Chapter 3 : Evil Face. (1)
A/N : Mungkin sudah terlalu lama untuk tidak berjumpa kembali... fanfic Let Me Hear kembali mendapatkan episode lanjutan... setidaknya masih ada ide.
Saya baru kembali menulis setelah cukup lama vakum dari Dunia ini karena kesibukan dunia nyata.
Word mungkin tidak sepanjang yang dulu.
Alur mungkin tidak semenarik dulu.
Gaya bahasa mungkin telah berubah, tidak seindah dulu.
Tapi semua keranguan dan kekurangan saya coba perbaiki dan mencoba kembali menulis...
Hanya ini yang bisa saya berikan kepada pembaca yang telah lama menunggu... selamat menikmati.
Chapter 3 : Evil Face. (1)
Sirzechs menetap tiga orang yang duduk di depannya dalam diam, belum mengeluarkan kata menunggu pembukaan pembicaraan dari tiga Kepala Keluarga di depannya. Dalam keheningan yang masih sama, tatapannya sejenak teralihkan pada beberapa lembar dokumen yang ada di tangan—masalah perengkarnasian dan beberapa kasus penghianatan budak iblis dari Keluarga Luar Pilar Utama.
"Lucifer-sama."
Tatapannya teralihkan sejenak, meletakan dokumen sebuah senyum terlihat di wajahnya... Tubuhnya rileks memperbaiki posisi menatap lurus lawan bicara.
Tidak ada jawaban yang di berikan oleh Iblis di depannya, namun mereka tau bahwa mereka telah mendapatkan perhatian darinya, suara batuk kecil keluar dari mereka satu dari tiga diantara mereka mulai membuka suara. "Saya Kepala Keluarga Astaroth, datang menemui Anda." Mereka semua sudah saling mengenal, di antara mereka semua ada yang sudah hidup lebih lama dari pada Iblis di depannya.
Hanya sebuah penghormatan pada Iblis di depannya... Pada Lucifer, pengganti Lucifer.
"Saya mendengar, sebagai salah satu dari empat Maou. Saya menyambut baik kedatangan Tiga Kepala Keluarga dari Pilar Utama."
Sirzechs tersenyum, menampilkan senyum baik pada tiga Kepala Keluarga yang ada di depannya. Juga kepada Ayah yang juga berada di sana—Kepala Keluarga Gremory saat ini. Semua hanya sekedar basa-basi sebelum menuju topik utama... Memutar kata menjunjung adat dan tradisi lama yang tidak mungkin di tinggalkan.
"Jadi, ada urusan apa tiga Kepala Keluarga sekaligus menemuiku disaat seperti ini?" Sirzechs menaruh tangannya di dagu, tersenyum pada tiga Kepala Keluarga yang ada di depannya.
"Saya Kepala Keluarga Astaroth beserta dua Kepala Keluarga yang lain datang menemui Anda." Tidak melakukan apapun, Sirzechs diam dan menopang dagu mendengar penjelasan berputar dari Kepala Keluarga Astaroth saat ini. Masih sama berupa pujian yang sama... Pembicaraan yang bahkan belum mencapai inti.
"Saya mendengarkan."
"Ini tentang pelelangan ilegal di Dunia atas."
Sirzechs semua dengan seksama tidak mencoba untuk menyela satu kalipun, mengangguk memberi pernyataan bahwa dia paham untuk bagian yang ditanya oleh para Kepala Keluarga. Dalam pikirannya, ada perasaan yang tidak menyenangkan setelah mendengar semua ini. Pelelangan Ilega, dahulu adalah suatu tradisi lama yang dibawa oleh para Maou terdahulu untuk mendapatkan budak bagus secara paksa.
Bisa dikatakan bahwa ini adalah sistem perbudakan kuno yang memaksa dan tak dapat di tolak. Sama seperti perbudakan pada Manusia atas Manusia, sistem perbudakan ini juga berlaku untuk Iblis atas mahluk manapun... tidak ada jaminan seperti sistim pereengkarnasian baru yang dibawa temannya...
Mati adalah hukuman bagi mereka yang menentang sang tuan.
Beberapa berubah sejak sistim perengkarnasian baru diperkenalkan... pelelangan telah dilarang oleh Maou yang sekarang untuk menjaga stabilitas dengan golongan lain dalam masyarakat supranatural... meski demikian pelanggaran itu akan tetap ada, kelemahan dari sistem reengkarnasi adalah calon budak bisa menolak keinginan sang calon tuan mereka.
Sedangkan pelelangan... mereka sadar secara terpaksa akan menjadi budak dan tidak bisa melawan.
Perputaran emas sangat pesat mengalir disana... emas dan barang bagus adalah apa yang diinginkan Iblis.
Dan itu ada di sana.
"Lucifer-sama.."
"Aku telah melarang," Sirzechs menatap tiga Kepala Keluarga yang ada. "Aku tidak akan menolong bahkan jika aku tau mereka terlihat... tidak peduli dari mana mereka, bahkan jika mereka adalah keturunan pilar utama... mereka sama di depan mataku."
"Tolong, yang ada di sana adalah calon pewaris dari Keluarga Astaroth. Dia adik dari teman baikmu... juga adik dari Maou saat ini." Sirzechs menatap, tatapan lurus yang menatap lansung Kepala Keluarga Astaroth saat ini.
Beralih menatap Ayahnya yang menatapnya datar... tidak bisa dia baca.
"Adalah kesalahannya untuk mengikuti pelelangan dan melanggar aturan... aku yakin bahkan anak Anda yang pertama juga tidak akan peduli dengan diri adiknya.
Jadi.. kenapa aku juga harus ikut peduli... dia melanggar, dia mendapatkan akibatnya."
[•]
Dalam pelukan beku, memandang cahaya suci yang tumpah di langit malam bagaikan jatuh. Naruto tidak bisa terdiam sejenak akan keindahan yang terjadi cepat di depan matanya. Pandangannya menyipit, kulit tubuhnya serasa panas terbakar atas radiasi dari pancaran cahaya suci yang jatuh bebas menerangi panggung pelelangan ilegal tempat mereka menari.
Melompat kebelakang menuju bayang gelap yang tersisa menyembunyikan diri dalam hitam sebagaimana sifat dan perwujudan Iblis yang seharusnya. Menatap kilauan cahaya yang jatuh dari titik terjauh... Malaikat sebagaimana dia mendengar dari kaumnya sendiri akan keindahan mereka.
Dan betapa mematikannya makhluk dengan wajah yang damai itu.
Melihat Malaikat—Dulio berjalan setelah menerpaki tanah, tidak ada ekspresi yang lain dalam Malaikat reingkarnasi itu selain senyum yang damai. Menatap semuanya—Para Exorcist yang bersorak akan kedatangannya, dan para Iblis yang melotot takut akan sosok dirinya.
"Nomor dua dalam tiga belas..." Raiser berucap seperti membuang dahak. Mengalihkan perhatian Naruto untuk sejenak, menatap pemuda Phenex yang bahkan jauh lebih tua darinya.
Naruto mengangguk singkat menatap dalam kekalahan yang pasti sudah menjadi milik mereka. Dilio satu nama diantara para mantan Manusia yang paling ingin dia hindari dalam kondisi terburuk, Malaikat tereingkarnasi terkuat dan urutan nomor dua dari tiga belas senjata yang mampu membunuh Tuhan dalam Alkitab bukan sesuatu yang bisa dipandang dengan mata sebelah.
Menegguk ludah yang terasa berat, dia melihat bagaimana sebagian Iblis maju dan mati bahkan sebelum mencapai Malaikat tersebut. Sisa Iblis yang ketakutan pergi berlari jauh menyelamatkan diri meski percuma... Mereka hilang termakan cahaya suci, sebagian yang lolos di kejar para Exorcist yang medapatkan kembali kekuatan yang sempat hilang dari mereka.
"Raiser..." Dia berucap pelan, namun dia tau bahwa pemuda itu pasti mendengarnya. Tatapannya terpaku menatap Dulio... Dia terdiam beserta sisa para Iblis yang membeku bersama.
"Semua kacau, Astaroth... Pergi, cari dia."
Raiser memberikan lototan dengan tidak kepercayaan akan ucapan Iblis yang jauh lebih muda darinya, walau demikian dan walau hanya sekilas dia dapat melihat jauh ke dalam mata biru itu... Semua... Di sana tidak ada apa-apa, tidak ada kepercayaan dari seperti yang tadi, tidak ada rasa akan kegelisahan seperti yang tadi.
Hanya terdiam, mata biru yang beku menatap jauh kedepan.
"Kau hanya membuang nyawa Bael." Dia tersenyum untuk sesaat, sebuah konsentrasi sederhana dan sebuah lingkaran sihir dengan lambang Phenex berada di bawah kaki. Beberapa tombak cahaya melesat ke arahnya, namun energi hitam kotor milik keturunan Bael melenyapkan segalanya.
Semua hilang, pemuda Phenex itu hilang dan pergi ketempat yang seharusnya... Ayahnya ingin agar Astaroth selamat dan itu harus terjadi, nama besar keluarga adalah segalanya. Dalam beku yang dingin, tanah retak saat dia meningkatkan konsentrasi. Membuat para Malaikat kelas bawah maupun Exorcist rendah mundur darinya.
Tekatan kecil yang menarik perhatian semua, salah satu kekuatan terkuat dari sisa 72 pilar menunjukkan dirinya. Meleburkan para iblis yang membeku, membuat mereka menyadari kehadirannya dalam panggung penghakiman ini. Menyedari siapa dia.
Naruto Bael...
Iblis muda yang meninggalkan kehormatan Keluarga hanya untuk kakaknya yang cacad.
Dia melihat namun dia merasa jauh saat melihat wajah tersenyum yang ada pada diri Malaikat Dulio, semua bahkan saat dia mulai memaksa yang lain mundur dengan tekanan kecilnya... Dia—Malaikat itu maju seakan bukan apa-apa. Langkah kaki yang tegap menggema memenuhi ruangan, tidak ada darinya selain apapun bagi Naruto selain sebuah ancaman.
"Keturunan Bael," membuka suara, suara ramah jenaka yang seharusnya tidak dia tunjukkan untuk situasi seperti ini. "menemukanmu di sini adalah masalah yang langka."
Tidak ada jawaban darinya, tatapannya melihat bagaimana para Iblis rendah perlahan mundur menghindari dari Malaikat itu. Beberapa Exorcist maju ke depan, tapi gerakan tangan Dulio menghentikan semua itu.
"Malaikat tidak, Malaikat reengkarnasi..." Dia mencoba berbicara, menghilangkan rasa ketakutan yang merayap di jiwa... Naruto tau, sangat tau dengan keadaan yang mungkin akan membuat dirinya hilang dari Dunia.
"Aku Malaikat..." Dulio tersenyum menatap keturunan Bael itu. "Aku dan dirimu berada dalam dua zat yang berbeda... Tidak bisa berdiri bersama akan apa yang mengalir dalam darah kita... Akan saling menyakiti walau pada akhirnya kita memang tidak menginginkan ini."
"Aku mencoba dan kau pasti tau semua, perseteruan antara kita jauh lebih dalam dibanding dengan fraksi yang telah jatuh. Kumohon menyerahlah dan semua akan baik-baik saja... Dengan sedikit perundingan, engkau yang merupakan keturunan pilar utama mungkin akan di bebaskan. Mengingat siapa dan betapa pentingnya dirimu, maka aku yakin semua akan baik-baik sana untukmu."
"Itu..." Naruto memandang sekitar menemukan bahwa semua iblis di sekitarnya bergetar ketakutan di bawah kaki mereka. Mengetahui bahwa mereka tidak akan selamat, bahkan setelah... jika ada perundingan. "Dan meninggalkan semua kaumku yang lain? Sungguh sebuah kalimat munafik yang diucapkan oleh seorang mantan Manusia."
"Beraninya kau!" Seorang Exorcist mencoba maju dengan sebuah pedang cahaya, namun tepukan di bahu menghentikan dirinya. Menatap Dulio yang menggeleng lemah berusaha membuat Manusia itu tenang.
Exorcist itu mengerti, memberikan sebuah anggukan sebelum mundur beberapa langkah... tapi dalam pandangan Naruto tau bahwa tatapan itu tidak berubah untuknya.
"Aku manusia. Mantan Manusia, namun sebuah kebanggaan atas ku menjadi Malaikat tereingkarnasi... Meski bukan kelahiran asli seperti dirimu, namun aku telah menjadi bagian dari kaum kalian sejak terlahir kembali. Cahaya yang mengalir dalam tubuhku merupakan kenyataan bahwa aku membawa sesuatu yang secara tak lansung akan membuat mu merasa tak nyaman, meski kamipun tidak menginginkan ini."
Dulio menatap iblis muda itu dalam, tatapan yang ramah sebagaimana sifat dia terlahir tidaklah hilang walau bagaimanapun. Merasakan kekuatan Iblis muda itu terkonsentrasi penghancur secara perlahan membuatnya waspada, cukup sadar siapa dan bagaimana lawan yang akan dia hadapi. Hembusan angin malam dan bulu-bulu sayap lembut yang bergoyang diterpa angin, menenangkan... cukup sulit untuk mengerti kenapa semua harus terjadi.
"Kau terlalu berbelit-belit... Sungguh aku bahkan tidak mengerti bagaimana seorang Malaikat yang di katakan suci meniru cara kerja kami dari kaum Iblis yang hina ini."
Dilio diam dia tau betul apa yang dimaksud Bael muda ini... Itu tentang sistem pereingkarnasian mereka yang mirip.
"Mengatakan itu seperti hanya kami yang ada untuk disalahkan. Apa kau juga tidak pernah melihat, tidak sedikit juga dari kaummu yang mengambil paksa hak setiap Manusia yang menerima titipan Tuhan dalam Alkitab. Sacred Gears seharusnya adalah apa yang menjadi hak dari Manusia digunakan untuk kepentingan mereka maupun untuk mengapdi kepada Tuhan, mereka tidak bisa dipaksa bahkan untuk menjadi budak Iblis sepertimu."
Naruto mengangkat bahu memberikan raut wajah mengejek, mencibir pada Malaikat di depannya seakan telah hilang ketakutannya. "Kami Iblis, dan itu adalah cara kerja kami."
"Maaf atas ketidak mengertianku, harusnya aku tau bagaimana sistem kerja kaum kalian bekerja... Sungguh sangat terbelakang." Mendengar ucapan itu mata Naruto melotot, namun giginya saling beradu kasar bagaimana melihat wajah tersenyum itu masih ada padanya.
"Ka—"
Tapi, umpatannya terhenti melihat Dulio yang kembali membuka suara.
"Tidak, aku mengerti dan paham sekarang kenapa Tuhan dalam Alkitab mengusir kalian dari kerajaan Surga dan membenamkan kalian ke dasar Dunia. Menyedihkan."
"Itu lucu, lelucon yang bagus." Tidak Naruto tertawa mendengar perkataan itu. Tidak ada kemarahan lagi dan tidak ada rasa kebencian setelah mendengar semua perkataan itu. "Melihat sifat sejatimu. Sungguh rendah cara Malaikat yang suci memilih calon Manusia yang akan mereka reingkarnasi... Katakan padaku apa kau dipilih hanya karena apa yang kau bawa?
Namor dua, dari tiga belas senjata?"
Dilio terasenyum. "Mungkin itu benar, namun senjata ini bukanlah untuk melakukan dosa seperti yang selalu dilakukan kaum kalian... Senjata ini akan melakukan amalnya, dengan membinasakanmu."
Naruto melipat tangan dan tersenyum sebagaimana dia biasanya, wajah tenang dan tatapan yang dingin sebagaimana dia dikenal. "Oh ya? Buktikan, aku penasaran."
Dulio tersenyum namun kilauan cahaya semakin terang sebagaimana dia sendiri adalah sumbernya. Ratusan tombak cahaya muncul di belakangnya dalam ratusan lingkaran sihir suci yang indah.
Naruto diam melipat tangan, tersenyum pada Malaikat di depannya... Penghinaan yang lebih jauh dari pada kematian membuatnya kesal. Pedang, gelap dan kotor adalah apa yang terlihat.
Tercipta dari kehampaan, bertujuan untuk menghancurkan apa saja. Kekuatan penghancur mutlak sebagaimana yang terlahir padanya.
Semua dan tekanan yang memaksa setiap dari yang lain untuk mundur menjauh.
Saat mereka tau, negoisasi telah gagal dan pertarungan akan terjadi.
Meski jauh dan sulit, Naruto tau dengan apa dirinya yang sekarang dia bahkan tidak akan bisa menyentuh ujung rambut Dulio tanpa kekuatan penuh. Walau demikian, meski tidak sekuat kakaknya dia akan mencoba.
Berhrap kemenangan ada bersamanya... Walau itu sangat tidak akan mungkin... Setidaknya dia mencoba.
Mempertaruhkan segalanya dalam pertarungan ini.
Mungkin dia bisa menang.
Mungkin.
[•]
Asia Argento.
Melangkah tertatih-tatih menyusuri lorong gelap menuju entah kemana. Kedua kakinya bergetar kelelahan, darah makin mengalir dari setiap bekas luka yang dia dapatkan selama menjadi barang pelelangan. Goresan—lintasan luka panjang tercetak di setiap kakinya. Lebam biru mewarnai di beberapa bagian, menimbulkan rasa ngilu bahkan saat untuk mengambil langkah.
Kadang kakinya serasa kehilangan tulang hingga membuat dia terjatuh, benturan yang tercipta setelahnya dan teriakkan yang dia tahan menandakan betapa sakitnya setiap kali ini terjadi.
Air matanya mengalir saat tubuhnya kembali kehilangan tenaga dan jatuh, teriakkan ingin kembali keluar dari mulut kecilnya. Tapi secepat itu juga mulutnya mengigit tangan kanannya untuk meredam suara.
Dia tidak tau bagaimana ini terjadi, setelah kepergiannya untuk menunggu Iblis yang memenangkan dirinya. Tiba-tiba semua menjadi kacau, langit-langit berguncang dan para Iblis berteriak panik sebelum berlarian kesana kemari. Dia terabaikan melihat kesempatan untuk melarikan diri dia melakukannya, sangat bersyukur untuk tidak yang menyadari kehilangan dirinya.
Tidak terlalu yakin dengan dugaanya, tapi dia yakin bahwa penyerangan ini adalah pekerjaan pihak Gereja. Apalah Irina dan Xenovia ada di sini?
Setidaknya dirinya ingin bertemu dengan mereka.
Tangannya meraba-raba dinding, mencari peggangan sebelum mencoba melangkah pelan kembali. Menatap kembali langit-langit yang berguncang keras... Dirinya melihat dan membayangkan seakan langit-langit itu roboh dan menimpa dirinya.
Dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya... Itu tidak akan terjadi. Bangunan ini sangat kuat dan dia tau itu... hanya orang setingkat Xenivoa mungkin lebih yang bisa melakukannya.
"Uhhh rantainya.." Lehernya tertarik kebelakang dan langkahnya terhenti. Menetap kebelakang ujung rantai yang melilit lehernya tersangkut di sela-sela jalan yang tersusun dari batu-baru yang tidak bisa di katakan rapat.
Tubuhnya sedikit bergetar ketika dia mencoba melipat kedua kakinya yang terluka mengambil ujung rantai itu. Rantai melilit lehernya seperti hewan peliharaan, memutus akses batin dirinya dengan Sacred Gear miliknya... Menyebabkan luka yang dia miliki tidak bisa dia sembuhkan.
"Uhh kenapa ngk bisa lepas.."
"Ada yang bisa ku bantu nona?"
Suara seseorang, tidak merasakan bagaimana dia mendekat... Tidak merasakan dari mana dia datang, melihat bagaimana tangan pria itu membantunya mengambil ujung rantai itu seakan mudah. Dan matanya melihat orang itu... Dia memiliki raut wajah lembut yang menenangkan, dan sebuah senyum dengan mata tertutup.
"Hmmm... Terimakasih banyak."
Asia mengucapkan termakasih dengan gugup, pandangannya menatap jalan batu yang ada jauh di bawahnya. Sadar bagaimanapun... Dia merasa jadi malu sendiri mendapati dirinya dalam kondisi seperti ini. Selain itu pri—pemuda itu... Iblis.
"Tidak masalah..." Asia mendengar suara itu sangat halus, tatapannya naik mendapati pemuda itu tersenyum padanya. "Apakah aku menganggumu karena apa aku ini?"
"Tidak tidak tidak... Tidak menganggu." Asia terkejut, tubuhnya sedikit mundur dan mengerakkan tangannya ke arah pemuda itu... Menyatakan bahwa itu tidak mengganggu sama sekali.
Berharap agar Iblis itu mengerti dan mau memaafkannya.
Namun dia hanya mendapat reaksi lucu dari Iblis di depannya, memaksa rona malu muncul di wajahnya.
Ah apa yang dia lakukan.
"Apa yang anda lakukan." Asia berteriak kecil dan panik, Iblis itu menarik ujung rantai itu... Memaksa tubuhnya tertarik kedepan, merasakan dekapan hangat dari Iblis di depannya. "Apa yang anda lalukan?" Dia mengulangi pertanyaan yang sama, kedua tangannya tergerak mencoba untuk mendorong Iblis di depannya.
"Tolong tunggu sebentar.." Suara itu terdengar lembut mencoba menghentikan. "Ini akan lebih muda bagiku untuk melepaskannya."
"Apa? Mele—" Ucapan Asia terhenti saat rantai yang melilit lehernya lepas. Iblis itu telah melepaskan pelukannya dan kembali menatapnya dengan lembut. Asia melihatnya sejenak... Dan kembali tersenyum malu, cahaya hijau keluar dari tangannya dan tergerak untuk menyembuhkan luka.
Dia terlalu baik, anda saja dia bukan Iblis... Mungkin dia akan menjadi Malaikat terengkarnasi.
"Terimakasih.."
"Tidak masalah, dulu kamu pernah menolongku... Ini hanya sebuah balasan kecil atas apa yang dulu pernah kamu lakukan?"
"Eh?" Asia tidak mengerti, cahaya hijau telah hilang dari kenyataan. Meski tidak sepenuhnya sembuh... Ini sudah cukup baginya untuk kembali melangkah tanpa takut untuk terjatuh lagi setiap saat. "Kapan?"
"Kamu mungkin tidak mengingatnya... Tapi aku akan selalu mengingat ini." Asia melihat Iblis itu tersenyum... Tangannya tergerak membuka jubah sutra yang terlihat mewah. Satu persatu pakaian atas dia lepaskan... Asia bisa kembali merasakan panas pada wajahnya.
"I-itu..." Dia—Asia tertegun, dibalik pakaian itu tepat di bagian dada Iblis muda itu... Ada sebuah bekas luka besar yang dalam, kulit terkoyak melihat sebagaimana buruknya luka itu dulu. "Anda... Iblis yang waktu itu?"
Asia melihat Iblis itu mengangguk kecil.
"Syukurlah Anda masih hidup."
"Tidak, semua ini berkat dirimu."
"Sudah menjadi kewajibanku.." Asia tersenyum tulus menatap Iblis di depannya. "Meski kita berasa dari Dunia yang berbeda... Meski kita mahluk yang berbeda. Tapi, kita tetap ciptaan Tuhan yang sama."
"Setelah itu aku selalu mencarimu untuk membalas hutang nyawa ini." Iblis itu, membuka suara... Penuh dengan penyesalan dan ketakutan. "Tidak sedikitpun untuk tidak melupakan semua yang terjadi. Mendengar bahwa dirimu di usir hanya karena aku... Semua yang membuatku sakit."
Tangan Iblis itu bergetar... Seperti menahan perasaan bersalah yang dalam.
"Tidak apa-apa... Saya tidak menuntut apapun dari Anda atas kejadian itu."
"Namun semua akibat dari pada itu... Kamu terbuang dan telah menjadi budak seseorang." Iblis itu perlahan mendekat dan tangan yang tergerak memeggang kedua pundak kecil itu. "Kumohon... Biar aku membantumu.
Jadilah bagian dari keluarga Astaroth... Mungkin kamu akan menjadi Iblis, dan mungkin kamu akan semakin dibenci... Tapi kumohon, hanya inilah satu-satunya cara—"
"Aku mengerti.." Asia melepaskan genggaman pada pundaknya, mengenggam tangan besar itu lembut. "Tapi saya tidak bisa... Saya tidak bisa melakukannya, meski dengan penderitaan yang akan saya hadapi kedepan. Saya tidak akan bisa melakukannya... Terimakasih untuk perhatian Anda, tapi sungguh ini bukan caranya saya tidak bisa. Meski tidak mungkin cara lain pasti akan ada."
Asia tersenyum... Menatap raut ketidak percayaan di wajah Iblis itu.
"Terimakasih."
Tapi setelah itu sesuatu terjadi.
Dia tidak pernah mendapatkan balasan, seakan waktu berhenti sejenak untuknya dalam tatapan matanya melihat semua yang terjadi di depan.
Darah yang melayang... Merah dan indah sebagaimana perlambangan untuk kehidupan. Melesat bagaikan bayangan putih, wanita dengan rambut biru pendek yang indah... Menampilkan ketegasan dan kekuatan. Pedang besar berada dalam genggamannya menebas Iblis besar itu seakan dia bisa.
"Xenovia.."
"Asia!" Suara tegas seperti yang biasa dia dengar. "Menjauhlah darinya, dia berbahaya."
"Tapi... Tapi."
"Dia benar" rambut coklat yang lembut, wajah ramah yang tidak jauh berbeda.
"Irina-chan.."
"Dia Diodora Astaroth... Iblis rendah yang selama ini selalu mengincar biarawati." Suara Irina yang tenang memaksa Asia kembali menatap ke depan, melihat bagaimana wajah itu masih tetap sama.
Tidak ada sesuatu yang mulai retak darinya.
"Kau Iblis rendah." Xenovia berdiri di depan mereka berdua, mengacungkan pedang besar tepat lurus kedepan. "Kau akan mati di sini."
Tidak ada kata yang lain... Dan sebuah ayunan singkat dari pecahan pedang legendaris mengetarkan sekitar... Gelombang yang tidak terlihat mengambang... Retak dan menghancurkan segalanya.
Serangan yang bersuara nyaring... Tidak terlihat menghancurkan sekitar menuju Diodora yang masih tersenyum.
Hancur dan tidak bersisa setelah satu serangan tunggal. Xenovia masih menatap lurus kedepan, dalam kabut yang berterbangan sisa-sisa kehancuran yang telah terlihat jelas. Excalibur Destruction bukan sembarang nama— kenyataan keji untuk sebuah pedang penghancur berkekuatan mutlak, satu dari tujuh serpihan kecil dari original Excalibur yang sudah hilang entah kemana selama perang Great War.
"Xenovia-chan.."
"Irina siapkan pedangmu, Asia berlindung di balik Irina." Tidak menyahut panggilan Asia, gadis Exorcist itu masih manatap lurus jauh ke depan. "Brengsek! Dia masih hidup."
Berakhir... Kabut debu kian menipis dan memperlihatkan semua.. Lorong yang tidak berbentuk hancur bagaikan tersapu topan... Tidak meninggalkan satupun selain kehancuran.. Tapi seperti melawan semua itu, Diodora masih berdiri tenang di tengah kehancuran.
Suara tepukan yang terdengar, Diodora tersenyum lebar membelah wajah... Kehilangan semua sifat lembut yang telah retak menunjukkan kenyataan jahat. Mata tertutup yang mulai terbuka, memperlihatkan sepasang mata yang bersinar menakutkan.
"Asia.."
Bersambung.
Mohon review dan pendapatnya untuk chapter kali ini... apapun itu saya terima.
Terimakasih.