mengapa ia membiarkan pertahanannya lengah dan mengapa dirinya begitu bodoh untuk berpikir bahwa ada sesuatu dari mereka yang akhirnya berubah. Mengapa dirinya begitu tolol mempercayai Jeongguk, dan bagaimana bisa Taehyung membiarkan dirinya sendiri begitu terekspos lemah di hadapan laki-laki tak berperasaan di hadapannya.

Jeongguk mengerutkan kening semakin tak paham. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Hyung. Aku tidak memotong fotomu—aku bersumpah," Jeongguk berusaha menjelaskan. Ia mengusap halus lengan kakak kelasnya. "Kau duduk, yeah? Biarkan aku menghubungi Seokjin-hyung. Aku serius tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ungkapnya hati-hati.

"—pikirmu aku apa, hah? Pohon hiasan? Patung? Angin? Benda mati? Ini bukan lelucon bagiku, Jeongguk, berbeda dengan kau yang menganggap kampus hanya selingan—aku mati-matian mendapatkan apa yang kumiliki sekarang, brengsek," akan tetapi Taehyung terlampau sakit untuk menghentikan racauannya; bicaranya mendeguk dan kedua tangannya yang meremas kaus di pundak Jeongguk menggigil. Air matanya semakin mengalir dan Jeongguk semakin gelisah tak tahu harus berbuat apa. "Aku tahu kau tidak menyukaiku, aku tahu aku membuatmu marah. Aku juga kesal denganmu. Tapi aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk menjatuhkanmu, Jeongguk, kebencianku tidak sejauh itu," Taehyung mengusap matanya yang basah, kembali menggeritkan giginya menahan emosi. "Apa kau puas aku berhenti menjadi pemandu kampus? Apa kau puas membuatku dihujat penggemarmu karena pernyataan gilamu di majalah? Apa kau puas melihatku terjerumus pada kebaikan bohonganmu dan sekarang kau memberiku semua ini?"

Semenjak dulu, Taehyung bukan tipe orang yang bisa menendam apa yang ingin diutarakannya. Ia gamblang, konfrontatif, dan selalu ingin didengar. Karena itu Taehyung membiarkan dirinya sesenggukan dan persetan, lalu persetan, kemudian persetan. Ia hanya ingin menumpahkan segalanya, dan Taehyung terlalu marah untuk terus menerus berlagak masa bodoh. "Kupikir kau sebenarnya orang baik, brengsek, kau membuatku percaya jika kau orang baik. Kupikir kau tahu aku selalu berbulat tekad, kupikir kau tahu jika aku selalu serius dengan ketertarikanku, kupikir kau tahu aku akan marah jika orang lain menghina apa yang kusukai," Taehyung mendeguk lirih. "Kupikir kau tahu aku, Jeongguk, kupikir kau sedikit saja peduli—"

Jeongguk menarik napas gemetar, matanya memerah. Setiap gulir dari ungkapan Taehyung yang remuk meluluhlantakkan sesuatu dalam dadanya, dan Jeongguk merasa sakit. Dengan lembut, Jeongguk meraih kedua tangan Taehyung yang menggamit kausnya, menelisip ke sela-sela jemari Taehyung hingga sepasang tangan mereka bertautan. Ia menangkap sorot terluka Taehyung hati-hati, menggigit bibir bawahnya cemas, dan ia membisik.

"Taehyung, hei hei, tenang, oke?" tuturnya pelan, bahkan Jeongguk tak menyadari semenjak kapan suaranya begini menggigil. Jeongguk mengeratkan cengkeraman jemari Taehyung yang dingin berusaha mengantarkan kehangatan. "Tunjukkan padaku majalahnya, oke? Aku bersumpah tidak tahu apa-apa. Tapi aku serius peduli padamu, Taehyung, ketika aku melakukan kebaikan padamu, itu bukan permainan. Percaya padaku, yeah? Kumohon, aku bingung melihatmu menangis," desaunya dengan kekhawatiran yang nyata. Jeongguk menggigit bibir bawahnya sekali lagi, mengamati raut Taehyung yang melunak, kemudian melanjutkan ucapannya. "Kau bawa majalahnya? Bisa aku melihatnya?"

Taehyung mengatur napasnya sesaat, tidak menatap matanya, kemudian mengangguk dua kali dengan bibir terlipat rapat. Jeongguk melepaskan tangan Taehyung dari genggamannya, membiarkan pemuda itu mengambil sesuatu dari ranselnya. Menyerahkannya pada Jeongguk dalam diam.

Lalu Jeongguk menerimanya, mengamati dengan seksama kover majalahnya, kemudian membuka satu per satu halamannya dengan teliti. Jeongguk membaca rubrik pojok miliknya, kemudian keningnya mengerut dalam hingga alisnya nyaris bertautan. Ia membuka halamannya lagi, memindai setiap detil dengan serius, rahangnya mengetat sesekali. Sementara Taehyung berdiri tanpa suara di hadapan Jeongguk, mengendalikan napasnya yang sempat kacau dan suara terisaknya sisa menangis beberapa saat lalu.

"Ini agensi," Jeongguk menghembuskan napas seraya menutup majalahnya. "Aku memang pernah mengatakan pada staff jika kau memukulku, meludahiku, dan sebagainya, tapi itu seharusnya hanya pembicaraan berdua saja, Taehyung, saat itu aku mabuk. Itu sudah lama sekali, sebelum kita, uh, sering keluar bersama," Jeongguk mengucapkan dengan tak enak hati, ingin mengusap pundak Taehyung menenangkan, tapi ia takut salah langkah. "Aku bahkan tidak menerima pertanyaan-pertanyaan itu, semuanya masuk ke agensi, dan belakangan jadwalku menumpuk karena harus melakukan kompilasi akhir tahun. Mungkin agensi tidak menganggap majalah kampus hal serius dan mengisinya sembarangan. Kau—kau bisa bertanya pada Seokjin-hyung secara langsung. Kau bisa melihat skedul rekamanku bulan kemarin. Kau bisa—uh, melihat jika aku tidak menerima e-mail apapun dari agensi soal wawancara itu, kau boleh cek ponselku."

Taehyung tidak menatap mata Jeongguk, separuh menunduk, mata dan hidungnya masih merah. Tangannya terlipat di dadanya, sebelum kemudian tangan kanan Taehyung menengadah ke arah Jeongguk. Obsidian Jeongguk mengerjap.

"O-oh, sebentar," Jeongguk merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dan membuka pola lockscreen. Jeongguk kemudian menyerahkannya dengan patuh kepada Taehyung.

Jeongguk hanya mematung di tempatnya gelisah ketika Taehyung mengutak-atik ponselnya entah membuka apa. Tapi Jeongguk serius tidak tahu menahu soal konten rubrik itu bahkan penerbitannya. Terakhir saat photoshoot di Apgujeong, ia tak mendapat kabar lagi dari Seokjin, manajernya. Karena itu Jeongguk tidak ingat, apalagi menanyakannya. Tiba-tiba, Taehyung menekan tombol speaker dan Jeongguk dapat mendengar suara memanggil yang putus-putus. Jeongguk hanya menggigit bibirnya saat melihat bahwa Taehyung menghubungi Seokjin.

"Annyeong? Gukkie-ya?"

Bola mata Taehyung membulat sekilas, dan Jeongguk merutuk soal bagaimana Seokjin memanggil namanya ketika mereka dalam privat. Jika dalam kondisi normal, Taehyung pasti akan menertawainya habis-habisan, akan tetapi situasi sedang intens. Taehyung hanya mengarahkan ponselnya ke arah Jeongguk, mengindikasikan pemuda itu untuk bicara.

"—uh, Seokjin-hyung?" Jeongguk memulai. "Apa kau menerima e-mail dari Ikatan Pers Hanyeong soal wawancara singkat rubrik pojok? Siapa yang mengisinya, aku tidak merasa menerima?" lanjutnya kemudian.

"Oh, aku menerimanya," Seokjin dari seberang menyahut, dan Jeongguk samar dapat melihat ujung-ujung jemari Taehyung yang memegang ponselnya memutih. "Jadwalmu padat sekali belakangan, aku nyaris lupa. Aku yang mengisinya, hanya lima pertanyaan, 'kan? Anak-anak kuliahan itu berisik sekali menelponku jika mereka sedang deadline dan butuh memasukkan kontennya segera sebelum dimasukkan ke editor layout, katanya," hembusan napas. "Saat itu kau sedang dibriefing oleh produser."

Jeongguk terdiam, Taehyung masih enggan menatapnya. Maka ia melanjutkan. "Hei, apa hyung tahu sesuatu soal photoshootku berdua dengan Kim Taehyung? Aku baru saja melihat majalahnya, ini tidak lucu melihat fotoku sendirian padahal temanya bromance?" selidiknya kemudian.

Ada berisik desau yang cukup lama, sebelum Seokjin menyahut dari ujung seberang. "Bukan aku," Seokjin berkata. "Aku sangat setuju dengan konsep fotonya, Gukkie-ya, tapi menurut bos itu terlalu, well, kau tahu? Itu bukan bromance, kata bos. Kalian berdua terlalu … dekat, fotonya agak berlebihan, dan agen malas berurusan dengan isu," Jeongguk mengernyitkan kening. "Aku tidak tahu apa yang agen katakan ke Pers kampusmu. Pokoknya beliau menelpon langsung ke sana, minta maaf juga dan memberikan kondisi. Mungkin beliau berkata soal menghapus fotomu atau foto Kim Taehyung yang dihapus, berarti pers kampusmu memilih opsi kedua, mungkin." Seokjin menimpali dengan nada menyesal. "Entahlah, Gukkie, sampaikan maafku pada Kim Taehyung kalau begitu. Dia pasti marah sekali."

Jeongguk melirik ke arah Taehyung, lalu melihat pemuda itu menganggukkan kepala kikuk.

"Oke, kalau begitu terima kasih, Hyung," Jeongguk berujar. "Annyeong."

Sambungan terputus, dan Taehyung masih diam. Pemuda tinggi itu hanya menyerahkan kembali ponsel yang dipegangnya kepada Jeongguk, tanpa mengalihkan tatapan matanya. Raut di wajah Jeongguk seperti sedih, mulutnya sudah terbuka hendak berucap. Namun Taehyung buru-buru menghalaunya. "Jangan katakan apapun," Taehyung membisik. "Aku—aku pulang."

Rasanya jantungnya seperti merosot saat melihat Taehyung yang masih tidak mau melihat ke matanya. Pemuda itu kemudian membalikkan tubuhnya, hendak membuka kenop pintu apartemen Jeongguk dan pergi. Akan tetapi Jeongguk segera menahan lengannya, tidak rela.

"Hyung—a-aku minta maaf, oke? Agenku salah, aku, salah," Jeongguk mengeja sehalus mungkin. "Aku tahu kau marah—kau pasti marah sekali, aku—"

"Aku sudah tidak marah, bodoh," Taehyung menepis lengannya dari genggaman Jeongguk, intonasinya masih kasar.

Jeongguk mencekal kembali lengan Taehyung, belum menyerah. "Tidak, dengar, aku akan meluruskan ini. Aku akan mengajukan permintaan photoshoot ulang, dan kita bisa menarik kembali majalah yang sudah beredar. Aku bisa membayar untuk itu, Taehyung. Kau tidak akan berhenti menjadi pemandu kampus, aku akan menjelaskannya pada departemen admisi, lalu—"

"Brengsek, diam, aku malu!" Taehyung menarik kuat-kuat tangannya dan membalikkan tubuhnya. Matanya sesaat menemukan pupil Jeongguk yang mengecil oleh rasa bersalah, dan Taehyung sekali lagi membuang tatapan matanya jauh-jauh. "Sialan, ini memalukan. Aku memukulmu, menyerapahimu sambil menangis, dan ternyata kau tidak tahu apa-apa?" Taehyung mengusap wajahnya frustasi dengan telapaknya. "Sialan, ini memalukan sekali, rasanya mau mati saja."

Jeongguk bersumpah ia melihat semburat tebal di wajah gelisah Taehyung yang menggeritkan giginya, dan entah mengapa jantungnya berdegup luar biasa anomali. Sehingga tanpa sadar, Jeongguk sudah melangkah mendekat. Jemarinya dengan berhati-hati meraba sebelah pipi Taehyung, membelai dengan ibu jarinya penuh pemujaan, matanya menelisik turun berusaha membawa sorot mata Taehyung untuk melihat ke arahnya. Kepala Taehyung mendongak, alisnya mengernyit gusar, dan tangannya mencengkeram kedua pergelangan tangan Jeongguk yang menangkup pipinya. Sebelum sepasang belah bibir itu saling memagut penuh kebutuhan; kemudian keduanya memejamkan mata dalam waktu yang sinkron dan bersamaan.

.

.

Hoseok benar-benar tidak tahan melihat Kim Taehyung yang berdiri di hadapannya, kedua tangannya melipat di depan dada, dan rautnya mencebik—lucu sekali, Hoseok bisa mati.

"Oke, oke, kau menang, bedebah kecil. Aku akan menarik majalah yang sudah beredar, dan akan coba kuajukan ke rekan-rekan soal photoshoot ulang kalian berdua," Hoseok mengangkat kedua tangannya menyerah. "Tapi serius, pengambilan keputusan kemarin itu berdasarkan rapat, Tae. Aku tidak bisa otoriter, karena ikatan ini besar sekali. Tolong jangan ngambek denganku, please. Seharusnya aku memberitahumu daripada menunggumu mengetahuinya sendiri. Aku salah, oke?" Hoseok berujar tulus, menatap kedua bola mata adik kelasnya. "Yoongi datang ke rumahku malam itu juga, dan, wow, kau benar soal 'Yoongi si Iblis Kejam'—ugh, aku benar-benar bisa mimpi buruk jika mengingat wajah marahnya. Dan—yeah. Kau pasti sakit hati sekali, departemenku juga akan membantu menghapus rumornya, oke? Kau pemandu kampus paling seksi milik Hanyeong, aku bahkan rela jadi anak baru selamanya demi kau."

Taehyung memutar bola matanya, namun ia akhirnya tertawa.

"Hoseok-hy—ah,"

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan mata bulat Jeongguk yang melongo lucu dari pintu yang separuh terbuka. Taehyung hanya melirik, bibirnya menekuk, terkejut.

"Hyung? Kau di sini?" Jeongguk melangkah masuk, menutup pintunya perlahan. "Uh, kau pulang pukul berapa hari ini, Sayang? Mau makan siang?"

Taehyung tergelak ringan, ia berjalan mendekati Jeongguk dengan seringainya. "Mm, pura-pura bertanya. Aku tahu kau sudah menghafal jadwal kuliahku, Gukkie-ya," telinga Jeongguk berkedut mendengar panggilan Taehyung untuknya, dan Taehyung benar-benar terus meledekinya soal sebutan itu tanpa henti. Menjadikan Jeongguk kesal, akan tetapi semakin sayang kepada pemuda di hadapannya. "Biarkan aku menyetir, maka jawabanku ayo."

"Kau tidak punya lisensi," Jeongguk tersenyum tipis, membiarkan Taehyung meraih dagunya dan mengangkat wajahnya arogan. "Lagipula aku belum mau mati karena ada terlalu banyak hal yang belum kita coba, benar?" alisnya terangkat, menawan dan menggoda.

"Guys, please, jangan membicarakan rahasia laknat dapur kalian di kantorku, oke?" Hoseok memutar bola mata jengah, namun bibirnya mengukirkan senyum. Ada setitik kelegaan dalam dadanya, dan Hoseok mensyukurinya. Ia dapat melihat bahwa Jeongguk tak lagi mengingat soal pembicaraan mereka dahulu kala, ketika ia hanya menganggap Taehyung tak lebih dari tantangan konyol, ketika ia tak memikirkan apapun kecuali bersenang-senang.

Jeongguk dan Taehyung hanya tertawa ceria. Taehyung mendaratkan kecupan singkat di bibir Jeongguk yang membuat pemuda itu tanpa sadar merengek terkejut, kemudian Taehyung menepuk pundak Jeongguk dua kali dan mengedipkan sebelah mata.

"Kau yang memilih restorannya, oke?"

Lalu Jeongguk mengerjapkan mata. "Tidak apa-apa?" karena selama ini, Jeongguk selalu menuruti Taehyung jika soal tempat makan. Karena pemuda itu benar-benar tidak bisa dikompromi tentang makanan, ia harus mendapatkan apa yang dia mau. "Kau oke dengan hidangan Perancis atau restoran Italia, semacamnya?" tanya Jeongguk memastikan.

"No probs," Taehyung menyahut ringan. "Just—surprise me, yeah?"

Senyuman dari Taehyung nyata, bukan seringai menantang seperti yang masih sering mereka lakukan. Pemuda Kim itu kemudian berlalu, melenggang keluar dari kantor Pers.

Hoseok tertawa, melihat Jeongguk yang mengusap wajahnya kasar sembari menarik napas panjang. "Lancar, eh?" godanya.

"Tidak, aku—" Jeongguk menggelengkan kepalanya. Ia berjalan tergesa ke kursi di hadapan meja Hoseok lalu duduk di atasnya. Kedua tangannya menopang ke depan sembari menggusak poninya kacau. "—aku—ya ampun, aku dalam masalah. Aku suka suka suka sekali dengan Taehyung, astaga." Hoseok dapat melihat semu menggemaskan di kedua pipi Jeongguk, dan Hoseok harus menahan diri sekuat tenaga supaya tidak menjadi brengsek dan meledekinya. "Tapi dia itu bajingan, jika aku berkata aku menyukainya—pasti dia malah tertawa. Dia pasti tertawa, Hyung, tapi tertawanya juga lucu—astaga," Jeongguk menjenggut rambutnya semakin frustasi, dan Hoseok terpingkal keras sekali. Belum pernah seumur hidup Hoseok melihat si angkuh Jeon Jeongguk begini gelagapan ketika sedang kasmaran.

"Hei, kau tahu apa menurutku, Guk-ah?" Hoseok berujar separuh tertawa. Jeongguk mengangkat wajahnya, "Welcome to the club, Man—sekali lagi!"

Jeongguk melempar Hoseok dengan penanya. "Fuck you."

.

.

Kemudian senja ketika mereka kembali dari makan siang, Taehyung menangkap jemari Jeongguk dalam sela-sela jarinya pada satu tangan Jeongguk yang tak memegang setir. Mereka sudah melakukan banyak hal; berciuman, saling meraba, bahkan hal-hal yang lebih jauh—akan tetapi sentuhan sederhana itu entah mengapa terasa luar biasa intim. Jauh dari gestur sensual, tetapi maknanya terlalu dalam sehingga Jeongguk tak mampu mendefinisikannya dengan glosarium. Kehangatan dari ujung-ujung jemari Taehyung bergemeletuk telak hingga ke degupan jantungnya.

Taehyung melihat ke luar jendela.

"Hei, aku tidak punya apa-apa. Aku payah, emosional, dan melakukan hal pertama yang terlintas di kepalaku tanpa benar-benar memikirkannya," Taehyung masih melemparkan pandangannya ke luar jendela, mengamati trotoar yang sepi, dengan jemari yang menggenggam tangan Jeongguk erat. "Aku tidak punya banyak uang, aku tidak punya otak cerdas, aku tidak punya bakat mencengangkan—aku tidak punya apa-apa," ada tawa kecil terlepas dari bibir Taehyung. "—tapi aku punya kau, 'kan?"

Jeongguk merasakan jantungnya bagai berhenti beberapa persekon. Ia menarik napasnya gemetar, kemudian membalas genggaman Taehyung pada jemarinya dengan sangat kencang seolah apabila melepaskannya, Taehyung akan lenyap dari sisinya selamanya.

"Ya," Jeongguk tersenyum. "Kau selalu punya aku."

Kemudian Taehyung berkata. "Mm, kupikir juga begitu."

Segala tentang Kim Taehyung selalu tak tertebak; dan Jeongguk baru menyadari jika ungkapan itu jauh lebih dalam dari bagaimana Jeongguk selalu berpikir keras mengenai cara untuk mengatakan aku mencintaimu kepada Taehyung. Kim Taehyung itu berbeda—cara mereka bertemu, cara mereka menjadi dekat, cara mereka berpacaran, bahkan cara mereka saling mencintai. Dan Jeongguk tak pernah gagal dikagetkan oleh tabiat Taehyung yang penuh kejutan. Sikapnya yang terkadang keras sekuat baja, dan tingkahnya yang rapuh seperti kaca. Namun Jeongguk menyukai Taehyung yang begini, bahkan kesombongan dan wataknya yang pembangkang. Ada begitu banyak pesona tak masuk akal yang menguar dari sosok Taehyung, dan Jeongguk ingin terus di sampingnya untuk menunjukkan kesungguhannya, tertawa bersamanya, dan mencintainya dengan caranya sendiri.

.

Jeongguk melirik dengan senyumannya. "Hei, apa kau menyukaiku?"

"Apa kau masih harus bertanya?" Taehyung tertawa, dan Jeongguk tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa juga, sebab Taehyung adalah kebahagiaan. "Kau idiot, tahu tidak."

"Kau juga idiot, Hyung."

"Mm, kalau begitu kita sama-sama idiot," lalu keduanya lagi-lagi tertawa, bukan tawa karena lucu, atau menggelikan—tetapi hanya karena bahagia. Itu saja. "Sudah jangan berisik, aku mau tidur. Bangunkan jika sudah sampai."

Kemudian Taehyung masih berada dalam kesadarannya ketika mereka mengemudi terlalu lama dalam hening, dan Jeongguk yang tiba-tiba menyapu poninya dan berbisik 'Aku mencintaimu, Kim Taehyung' dengan suaranya yang teramat halus dan lirih seolah takut membangunkannya.

Taehyung tersenyum dalam hati, berjanji akan menjawabnya secara langsung kepada Jeongguk saat mereka sudah sampai di apartemen nanti.

.

"Aku juga, bodoh."

.

.

.

.

.

tamat.


author's note:

has been so long, lol, akhirnya tamat juga wkwk

anw ini dunia nightclub sekali yaa, jangan dicontoh, just for the story ;)
having so much fun nulis karakter taehyung sama jeongguk yang badass begini, yalord, kinda addicted dan gak bisa moveon dari au ini huhu ;;; as promised, dua2nya menli yaa.

jadi, dengerin lagunya ariana grande – into you bikin ane pengen nulis smut (everyone should luv ag ;;; sobs, ma queen/abaikan) sO IM SO SORRY if this is a filth, kay, im a filth. but you are too, because you read this shit, bYE.

terakhir, ane mau ngucapin makasih banget buat yang selama ini review, yang nungguin ff bejat bin kotor yang apdetnya lama banget bikin jenggot temen-temen ini kebakaran:') /gak/ dan yang udah suka sama ff ini, yang sering share momen taekuk berantem di twt ane, im- so- in- love- with- all- of you. Moga nunggu lamanya worth it yaa.

thanks for reading ;;; please do review too, i love you.

.

see you next time!

ales
[
twitter – alestierre ]