[vmin]

.

.

.

.


"taehyung."

Menemukannya duduk di meja baca bersekat. Tanpa gerak dan nafas teratur. Samar-samar ia menggambar batas. Mengisolasi meski di keramaian. Taehyung tak akan buang-buang tenaga untuk menyambutnya. Di depannya sebuah buku bergambar yang jimin tahu dari rak fiksi. Temannya tak benar-benar membaca , hanya menaruh kepalanya di meja. Tidak benar-benar tidur juga, hanya memejamkan mata. Jimin tak akan mengusik. ia hanya duduk dan menunggu taehyung menyadari keberadaannya.

.

.

Mungkin akan selalu seperti ini, jimin yang mencoba mendekat dan taehyung akan menjauh. Merapat namun berjarak. Seperti A dan Z, seperti dekat tapi jauh, seperti jauh tapi dekat. Jimin tak mengerti. Bukan seperti ini seharusnya teman bekerja.

.

.

Taehyung membuka pagar rumahnya. Jimin memperhatikan diam-diam. Rindu sekali hingga ia ingin memeluknya. Mereka bukannya baru kenal kemarin sore, namun taehyung menjadi asing. Jimin tak akan menyerah. Mencoba menghapus garis samar yang mulai tampak diantara mereka, ia memberanikan diri menyentuh bahu temannya. Rasanya seperti tersengat listrik. Jimin tak akan berhenti, bagaimanapun.

Aku merindukanmu.

Taehyung menatapnya penuh tanya. Jimin lantas menunduk, menelan kembali kalimatnya.

" Tidak ada."

Taehyung memindahkan tangan jimin dari bahunya. Pagar dihadapannya tertutup dan jimin tak beranjak. Sentuhan taehyung masih terasa dingin dikulitnya. Mungkin Jimin yang menarik benang diantara mereka namun taehyung mengulurnya. Akan tetap seperti itu dan terus berulang. Seperti tak ingin digapai.

.

.

Jimin menahan bahu taehyung. Menahannya dari gerombolan yang akan ia ikuti. Mengisyaratkan dari matanya suatu ketidaksetujuan. Ia harap taehyung masih bisa membacanya. Jimin bukan mengekang atau apa. Taehyung bukan miliknya, jimin bukan satu-satunya teman. Taehyung bebas, tapi buka berarti membuat ia jauh.

"Ada beberapa dvd baru—"

Jimin tersenyum ragu. Harapan mengumpul dihatinya. Ia harap taehyung masih mengingat bagaimana ritual persahabatan mereka berlangsung. Marathon film hingga pagi di akhir pekan, dulu. Ketika taehyung tak sejauh ini dan jimin tak serindu ini. mungkin sedikit saja, akan tersentuh. Jimin seperti tak ingat kapan terakhir kali mereka menghabiskan waktu bersama, berdua saja.

" Lain kali saja."

Taehyung tak menatapnya dan berlalu menyusul gerombolannya. Rasanya seperti dihianati.

Jimin berfikir untuk menyerah.

.

.

.

" jimin"

Taehyung tak pernah sekalipun memulai pembicaraan. Semua akan berawal dan berakhir pada jimin. ia nyaris tersandung pagar rumahnya sendiri. Taehyung berdiri dibalik punggungnya. Dengan kepala tertutup tudung jaket. Biru di pelipis dan pipi. Bibir merah dan sedikit robek di ujungnya.

Jimin menyeka lebam di wajah taehyung malam itu. " kau bisa menginap." Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir ia berbicara pada taehyung. Ada rasa canggung dan tak ingin berlama-lama. Taehyung menunduk di ranjang jimin. sedikit lebih baik dan bersih dari dua puluh menit lalu. Jimin paham jika orang tua taehyung akan marah meihat anak nya seperti ini, sudah pasti.

Taehyung tak pernah mencari masalah. Mungkin bertemu beberapa berandal dan berakhir seperti ini.

Jimin masih mengetahui segalnya. Taehyung sudah terbiasa.

Ia barusaja mengulurkan baju bersih miliknya ketika kedua tangan taehyung berada dibahunya. Taehyung mungkin dingin, tapi tangan itu terasa hangat.

Jimin akan bergerak tapi taehyung menahannya agar tidak berbalik. Perasaan seperti ingin tetap begini atau ingin berlari. Ia bisa merasakan kening taehyung berada di bahunya. Sudah lama sekali, rasanya seperti kaku dan berdebar.

" Aku merindukanmu."

Hangat itu menjalar hingga ke dadanya. Jimin akan tetap menarik benang diantara mereka. Sedikit lebih dekat.

.

.

.

.

.

.

End.


.

.

.

a/n : mungkin ini tidak jelas.

Tapi sudahlah—