The Garden of Words

Original Story by Makoto Shinkai

KaiSoo Remake by Absolute Dwarf

.

.

Part 2

AGUSTUS

Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Alarm dari ponsel Kyungsoo terus berbunyi. Merasa terusik, sang pemilik perlahan meraih benda kotak itu lalu mematikan suara berisik yang mengganggunya. Ia membuka mata, refleks menoleh ke arah jendela. Cerah. Itulah satu kata yang sanggup membuat Kyungsoo kembali mengubur wajahnya pada bantal yang empuk sambil mendesah penuh kecewa.

Kyungsoo tidak sengaja menjatuhkan kotak bedaknya saat ia akan merias diri. Dengan malas ia meraih benda tersebut lalu membukanya, bermaksud memeriksa keadaan benda malang itu. Bedak padatnya terpisah menjadi beberapa bagian karena terbentur saat terjatuh. Kyungsoo termenung menatap benda di tangannya. Ia menutup kotak bedak itu dan meletakkannya di meja. Lalu dengan tangan kiri ia menutup sebagian atas wajahnya.

Hancur saat terjatuh. Sama sepertinya.

.

.

.

Bunyi guyuran air keran mendominasi ruangan yang tampak seperti dapur. Seorang pemuda dengan apron melingkar di pinggang dan kain putih yang diikatkan di kepala, sedang sibuk mencuci puluhan piring kotor yang mengantri di sampingnya.

"Aku bekerja paruh waktu hampir tiap hari di musim panas." -J

Rumah makan tempat Jongin bekerja sangat ramai hari itu. Beberapa teman kerjanya tampak lalu lalang dari satu meja ke meja lain sambil membawa nampan berisi makanan. Beberapa sibuk di dapur memasak menu-menu andalan. Pelayanan yang cepat terus membuat pelanggan berdatangan.

"Aku ingin menghasilkan uang sebanyak yang aku bisa untuk mencukupi biaya kuliahku di sekolah kejuruan. Membeli peralatan dan kulit juga membutuhkan biaya.

Tentu saja aku merindukannya, tapi..

Terus melekat pada perasaan itulah yang membuatku masih seperti anak-anak." -J

Matahari telah terbenam. Dengan kereta Jongin kembali ke rumahnya yang sepi tanpa ada yang menyambutnya. Dan iapun tak ingin ambil pusing dengan memikirkan hal itu. Yang ia tahu, tumpukan kulit dan peralatan sepatunya telah menanti.

"Karenanya, aku memutuskan untuk membuat sepatu yang akan membuatnya memiliki keinginan untuk berdiri dan berjalan." –J

.

.

.

"Cuaca besok~ apa ya~." Kyungsoo bersenandung pelan sambil memainkan sepatunya. Wanita itu meraih sebotol beer yang terletak di sebelah sebungkus coklat kemudian meminumnya. Sekali lagi, ia berakhir di tempat itu. Taman yang mempertemukannya dengan pemuda yang memiliki impian.

"Di usiaku yang ke -27 aku bahkan tak lebih pintar dari diriku saat berusia 15 tahun. Aku selalu di sini, terperangkap di tempat yang sama." -K

.

.

.

SEPTEMBER

Bunyi bel berbunyi nyaring menandakan waktu istirahat bagi sebuah sekolah menengah atas di Seoul. Para siswa segera berhamburan keluar kelas, beberapa memilih tinggal dan beberapa memilih mencari hiburan setelah berjam-jam duduk mendengarkan pelajaran dari guru. Jongin salah satu dari opsi kedua. Laki-laki bermarga Kim itu berjalan menuruni tangga dengan wajah mengantuknya.

"Jongin-ah!" Panggilan seorang gadis mau tidak mau membuat Jongin menoleh ke belakang.

"Hai. Lama tak berjumpa. Sepertinya kulit kalian jadi lebih gelap." Sapa Jongin pada gadis yang ternyata sedang tak sendirian itu.

"Hihi, kami pergi ke pantai bersama." Jawab Luhan, gadis yang memanggilnya.

"Kau masih pucat saja. Apa yang kau lakukan selama liburan musim panas?" Itu Sehun, teman Jongin yang berjalan bersama Luhan.

"Bekerja sepanjang waktu." Jawab Jongin.

"Sepanjang waktu?" Tanya Luhan. Jongin hanya menjawab dengan senyuman lalu kembali berjalan. Sehun dan Luhan mengikutinya.

"Cara yang menyedihkan untuk menghabiskan masa SMA-mu. Sekolah-Kerja-Tugas Rumah. Sekolah-Kerja-Tugas Rumah." Celetuk Sehun.

"Aku juga bolos kok, terkadang." Bela Jongin.

"Oiya ngomong-ngomong bolos, kau sudah tertinggal jauh, Jongin." Kata Luhan.

"Benar, anak ini tidak pernah muncul di jam pertama saat hujan turun." Imbuh Sehun.

"Aku berada dalam kondisi dimana aku tidak bisa naik bus saat hujan di pagi hari." Sahut Jongin sambil tersenyum.

"Terserah, dasar aneh." Ejek Sehun.

Ketiga siswa itu berjalan melewati ruang guru tanpa prasangka apapun, terutama Jongin. Hingga pintu ruangan itu terbuka dan keluarlah dua orang dewasa berstatus guru sekolah tersebut. Pria berbadan tegap dan memakai seragam olahraga keluar lebih dulu disusul wanita mungil di belakangnya.

Dua guru itu berjalan berlawanan arah dengan Jongin. Hingga beberapa langkah mereka saling melewati, Jongin tiba-tiba tersadar akan sesuatu lalu menegakkan tubuhnya.

"Kyungsoo Ssaem!" Luhan yang sudah berjalan mendahului Sehun dan Jongin tiba-tiba berbalik dan berlari ke arah guru mungil yang baru saja keluar dari ruang guru itu. "Songsaenim!" Panggilnya lagi.

Jongin mengalihkan pandangannya pada Luhan yang berlari sampai akhirnya ia melihat sosok seseorang yang dihampiri temannya tersebut.

"Luhan?" Panggil Kyungsoo.

"Songsanim-" Luhan ingin berkata namun..

"Luhan, tolong simpan saja dulu apa yang ingin kau katakan." Guru olahraganya memotong.

"Songsaenim!"

"Songsaenim!" Beberapa gadis ikut menghapiri Kyungsoo seperti Luhan.

"Kalian juga tolong nanti saja." Pria itu kembali berkata.

"Maaf ya semuanya, songsaenim masih akan ada di sini sampai jam kelima kok. Jadi setelahnya, songsaenim akan dengan senang hati-" Kata-kata Kyungsoo terhenti saat matanya bertemu dengan seorang pemuda yang berdiri terdiam beberapa langkah di belakang Luhan. Masih dengan wajah tak percaya, Jongin memandang wanita itu.

"Kyungsoo-ssaem, datang ke sekolah?" Gumam Sehun di belakang Jongin.

.

Perjalanan Jongin, Sehun dan Luhan berakhir di atap sekolah. Kedua laki-laki itu bermain lempar bola tenis, sedang satu-satunya perempuan di sana hanya duduk diam sambil memeluk lutut.

"Kau tidak dengar soal Kyungsoo-ssaem yang ingin mengundurkan diri?" Tanya Sehun sambil melempar bola. Jongin menangkapnya dengan benar.

"Tidak. Aku bahkan tidak mengenal siapa dia." Jawabnya sambil melempar balik bola tenis itu ke arah Sehun.

"Oh, tentu saja karena pelajaran literatur di kelasmu diajar oleh Jung-ssaem." Sehun menangkap bola dari Jongin. "Kyungsoo-ssaem selalu mendapat masalah dengan gadis-gadis di kelas 3." Ia kembali melempar ke arah Jongin.

Jongin menangkapnya. Tanpa membalas perkataan Sehun ia kembali melempar bola itu.

"Tapi Kyungsoo-ssaem tidak melakukan kesalahan apapun. Kekasih seorang sunbae jatuh cinta pada Kyungsoo-ssaem dan sebagai balasannya mereka memperlakukan Kyungsoo-ssaem dengan buruk. Mereka menyebarkan rumor-rumor tidak sopan sampai orang tua Kyungsoo-ssaem mendengarnya. Hal itu berkembang semakin parah hingga membuatnya tidak bisa datang ke sekolah lagi" Terang Luhan.

Jongin semakin melempar bola itu dengan keras, namun Sehun tetap bisa menangkapnya.

"Kyungsoo-ssaem hanya terlalu baik. Ia harusnya membawa semua ini ke polisi!" Sahut Sehun lalu melempar kembali bola tenis pada Jongin.

"Kita sudah memintanya berkali-kali ke Suho-ssaem! Tapi dia bilang tidak ingin menyusahkan sekolah ini dengan merusak citranya di depan publik!" Balas Luhan sedikit emosi. Jongin yang awalnya ingin melempar bola ke Sehun, mengurungkan niatnya.

"Oy, kau kenapa?" Tanya Sehun.

"Sunbae itu.. Siapa namanya?" Tanya Jongin dengan tenang.

.

Jam kelima telah berakhir. Dari bangkunya, Jongin bisa melihat wanita itu menuju pintu gerbang sekolah. Beberapa siswa dan siswi berlarian menghampiri guru literatur itu. Beberapa siswi menangis dan wanita itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala mereka. Jongin hanya bisa memandang dari kejauhan.

.

"Dia benar-benar payah sih." Sekelompok gadis dengan dandanan yang tidak layak untuk usia sekolah menengah atas, duduk di bagian belakang sebuah kelas. Beberapa laki-laki juga ada di samping mereka.

"Kau benar-benar kejam, hahaha!" Seorang laki-laki yang telah melepas seragamnya dan hanya memakai kaos merah berkata pada gadis di depannya.

Greeek!

Pintu kelas terbuka. Membuat seluruh mata tertuju pada pelaku yang membuka ruang kelas tiga itu di hari yang sudah mulai beranjak petang. Jongin berdiri di sana, berjalan dengan pasti ke tempat dimana kakak kelasnya duduk bergerombol.

"Ada perlu apa kau, anak kelas satu?" Tanya seorang senior laki-laki Jongin.

"Apa kau yang bernama Sara sunbaenim?" Tanya Jongin pada wanita kelebihan make up itu.

"Apa nih? Mau menyatakan cinta?" Canda seorang senior laki-laki lain.

"Siapa kau?" Tanya perempuan yang bernama Sara itu.

"Sepertinya, Kyungsoo-ssaem mengundurkan diri." Ucap Jongin.

"Memangnya aku peduli dengan apa yang terjadi pada tante pelacur itu!?" Sahut Sara.

PLAK!

Jongin yang tidak terima dengan julukan yang diberikan pada Kyungsoo langsung menampar gadis bernama Sara itu. Seketika beberapa teman Sara terkejut lalu mencekal tangan Jongin.

"Kau pikir apa yang kau lakukan!?" Laki-laki yang mencekal tangan Jongin bertanya. Jongin menampik tangan sunbaenya dengan kasar. Tanpa ia sadari seorang sunbae berkaos merah berjalan mendekatinya lalu melemparkan bogem mentah tepat di pipi kiri Jongin sampai ia terjatuh.

"Apa masalahmu hah?" Tanya lelaki itu.

Jongin kemudian berdiri lalu menubruk sunbaenya sekuat tenaga, berusaha melindungi apa yang berharga baginya. Nama baik Kyungsoo.

BRUK!

"Kyaaa!" Beberapa siswi yang kebetulan lewat di depan kelas berteriak.

"A..ayo kita laporkan ke guru!" Ia berkata pada temannya lalu berlari.

Jongin kembali terjatuh setelah berkali-kali terpukul dan terlempar. Ia tahu ia bukanlah tandingan sunbaenya, tapi melihat bagaimana mereka menjatuhkan Kyungsoo seperti itu membuatnya emosi. Dan kini ia berakhir dengan banyaknya luka di wajahnya.

"Kau itu siapa? Kau jatuh cinta pada tante-tante itu hah?" Tanya sunbae yang memukulinya dengan santai.

"Menjijikkan sekali. Apa mungkin dia tak tahu berapa usia tante itu?" Sahut gadis di samping Sara.

"Anak malang, pasti dia sudah ditipu oleh wanita sialan itu. Oh, sekarang mereka bisa berkencan, toh dia sudah bukan lagi guru di sini." Imbuh Sara dengan nada mengejek.

"Benar sekali."

"Nah, harusnya kau berterimakasih pada kami." Ucap Sara.

Tidak terima dengan semua hinaan yang mereka berikan pada Kyungsoo, Jongin kembali berdiri dan menerjang sunbaenya.

.

.

.

Langit mulai dipenuhi awan-awan mendung, padahal ini masih pagi. Sekelompok orang mulai memenuhi stasiun kereta. Jongin ada di antara kerumunan itu. Dengan wajahnya yang penuh lebam dan plester di sudut alisnya, ia mendongak menatap langit.

"Aku menanti hujan turun." –J

Padahal hujan belum turun, tapi entah kenapa Jongin lebih memilih membolos dan pergi ke taman itu. Cahaya matahari masih tampak walau tak secerah biasanya karena tertutup oleh awan mendung. Jongin berjalan terus ke arah pondok dimana ia biasa menghabiskan paginya bersama Kyungsoo.

Kosong. Tak ada siapapun di sana. Termasuk wanita yang diharapkannya.

Jongin membalikkan badannya, menuju pondok yang lain. Sebenarnya ia tak ingin berharap, tapi ia sangat ingin bertemu dengan Kyungsoo.

Dan doanya didengar Tuhan. Kyungsoo ada di sana, berdiri masih mengenakan pakaian yang sama seperti yang terakhir ia lihat kemarin, kemeja putih dilapisi blazer hitam, celana hitam dan sepatu dengan heels rendah berwarna cokelat. Dengan pasti Jongin berjalan menghampiri wanita itu.

Merasakan kehadiran orang lain, Kyungsoo membalikkan badannya. Ia sangat terkejut melihat wajah Jongin babak belur namun ia tak berkata apapun.

"Gemuruh samar sang petir.." Ucap Jongin sambil mengalihkan pandangannya dari tatapan khawatir Kyungsoo. "Jikalau hujan tak turun. Aku akan tetap di sini.." Ia memberanikan diri menatap Kyungsoo.

"Bersama denganmu." Jongin mengakhiri ucapannya.

Kyungsoo tersenyum, namun tak menghilangkan kesedihan di wajahnya. "Ya, itu jawaban yang benar. Yang kau ucapkan adalah respon yang benar terhadap syair yang aku ucapkan di saat pertama kita bertemu." Ucap wanita yang lebih tua.

"Semuanya ada di buku literatur klasik-" Jawab Jongin. "Kyungsoo Songsaenim."

Kyungsoo menyelipkan rambutnya di balik telinga. "Maaf, karena aku kira kau akan sadar jika aku seorang guru literatur di sekolahmu. Maksudku, semua orang di sekolahmu tahu tentangku. Tapi kau selalu berada di dalam dunia kecilmu, ya kan?" Tanya Kyungsoo. "Apa yang terjadi dengan wajahmu?" Imbuhnya.

"Aku bertingkah seperti Songsaenim dan meminum banyak beer. Lalu aku terpeleset dan jatuh di jalur kereta." Jawab Jongin.

"Astaga! Bohong!" Kyungsoo terkaget hingga memekik.

"Memang bohong. Aku berkelahi, hehe." Jawab Jongin dengan enteng.

CTARR!

Suara petir mengagetkan keduanya. Dengan segera mereka menoleh ke arah sumber suara. Tak menunggu lama, tetesan air mulai berjatuhan dari langit. Awalnya sedikit namun sejenak kemudian menjadi sangat banyak dan dalam hitungan detik, pondok tempat mereka berdiri telah diserbu hujan deras disertai angin.

Secepat mungkin Jongin dan Kyungsoo berlari ke arah pondok utama yang lebih lebar dan memiliki tempat duduk. Sebenarnya percuma saja mereka berpindah tempat, toh pakaian mereka sudah basah kuyub.

"Lihat, kita seperti habis berenang menyeberangi sungai." Canda Kyungsoo menghadirkan tawa dari bibir tebal Jongin.

Hujan kali ini sedikit lebih brutal dan lebih lama dari biasanya. Kedua orang yang terjebak tanpa membawa payung itu kini sedang duduk diam. Kyungsoo menunduk sambil memeluk tubuhnya, sedangkan Jongin duduk agak jauh sambil mencuri pandang pada Kyungsoo.

"Hatsyiii!" Suara bersin Jongin berhasil menarik perhatian Kyungsoo.

.

.

.

Karena tidak tega melihat muridnya kedinginan, kini Kyungsoo sudah berada di apartemennya bersama Jongin. Ya, mereka memilih sekalian menerobos hujan dan berhenti di apartemen Kyungsoo yang letaknya tak jauh dari taman kota.

Wanita itu sedang sibuk menyetrika seragam Jongin yang basah, agar tak membuat sang murid sakit jika terus mengenakannya. Sedangkan Jongin kini memakai kaos Kyungsoo yang paling besar, ia sedang memasak di dapur kecil di samping ruang tamu. Sesekali Jongin membalikkan badan dan bertanya dimana letak bumbu-bumbu masak pada Kyungsoo yang kebetulan menyetrika di ruang tamu.

Hingga masakan Jongin selesai, hujan masih tak kunjung reda. Keduanya duduk berhadapan menyantap nasi omelet buatan Jongin. Mereka saling bercerita dan tertawa bersama diiringi suara khas air hujan yang berjatuhan.

"Aku rasa saat ini adalah.." –J

"Saat paling bahagia.." –K

"..dalam hidupku." –J & K

Jongin tersenyum sambil memandang punggung Kyungsoo yang sedang berkutat dengan kopi di dapurnya.

"Kyungsoo noona." Panggil Jongin.

"Ya?" Kyungsoo membalikkan badan menghadap Jongin.

"Kurasa aku telah jatuh cinta padamu." Kata Jongin tanpa mengalihkan pandangannya pada Kyungsoo.

Kyungsoo terkejut, matanya yang bulat semakin membola. Menyadari pipinya mulai memerah, Kyungsoo mengalihkan pandangannya ke arah secangkir kopi di tangannya.

Jongin masih di sana, memandang Kyungsoo penuh harap. Namun melihat ekspresi Kyungsoo yang menurutnya bukan sebuah ekspresi kebahagiaan membuatnya tertunduk.

Kyungsoo meletakkan cangkir kopinya di atas meja lalu kembali menatap Jongin dengan senyuman.

"Bukan Kyungsoo noona, tapi Kyungsoo Songsaenim, ingat?" Ucap wanita itu.

Mendengar itu, wajah Jongin semakin muram.

"Songsaenim akan pindah minggu depan.." Kalimat Kyungsoo mengejutkan Jongin. "Kembali ke kampung halaman di Busan. Aku membuat keputusan ini beberapa saat kemarin."

Jongin tak merespon perkataan gurunya.

"Selama ini aku terus berlatih bagaimana berjalan sendiri, di pondok itu. Walaupun tanpa alas kaki." Lanjut Kyungsoo.

"Lalu?" Tanya Jongin lirih.

"Karenanya aku ingin berterimakasih padamu Jongin, atas segalanya." Jawab Kyungsoo.

Keheningan melanda keduanya. Hanya suara hujan yang berani menginterupsi suasana canggung itu.

"Terimakasih telah meminjamiku pakaian ini. Aku akan berganti pakaian." Tiba-tiba Jongin berdiri lalu berjalan meninggalkan Kyungsoo di ruang tamu.

"Tapi bajumu belum-" Kyungsoo berusaha menghentikan Jongin namun ucapannya terhenti begitu saja. Ia sadar ia tak memiliki hak untuk mencegah Jongin. Ia memandang cangkir kopi yang telah kembali berada di genggamannya kemudian meminumnya dengan wajah murung.

Jongin kembali ke ruang tamu lengkap dengan seragam sekolah dan tasnya.

"Permisi, aku ingin pulang. Terimakasih banyak." Jongin menunduk sopan ke arah Kyungsoo kemudian membalikkan badan dan keluar dari apartemen itu sebelum Kyungsoo sempat berkata apapun.

Wanita itu kembali menundukkan kepalanya. Ia terdiam hingga kepulan uap di kopinya perlahan menghilang. Tanpa bisa ditahan perlahan air mata meluncur jatuh dari mata indahnya. Punggungnya mulai bergetar dan isakan mulai terdengar dari bibir berbentuk hatinya.

"Aku membuat bekal ini sendiri, tapi aku membuatnya terlalu banyak. Jadi kalau noona mau.."

"Aku belum menentukan untuk siapa sepatu ini. Tapi yang jelas ini sepatu wanita.."

"Aku bertingkah seperti Songsaenim dan meminum banyak beer. Lalu aku terpeleset dan jatuh di jalur kereta."

"Gemuruh samar sang petir. Jikalau hujan tak turun. Aku akan tetap di sini, bersama denganmu."

Kata-kata Jongin satu per satu bermunculan dalam ingatan Kyungsoo. Perlahan perempuan itu mengangkat wajahnya yang sebelumnya ia tutup dengan kedua telapak tangan. Dengan cepat ia berdiri lalu berlari keluar apartemennya, berharap pemilik suara-suara penyemangat yang terus terngiang di kepalanya bisa terkejar.

Kyungsoo terus berlari, ia bahkan tak sempat memakai alas kaki. Hujan masih terdengar walaupun tak sederas beberapa saat lalu. Kyungsoo berlari menuruni tangga yang terletak di luar apartemen. Lantai yang licin karena digenangi air hujan membuat Kyungsoo terpeleset hingga terjatuh di tangga.

Brukk!

"Ah!" Kyungsoo tersungkur di ujung tangga. Sakit memang, tapi rasa sakit di kakinya tak lebih sakit dari rasa sakit yang ia rasakan saat melihat wajah muram Jongin saat meninggalkannya sendiri. Karenanya, Kyungsoo segera bangkit dan dengan tertatih ia menuruni tangga.

Ia tak menghitung sudah berada di lantai berapa ia kini. Yang membuatnya lega adalah saat ia melihat punggung pemuda dengan seragam sekolahnya berdiri membelakanginya. Pemuda itu berbalik mendengar langkah kaki Kyungsoo.

"Jongin.."

"Kyungsoo noona, tolong lupakan apa yang telah aku ucapkan. Aku telah salah. Aku memang membencimu." Ucap Jongin.

Kyungsoo terdiam mendengar perkataan Jongin. Matanya mulai kembali berkaca-kaca.

"Bahkan sejak dari awal kita bertemu, harusnya aku menghindarimu."Kata Jongin sambil mengalihkan wajahnya.

"Minum beer di pagi hari, asal mengucapkan syair kepadaku-" Jongin kembali menatap Kyungsoo dengan tatapan emosional. "Mendengarkan cerita-ceritaku tapi tidak pernah menceritakan apapun tentang dirimu! Kau tahu aku siswamu bukan!? Ini tidak adil!" Ucap Jongin semakin keras.

"Jika aku tahu sejak awal bahwa kau adalah guruku, aku tidak akan pernah bercerita tentang sepatu! Sebetulnya kau berpikir aku tidak akan bisa menghasilkan apapun bukan? Jadi kenapa kau tak pernah berkata apapun padaku? Kau pikir mungkin kau bisa mentertawakan impian seorang anak kecil, ya kan?" Air mata-pun mulai berjatuhan dari mata Jongin.

"Katakan padaku! Aku tidak akan bisa hidup sesuai ekspektasiku kan? Aku tidak akan bisa melangkah menuju mimpiku kan? Kau tahu semuanya sejak awal!" Wanita di depannya juga ikut berderai air mata.

"Jadi katakan saja padaku, jika aku menghalangi jalanmu! Katakan saja padaku jika seorang anak kecil harusnya berlarian di sekolah! Katakan saja kau membenciku! Hiks.. Kau.." Jongin terus berteriak sambil menangis sedang Kyungsoo hanya menundukkan kepalanya.

"Ini karena kau bertingkah seperti itu! Kau tak pernah mengungkapkan apa yang paling penting! Kau berpura-pura bahwa ini bukan urusanmu! Kau telah menjalani hidupmu sendirian!"

Hujan masih turun, namun bias cahaya matahari tiba-tiba muncul menyinari wajah cantik Kyungsoo yang sedang menangis. Isakannya semakin keras, mendengar semua ungkapan perasaan Jongin yang juga sedang menangis di depannya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Kyungsoo berlari menuruni 4 tangga terakhir dan berhambur memeluk Jongin.

Kyungsoo menangis sekeras-kerasnya. Pelukan itu cukup untuk mengejutkan Jongin.

"Hiks.. hiks.. Tiap pagi.." Ucapan Kyungsoo sedikit teredam oleh dada Jongin namun Jongin masih bisa mendengarnya.

"Setiap pagi aku memakai pakaian kerjaku untuk pergi ke sekolah.. hiks.. tapi aku ketakutan.. aku tidak bisa pergi."

"Tapi di tempat itu.. Kau..Hiks!" Kyungsoo bersusah payah mengungkapkan isi hatinya diselingi isak tangis. Jongin yang juga masih menangis perlahan membalas pelukan Kyungsoo.

"Kau menyelamatkanku.. Hiks.. Huhuhu.."

Jika cahaya matahari bertemu rintikan air hujan, maka terciptalah pelangi. Siang itu, pelangi muncul begitu indah menjadi latar apik bagi dua insan yang berbagi perasaan dalam satu pelukan erat.

.

.

.

"Musim panas telah berakhir, dan waktu telah tiba bagi kami untuk mengenakan seragam musim dingin. Aku mendapat nilai buruk pada ujianku. Aku menghabiskan entah berapa banyak potongan kulit mahal. Aku juga bekerja paruh waktu di musim dingin. Dan tiap kali aku menambahkan satu lapisan pada pakaianku, aku bertanya-tanya pada diriku, bagaimana kabar dirinya?" -J

Salju telah turun. Taman kota yang sempat penuh dengan dedaunan hijau kini tampak putih dimana-mana. Seorang lelaki dengan jaket tebal berwarna coklat dan syal putih tampak berjalan menuju pondok utama di taman itu. Ia adalah Kim Jongin.

Jongin membuka beberapa lembar kertas lalu membacanya satu per satu setelah mendudukkan pantatnya di pondok itu. Hingga sampai di halaman terakhir, Jongin tersenyum.

Surat ini tiba-tiba saja menjadi sangat panjang tanpa aku sadari.

Terimakasih banyak sudah membaca semuanya.

Aku berharap kau menjalani semuanya dengan baik, Jongin-ah.

Aku berdo'a semoga kehangatan musim semi segera datang.

Do Kyungsoo.

...

Jongin menutup surat-surat dari Kyungsoo lalu meraih sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas bangku pondok. Sebuah sepatu cantik berwarna coklat muda dengan aksen daun mapple di ujung talinya.

"Aku juga sedang belajar bagaimana caranya berjalan. Aku percaya sekarang. Suatu hari, ketika aku bisa berjalan lebih jauh lagi, aku akan menemuinya." –J

.

.

.

End.


Hampir setahun, hihi.

Maaf aku dateng bukan bawa cerita baru, cuma mau nerusin apa yang sempet terbengkalai. (Kaya ada yang nungguin cerita ini aja:'D)

Sampai jumpa kapan-kapan~~~ ahahah~~